Sabtu, September 06, 2008

Padi Hibrida, Solusi Pemenuhan Pangan Bangsa

Penyempitan lahan, berkurangnya tenaga kerja usia muda di sektor pertanian, serta permintaan beras yang terus bertambah seiring dengan pertambahan penduduk, memaksa bangsa ini harus memutar otak. Upaya menemukan solusi untuk memenuhi pangan warga bangsa ini menemui titik terang dengan diluncurkannya padi Hibrida. Apa keunggulannya?


Populasi penduduk yang terus bertambah, lahan pertanian yang semakin berkurang, serta minimnya sumber daya manusia di sektor pertanian menjadi momok serius dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Apalagi jika perluasan lahan dan produktivitas benih padi konvensional terseok-seok, sementara tingkat permintaan terus menanjak tinggi.


Ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada acara Panen Raya Padi musim tanam 2005-2006 di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, Maret 2006 lalu, seperti mewakili kegundahan yang ada. Saat itu, Presiden Yudhoyono mengatakan bahwa konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia, pada 2005 mencapai 139 kilogram (kg) per tahun. Artinya setiap penduduk di Indonesia rata-rata mengonsumsi beras sebanyak 139 kg.


Data itu menunjukkan bahwa penduduk Indonesia mengonsumsi beras secara dominan dibandingkan dengan jenis pangan lainnya. Kebutuhan yang besar itu, di satu sisi, begitu menggembirakan para petani karena hasil jerih payah mereka akan laku dijual. Namun, di sisi lain, kebutuhan yang terus meningkat itu, tidak selalu dapat diimbangi oleh para petani mengingat luas lahan untuk bertani sulit untuk bertambah.


Untuk itulah, gagasan mengenai perlunya menerapkan cara-cara bercocok tanam yang efektif dengan menggunakan teknologi pertanian mendapat peneguhan. Di negara lain, produktivitas beras yang dimiliki begitu tinggi, padahal daerah-daerah persawahan yang juga tidak terlalu luas. “Kita harus memadukan lahan yang tersedia, teknologi yang tepat, kemudian cara bercocok tanam yang tepat pula. Itulah pentingnya petugas penyuluh lapangan yang harus bekerja di seluruh Tanah Air. Dengan teknologi yang maju, kita dapat melipatgandakan hasil pertanian tanpa harus menambah lahan,” kata Presiden Yudhoyono, dalam kesempatan yang sama.


Kerisauan itulah yang ditangkap oleh instansi pemerintah maupun pengusaha yang bergerak di sektor pertanian di negeri ini untuk mencari terobosan baru dalam pemuliaan sekaligus pengembangan produksi beras. Di tengah gencarnya upaya swasembada beras, pemerintah juga mulai menggalakkan penggunaan bibit atau benih unggulan. Salah satunya adalah benih hibrida yang didatangkan dari luar negeri.


Kampanye maupun sosialisasi pemakaian benih hibrida terus digalakkan menyusul program dan target pemerintah untuk meningkatkan produksi beras di tanah air. Dalam catatan Badan Penelitian dan Pengembangan (Badan Litbang) Departemen Pertanian (Deptan), perkembangan padi hibrida di Indonesia tergolong kecil jika dibandingkan dengan beberapa negara lain. Itu pun masih terpencar di berbagai daerah. Padahal, apabila ada pertambahan penggunaan benih padi hibrida, produksi bisa meningkat hingga 15%-25% di atas benih biasa (inbrida).


Di Cina, misalnya, hampir 50% areal persawahan yang dimilikinya telah ditanami padi hibrida. Negara Tirai Bambu ini mampu memproduksi sekitar 22 juta ton gabah lebih banyak untuk luas lahan yang sama. Tidak hanya itu, Cina sekaligus dapat menghemat hampir 4 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk keperluan lain, seperti budidaya tanaman alternatif atau kawasan perlindungan alam.


Sementara itu, Filiphina mampu meningkatkan produksi beras sebanyak 15%-25% akibat padi hibrida. Kerjasama strategis antara pemerintah dengan kalangan swasta terjalin secara padu. Swasta menjalankan riset dan usaha, sementara pemerintah menjamin adanya pasar yang kompetitif. Tak mau kalah, Vietnam juga memakai hibrida dalam mendongkrak ekspor berasnya. Negara ini bahkan memiliki Pusat Riset Padi Hibrida dan menargetkan untuk menanam padi hibrida seluas 1 juta ha tahun 2010 kelak.


BISNIS BENIH: Kini, tanpa disadari, perkembangan usaha bisnis padi hibrida mulai menggeliat di Indonesia. Meski bergantung pada impor, permintaan terus meningkat dari waktu ke waktu. Usaha ini memiliki prospek bagus dan diperkirakan terus meroket mengingat benih memiliki posisi vital dan strategis dalam usaha meningkatkan produksi di bidang pertanian.


Kebutuhan benih tidak akan berhenti selama pertanian masih terus dikembangkan. Inilah yang merangsang perusahaan-perusahaan swasta, baik perusahaan lokal maupun asing, untuk mulai menjajaki bisnis benih hibrida. Di pihak lain, pemerintah juga senantiasa melakukan penelitian sekaligus memproduksi benih hibrida secara terus menerus sesuai kebutuhan pasar. Hal ini ditempuh karena diyakini industri benih akan terus bergerak naik.

Lihat saja, pertengahan tahun 2007 lalu, pemerintah melalui Deptan telah melepas 31 varietas unggul padi hibrida yang memiliki daya hasil 10%-25% lebih tinggi dari padi biasa. Ke-31 varietas tersebut terdiri dari enam varietas hasil Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), sedangkan 25 varietas lainnya milik perusahaan benih. "Dari uji coba benih padi hibrida yang dilepas Badan Litbang Pertanian di 13 kabupaten menunjukkan hasil rata-rata padi tersebut yakni 7,35 ton gabah kering giling (GKG) per hektar (ha) atau 16,5% lebih tinggi dari varietas biasa yang hanya 6,31 ton GKG per ha," kata Menteri Pertanian, Anton Apriantono.

Menteri mengatakan, dukungan inovasi teknologi produksi padi tersebut diharapkan mampu mencapai peningkatan produksi beras nasional. Namun demikian, dia mengakui sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan produksi padi di antaranya penurunan kapasitas produksi nasional karena terjadinya alih fungsi lahan pertanian serta degradasi kualitas lahan dan air, selain tidak menentunya iklim di tanah air.

Jika padi hibrida bisa dikembangkan secara bertahap pada lahan seluas 1 juta ha dengan peningkatan produktivitas 1,0 ton per ha, maka secara nasional padi hibrida memberikan kontribusi dalam peningkatan produksi padi sebanyak 1 juta ton. Untuk itu, Badan Litbang Pertanian Deptan, senantiasa terus mengidentifikasi wilayah potensial pengembangan padi hibrida di Jawa dan Bali. Di dua wilayah ini, khususnya di 23 kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur terdapat lebih dari 1,5 juta ha lahan sawah irigasi yang potensial bagi pengembangan padi hibrida. Potensi serupa juga terdapat di puluhan kabupaten lainnya pada musim kemarau.

Guna mengembangkan benih padi hibrida, Deptan melalui Balai Penelitian Padi juga melakukan kerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Cina untuk mengembangkan benih dari hasil persilangan varietas benih dari kedua negara. Benih padi hasil silangan dua varietas tersebut saat ini telah dilakukan uji lapang di kawasan Lampung Tengah.

Saat ini Balai Penelitian Padi sudah menghasilkan padi hibrida dengan produktivitas 12 ton per ha dan tahan penyakit. Pemanfaatan benih hibrida ini ditegaskan sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas padi nasional. Namun demikian, pemerintah tidak akan melakukan secara besar-besaran apalagi dengan melakukan impor benih dari luar.

Dari kebutuhan benih nasional sebanyak 300 ribu ton, menurut Mentan Anton Apriantono, penggunaan benih hibrida hanya diprogramkan 4.000 ton atau 300 ribu ha dari total luas tanaman padi yang mencapai 12 juta ha. "Namun kami tetap akan mendorong penggunaannya karena ke depan padi hibrida produktivitasnya yang diharapkan," katanya.

LEBIH BAIK: Soal kualitas benih, Mentan menegaskan, produktivitas padi hibrida yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian tidak kalah dengan padi introduksi dari Cina yang dilepas di Indonesia. Dia mencontohkan, di Bali, penanaman padi hibrida varietas Maro dan Rokan di lahan petani memberikan hasil 1,7 hingga 2,10 ton per ha atau 29%-34,1% lebih tinggi dari padi jenis IR64. Bahkan, dengan penerapan teknologi yang tepat, hasilnya dapat dioptimalkan lebih dari 9 ton per ha.

Selain itu, benih padi hibrida rakitan BB Padi memiliki keunggulan relatif lebih tahan terhadap hama wereng cokelat, peyakit tungro, dan penyakati hawar daun bakteri. Malahan, beberapa padi hibrida dengan benih asal Cina diyakini dapat tumbuh lebih baik jika ditanam di Indonesia. Iklim tropis Indonesia mendukung optimalisasi padi jenis ini.


Hal ini dinyatakan oleh Prof Zhang Hong Gui, ahli benih padi asal Cina ketika berkunjung ke ke Lampung. ''Iklim tropis memungkinkan padi hibrida yang dikembangkan Cina lebih baik jika ditanam di Indonesia," kata Zhang. Dengan iklim tropis Indonesia, lanjut Zhang, padi hibrida bisa ditanam dua kali dalam setahun. Meski tingkat keasaman tanah yang lebih tinggi dibanding Cina, katanya, padi hibrida dapat tumbuh dengan baik karena termasuk varietas yang tahan terhadap tingkat keasaman tanah tinggi. Kalau demikian adanya, tunggu apa lagi?

****

BOKS 1

Menguak Kawin Silang Hibrida

Apa yang disebut padi hibrida? Itulah pertanyaan yang mengemuka tatkala Cina mengembangkan padi hibrida pertama kali pada tahun 1974 lalu. Dalam perkembangan, masyarakat awam mulai mengenalnya sebagai produk hasil persilangan antara dua tetua padi yang berbeda secara genetik. Apabila tetua-tetua diseleksi secara tepat, maka hibrida turunannya akan memiliki vigor dan daya hasil yang lebih tinggi daripada kedua tetua tersebut.

Penjelasan lainnya, hibrida merupakan salah satu teknologi perbenihan yang memproduksi benih dengan menyilangkan dua inbred - yang secara genetik tetap - varietas dari tanaman tertentu. Hibrida menjadi spesial karena mereka menampilkan yang disebut "heterosis" atau hibrida. Teorinya, bila Anda menyilangkan dua induk yang secara genetik berbeda dari yang lain, maka keturunannya akan menjadi "superior" khususnya dalam hal hasil.

Namun, pengaruh heterosis akan hilang setelah generasi pertama (F1). Hal ini menjadikannya tidak berharga bagi petani untuk menyimpan benih yang dihasilkan dari tanaman hibrida tersebut. Ini membuatnya sangat menguntungkan untuk masuk ke dalam bisnis benih, karena petani perlu membeli benih F1 baru setiap musim untuk selalu mendapatkan pengaruh heterosis (hasil yang tinggi).

Untuk memproduksi benih hibrida, perlu adanya Galur Mandul Jantan (GMJ atau Galur A atau CMS line-Red) – varietas padi tanpa serbuksari yang hidup dan berfungsi sebagai tetua betina dan menerima serbuksari dari tetua jantan untuk menghasilkan benih hibrida. Selain itu, diperlukan pula Galur Pelestari (Galur B atau Maintainer Line-Red) – varietas atau galur yang berfungsi untuk memperbanyak atau melestarikan keberadaan GMJ.

Keberadaan Tetua jantan (Restorer) juga tetap diperlukan. Tetua ini merupakan varietas padi dengan fungsi reproduksi normal yang dianggap sebagai jantan untuk menyediakan serbuksari bagi tetua betina di lahan produksi benih yang sama. Di samping itu, benih padi hibrida juga dapat dihasilkan (diproduksi) dengan cara menyilangkan antara GMJ dengan Restorer yang terpilih secara alami di lapang.

Hingga kini, pemerintah telah mengembangkan puluhan varietas padi hibrida. Beberapa benih yang telah beredar di masyarakat di antaranya Intani I, Intani II, Rokan, Maro, Miki 1, Miki 2, Miki 3, Long Ping Pusaka I, Long Ping Pusaka 2, Hibrindo R-1, Hibrindo R-2, Batang Samo, Hipa 3, Hipa 4, Hipa 5 Ceva, Hipa 6 Jete, PP1, Adirasa, Mapan 4, Manis-5, Bernas Super, dan Bernas Prima.

Padi hibrida dikenal memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan padi biasa. Keunggulannya terletak pada hasil produksi yang diperoleh lebih tinggi daripada padi unggul biasa. Di samping itu, vigor yang dimiliki lebih baik sehingga lebih kompetitif terhadap gulma.

Tentu saja, di balik keunggulan terdapat beberapa kekurangan. Demikian juga dengan padi hibrida. Publik menilai, harga benihnya relatif mahal daripada benih unggulan lainnya. Tak hanya itu, petani juga harus membeli benih baru setiap tanam, karena benih hasil panen sebelumnya tidak dapat dipakai untuk pertanaman berikutnya. Kendati demikian, jaminan produksi yang lebih tinggi membuat publik terlanjur jatuh hati pada benih ini.

****

BOKS 2

Berebut Untung di Bisnis Benih

Prospek investasi yang menggiurkan membuat pertarungan bisnis di bidang perbenihan padi hibrida mulai marak. Kini, kiprah sejumlah perusahaan swasta di Indonesia, mulai menjajaki bisnis di benih tersebut. Awalnya, pada tahun 2004 lalu, ada tiga perusahaan yang menyatakan berminat untuk memproduksi benih padi hibrida, antara lain Syngenta, DuPont, dan PT Karya Beras Mandiri. Sebelumnya, hanya PT Sang Hyang Sri yang memproduksi benih padi hibrida, yaitu varietas Rokan, Maro, SL 8 SHS, dan SL 11 SHS.


Syngenta dan PT Karya Beras Mandiri masing-masing memproduksi dua varietas padi hibrida, yaitu Hipa 3 dan Hipa 4 yang sudah dikeluarkan tahun 2003. Sementara DuPont memproduksi benih padi dengan varietas PP1 yang menghasilkan 10-11 ton padi per ha, atau lebih banyak 20% hingga 25% dibandingkan dengan jenis IR 65.


Varietas PP1 memiliki karakteristik yang berbeda. Malainya panjang, penuh, serrta memiliki bulir padi yang banyak. Selain itu, PP1 juga mengandung keseragaman tanaman yang bagus. Tahun 2006 saja, DuPont memproduksi sekitar 80 ton-100 ton benih.


Industri benih padi hibrida makin riuh tatkala Bayer BioScience Indonesia turut andil. Mereka kini meluncurkan hibrida varietas Arize Hibrindo 1 yang dipanen dengan hasil 13,4 ton per ha gabah kering panen (GKP). Varietas yang banyak digunakan oleh petani di Gorontalo ini memiliki karakteristik utama potensi produksi 10 -12 ton per ha GKP, toleran terhadap hama, dan penyakit. Selain itu, kualitas nasinya relatif enak, pulen, dan wangi.


Sadar akan potensi dan prospek industri ini di masa depan, pengusaha Tomy Winata pun turun gelanggang, dengan bendera PT Sumber Alam Sutera (SAS). Perusahaan swasta yang didirikan pada tahun 2003 lantas menjalin kerjasama pengembangan padi hibrida dengan perusahaan pengembang dan produsen perbenihan besar di Cina, Guo Hao Seed Industries, Co. Ltd. Kerjasama ini telah menghasilkan varietas benih baru bernama Bernas Prima dan Bernas Super.

Sampai sekarang, benih-benih yang beredar di masyarakat umumnya merupakan hasil impor maupun introduksi dari luar negeri, seperti Cina, India, dan Filipina. Negara-negara tersebut, termasuk negara maju lainnya telah menggunakan teknologi padi hibrida untuk mengantisipasi masalah kerawanan pangan yang melanda di negaranya.

Dengan semakin banyaknya kalangan yang tertarik menggeluti bidang perbenihan, secara otomatis akan semakin banyak pula pemulia-pemulia tanaman padi di Indonesia. Mereka boleh-boleh saja bersaing dengan strateginya masing-masing dalam meraup pasar. Namun, jangan lupa bahwa mereka sejatinya memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama, yaitu mewujudkan ketahanan pangan dan membangun pertanian nasional yang modern di masa mendatang.

Dari Chang Jiang ke Pentas Dunia

Tidak ada yang meragukan kedahsyatan kemajuan sektor pertanian yang dimiliki Cina. Karena itu, berbagai penelitian berikut temuan teknologi baru secara rutin diluncurkan. Hal ini ditunjang oleh komitmen kuat pemerintah setempat dalam meningkatkan sektor ini. Tidak mengherankan jika Cina tetap diperhitungkan sebagai penghasil beras terbesar di dunia.


“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina” begitu kata pepatah lawas. Berbagai kemajuan pembangunan di berbagai sektor yang dimiliki Cina memberikan konfirmasi bahwa pepatah ini tetap benar adanya. Di Cina, kemajuan berbagai pengetahuan maupun bidang kehidupan begitu nyata hasilnya. Hal ini mengantarkan negeri Tirai Bambu ini sebagai negara maju dan kuat di mata dunia.



Di sektor pertanian, Cina tidak ada bandingannya sebagai penghasil beras nomor satu di dunia. Saat ini saja 35 persen beras dunia dihasilkan oleh negeri dengan penduduk lebih dari satu miliar itu. Belum lagi kalau tiga dam besar di Sungai Yangtze, yang dibangun sejak tahun 1994 akan selesai pada tahun 2009. Bukan saja irigrasi teknis yang krusial, tiga dam besar ini meningkatkan produktivitas pertanian, kapasitas transportasi dan menyediakan listrik setara dengan 18 pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

Masyarakat sekitar menyebutnya Chang Jiang yang berarti sungai panjang. Seperti julukannya, Sungai Yangtze merupakan sungai terpanjang di Cina, dan sungai nomor tiga terpanjang di dunia setelah Sungai Amazon di Amerika Selatan, dan Sungai Nil di Afrika. Panjangnya sekitar 6.380 kilometer, atau setara dengan enam kali panjang Pulau Jawa. Di samping sebagai irigrasi, setiap tahun sungai ini membawa berkah endapan tanah lumpur subur yang bermanfaat bagi pertanian.


Sebagai sentra produksi beras, pemerintah Cina menggenjot produksi beras setiap tahunnya. Belum lagi upaya intensif dari pemerintah meningkatkan teknologi, termasuk di bidang pertanian. Sekarang saja, Cina sudah sedemikian digdaya dalam sektor pertanian, khususnya perberasan. Tak pelak, Cina dijadikan rujukan banyak negara untuk mengembangkan sektor pertanian.


Kendati dikenal sebagai penghasil besar terkemuka, Cina berhasil menerapkan program diversifikasi pangan. Mereka tidak malu menyuguhkan ubi atau talas pada setiap tamu yang berkunjung, bahkan kepada tamu kenegaraan sekalipun. Hasilnya, setiap penduduk Cina hanya mengonsumsi beras 92 kilogram per tahunnya. Bandingkan dengan penduduk Indonesia, yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap beras dengan 135 kilogram per orang tiap tahunnya.


Di samping soal program kerja efektif, penerapan teknologi, maupun diversifikasi pangan, hal lain yang turut menunjang keberhasilan Cina sebagai negara maju adalah

etos kerja yang dimiliki penduduknya, terutama di sektor pertanian ini. Salah satu contoh, di kala bekerja, mereka bekerja tanpa lelah. Sebaliknya, kalau istirahat, mereka menggunakan waktu yang ada betul-betul untuk beristirahat.

FOKUS PADA KUALITAS: Sejak tahun 2005, Cina memproklamirkan sebuah pusat penelitian baru untuk meningkatkan kualitas varietas padinya dan meningkatkan kandungan nutrisinya. Pusat Kualitas dan Nutrisi Beras (Rice Quality and Nutrition Center), namanya. Lembaga ini berada di bawah naungan Institut Penelitian Beras Nasional Cina (CNRRI) di Hangzhou.

“Kualitas dan nutrisi adalah dua bidang penelitian beras yang paling menantang,” kata Robert S Zeigle, Direktur Jenderal International Rice Research Institute (IRRI), dalam acara peresmian pusat penelitian baru itu, “Bukan hanya memiliki piranti dan pengetahuan sains saja untuk mendapatkan beras varietas baru berkualitas tinggi, tetapi kami juga sekarang berupaya meningkatkan nilai nutrisi dari varitas-varitas ini dengan menambahkan nutrisi seperti besi, seng, dan vitamin A.”

Dr Zeigler mengatakan, ia senantiasa memfokuskan penelitian untuk meningkatkan produktivitas beras untuk mengejar pertumbuhan penduduk. Dengan demikian, penduduk Cina semakin meningkat kemakmurannya, karena kualitas dan nutrisi makanan telah menjadi prioritas utama. Ia menekankan bahwa meningkatkan kualitas biji-bijian juga akan mendorong harga beras di pasar dan berarti membantu petani Cina meningkatkan pendapatan mereka.

Dalam pertemuan yang digelar IRRI-Cina dan dan Forum Ilmu Perberasan di Hangzhou, Oktober 2005 lalu, ditetapkan empat persoalan prioritas yang dihadapi produksi beras Cina dalam jangka waktu lima tahun ke depan, yaitu: pemuliaan dan pengembangkan padi generasi baru yang disebut padi “super” atau varitas padi berproduksi tinggi, berkualitas tinggi; asupan terutama pupuk yang lebih efisien; kualitas dan nutrisi beras menggunakan bioteknologi; dan pengembangan teknologi padi yang lebih efisien dalam menggunakan air.

Jumlah populasi negeri ini mencapai 1,3 miliar orang, sehingga kemanan makanan merupakan isu yang penting bagi pemerintah Cina. Dalam memproduksi beras, tidak dipungkiri, Cina menghadapi sejumlah tantangan, khususnya bagaimana menjaga keseimbangan antara keberlanjutan ketersediaan sumber daya dan kebutuhan terus meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan. Atas dasar itulah, pemerintah setempat senantiasa menggalakkan lahirnya pusat-pusat penelitian maupun inovasi baru di bidang pemuliaan padi.

Simak saja, Cina bisa jadi merupakan negara pertama yang menghasilkan beras dalam jumlah yang sangat banyak, yang diproduksi dari beras hasil modifikasi secara genetik. Terobosan baru ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas panen.


Memang ada kekhawatiran, teknologi modern dapat menggantikan tanaman alami. Namun, menurut para pendukung teknologi ini, benih tersebut bisa mengurangi penggunaan pesitisida dan meningkatkan produktivitas. Kini, Cina berhasil memasarkan beras hasil modifikasi ini ke berbagai negara di dunia.


Begitu juga dengan temuan seorang ilmuwan Cina tentang padi hibrida pada tahun 1974 lalu. Dalam pembudidayaan tanaman, penggunaan vigor hibrida pada benih generasi pertama (F1) sudah dikenal dengan baik. Padi ini berawal dari transfer gen jantan mandul dari padi liar untuk menghasilkan galur mandul jantan (GMJ) atau galur A atau cytoplasmic genetic male-sterile (CMS) line dan kombinasi hibrida. Generasi pertama varietas padi hibrida terdiri dari tiga galur dan produksi panennya mencapai 15-20 persen lebih tinggi daripada produksi tertinggi dari varietas inbrida (konvensional) pada masa pertumbuhan yang sama.


Di Cina, kini terdapat sekitar 15 juta hektar areal tanaman padi hibrida dan jumlah tersebut lebih dari 50 persen dari total area tanaman padi yang ada di negara tersebut. Tidak hanya itu, sukses komersial produksi padi hibrida telah memungkinan Cina melakukan diversifikasi produksi pertanian pada jutaan hektar lahan mereka. Meski lahan pertanian Cina mengalami penurunan luas dari 36,5 juta hektar pada tahun 1975 menjadi 30,5 juta hea.Tentu saja, salah satunya harus berterima kasih kepada program padi hibrida yang mampu menaikkan hasil rata-rata hasil panen dari 3,5 ton/hektar menjadi 6,2 ton/hektar.

AKHIRI BOIKOT: Kabar terbaru yang beredar, Cina telah mengakhiri boikotnya terhadap Komisi Beras Internasional (IRC-International Rice Commission) dengan berharap untuk mempengaruhi berbagai masalah global menyangkut produk makanan utama. Terbukti, Kementrian Pertanian China menyampaikan aplikasi kepada Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO) pada Juli tahun lalu, di mana disambut baik oleh anggota IRC dan secara resmi disetujui oleh FAO, dua bulan selanjutnya.

Didirikan pada 1949, IRC merupakan komisi profesional di bawah FAO, dengan lebih dari 60 negara dan kawasan menjadi anggotanya sampai saat ini. Organisasi itu menyerahkan untuk meningkatkan kerjasama di antara negara-negara anggota dalam produksi beras, distribusi, dan konsumsi. Meskipun demikian, kewenangan IRC tidak sampai mengurusi perdagangan internasional.


IRC juga mendiskusikan teknologi dan ilmu pengetahuan yang terkait dengan beras serta berbagai masalah ekonomi, mendorong kordinasi terkait dengan kerjasama riset, memainkan peranan penting dalam aplikasi teknologi beras, pelaksanaan proyek-proyek kooperatif, dan komunikasi informasi.


Ihwal menjauhnya Cina dengan IRC untuk beberapa tahun, menurut Kantor Berita Xinhua, karena alasan historis. Namun, tidak disebutkan keterangan lebih rinci mengenai alasan tersebut.


Pada tahun 2002, Direktur Institut Beras Cina (CRI-China Rice Institute), Dr.Cheng Shinhua, menghadiri kongres ke-20 IRC sebagai peninjau. Selama itu, ia dan para pejabat IRC mendiskusikan berbagai masalah antara lain keanggotaan Cina. Akhirnya, Kementrian Pertanian meratifikasi usulan CRI untuk bergabung dengan IRC dan menyatakan institusi tersebut menjadi unit penghubung setelah Cina bergabung ke dalam IRC.

Pesatnya perkembangan perekonomian Cina ternyata sempat mengganggu produksi beras negara ini. Dalam beberapa tahun terakhir, jutaan petani Cina pindah ke kota-kota besar dengan meninggalkan lahan pertanian untuk mencari pekerjaan lain. Sementara kota-kota sendiri juga berkembang dengan banyaknya pembangunan fisik, yang di antaranya dibangun di atas areal persawahan.


Profesor Cai Dianxiong dari Akademi Pertanian Cina, mengatakan, kekurangan air di Cina merupakan ancaman terbesar bagi persediaan pangan di negara itu. 90 persen air minum di Cina digunakan untuk pertanian dan sebagian besar air pertanian digunakan untuk irigasi sawah. “Satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ini adalah meningkatkan teknologi efisiensi air, untuk mendorong petani menggunakan air dengan hemat namun dapat mendorong panen," katanya.


Tahun 2004 lalu pemerintah Cina sempat menawarkan 10 miliar Yuan untuk subsidi bagi petani yang bersawah dan tanaman biji-bijian lain. Subsidi itu memberikan insentif besar, dan tentu saja bantuan uang bagi para petani untuk menerapkan teknologi hemat air.

Sampai sekarang, Cina menguasai teknologi yang dapat meningkatkan produksi beras. Tidak hanya itu, Cina juga telah menguasai teknologi irigasi, pembenihan hibrida, bahkan sampai teknologi penyimpanan beras pasca panen. Berbagai temuan teknologi ini kini sudah diterapkan negara-negara topis, seperti Vietnam, Filipina, dan rencananya juga Indonesia.

Si Merah Pembawa Berkah

Masyarakat awam menggolongkan beras menjadi menjadi tiga golongan; beras putih, beras ketan, dan beras merah. Jika diperbandingkan, beras merah ternyata memiliki keunggulan dibandingkan dua jenis lainnya. Tidak hanya sebagai sumber karbohidrat, pengenyang perut, "bensin" untuk beraktivitas, beras merah memiliki banyak manfaat lain. Apa saja?


Beras merah ternyata telah dikenal sejak tahun 2800 SM. Para tabib tempo doeloe meyakini bahwa beras jenis ini memiliki nilai-nilai medis yang dapat memulihkan kembali rasa tenang dan damai. Lantaran keseimbangan alamiahnya pula, para penulis di Asia Timur masa dahulu beranggapan bahwa beras merah merupakan jenis makanan yang dapat menyembuhkan penyakit. Bahkan, para ahli makrobiotik telah pula menyatakan persetujuannya sampai sekarang.


Dari beragam jenis maupun varietas beras yang ada, beras merah diakui kaya akan vitamin dan mineral ia merekomendasikan beras merah lebih bagus. “Beras merah mengandung karbohidrat kompleks, dan sangat berguna bagi kesehatan,” kata dr. Sonia Wibisono, ahli kedokteran umum yang juga artis dan konsultan kesehatan di Indonesia. Ia menambahkan, kandungan serat yang lebih banyak daripada beras putih ternya baik untuk pencernaan tubuh. Selain itu, beras merah juga dapat menjadi gula darah lebih lama ketika dicerna, sehingga seseorang yang makan itu tidak cepat lapar lagi. “Tapi, sayangnya, banyak yang kurang suka rasanya ya,” katanya.


Selain itu, nilai energi yang dihasilkan beras merah juga di atas beras putih. Kandungan proteinnya yang lebih kaya disebabkan oleh kadar tiaminnya yang lebih tinggi. Tiamin ini berfungsi untuk memperkuat sistem saraf dan jantung. Unsur gizi lain yang diperkirakan juga berpengaruh pada pendongkrakan energi beras merah adalah fosfor. Melalui proses fosforilasi, fosfor mengaktifkan berbagai enzim dan vitamin B dalam pengalihan energi pada metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.


Fosfor, yang juga terkandung dalam beras merah, inilah yang diyakini sebagai pendongkrang “semangat juang” kaum pria dalam beraktivitas seksual. Hal ini ditegaskan Dr Morton Walker dan Joan Walker, dalam bukunya, Sexual Nutrition: The Lover’s Diet, mengindikasikan pria yang tak bergairah di ranjang karena kekurangan fosfor. Kekurangan fosfor akan mengakibatkan tiadanya karbohidrat, lemak, dan protein yang cukup sehingga bisa diurainya menjadi energi.


Beras merah umumnya merupakan beras tumbuh atau pecah kulit, yang kulit arinya tidak banyak hilang. Pakar kedokteran meyakini bahwa kulit ari beras mengandung mengandung zat-zat gizi yang penting bagi tubuh, seperti serat dan minyak alami. Tak hanya mengenyangkan, serat ini juga mampu mencegah berbagai penyakit saluran pencernaan. Manfaat lain dari serat, yakni dapat meningkatkan perkembangan otak dan menurunkan kolesterol darah.

Sementara itu, lemak dalam kulit ari kebanyakan merupakan lemak esensial, yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan otak anak. Sedangkan senyawa-senyawa dalam lemak kulit ari juga dapat menurunkan kolesterol darah, salah satu faktor risiko penyakit jantung. Zat besinya juga lebih tinggi dan membantu bayi usia 6 bulan ke atas yang asupan zat besinya dari ASI sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan tubuh. Belum lagi vitamin dan mineral-mineral penting lainnya yang lebih unggul daripada beras putih.


Tahun 1992, Mindy Hermann RD, lewat artikel berjudul “Minerals: from B to Z”, mengendus zat lain yang juga bisa dijagokan dari beras merah. Selenium, namanya. Selenium merupakan elemen kelumit (trace element) yang merupakan bagian esensial dari enzim glutation peroksidase. Enzim ini berperan sebagai katalisator dalam pemecahan peroksida menjadi ikatan yang tidak bersifat toksik.


Peroksida dalam ikatan toksik dapat berubah menjadi radikal bebas, yang mampu mengoksidasi asam lemak tidak jenuh dalam membran sel sehingga merusak membran tersebut. Kerusakan ini menyebabkan kanker, dan penyakit degeneratif lainnya. Oleh karena itulah banyak pakar mengatakan selenium mempunyai potensi untuk mencegah penyakit kanker dan penyakit degeneratif lain.


CEGAH KANKER: Sebuah penelitian memperkuat asumsi tentang keampuhan selenium dalam mencegah penyakit kanker. Studi selama 10 tahun yang dipromotori The Arizona Cancer Center melibatkan responden sebanyak 1.312 laki-laki dan perempuan dengan riwayat kanker kulit. Setengah responden diberi suplemen selenium sebanyak 200 ug sehari dan setengahnya lagi diberi plasebo.


Hasilnya? meski belum terbukti kemanjurannya menjaga subyek dari mendapat kanker kulit baru, mineral ini diketahui bisa melindungi mereka dari beberapa tipe kanker lainnya. Partisipan yang diberi suplemen selenium memiliki 63 persen, 58 persen, dan 46 persen kemungkinan lebih rendah mendapat kanker prostat, kolorektal, serta paru-paru dibanding mereka yang disuguhi plasebo.


Hasil penelitian tersebut memperkuat asumsi sebelumnya. Survei geografi memperlihatkan, pada sebagian wilayah Amerika, di mana kandungan tanahnya miskin selenium, menunjukkan bahwa angka kejadian kanker 10 persen lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain yang kandungan tanahnya kaya selenium. Beberapa studi pada binatang telah memperlihatkan pula bahwa pemberian mineral ini dapat mencegah binatang tersebut dari terkaman kanker.


Kehebatan selenium tidak berhenti sampai di sini. Hasil pengamatan pada pasien yang mendapat makanan parenteral total, umumnya tidak mengandung selenium, sampai terjadi penurunan aktivitas glutation peroksidase, diduga mengakibatkan munculnya kesan lemah, sakit pada otot-otot, hingga kardiomiopati.


Di samping itu, hasil penelitian yang dilakukan para ahli US Departement of Agriculture, memperkuat beberapa temuan terdahulu. Para ahli ini melakukan pengetesan pada beberapa wanita di New Zealand, khususnya di wilayah yang tanahnya memiliki kandungan selenium rendah. Mereka diberi suplemen selenium secara bervariasi selama enam bulan berturut-turut. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang diberi selenium 400 ug sehari memperlihatkan kemajuan yang signifikan berkaitan dengan mood dan level energi mereka dibanding dengan wanita yang tidak diberi atau diberi selenium dengan kadar yang lebih rendah.


Sebuah pemeriksaan pada penderita gondok di Kabupaten Ngawi tahun 2002 lalu menunjukkan bahwa selenium juga bisa berkaitan dengan gondok. Mineral ini berguna dalam proses pembentukan T3 (triiodotironin) dan T4 (tetraiodotironin), yang memiliki fungsi utama mengatur pertumbuhan dan perkembangan. Rendahnya kadar selenium juga diyakini akan memengaruhi pembentukan T3 dan T4, yang bila berlangsung lama akan menyebabkan rendahnya pembentukan thyroxin dan memunculkan beberapa gangguan penyakit, salah satunya gondok.


Paparan di atas memperkuat bukti akan keunggulan beras merah dibandingkan dengan varietas beras lainnya. Untuk itu, jika Anda tidak mau cepat lelah, tak ingin gampang loyo saat "bertempur" bersama pasangan, serta tidak siap mendapat kanker kolorektal, paru-paru atau prostat, mulailah membiasakan mengonsumsi beras merah. Tak hanya cocok dikonsumsi sendiri, beras ini dapat menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan pangan keluarga Anda.

Olly Dondokambey, Berjuang Memberdayakan Petani

Dunia politik, bagi sebagian orang, menjadi wahana mengasah keberpihakan terhadap ekonomi rakyat. Hal ini pula yang menjadi semangat dan gerak juang Olly Dondokambey selaku wakil rakyat di Senayan. Terbukti, pria kelahiran Manado, 18 November 1961 ini menjadi salah seorang pelopor pemekaran wilayah sekaligus turut berjuang untuk memperbaiki infrastruktur di daerahnya.

Memberikan harapan yang lebih baik bagi masyarakat yang tertinggal, khususnya di kawasan timur, begitulah cita-cita besar Olly, panggilan akrab anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Utara, ini. Sebagai pimpinan Komisi XI yang membidangi masalah keuangan, posisinya begitu strategis dalam rangka meneruskan semangat dan perjuangannya dalam meningkatkan dana alokasi umum untuk daerahnya.

Tidak hanya berkutat dengan kepentingan daerahnya, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) ini pun bertekad untuk membangun dan memberdayakan ekonomi rakyat. Aktivitasnya di Komunitas Tumbuh Kembang (KTB), sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pengembangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, memperkuat kiprahnya dalam membangun pondasi ekonomi rakyat, khususnya dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Adalah amanah Kongres II 2005 di Bali, yang mengukuhkannya sebagai pioner KTB. Program pemerintah di bidang pembangunan ekonomi menjadi perhatian utamanya. “Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar target pertumbuhan, justru menimbulkan pemusatan ekonomi terhadap segelintir orang dan meminggirkan partisipasi masyarakat banyak dalam kegiatan ekonomi,” katanya, kepada Qusyaini Hasan dari PADI. Berikut wawacara lengkapnya:

Bisa diceritakan latar belakang terbentuknya KTB ini?
Pendirian KTB ini sebetulnya dipicu oleh beberapa hal. Pertama, adalah marjinalisasi ekonomi rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang didengung-dengungkan pemerintah ternyata tidak selalu berkorelasi lurus dengan penciptaan kemakmuran rakyat. Kedua, adalah krisis ekonomi yang menerpa Indonesia tahun 1997 lalu, dikatakan bahwa ekonomi rakyat memiliki kemampuan untuk menghadapi keadaann perekonomian yang tengah shock. Buktinya, saat investasi di sektor formal no persen, ekonomi rakyat masih mampu tumbuh 2-3 persen.

Apakah kesenjangan ekonomi yang terjadi juga turut andil melahirkan komunitas ini?
Harus diakui bahwa konglomerasi yang terjadi tak hanya menjadi langkah efisien secara ekonomi maupun politik, tapi juga mendorong munculnya mafia ekonomi dan monopoli alamiah. Untuk melawan itu, jawabannya hanya satu, mengembangkan ekonomi kerakyatan di mana asset ekonomi dimiliki oleh sebanyak-banyaknya rakyat sehingga tidak satu pun kekuatan modal yang mampu mengendalikan pasar.

Bagaimana dengan faktor kemiskinan maupun ketergantungan ekonomi yang terjadi?
Pemberdayaan ekonomi kerakyatan dengan melibatkan partisipasi banyak orang tentu akan berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan adanya peningkatan pendapatan, maka penurunan angka kemiskinan akan terwujud.

Soal ketergantungan ekonomi, selama ini Indonesia telah masuk pada jebakan utang luar negeri. Padahal utang luar negeri menjadi scenario klasik yang diterapkan oleh kapitalisme global dalam rangka menguasai asset ekonomi di negara berkembang. Kasus Argentina, Brasil, maupun Irak menjadi bukti scenario negara besar mencengkeram negara-negara besar. Ini sengaja dilakukan hingga suatu ketika saat negara itu mengalami krisis ekonomi yang parah, maka kapitalis global melakukan penjajahan ekonomi terhadap negara berkembang. Ini tentu sangat mengerikan.

Sebetulnya apa target yang ingin dicapai komunitas ini?
KTB diprakarsai oleh kalangan dari beragam profesi yang memiliki keahlian yang juga beragam. Kami tergerak untuk melakukan pemberdayaan terhadap 47 juta Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang menyerap ratusan juta tenaga kerja. Tujuannya untuk memperkuat sektor UMKM di seluruh dalam kontribusinya pada pembangunan ekonomi nasional.

Apa langkah awal yang Anda lakukan?
Langkah pertama yang ditempuh adalah pembentukan lembaga taktis, yaitu Badang Pelatihan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (BP2ER). Badan ini telah melakukan serangkaian program kegiatan untuk membangun bidang ekonomi yang berlandaskan semangat kegotong-royongan, keberagaman, dan kemanusiaan.

Pelatihan dan pemberdayaan, kata Anda. Apakah komunitas ini juga menyiapkan tenaga kerja handal?
Tidak hanya tenaga kerja, lembaga ini merupakan kawah candradimuka untuk menyiapkan wirausahawan tangguh, membangun jaringan kerja, mengkaji dan mengembangkan model ekonomi kerakyatan baik di bidang produksi, perdagangan, maupun keuangan. Jadi, sasaran pelatihan itu beragam, seperti wirausaha sederhana untuk sektor pangan, baik pembuatan roti basah, roti goreng, bakso, serta jajanan pasar.

Hasilnya?
Sampai Desember 2007, kami telah melakukan 41 kali kegiatan pelatihan baik untuk peserta umum, struktur partai, aktivitas gereja, komunitas pesantren, dan sebagainya. Dari kegiatan tersebut, KTB telah berhasil mencetak sekitar 4.000 alumni penggerak ekonomi kerakyatan, dari Sabang sampai Merauke.

Terobosan apalagi yang Anda tempuh agar program pemberdayaan ini lebih optimal?
Selain merangsang sikap pro aktif dari berbagai elemen masyarakat, diperlukan pula dukungan kebijakan dari lembaga legislatif dan eksekutif. Terkait dengan hal tersebut, saya mengajak mitra kerja, seperti jajaran Direksi Bank Indonesia (BI) agar melakukan serangkaian terobosan yang kian memperkukuh stabilitas perekonomian makro maupun mendorong pertumbuhan ekonomi mikro.

Soal kemudahan kredit dari perbankan, bagaimana?
Saya berharap BI mengeluarkan peraturan baru terkait dengan kemudahan persyaratan dalam pengucuran kredit perbankan, termasuk ke sektor UMKM. Dengan demikian, peraturan tersebut dapat menjadi panduan bagi perbankan nasional untuk menjalankan fungsi sinergis yaitu menyerap dana sekaligus menyalurkannya kepada masyarakat, khususnya bagi pelaku usaha dan sektor UMKM.

Lalu, apakah pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang Anda galakkan juga menyentuh sektor pertanian?
Memang sasaran pertama kita sekarang dititikberatkan pada swasembada pangan, di bidang pertanian, khususnya padi. Kita melakukan pelatihan serta pemurnian bibit kembali, yang memang saat ini belum didaftarkan di deptan. Bibit kita MSP, bibit ini sudah dicoba di beberapa tempat, dan terbukti sangat berhasil.

Yang sekarang kita kembangkan di mana-mana adalah membagi-bagikan bibit ini. Terakhir waktu kita panen di Cariu, kita panen 15 ton GKP per hektar. Tapi, kata tenaga ahli yang kita pakai, maksimal bisa sampai 17 ton, tapi sekarang belum. Kami akan mencoba lagi di beberapa daerah. Kalau sudah maksimal dan merata di Indonesia., kita akan launching. Itulah kira-kira kita akan mendorong sistem pertanian untuk swasembada pangan.

Di KTB sendiri, target jangka panjangnya di bidang ketahanan pangan, atau pemberdayaan petani?
Target kita sebenarnya adalah swasembada pangan, karena ternyata masih ada orang Indonesia, produk lokal yang bisa sama dengan produk luar. Sebenarnya pemerintah yang terlebih dulu memfasilitasi dalam rangka penyebaran benih ini. Kebetulan memang para peneliti ini dekat dengan kita, ya kita dorong. Mungkin mereka merasa selama ini tidak diperhatikan, maka KTB bekerja sama dengan peneliti ini, dan terbukti berhasil. Kalau berhasil panen, saya rasa pantas kita daftarkan sebagai varietas murni produk bangsa Indonesia.

***

Secara umum, Olly menilai bahwa kita memiliki potensi pertanian yang terbilang kaya. “Kita pernah membuktikan bahwa kita bisa swasembada pangan. Dulu, musim krisis moneter, tidak ada impor beras, tapi masih bisa jalan. Jadi, kita ambil dari situ sudah jelas,” katanya, panjang lebar. Namun, potensi ini bisa saja lenyap jika kebijakan pemerintah tak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pertanian maupun petani.

“Negara maju seperti Amerika saja masih memproteksi produk pertaniannya, Jepang apalagi, Cina terutama. Kita negara begini besarnya kok enggak jalan,” katanya, dengan raut penyesalan. Untuk itu, ia berharap agar pemerintah melirik kembali sektor pertanian yang sebelumnya terlupakan.

Wacana agar pemerintah meneruskan kebijakan peninggalan Soeharto, ketika berhasil mewujudkan swasembada pangan pada tahun 1984 lalu, menurutnya tidak ada salahnya. “Ya, kita tingkatkan produktivitas, distribusi pupuk kita jaga. Irigasi bangun kembali. Sekarang mana ada pemerintah mau memikirkan infrastuktur pertanian seperti ini lagi.” Dari pembenahan ini, lanjutnya, baru kita layak berpikir untuk berkompetisi dengan negara lain.

***

Apakah KTB juga melakukan pembinaan terhadap kelompok tani?
Ya, para petani kita didik cara memakai bibit unggul, supaya tidak salah dalam menggunakan. Sehingga produk yang sudah baik ini tidak salah sasaran. Bisa saja kegagalannya karena faktor alam, dan sebagainya. Tapi, kita minimalkan kegagalan karena faktor teknis itu repot. Makanya kita bikin pelatihan. Kita monitor terus, kelompok mana saja yang telah menerima bibit unggul ini. Februari lalu kita banyak panen, karena sejak Oktober 2007 lalu kita bagi-bagi bibit.

Tingkat penyebarannya sejauh mana?
Kalau ambil sampel seluruh Indonesia, bisa saja dikatakan demikian. Karena sudah merata di Indonesia, baik bagian timur, tengah, dan barat. Mulai dari Jawa, Sulawesi, hingga Lampung. Ini mewakili random percobaan yang kita lakukan. Memang kita kerjasama dengan kelompok tani dalam hal pengelolaan bibit unggul lokal ini.

Ini murni swadaya?
Ya, swadaya. Tidak ada campur tangan pemerintah. Jadi kita mencoba sejauh mana tingkat partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam rangka. Kesadaran dari masyarakat ini penting, karena program apapun dari pemerintah kalau tanpa diiringi dengan tingkat kesadaran dari masyrakat, kan repot.

Selain pembagian bibit, apa ada bantuan kredit atau penyaluran pupuk?
Kita tidak seperti itu. Kita tidak akan melakukan program seperti yang dilakukan pemerintah. Kalau pemerintah kan pakai APBN. Tapi, memang dalam program-program seperti itu juga kita lakaukan dalam kebijakan dengan pemerintah. Kalau di komisi saya ada dana penyertaan modal kepada perusahaan pembenihan, dana pendamping, itu juga yang kita dorong dalam rangka menunjang program ketahanan pangan.

Apakah sudah dipikirkan kemasan maupun pemasarannya?
Kalau untuk produk bibit ini kan tidak susah. Masyarakat akan melihat sendiri. Ini kan bibit lokal, turunannya juga menjadi bibit langsung di situ, karena bukan hybrid. Memang ada saat-saat tertentu setelah tiga kali tanam, dia harus balik lagi ke kita, sehingga petani mendapatkan produk unggul lagi. Ini tujuannya, pemberdayaan masyarakat.

Adakah kendala yang Anda temui?
Banyak. Sejauh ini pola bercocok tanam dan lingkungan di mana petani tinggal. Karena alam dan situasi daerah tertentu, petani ada yang bisa bertani sekali atau dua kali dalam setahun. Petani tidak mau rugi dan ambil risiko, sehingga agak ragu melakukan pembaharuan. Kita harus sadari itu, karena sekali dia gagal, maka dia tidak akan makan selama tiga bulan.

Jadi kita harus mencari terobosan dalam hal ini. Berapa penghasilannya sekali panen, kita ganti. Bukan subsidi, kita bayar dulu. Nanti hasil panen kita ambil. Setelah berhasil, dia lihat sendiri. Karena memang kendalanya untuk penyebaran varietas baru, banyak sekali. Petani kita miskin, jadi sekali gagal panen, dia tiga bulan tidak makan. Jadi kita tidak memberikan risiko itu kepada petani.

Dari sisi pendanaan, ada masalah?
Tidak ada masalah. Kita kan kalau menanam bibit satu hektar bisa dapat 10 ton, dan bisa dijadikan bibit kembali. Padi ini kita tanam, satu hektar 10 kilo. Berarti, kalau kita tanam satu hektar bibit, kita bisa tanam 1000 hektar, dengan hasil 100 ton. Dari sisi ini tidak ada soal. Karena modal kita paling satu hektar saja. Setiap daerah percontohan kita, hanya satu hektar.

Wacana bank pertanian, bagaimana?
Dulu waktu pemerintahan Bu Mega, ada usulan Bank Padi namanya. Sempat program ini masuk di koperasi. Dalam satu unit usaha, di situ sudah lengkap unit usaha produksi, produksi pertanian, produksi pasca panen, dan permodalan untuk menyerap kembali minimal 100 hektar hasil panen di lokasi tersebut. Di sinilah Bank Padi menjadi lumbung atau penyangga. Sehingga dasar waktu panen itu, koperasi bayar dulu. Biasanya waktu panen harga turun. Setelah dua bulan panen, harga naik. Waktu jual kembali, hasilnya dibagi dua dengan yang punya. Untungnya diambil sebagian, si petani pun mendapat hasil keuntungan dari kenaikan harga itu. Itulah konsepnya.

Bank Padi ini juga dalam rangka memperkuat posisi petani?
Betul. Persoalan ini kan pasca panen semua. Kalau tidak dikelola dengan benar, yang rugi petani. Posisi petani sangat lemah. Dulu Bank Padi ini sempat jalan, dikelola oleh Departemen Koperasi. Di Banyuwangi, Jawa Timur, kalau tidak salah. Saya tidak tahu sekarang masih jalan atau tidak.

Soal bank tani atau bank agro, bagaimana kemungkinannya?
Bank sekarang kan sangat professional. BRI saja yang kita dorong terus untuk bela petani sudah mulai masuk pembiayaan kredit korporat. Jadi, sudah enggak jelas lagi sekarang. Padahal dulu kan BRI khusus untuk melayani para petani. Ada bank lain yang mengurusi kredit komersil maupun kredit lainnya. BTN untuk mengurusi para peminjam kredit perumahan. Sekarang sudah tidak jelas keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. semuanya berorientasi profit. Harusnya pemerintah yang mengatur semua itu, karena pemegang saham BUMN ini adalah pemerintah.

BRI sekarang memberikan kredit jalan tol, padahal yang dibawa-bawa adalah uang petani. Mestinya, kredit kembali ke sana. Karena memang penyaluran kredit kepada kelompok masyarakat ini kan jadi pusing, karena yang menerimanya kan ribuan orang, walaupun duitnya sedikit. Kalau kredit kepada korporat kan sebaliknya, diberikan kepada satu orang, tapi duitnya berjubel-jubel.

Biodata:
Nama: Olly Dondokambey Tempat, tanggal lahir: Manado, 18 November 1961 Jabatan: Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Periode 2004-2009 dari daerah pemilihan Sulut, Wakil Ketua Komisi XI Riwayat Pendidikan: SMAN Manado (Lulus 1982), Akademi Akuntansi Jayabaya (1982-1984), Akademi Akuntansi Manado (1984-1987), STIE Tri Dharma Widya (1995-1997) Riwayat Jabatan: Manajer WIKA-PP JO Tmn Rasuna Apartemen Jakarta (1994-1995), Manajer PT. Pembangunan Perumahan, Direktur PT. Bintang Rezeki Abadi Makmur, Direktur Pusat Koperasi Mega Gotong Royong Pengalaman Organisasi: Anggota BPM Jayabaya Jakarta (1982-1984), Ketua KOMEGORO Sulut, Wakil Bendahara DPC PDIP Kota Manado (1999), Wakil Bendahara DPD PDIP Sulut (2000-2003), Ketua Alumando Jakarta (2003).

Global Warning Bagi Pangan Kita

Semula, kita beranggapan bahwa pemanasan global hanyalah persoalan di dunia antah berantah. Di Kutub Utara, nun jauh di sana. Dampaknya pun akan terasakan beberapa puluh tahun mendatang dan menimpa cucu atau cicit kita kelak. Namun, pandangan ini kini tidak relevan lagi. Pemanasan global telah di depan mata. Fenomena yang menyebabkan perubahan iklim ini menjelma menjadi persoalan nyata yang dapat mengancam kehidupan kita.


Cuaca yang tidak menentu, curah hujan yang tinggi, ombak besar, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan berbagai bencana alam silih berganti menghantui kita. Intensitas bencana maupun frekuensinya pun semakin meningkat dari tahun ke tahun, memperkuat dugaan bahwa pemanasan global (global warming) yang dapat menyebabkan perubahan iklim (climate change) secara ekstrem telah tiba dan menjadi momok kehidupan global. Kejadian-kejadian ini telah menyadarkan masyarakat bahwa dampak pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim mulai terjadi di tengah-tengah kita.


Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, intensitas maupun frekuensi bencana mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), periode tahun 2003-2005, mencatat sekitar 1.429 kejadian bencana di Tanah Air, 53,3 persen di antaranya berkaitan dengan bencana iklim hidrologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, dan angin topan. "Jika dibandingkan dengan kejadian-kejadian bencana pada tahun 1950-1960-an, peningkatannya sekitar empat kali lipat," tutur Rizaldi Boer, Kepala Laboratorium Klimatologi Geomet-Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagaimana dikutip Harian Kompas.


Adalah gas rumah kaca (greenhouse gas), golongan gas yang menghasilkan efek rumah kaca, dituding sebagai biang keladinya. Bumi seakan berada di dalam rumah kaca yang panas menyengat. Sifat gas ini menyerap dan memantulkan radiasi dari permukaan bumi, serta menyerap dan meneruskan radiasi matahari. Bumi pun seakan mendapatkan pemansan dua kali sehingga dengan adanya gas rumah kaca, bumi semakin panas untuk dihuni.


Di samping itu, pada lapisan troposfer (lapisan pertama atmosfer bumi), kondisi ozon lebih banyak mengalami perubahan. Hal ini dimungkinkan karena beberapa faktor. Faktor pertama adalah aktivitas manusia, seperti industri, transportasi, rumah tangga, dan pertanian yang merupakan sumber polusi udara. Lapisan troposfer lebih dekat dan langsung bersentuhan dengan aktivitas di bumi.


Faktor kedua adalah proses pembentukan dan perusakan ozon di troposfer berlangsung secara terus-menerus dan berulang akibat konsentrasi gas rumah kaca yang berlebihan. Sedangkan aktivitas alam seperti letusan gunung api dan gempa tektonik akan banyak melepaskan aerosol yang diyakini berpengaruh pada konsentrasi molekul ozon. Karbon dioksida juga memberi kontribusi terbesar pemanasan global, yaitu 50 persen.


PERINGKAT EMPAT: Dampak pemanasan global pun mulai menyiksa kita. Kenaikan permukaan laut, perubahan iklim, kerusakan pada organisme dan ekosistem, dan pengaruh terhadap ketersediaan air dan pertanian. Naiknya suhu rata-rata bumi adalah salah satu bukti telah terjadi perubahan iklim. Menurut laporan IPCC (Intergovernmental on Panel Climate Change), suhu global rata-rata akan meningkat dengan laju 0,3 derajat Celsius per dasawarsa. Suhu global rata-rata tahun 1890 adalah 14,5 derajat Celsius, dan naik menjadi 15,2 derajat Celcius pada tahun 1980. Diperkirakan suhu global rata-rata mengalami kenaikan antara 1,50 sampai 4,5 derajat Celcius pada tahun 2050.


Kenaikan suhu ini mengakibatkan gletser pada kutub-kutub bumi mencair. Es bumi yang melebur akan menjadi air laut dan menambah tinggi permukaan air laut. Dampak kerusakan lingkungan akan berantai dan tidak pernah putus selama belum ada tindakan untuk mengantisipasinya. Kenaikan permukaan air laut akan berdampak langsung pada garis pantai, menenggelamkan beberapa daerah dataran rendah dan pulau, banjir pada pulau-pulau kecil atau kawasan kota yang rata dengan pantai, hingga rusaknya hutan mangrove. Penenggelaman ini pun akan menimbulkan berbagai masalah baru bagi lingkungan global, kekurangan lahan permukiman, dan kekurangan lahan untuk sumber pangan.

Kepala Ekonomi dan Penasihat Pemerintah Inggris untuk Urusan Efek Ekonomi Perubahan Iklim dan Pembangunan Sir Nicholas Stern mengatakan, ada empat penyebab emisi gas rumah kaca, yaitu aktivitas dan pemakaian energi, pertanian, kehutanan, dan limbah. Emisi yang terbuang dari kebakaran hutan di Indonesia, menurutnya, lima kali lebih besar dari emisi yang terbuang di luar nonkehutanan. Karena itu, jika berdasarkan pada indikator konversi lahan dan perusakan hutan, posisi Indonesia sebagai ”aktor”penyebab pemanasan global berada pada posisi ketiga.

Namun, dalam kategori pembuang emisi gas rumah kaca di dunia, Indonesia menempati peringkat keempat di bawah Amerika Serikat, Cina, dan Uni Eropa. ”Indonesia masih terbesar sebagai emitters gas rumah kaca,” kata Stern dalam seminar bertajuk ”The Economics of Climate Change” di Gedung Perwakilan Bank Dunia, di Jakarta, Maret 2007 lalu. Sementara di bawah Indonesia, ada Brasil, Rusia, dan terakhir India.

PALING TERPUKUL: Jauh-jauh hari, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), mengeluarkan peringatan bahwa pemanasan global akan menurunkan produksi pangan dan menimbulkan kelaparan di berbagai belahan bumi. Pemanasan global juga akan mengakibatkan menurunnya luas lahan pertanian dan meningkatkan berbagai hama serta penyakit. “Perubahan iklim tak hanya berdampak pada ketahanan pangan, tetapi juga meningkatkan penyakit hewan dan hama tanaman,” kata Ketua Pokja Antardepartemen tentang Perubahan Iklim Organisasi Pangan dan Pertanian, Wulf Killmann, seperti dikutip Kompas.


Khusus ketahanan pangan, FAO menyebutkan, areal pertanian terus berkurang di negara berkembang. Akibatnya, produksi pangan menurun sehingga ketergantungan pada pangan impor sangat tinggi. "Berbagai lembaga dunia juga menyatakan hal yang sama. Semua terkait dengan masalah air. Saya melihat, terkait dengan Indonesia, yang paling penting adalah masalah penurunan kualitas lahan dan produktivitas yang mandek. Antisipasinya dalam jangka pendek harus dilakukan dengan pengelolaan air dan meningkatkan kualitas lahan," kata pengamat ekonomi pertanian M. Husein Sawit.

Indonesia juga tak terlepas dari dampak langsung perubahan iklim ini. Sebagai negara pertanian, kata Stern, perubahan iklim berdampak buruk bagi Indonesia, sebab dengannya kerap terjadi perubahan cuaca secara mendadak, termasuk hujan lebat yang sulit diprediksi. Perubahan iklim yang berlangsung selama ini terbukti telah berpengaruh langsung pada sektor pertanian. Produksi beras nasional, misalnya, antara tahun 1980-1990 rata-rata turun sekitar 100.000 ton per tahun. Adapun kurun waktu 1990-2000 turun rata-rata 300.000 ton per tahun.

Penurunan produksi ini berpengaruh langsung pada tingkat kesejahteraan petani. Sebagai contoh, ketika terjadi El-Nino tahun 2002- 2003, seperti yang dilansir dari hasil penelitian di sentra produksi beras Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, jumlah keluarga prasejahtera langsung naik sekitar 14 persen. "Ini disebabkan petani yang gagal panen tidak lagi memiliki pendapatan," kata Rizaldi Boer.


Perubahan iklim diperkirakan akan semakin parah pada masa-masa mendatang. Karena itu, pemerintah harus segera menyusun kebijakan yang adaptif terhadap perubahan iklim. Misalnya, musim tanam tidak lagi bisa berpatokan pada anggapan dulu, yakni musim hujan setiap Oktober-Maret dan musim kemarau setiap April-September. "Sektor pertanian memang perlu mendapat perhatian serius karena sangat rentan terhadap perubahan iklim," kata Prof. Dr. Ir. Irsal Las, Kepala Balai Besar Sumberdaya lahan Pertanina, Departemen Pertanian (Deptan).

Memang benar. Pertanian menjadi sektor yang paling terpukul oleh pemanasan global. Kerentanan ini dipicu oleh tiga faktor, yaitu peningkatan suhu udara, terjadinya iklim ekstrem, dan naiknya permukaan air laut. "Peningkatan suhu udara akan berdampak terhadap penurunan produktivitas tanaman, terutama tanaman semusim. Selain itu juga akan meningkatkan populasi beberapa jenis hama penyakit tanaman," ujar Irsal. Adapun iklim ekstrem akan menyebabkan kegagalan panen dan luas panen. Sementara naiknya permukaan laut akan menyebabkan menciutnya lahan pertanian pantai dan peningkatan salinitas tanah di sekitar pantai.

Saat ini saja, menurut Dr Heru Santoso, Koordinator untuk Asia, Proyek Hutan Tropis dan Adaptasi Perubahan Iklim, Center for Internationl Forestry Research (CIFOR) yang berkedudukan di Bogor, rata-rata tahunan curah hujan di beberapa wilayah mengalami penurunan, sementara di wilayah lain justru mengalami peningkatan. Selain itu, masa musim hujan dan musim kemarau juga mengalami pergeseran. “Akibatnya, sumber daya air akan menjadi masalah. Akan terjadi defisit air di sejumlah wilayah yang rata-rata curah hujannya menurun,” kata Heru.

Kondisi ini menjadi ironi di tengah tuntutan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi makanan. Sebagai basis persediaan makanan serta komoditas yang kapasitas produksinya sangat tergantung pada 'kebaikan dan kecocokan' temperatur, iklim cuaca dan kelembaban tanah, pertanian harus bersiap menerima kenyataan ketidakpastian iklim dan jatuhnya waktu cuaca yang semakin tak menentu, di samping harus 'melawan' ledakan penduduk yang belum terkendali.

Kenyataan di atas dikhawatirkan akan makin memburuk dengan makin terwujudnya perdagangan bebas. Perdagangan bebas sering dilihat sebagai hal yang menciptakan ruang berkembang bagi proses akumulasi gas-gas rumah kaca. Ini terjadi lewat dorongan terhadap peningkatan produksi dan konsumsi yang pesat, yang tidak disertai dengan teknologi produksi yang ramah lingkungan (environmental friendly technology).

KAJI ULANG: Berbagai inovasi budidaya tanaman padi guna meningkatkan produksi dan kualitas padi terus dilakukan. Namun, pemanasan global yang menggejala belakangan ini membuat kita harus mengaki ulang pertanian padi sawah yang selama ini telah menjadi tradisi dari generasi ke generasi. Hal ini diingatkan oleh Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bayu Krisnamurti dalam Kongres Nasional Perhimpunan Ekonomi Pertanian (Perhepi) XIV, Agustus 2007 lalu, di Solo, Jawa Tengah. Sebab, lanjutnya, pemanasan global akan berpengaruh terhadap produktivitas tanaman pangan dan ketersediaan air.

Pengaruh pemanasan global terhadap sektor pertanian, khususnya budidaya padi, juga telah menjadi perhatian banyak pihak. Konferensi Pemanasan Global yang dilaksanakan di Bangkok, Thailand, beberapa waktu lalu, kembali mengingatkan perlunya pengkajian budidaya padi untuk mengurangi produksi gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global itu.


Seperti diberitakan Environmental News Network, budidaya padi merupakan satu di antara beberapa penyebab utama peningkatan emisi metana, salah satu gas rumah kaca yang 21 kali lebih berpotensi menyebabkan efek rumah kaca dibanding karbon dioksida, sehingga turut andil dalam membuat kerusakan ozon dan kenaikan suhu. Dalam pertemuan itu muncul draf perubahan budidaya padi serta perbaikan usaha peternakan yang diharapkan dapat menurunkan emisi metana di sektor pertanian.


Penurunan produksi gas metana itu diharapkan mencapai sekitar 56 persen dibanding produksi gas metana saat ini apabila perbaikan budidaya padi dilakukan. “Tidak ada budidaya tanaman yang menyumbang emisi metana terbesar (selain padi),” kata Koordinator Konsorsium Padi dan Perubahan Iklim, Reiner Wassman, dari International Rice Research Institute (IRRI) Filipina, seperti dikutip Kompas.


Ia mengatakan, emisi gas dalam produksi padi cukup unik. Selain memproduksi gas metana yang berasal dari peruraian bahan organik usaha tani padi, juga memproduksi karbon dioksida yang dihasilkan dari pembakaran sisa tanaman padi. Usaha tani padi juga memproduksi nitrogen dioksida dari peruraian pupuk. Semua gas itu merupakan penyebab efek rumah kaca.


Oleh sebab itu, iika warga Asia ingin mengurangi produksi gas rumah kaca, mereka harus memulai dari tata cara dalam memproduksi padi. Reiner mengatakan, pertanian padi memang bukanlah produsen gas metana terbesar. Namun, menurutnya, usaha tani padi di Asia tidak bisa diabaikan terkait masalah produksi gas metana itu.


Karena itulah, beberapa negara telah berupaya untuk mengurangi produksi gas metana itu. Studi tentang penurunan emisi metana dalam produksi padi telah dipraktikkan oleh Aslam Khalil dan Martha Searer dari Universitas Portland, Amerika Serikat, pada tahun 2005. keduanya mencoba melakukan perubahan usaha tani untuk menstabilkan emisi gas metana ke udara. Dari penelitian mereka diketahui pengairan sawah secara berlebihan akan mendorong emisi gas metana.


Tahun 2007 kemarin, IRRI membentuk Konsorsium Padi dan Perubahan Iklim guna mendeteksi efek langsung maupun tidak langsung perubahan iklim terhadap produksi padi. Konsorsium ini, seperti dikutip Rice Today, juga mengembangkan strategi dan teknologi produksi padi yang mengadaptasi perubahan iklim. Melalui intensifikasi, mereka juga mencari pola baru yang bisa mereduksi emisi gas. Pada tahap awal IRRI memfokuskan pada perbaikan varietas padi yang tahan terhadap panas.


Sementara itu, Thailand sudah menyosialisasikan berbagai kemungkinan pengurangan pemanasan global yang bisa dilakukan para petani. Pemerintah Thailand menjelaskan, dampak pembakaran sisa tanaman akan menghasilkan karbon dioksida. Pengairan sawah yang berlebihan juga akan menghasilkan gas metana. Gas-gas inilah yang menimbulkan efek rumah kaca.


Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Direktur Pengairan Deptan, Gatot Irianto, seperti disampaikan kepada Kompas, Indonesia sebenarnya tidak termasuk negara yang berkewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca. Emisi gas rumah kaca Indonesia masih tergolong kecil. Selama ini sumber gas rumah kaca terbesar berasal dari industri yang berada di negara-negara maju.


Meski demikian, lanjut Gatot, pihaknya mengaku telah menerapkan Pengelolaan Tanah dan Tanaman Terpadu maupun Sistem Intensifikasi Padi yang menurunkan pasokan air ke sawah sehingga produksi gas metana berkurang. “Kemungkinan mereduksi gas rumah kaca adalah dengan sistem irigasi macak-macak,” kata Gatot. Sistem dengan pengairan yang tidak berlebihan itu diyakini akan mengurangi produksi gas metana.


TANGGUNG JAWAB BERSAMA: Menyikapi fenomena ini, Deptan telah menyusun tiga strategi atau pendekatan. Pertama, pendekatan strategis dengan melakukan identifikasi lahan-lahan yang terkena, rawan, atau sensitif terhadap perubahan hidrologi atau sumber daya air, serta menyiapkan varietas-varietas tanaman yang adaptif terhadap salinitas dan kekeringan. Langkah kedua, melakukan pendekatan taktis dengan mengembangkan sistem pengamatan dan pemantauan perubahan iklim diikuti dengan sistem informasi. Adapun langkah ketiga lebih bersifat operasional, yakni menyesuaikan pola tanam dengan mendorong diversifikasi tanaman.


“Badan Litbang Deptan sedang menyiapkan sistem kalender tanaman yang bersifat dinamis, yakni bisa mengikuti perubahan dan anomali iklim,” kata Irsal. Sungguh perencanaan yang bagus. Namun, tetap saja perencanaan ini akan efektif jika diterapkan dengan baik sehingga bisa menekan kerugian petani akibat perubahan iklim.

Selain itu, antisipasi pemanasan global juga mesti dilakukan secara terintegrasi dan melibatkan semua kalangan. Bahkan, masalah ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan harus menjadi isu sekaligus tanggung jawab bersama. “Terjadinya pemanasan global, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan itu ada kaitannya dengan budaya dan perilaku manusia. Oleh karena itu, diperlukan sikap kesadaran manusia untuk melakukan konstruksi/perbaikan," kata Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin, sebagaimana dikutip Antara.

Sementara itu, pakar lingkungan dari Universitas Gajah Mada (UGM) yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Lingkungan Hidup (LHH) PP Muhammadiyah, Prof Dr Muhjidin Mawardi, mengatakan, saatnya kita menerapkan sanksi hukum yang tegas terhadap pihak yang melanggar Protokol Kyoto. “Jangan hanya diberikan pada nuklir saja, namun juga kepada pelanggar Protokol Kyoto, seperti, Amerika Serikat (AS) yang menolak meratifikasi protokol tersebut,” katanya.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk berpartisipasi dalam menyelamatkan bumi ini, di antaranya hemat energi, tidak membuang sampah sembarangan yang dapat menghasilkan gas metan, dan mengolah sampah menjadi kompos. Selain itu, diversifikasi energi dari bahan bakar yang dapat diperbaharui (bahan bakar nabati), melakukan penghijauan di sekitar rumah, dan menggunakan teknologi yang tepat guna dan ramah lingkungan. Memang, sudah saatnya bumi dan segala isinya ini diselamatkan agar bisa dihuni lebih lama dan nyaman.

Boks 1

Masih Ada Terang di Balik Gelap

Di balik malapetaka, kerapkali tersimpan sebuah tantangan dan peluang. Pemanasan global yang kini mengancam pangan, pertanian, serta kehidupan pada umumnya telah membukakan mata dan pikiran kita untuk segera mengantisipasinya melalui berbagai cara. Jika tidak, pemanasan global benar-benar menjadi momok bagi ketahanan pangan yang sedang didengung-dengungkan.

Guna mengantisipasi pangan dari dampak buruk pemanasan global, Menteri Pertanian Anton Apriyantono pun turun tangan. Menurutnya, pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim dunia saat ini mengharuskan diversifikasi pangan di dalam negeri ditangani secara serius karena ketersediaan pangan di pasar dunia semakin menurun.

"Banyak negara tidak lagi mengekspor pangan karena bahan pangan seperti jagung, singkong, dan tebu digunakan untuk bahan baku sumber energi," katanya di hadapan para Penerima Penghargaan Ketahanan Pangan 2007 di Gedung Departemen Pertanian, November 2007 lalu.

Anton mengatakan, perubahan iklim yang terjadi saat ini, seperti munculnya musim kemarau ataupun musim hujan yang panjang sulit diprediksi sehingga berdampak pada sektor pertanian.
Ia memang menyinggung soal kondisi tahun ini dengan musim hujan yang panjang dan kemarau basah yang memberikan keuntungan bagi sektor pertanian sehingga produksi pangan meningkat. Namun, belum tentu kondisi ini akan stabil di masa mendatang. Bahkan, bisa saja terjadi sebaliknya sehingga produksi beras akan menurun.


Saat ini, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sebagai makanan pokok masih sangat tinggi sementara ketersediaannya semakin terbatas. "Oleh karena itu, diversifikasi pangan harus dilakukan mulai sekarang, kalau tidak kita akan kesulitan," katanya. Program ini sejatinya sempat diperkenalkan dengan membudidayakan komoditas pangan lokal nonberas, seperti ubi, singkong dan jagung sebagai makanan pokok menggantikan beras.


Program diverisifikasi pangan ini memang belum menunjukkan hasil yang diharapkan, karena tingkat konsumsi beras di Indonesia masih tinggi. Penilaian masyarakat Indonesia terhadap komoditas pangan non beras yang keliru mennyebakan program diversifikasi pangan sulit berkembang.Sebaliknya masyarakat yang sebelumnya memanfaatkan umbi-umbian sebagai makanan pokok justru beralih ke beras. Ia berujar, "Orang masih memandang kalau tidak makan beras itu belum makan."

Diversifikasi pangan ini tidak hanya soal perilaku, tapi juga paradigma. Oleh sebab itu, paradigma ini harus direaktualisasikan seiring dengan fenomena global yang mengancam komoditas padi dan pangan kita secara keseluruhan. Alam kita yang kaya dengan tumbuhan dan pangan yang beraneka ragam dapat menjadi jalan keluar. Dengan kata lain, kita tak perlu lagi menggantungkan pemenuhan gizi dari nasi semata, tapi juga dari singkong, jagung, umbi-umbian dan aneka ragam pangan lainnya.

Selain diversifikasi pangan, pemanasan global juga diantisipasi melalui beberapa strategi yang dicetuskan oleh Kepala Balai Besar Sumberdaya lahan Pertanian, Deptan, Prof Dr Ir Irsal Las. Ia menyatakan, ada tiga strategi besar menghadapi dampak pemanasan global terhadap pertanian. Pertama, antisipasi, yaitu bagaimana melakukan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman sesuai perubahan musim.


Kedua, mitigasi, yaitu memperlambat pola perubahan itu atau laju peningkatan konsentrasi gas rumah kaca tersebut. Sedangkan strategi ketiga adalah adaptasi, yaitu bagaimana menyesuaikan dengan pergeseran musim atau iklim, yaitu menyesuaikan pola tanam melalui kalender tanam. ''Antara lain teknologi apa yang dapat dilakukan, jenis varietas apa yang paling cocok, dan lainnya,'' ujar Irsal. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan kalender tanam.


Kalender tanam ini dapat dirancang dengan pijakan yang yang berhubungan dengan sumberdaya lahan, sumberdaya iklim, sumberdaya air, dan lingkungan pertanian. Misalnya, kalau tanah basah, sawah ditanami padi dengan meningkatkan daya tahan bibit padi terhadap kegaraman. Kalau tanah kering, areal sawah juga dapat ditanami kacang-kacangan dan jagung yang umurnya pendek. ''Untuk itu, saya meminta petani agar rajin-rajin memperhatikan iklim, jangan memaksakan kebiasaan semaunya, karena telah ada teknologi yang bisa memperbaiki pertanian,” tandas Irsal.

Boks 2

Ragam Cara Menyelamatkan Pangan

Deptan bekerja sama dengan International Rice Research Institute, Filipina, kini tengah melakukan uji coba lima varietas padi di 20 lokasi berbeda. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Pangan, Suryanto Hardjo Suwirjo, sebagaimana dikutip Tempo, mengatakan, apabila hasil yang didapatkan selama beberapa musim panen cukup stabil, bibit-bibit padi ini akan diluncurkan dan disebarluaskan kepada para petani di tanah air. Lima varietas yang sedang diuji coba tersebut antara lain:

a. Padi tahan kering

Varietas ini dimaksudkan untuk menghadapi musim kemarau panjang dan ketersediaan air bersih yang terbatas.

b. Padi tahan rendaman

Padi ini mampu bertahan dalam rendaman air/ banjir selama dua pekan.

c. Padi tahan salinitas

Varietas ini mampu menghadapi permukaan air laut yang meningkat akibat es di Kutub Utara mencair.

d. Padi umur pendek

Padi jenis ini dapat dipanen dalam waktu cepat sehingga tidak terganggu oleh musim hujan yang tak lagi bisa diprediksi.

e. Padi aerobik

Jenis ini mampu hidup di tanah yang tidak digenangi air. Varietas ini biasa digunakan oleh para petani Amerika Serikat dan Jepang.