Selasa, Juli 21, 2009

Zahir Accounting, Peranti Lokal Berkualitas Internasional

Dari sekadar iseng, peranti lunak akuntansi yang dirancang Fadil Fuad Basymeleh direspon positif oleh para penggunanya. Zahir, demikian nama peranti itu, laris manis di pasaran. Kini, omzetnya melampaui Rp 6 miliar per tahun dan menjadi market leader di kelasnya.


Tak banyak orang yang mampu bangkit setelah badai krisis menerjang usahanya. Namun, Fadil Fuad Basymeleh patut dikecualikan. Ditempa dengan berbagai pengalaman sulit sejak membangun usaha dari nol, krisis ekonomi 1997 tak membuatnya jatuh tersungkur. Bahkan, ia bangkit kembali dan menjelma menjadi seorang entrepreneur sejati. Usahanya di bidang perangkat lunak (software) akuntansi justru berkembang ketika banyak pengusaha panik menghadapi krisis global saat ini.

Pria kelahiran Surabaya, 6 November 1971, ini awalnya terjun di bisnis setting, layout, dan advertising. Tapi, krisis ekonomi yang menghempaskan bisnisnya memberikan inspirasi baru baginya. Waktu itu, untuk bisa mendapat kucuran kredit dari perbankan, bank atau kreditor biasanya mensyaratkan adanya laporan keuangan yang tersusun rapi. Dari situlah, gagasan besarnya muncul. Ia kemudian iseng membuat software akuntansi yang bisa membantunya mengambil keputusan bisnis dalam waktu cepat.


Naluri bisnis Fadil, panggilan kecilnya, mengatakan, software inilah yang kelak akan melambungkan bisnisnya. Agar lebih fokus, ia pun meninggalkan usaha lamanya di bidang percetakan dan periklanan, dan memilih serius menekuni bidang pengadaan teknologi software akuntansi. ”Saya mau fokus pada bisnis software sekaligus untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa saya serius mengembangkan bisnis IT ini,” ujarnya.

Guna memperkaya produk kreasinya, berbagai macam buku akuntansi dan pembukuan keuangan modern ia lahap. Sebagai seorang pebisnis, ia paham betul soal pembukuan keuangan, serta apa yang menjadi kebutuhan perusahaan. Proses pembelajaran secara otodidak serta uji coba pun terus dilakukannya sendirian. Hingga akhirnya ia menemukan formula sebuah peranti yang tepat dan siap pakai.


Fadil pun mengawali bisnis berjualan software dari Bandung, Jawa Barat. Berbeda dengan software akuntansi kebanyakan, kreasi Insinyur Teknik Fisika dari Institut Teknologi Bandung ini, memiliki nilai lebih. Jika software yang sebelumnya beredar lebih banyak membantu tugas-tugas seorang pembukuan, maka peranti milik Fadil juga membantu memberikan kemudahan kepada para pengusaha untuk mengambil keputusan cepat dan tepat. Merek dagang Zahir Accounting pun ia pilih merujuk pada Ahmad Zahir, seorang ahli akuntansi dari Pakistan yang hidup di abad ke-16 dan merupakan penemu sistem double-entry debet kredit dalam sistem akuntansi.


Tidak sekadar nama, peranti lunak ini ini mampu mencuri perhatian para konsumen. Maka pada 2000, kantor Zahir pindah dari Bandung ke Jakarta, seiring meningkatnya bisnis penjualan software akuntansi ini. Untuk lebih mendukung aktivitas bisnisnya, Fadil mendirikan PT. Zahir International pada 2002.


Zahir pun berinovasi dengan merancang produk-produk baru yang lebih canggih. Berbagai macam terobosan dengan menyediakan sistem penjualan software yang berbeda terus dilakukan, seiring dengan layanan yang juga ditingkatkan dari waktu ke waktu. Inovasi dan pantang menyerah tampaknya telah menjadi kunci keberhasilan Fadil dalam mengembangkan bisnis bidang Teknologi Informasi. Inovasi ini dibuktikan dengan membuat sejumlah perangkat lunak yang memudahkan pebisnis mengambil keputusan.

Salah satu paket software yang ditawarkan bernama Zahir Merdeka. “Zahir Merdeka adalah inovasi baru software akuntansi yang dapat digunakan dengan sistem voucher prabayar (sewa). Cukup aktifkan periode transaksi yang diperlukan, software ini siap membantu Anda membuatkan laporan keuangan dalam sekejap,” kata Direktur PT Zahir International, Muhamad Ismail Thalib.


”Untuk menjawab tantangan atas krisis global yang terjadi, pengusaha dituntut membuat terobosan. Saya melakukannya dengan mengeluarkan produk Zahir Merdeka. Saya tidak menurunkan harganya, tapi membuat caranya lebih terjangkau,” kata Fadil. Software akuntansi yang dijual dengan sistem sewa dengan konsep voucher isi ulang itu merupakan terobosan pasar yang inovatif dan unik. Sekaligus sebagai siasat untuk mengatasi masalah turunnya daya beli masyarakat akibat krisis global.


Lebih dari itu, lanjut Fadil, produk ini menjadi jawaban sekaligus langkah jitu merebut pasar usaha kecil menengah (UKM) yang lebih besar. Dengan Zahir Merdeka, ia mengarahkan lebih banyak pelaku UKM memiliki pembukuan yang rapi dan tertib, sehingga bisa mengakses kredit perbankan.

Kini, Fadil sukses membawa PT Zahir Internasional menjadi perusahaan software lokal yang disegani pasar. Berbagai penghargaan bergengsi pun ditorehkan, seperti APICTA Award 2002, 2003 dan 2004. Guna melebarkan sayap, sistem keagenan di berbagai kota besar pun telah dirintis, mulai dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Walhasil, produk-produk Zahir Accounting telah dipakai lebih dari 8.000 perusahaan. Omzet perusahaan pun meningkat drastis, dengan kisaran Rp 6-10 miliar per tahun.


Kendati mampu meraih sukses, Fadil tak mau berpuas diri. Ia berobsesi mengantarkan perusahaannya menjadi raja di negeri sendiri. ”Mimpi saya nggak muluk-muluk, hanya ingin melihat produk Zahir memasyarakat di Indonesia. Saya ingin UKM yang jumlahnya puluhan juta unit usaha itu memakai software akuntansi merek Zahir. Saya ingin melihat UKM maju karena memiliki pembukuan yang baik dan cepat dalam mengambil keputusan,” kata Fadil, dengan penuh optimistis.


Boks

Produk-produk Zahir Accounting

1. Zahir Small Business Ver. 5.1

2. Zahir FlexyMoney Ver. 5.1

3. Zahir FlexyTrade Ver. 5.1

4. Zahir Personal Ver. 5.1

5. Zahir Standard Ver. 5.1

6. Zahir Enterprise Ver. 5.1

7. Zahir Merdeka

8. Zahir POS Versi 5.1

9. Zahir Report Server Versi 5.1

10. Zahir Small Business Accounting Versi 5.1

11. Zahir Accounting Personal Versi 5.1

12. Zahir Accounting Standard Versi 5.1


***


Dambaan Usaha Kecil dan Menengah

Memang susah membangun kepercayaan masyarakat di tengah pola konsumsi yang cenderung mencintai produk luar daripada negeri sendiri. Begitu juga kesulitan yang dihadapi Fadil dengan produk software-nya. Fadil merasakan betapa beratnya membangun kepercayaan masyarakat terhadap produk software yang dihasilkannya. Meskipun software akuntansi buatannya tak kalah berkualitas, stigma buruk mengenai software buatan lokal membuat konsumen susah diyakinkan.


Untuk mendobrak stigma buruk ini, Fadil lebih mengedepankan bukti dan manfaat daripada janji-janji muluk. ”Untuk meraih kepercayaan pasar, kami memberikan jaminan uang kembali bila software-nya bermasalah, layanan 24 jam, dan jaminan seumur hidup. Untuk itu, kami sangat mengutamakan kualitas pelayanan karena untuk mendapatkannya nggak gampang,” ujar Fadil semangat.


Usaha di bidang software akuntansi ini, menurut Direktur PT Zahir International, Muhamad Ismail Thalib, bukan berarti tidak ada kompetisi. Selain Zahir, saat ini, sudah ada sekitar lima perusahaan software lokal yang juga menyasar pangsa pasar UKM. Sementara, persaingan di luar segmen ini lebih ketat lagi. Ada sekitar ratusan perusahaan software lokal dan luar negeri bersaing merebutkan pasar.


Namun, Zahir kami menghadapinya dengan penuh optimistis. Muhamad yakin, berbagai terobosan dan inovasi baru software akuntansi unggulan dan menjangkau daya beli masyarakat mampu memenangkan persaingan pangsa pasar global. Guna memenangkan persaingan, Zahir juga tak lupa dengan meningkatkan pelayanan secara optimal dan memberikan after sales support secara gratis. “Kami juga menawarkan paket-paket menarik dan inovatif. Misalnya, yang pakai software sistem sewa baru kami,” ujar Muhammad.


Sejak awal, Zahir sengaja membidik pasar UKM. “Dari sisi pasar, UKM merupakan konsumen potensial,” tutur Muhamad. Segmen UKM yang dibidik produk Zahir tampaknya memang tepat. Menurut hitungan Muhamad, di Jakarta saja paling tidak ada sekitar 700 ribu UKM yang bisa dijadikan calon konsumen produk Zahir. Bila dikalkulasi, dia memperkirakan potensi pasarnya bisa mencapai Rp 35 miliar. Terlebih lagi jika pengembangan softwarenya disesuaikan dengan selera lokal, maka produk tersebut bakal makin kompetitif.


Di samping potensi pasar, lanjutnya, mereka sangat membutuhkan software pengelolaan keuangan untuk memajukan bisnis mereka, termasuk berhubungan dengan bank. Selama ini, salah satu kendala utama UKM adalah tidak ada pembukuan yang baik. Software akuntansi keluaran Zahir ini ditujukan untuk membantu pengusaha UKM mengambil keputusan.


“Bukan sekadar bicara akuntansi atau pembukuan. Zahir Accounting akan
sangat membantu pengusaha mengambil keputusan bisnis ,” kata Muhamad.
Untuk itu, Zahir mengemas produknya dengan sistem paket yang menarik dan harga terjangkau. Hasilnya, para pengusaha UKM sudah mulai memercayai produk Zahir. Mereka juga sudah merasakan manfaatnya, terutama dalam berurusan dengan bank, sehingga tidak ragu memberikan referensi produk Zahir kepada pengusaha UKM lainnya.

Melangkah Maju dengan GCG

Penerapan Good Corporate Governance menjadi tuntutan sebagai perusahaan modern. Kendati demikian, dunia usaha belum merespon secara positif mengenai prinsip tata kelola perusahaan yang baik ini. Benarkah mempraktikkan tata kelola perusahaan yang baik menjadi dilema?


Belakangan ini, jangan coba-coba Anda memberanikan diri untuk main suap, main belakang, patgulipat, atau berbagai praktik tak senonoh lainnya di dunia usaha. Harap maklum, khususnya bagi perusahaan yang telah menerapkan good corporate governance atau GCG, motif atau praktik seperti itu senantiasa diharamkan dalam mengembangkan bisnis. “Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan,” kata Tanri Abeng, Komisaris Utama PT Telkom Tbk.


Memang demikianlah GCG memandu dunia usaha menerapkan praktik bisnis yang sehat. Bagi perusahaan yang secara konsisten menerapkan GCG, kecenderungan perilaku yang di jaman dulu lazim dilakukan kini menjadi terasa aneh. “Hal tersebut karena kita harus melaksanakan prinsip-prinsip utama GCG, semua pedoman perilaku, serta sistem keuangan operasi yang terpadu, seperti yang tercantum dalam Pakta Integritas," kata Direktur Utama PT Bakrie Telecom Tbk. Anindya N. Bakrie.


Sejak September 2006 lalu, Bakrie Telecom memang mencatatkan diri sebagai perusahaan swasta pertama yang menandatangani Pakta Integritas dalam rangka penerapan tata kelola perusahaan yang baik. Pakta Integritas adalah pernyataan atau janji tentang komitmen untuk melaksanakan segala tugas, kewajiban, dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Bakrie Telecom melaksanakan tata kelola perusahaan yang bersih, transparan dan profesional, diawali dengan mencatatkan perusahaan di Bursa Efek Jakarta pada awal Februari 2006, dan membentuk komite audit sebagai implementasi pelaksanaan tata kelola tersebut. “Pencatatan di Bursa Efek dan Penandatangan Pakta Integritas menjadi satu upaya terpadu mewujudkan tekad kami membentuk dunia usaha yang etis berlandaskan prinsip bersih, transparan dan profesional,” katanya Anindya.


Dinamika usaha dewasa ini menuntut setiap pelaku bisnis untuk lebih peduli pada moralitas, di samping memiliki perhatian terhadap kondisi masyarakat maupun kondisi global termasuk etika berbisnis. Karena itu, Tanri Abeng menyebut GCG sebagai bagian dari sistem tata kelola secara umum. Jika sebuah badan usaha tidak memasukkan elemen ini, lanjutnya, manajemen dari badan usaha itu tidak punya fondasi yang solid, sebagai acuan untuk bergerak maju.


Lantas, siapakah pendorong sekaligus pelaksana utama penerapan GCG? Chairman Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) Mas Ahmad Daniri merinci tiga pilar utama yang menjadi penentu penerapan GCG, yaitu dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat. Menurutnya, dunia usaha sebagai pelaku bisnis, berkewajiban menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usahanya. “Untuk itu, dunia usaha harus yakin bahwa untuk mencapai kesinambungan usahanya, pelaksanaan bisnis harus didasari oleh etika,” katanya.


Penerapan etika bisnis, lanjutnya, tidak saja bermanfaat bagi perusahaan itu sendiri, tetapi juga dapat mewujudkan iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan. Etika bisnis merupakan landasan GCG, sehingga ketaatan dunia usaha terhadap etika bisnis sangatlah penting. Bisa saja dunia usaha menerapkan prinsip ini tanpa dukungan pihak lain. “Tapi akan banyak kesulitan yang dihadapi. Dunia usaha tetap memerlukan peran negara dan masyarakat agar pelaksanaan GCG menjadi kondusif,” katanya.


Dunia usaha, dalam hal ini termasuk pemilik maupun pemegang saham, menurut Tanri, seharusnya memiliki kepentingan yang besar dengan penerapan GCG ini. Namun, Meuthia Ganie-Rochman, sosiolog sekaligus peneliti yang memiliki perhatian serius terhadap perkembangan GCG, merinci, pemerintah, dunia usaha, perbankan, akademisi, hingga profesional lain seperti organisasi audit, akuntan, konsultan memiliki kontribusi besar terhadap berkembangnya GCG.


Situasi yang kondusif bagi berkembangnya GCG menciptakan dunia usaha berkembang. “Semua pun diuntungkan,” kata Tanri Penerapan GCG, menurut Daniri, juga mampu melindungi hak-hak pemegang saham minoritas terhadap kepentingan sepihak pemegang saham mayoritas. Wajarlah, lantaran semua kebijakan terkait dengan etika moral. Pendeknya, semua pengambilan keputusan manajemen akan berujung pada pertanggungjawaban di Rapat Umum Pemegang Saham. Alhasil, orientasi keputusan selalu bermuara ke kepentingan stakeholder.


Jika pun ada yang merugi, Meuthia menyebut, antara lain masyarakat karena resouces tidak dipergunakan untuk hal yang lebih produktif. “Menafikan GCG akan membuka peluang korupsi dan kerjasama antara politisi dengan dunia usaha, memperkuat ketimpangan karena yang kecil dan baik aksesnya berkurang ke permodalan,” katanya.


Persoalannya, kondisi riil dunia menunjukkan bahwa perkembangan GCG di Indonesia terkesan kurang bergaung. Bahkan di tingkat global, peristiwa kebangkrutan perusahaan raksasa di Amerika Serikat, baru-baru ini seperti antiklimak dari penerapan GCG yang mulai menarik simpati dan minat dunia usaha.


Berbagai kalangan, khususnya dunia usaha, tidak menyanggah begitu besarnya faedah implementasi GCG. Ironisnya, perusahaan yang merespon secara positif terhadap penerapan GCG juga tak seperti yang diharapkan. Boleh jadi, dunia usaha ini memiliki dilema tersendiri karena jika melakukan sesuatu yang benar dikhawatirkan keuntungan maupun laju bisnis malah menurun.


Hal ini sempat diakui Tanri. Implementasi GCG dinilai bagus, namun perusahaan merugi. Jika pun mereguk untung, tapi keuntungannya jauh lebih kecil daripada potensi yang dimiliki. “Ini bisa saja terjadi. This is business, Man. Dan bisnis ini dinamis. Bisa juga terlalu kaku, yang mengakibatkan mobilitas organisasi bisnis tidak sesuai,” katanya.


Jika merujuk pada peristiwa jatuhnya sejumlah imperium bisnis di Amerika, menurut Meuthia, ada hal yang lebih sistematis dan jauh lebih mendasar daripadai persoalan GCG. “Bisa saja dikatakan bahwa dari sudut GCG, bank tidak melakukan pertimbangan masuk akal antara pemberian kredit dengan kekuatan riel pasar dan konsumen,” katanya. Namun, ia melanjutkan, bank melakukan itu karena sistem dan kebijakan negara memperbolehkan sistem penjaminan berlapis lapis, sehingga kebijakan itu terlihat lebih rasional dan aman.


Berkembangnya pasar saham sedemikian rupa, menurut Meuthia, memungkinkan adanya tempat untuk menampung “artificial money” tadi. Sistem risiko yang diadopsi manajemen bank, lanjutnya, didasarkan pada asumsi yang salah tentang risiko. “Mereka menyempitkan risiko sebagai predictability yang didasarkan pada penjaminan berlapis-lapis tersebut,” tuturnya.


Berbeda dengan Meuthia, Tanri Abeng justru melihat fenomena keruntuhan bisnis tersebut dipicu oleh adanya penyimpangan dari GCG. Berarti ada pelanggaran yang terjadi di top level sampai ke bawah. Tanri melanjutkan, pada umumnya penyimpangan yang terjadi karena adanya dominasi dari orang-orang tertentu. Penjelasan ini juga berlaku sebagai jawaban atas kejadian-kejadian yang menimpa dunia usaha di Indonesia. “Bisa saja pemegang saham atau owner memiliki conflict of interest,” ujarnya.


Memang, untuk memastikan besaran dunia usaha yang sudah mengaplikasikan GCG, diperlukan riset lebih lanjut. Namun, Meuthia mengatakan, berbagai cara dapat dilakukan untuk mengukur sejauh mana implementasi prinsip-prinsip GCG bagi lembaga usaha. “Strukturnya ada dan menjadi dasar dari seluruh proses pengambilan keputusan dan aktivitas lembaga usaha tersebut,” katanya. Ukuran lainnya, lanjutnya, transparansi dan sistem akuntabilitas, pertimbangan yang hati-hati, serta memiliki framework tentang productive social justice.


Berbagai kendala maupun hambatan dalam penerapan prinsip GCG ini memang harus diterobos. Mengadopsi suatu model atau contoh yang dapat dipraktikkan juga mesti dipertimbangkan. Dalam hal ini, Meuthia memberikan pertimbangan pada konteks institusional hukum ekonomi dan institusi pasar (market) di mana suatu badan usaha beroperasi. Selain itu, costumer harus menjadi prioritas. “Misalnya, jika ingin melayani UKM, aspek interaksi timbal balik terhadap nasabah akan lebih penting,” katanya. Salah satu konsekuensinya, lebih banyak staf yang mampu memahami interaksi dengan bermacam-macam kelompok masyarakat dan meletakkannnya dalam kerangka akuntabilitas yang sesuai.


Lebih lanjut, Meuthia menambahkan, kesiapan organisasi yang meliputi kematangan organisasi, kestabilan internal, kesiapan sumber daya, kecakapan bagian-bagian dari organisasi tersebut juga patut dipertimbangkan. Dalam menerapkan aspek transparansi, misalnya, pun harus dipertimbangkan kondisi spesifik organisasi. “Sekarang ini banyak orang bicara tranparansi, namun sangat sedikit yang bisa memahami bagaimana menilai kondisi spesifik organisasi untuk menerapkan transparansi yang sesuai,” tuturnya.


Guna merangsang minat dunia usaha dan meningkatkan efektivitas penerapan GCG, Mas Ahmad Daniri mengingatkan bahwa kerjasama tiga pilar GCG yang meliputi penyelenggara negara, swasta, dan masyarakat mutlak diperlukan. “Tidak mungkin dunia usaha berupaya menerapkan GCG secara optimal tanpa dukungan dari penyelenggara negara dan masyarakat sendiri,” jelasnya.


Menurut Daniri, negara dan perangkatnya berperan menciptakan kerangka hukum yang dapat menunjang iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan. Untuk itu, lanjutnya, antarpenyelenggara negara perlu melakukan koordinasi secara efektif dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik dengan memprioritaskan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dunia usaha dan masyarakat.


Masyarakat sebagai pilar ketiga, katanya, mempunyai peranan untuk melakukan kontrol sosial dengan memberikan perhatian dan kepedulian terhadap kualitas pelayanan masyarakat yang dilakukan penyelenggara negara serta terhadap kegiatan dan produk atau jasa yang dihasilkan oleh dunia usaha. “Hal tersebut dapat dilakukan melalui penyampaian pendapat secara objektif dan bertanggung jawab,” katanya.


Kendati demikian, lanjut Daniri, dunia usaha tidak boleh menunggu kedua pilar lain berperan. “Apabila setiap perusahaan melaksanakan etika bisnis dan dapat mengembangkan diri menjadi “pulau integritas” maka dunia usaha akan menjadi “kumpulan pulau integritas”. Bila hal ini dapat terjadi maka dunia usaha juga akan berperan dalam memperbaiki good public governance,” katanya.


Dunia usaha, lanjutnya, harus bersikap dan berperilaku yang memperlihatkan kepatuhan dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan. “Dengan melaksanakan etika bisnis dan peraturan perundang-undangan, dunia usaha juga diharapkan dapat mencegah terjadinya kolusi, korupsi, dan nepotisme,” ujarnya, menambahkan. Betul.


***


Mencari Model untuk Indonesia


Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat dianggap mengadopsi model corporate governance yang berbeda-beda. Model apa yang cocok diterapkan di Indonesia?


Berawal dari ambruknya sejumlah perusahaan besar di Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu, penerapan good corporate governance seperti mendapat momentum kembali. Agar kasus serupa tidak terulang, pada 2002 pemerintah federal AS menerbitkan Sarbanes-Oxley Act (SOA) yang dimaksudkan untuk memperketat kontrol dan audit terhadap perusahaan. Ketentuan SOA, seperti dikutip dari situs BPKP Indonesia, merupakan perangkat perusahaan untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik dan transparan. Ketentuan mengenai aturan kontrol itu menggunakan framework yang disusun oleh Comitte of Sponsoring Treadway Organization Comission (COSO).


Di Indonesia, konsep good corporate governance pun menyeruak di kalangan usaha, terutama pada badan-badan usaha milik pemerintah. Isu korupsi yang menjadi tema negatif selama bertahun-tahun dikhawatirkan bisa mengganggu performa perusahaan-perusahaan negara yang telah go public. Konsep ini pun menjelma menjadi ajimat baru bagi kesehatan dan keberlangsungan perusahaan.


Lihat saja perkembangan Telkom belakangan ini. Menurut Direktur Utama PT. Telkom Indonesia Tbk, Rinaldi Firmansyah, Telkom masih eksis dikarenakan prinsip good corporate governance telah menjadi fondasi perusahaan. ”Itu seperti pembuluh darah,” katanya. Terbukti, di tengah kompetisi industri telekomunikasi yang begitu ketat, Telkom mampu bersaing karena menerapkan kesehatan, transparansi, dan akuntabilitas perusahaan.


Jika dikaitkan dengan struktur kepemilikan dalam perusahaan, menurut H. Sri Sulistyanto, Dosen Fakultas Ekonomi yang juga peneliti dari Universitas Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, penerapan prinsip good corporate governance selalu memunculkan paradoks. Teori menyatakan, untuk mengurangi masalah agensi adalah dengan “mekanisme pemegang saham besar” (large outside shareholder). ”Kenyataan yang terjadi di lapangan justru menunjukkan hal tersebut membuat akses dan kontrol pemegang saham mayoritas terhadap manajemen perusahaan menjadi tak terbatas, yang pada akhirnya hanya merugikan pemegang saham minoritasnya,” katanya.


Contoh lain yang dikemukakan Sulistyanto adalah mekanisme employ stock option program (ESOP) yang sebenarnya didesain agar terjadi kepemilikan manajerial (managerial ownership) dalam perusahaan. Kepemilihan manajerial, lanjutnya, secara konseptual diharapkan membuat terciptanya corporate of ownership. Dalam posisi ini, manajemen tidak lagi hanya sebagai bertindak pengelola perusahaan (agent), namun juga berperan sebagai pemilik perusahaan (principal). Peran ganda ini, kata Sulistyanto, diharapkan dapat membuat menajemen perusahaan mau bekerja lebih baik dan lebih keras karena perusahaan yang dipegangnya bukan lagi milik orang lain, namun juga miliknya sendiri.


Kenyataannya, ia menilai, konsep “mulai” ini ternyata justru dimanfaatkan manajer perusahaan untuk kepentingan pribadinya. Seperti dalam kasus Enron yang terjadi di AS, setelah menerima ESOP, perusahaan memang meningkat kinerjanya. Tapi peningkatan kinerja tersebut ternyata merupakan hasil rekayasa untuk mendongkrak harga pasar saham perusahaan tersebut. Kemudian pada saat harga saham mencapai puncaknya (windows of opportunity), manajemen Enron mengeksekusi saham opsinya.


Namun, Komisaris Utama PT Telkom Tbk. Tanri Abeng, memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, konsep good corporate governance menjadikan sistem sebagai panglima. Semua orang termasuk pemegang saham harus tunduk kepada sistem. ”Karena itu, yang paling berkepentingan dengan tata kelola yang baik itu harusnya datang dari pemegang saham. Sebab, Kalau konsep ini berjalan sempurna, maka pemegang saham tidur saja kan. Jadi, itu suatu yang otomatis,” katanya.


Selama ini, AS menerapkan model one board system dalam membangun tata kelola usahanya. ”Dalam one board system ini, direksi dan komisaris menjadi satu, karena memang mereka bertanggung jawab bersama untuk memformulasikan rencana strategis perusahaan,” katanya. Bahkan, lanjut Tanri, sinergi ini memungkinkan terjadinya share responsibility dan ownership sebagai acuan.


Kalau diinterpretasi secara sempit, Tanri menambahkan, governance mengatur fungsi komisaris dan direksi secara berbeda. “Tapi, kalau saya mengangkat pengertian yang lebih luas, adalah kristalisasi dari jiwa one board system yang berlaku di AS,” katanya. Karena itu, lanjutnya, tugas komisaris tidak hanya menyetujui atau mengawasi, tapi juga bersama direksi melakukan sinergi positif membangun suatu kebersamaan agar badan usaha itu tumbuh dan berkembang.


Sejauh ini, penerapan model corporate governance di berbagai belahan dunia, seperti AS, Jepang, dan Eropa Barat dianggap mengadopsi model yang berbeda-beda. Menurut Sulistyanto, hal ini disebabkan oleh perbedaan tipe pasar modal dan bisnis yang berkembang. Oleh karena itu, lanjutnya, praktik bisnis setempat (practice based approach) juga mesti dijadikan pertimbangan dalam mengadopsi sebuah model. ”Perbedaan budaya, sistem perekonomian, sistem politik dan pemerintahan, dan sebagainya memang membuat business culture Indonesia berbeda dengan negara lain,” tuturnya.


Namun, lanjutnya, Indonesia sejauh ini banyak mengadopsi model dari AS, termasuk perekonomian, bisnis, pasar modal, bahkan akuntansinya. ”Maka lebih tepat jika GCG yang dipakai di Indonesia juga mengadopsi model AS,” kata Sulistyanto, menambahkan. Kendati demikian, ia menegaskan, setiap negara tetap mempunyai keunikan sendiri, yang membuat satu negara berbeda dengan negara lain, baik budaya, sistem perekonomian, sistem politik dan pemerintahan, dan sebagainya.


Perkembangan budaya, sistem perekonomian, maupun sistem politik dan pemerintahan telah mempengaruhi corporate culture perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. ”Mengingat bahwa budaya, sistem perekonomian maupun dinamika bisnis, sistem politik dan pemerintahan antara Indonesia dan AS berbeda, maka bisa dimengerti jika corporate culture dunia usahanya juga berbeda,” ujarnya. Dampaknya, penerapan good corporate governance di Indonesia memerlukan kekhasan dan tidak mungkin sama dengan model yang diterapkan di negara lain.


***


WAWANCARA

TANRI ABENG:

“Sistem Adalah Panglima”


Salah satu persyaratan penting dalam mewujudkan perusahaan modern adalah penerapan good corporate governance atau tata kelola badan usaha yang baik. Inilah yang menjadi basis atau fondasi sebuah korporasi selain soal kepemimpinan. Bahkan, Tanri Abeng, Komisaris Utama PT Telkom Tbk. mengatakan, good corporate governance merupakan bagian dari total management system.


“Jadi, kalau sistem perusahaan tidak memasukkan elemen ini, maka manajemen badan usaha itu tidak punya fondasi yang solid, yang dijadikan suatu acuan aturan untuk kita bergerak,” kata mantan Menteri Negara BUMN di era Presiden BJ Habibie, yang juga meletakkan dasar-dasar penerapan good corporate governance saat menjabat. Menurutnya, good corporate governance mengatur banyak hal, mulai dari struktur organisasi, fungsi, dan peranan komisaris dan direksi, sehingga semua pihak bisa bersinergi dengan peran yang lain.


Tata kelola ini, lanjutnya, menjadi kunci sustainability atau kontinuitas sebuah perusahaan. Makanya, ia merupakan basis fondasi korporasi. “Ini penting, karena punya fondasi saja, belum ada jaminan 100% bisa menghilangkan potensi penyelewengan,” katanya, kepada Tim Inspire yang mewancarainya sambil makan siang di kantornya di Graha Citra Caraka, Jakarta. Berikut wawancaranya:


Apa yang menjadi critical point dalam penerapan good corporate governance?

Tata kelola ini diawali oleh struktur, leadership, dan system. That’s it. Oleh karena itu, manajemen dan leadership itu gampang kok. Kenapa mesti dibuat susah. Keinginan untuk menerapkan konsep ini harusnya datang dari pemegang saham, baik BUMN maupun swasta, karena dia yang paling berkepentingan. Kalau good corporate governance berjalan sempurna, maka pemegang saham tidur saja kan. Jadi, itu suatu yang otomatis.


Lalu, mengapa penerapan tata kelola ini tidak berjalan mulus?

Ada beberapa faktor. Pertama, pemegang saham memiliki conflict of interest. Bisa saja seorang menteri punya kepentingan yang berbeda, apa karena political motivated atau personal motivated. Begitu juga di swasta, bahkan dialami owner. Sesudah go public atau mendapatkan mitra yang lain, dia punya interest yang bergeser. Tidak 100% untuk usaha, tapi ada kepentingan lain. Bisa saja dia punya usaha sendiri yang berbisnis sama ini.


Jadi, ada kepentingan yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan orang, sehingga tidak secara otomatis mengikuti governance yang ada. Kedua, bisa juga karena lag of knowledge. Dia enggak ngerti. Sebagai komisaris, kita harus tahu persis apa yang menjadi tugas kita. Mana yang benar dan salah. Itu kan knowledge. Makanya, kalau di Amerika, pada umumnya eksekutif puncak itu punya pengetahuan hukum. Dengan legal, dia bisa melihat ini proper atau tidak.


Bagaimana implementasinya di BUMN sendiri?

Saya tak punya data ya. Saya mengatakan, good corporate governance terkait dengan stucturedo you have the right structure? Itu dulu. Kedua, setelah structure, apakah sistem untuk mengimplementasikan semua kegiatan dalam structure ini terbangun atau tidak? Kalau belum terbangun, bagaimana Anda bisa mengatakan bahwa telah berjalan dengan system atau tidak. dan sistem. Barangkali di BUMN ini, yang perlu dilakukan.


Jadi, kalau pertanyaannya, apakah kita sudah menerapkan atau tidak, ini yang harus Anda teliti. Anda lakukan penelitian, apa kriteria good corporate governance yang baik? Apakah sudah dilaksanakan atau tidak? Ini perlu dilakukan, karena tidak bisa kita katakan sudah jalan atau tidak. Kita jangan berandai-andai. Tapi, bagaimanapun juga, untuk bisa mengawali analisis, harus ada penelitian. Kalau tidak, kita bicara di angan-angan saja. Saya belum bisa komentar, kalau saya sendiri belum yakin.


Idealnya, penerapan good corporate governance ini tak harus menunggu krisis dulu bukan?

Ya. Kalau harus menunggu krisis, itu pola pikir transaksional. Anda harus berpikir seperti pemimpin transformasional. Saya bicara di mana-mana, termasuk di Korea. Saya katakan, bagaimana badan usaha masih bisa mempertahankan pertumbuhan dalam keadaan krisis. It’s difficult question, saya bicara di situ. Mungkin juga governance sudah bagus, orang sudah ikut, tapi gara-gara krisis semuanya berantakan. Tapi, apakah kita lalu menyalahkan konsep ini? Kita harus lihat, where we need to change.


Lalu, mengapa perusahaan besar dan menerapkan governance yang baik masih bisa terkena krisis?

Bisa juga karena ada penyimpangan atau pelanggaran. Kalau public company, pasti ada good corporate governance. Tapi, berarti ada penyimpangan yang terjadi di top level sampai ke bawah. Karena tidak mungkin tidak sistematis kalau tidak ada satu mekanisme yang dirancang untuk itu. Kembali di sini, integritas. Makanya, membangun profesionalisme mensyaratkan knowledge, skill, dan integritas. Dengan kejadian ini, sekarang prioritasnya harus dibalik, jadi integrity, knowledge, dan skill.


Apakah penjelasan serupa juga berlaku di Indonesia, misalnya dalam kasus Bank IFI maupun Bank Century?

Pada umumnya penyimpangan yang terjadi karena adanya dominasi dari orang-orang tertentu. Makanya, absolute power itu tidak baik. Karena itu, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perlu ada manajemen yang independen. Tatkala manajemen ada di bawah perintah pemilik, pada saat pemilik mempunyai agenda yang tidak sesuai dengan governance, maka hancurlah. Itulah yang terjadi pada banyak perusahaan. Kekuatan dan power dari orang-orang yang memiliki absolute power.


Benarkah dunia bisnis yang dinamis belum tentu cocok menerapkan good corporate governance?

This is business, Man! Dan bisnis ini dinamis. Bisa juga terlalu kaku, yang mengakibatkan mobilitas organisasi bisnis tidak sesuai. You bisa katakan governance bagus, tapi perusahaan rugi. Atau untung, tapi untungnya jauh lebih kecil dari potensi yang anda miliki. Jadi, bisnis ini memang tidak gampang. Dia gampang kalau pelakunya hanya monopoli. Telkom 10 tahun lalu bisa dikatakan masih monopoli. Bahkan tiga tahun lalu, masih tiga player. Sekarang apa tidak harus merubah paradigmanya, sikapnya, proses manajemennya. Jadi, business is so dynamic. Harus ada aturan, governance.


Dalam tata kelola usaha yang baik, benarkah sistem menjadi panglima?

Saya jadi CEO sudah 30 tahun. Sebagai pimpinan puncak, saya punya kekuasaan yang tak terbatas. Tapi tatkala ada seorang yang ingin masuk melalui keadaan yang tidak governance, saya katakan, yang kuasa bukan Tanri Abeng, tapi aturan dan sistem. Jadi, kalau Kau tak ikut aturan dan sistem, Kau tak bisa masuk ke organisasi saya. Kau tak bisa memperoleh dispensasi atau kemudahan kalau tidak mengikuti sistem.


Itu yang juga saya lakukan di Grup Bakrie. Bayangkan, ini perusahaan keluarga. Saya katakan pada Aburizal Bakrie, yang kuasa sistem ya. Anda tak bisa tanda tangani cek walaupun ini perusahaan Kau. Dan tidak bisa juga dia perintah saya terima orang begitu saja. Saya tak akan menerima tanpa melalui sistem dan prosedur. Bukan absolute Tanri Abeng, tapi sistem yang kuasa. Itu yang saya bawa. Alhamdulillah, saya dipercaya di mana-mana.



Bisnis Utang Piutang: Galing Lubang, Reguk Untung

Kredit macet. Indeks bursa anjlok. Kenaikan suku bunga. Inflasi. Rush.
Krisis global. Kata-kata ini menghiasi tajuk-tajuk utama media-media
massa maupun elektronik belakangan ini. Dampaknya, orang maupun perusahaan jatuh ke dalam utang. Lembaga pemberi utang pun menangguk untung.


Apa pemicu terjadinya krisis global ini? Kalau kita telisik lebih dalam, pailitnya beberapa lembaga keuangan internasional yang mengelola uang publik dalam jumlah sangat besar merupakan faktor utama penyebab krisis. Banyak orang di dunia pun panik. Lebih jauh lagi, penggerak utama kepanikan yang merontokkan lembaga-lembaga tersebut adalah utang-utang yang tidak terbayar alias macet.


Lembaga-lembaga keuangan internasional ini berstransaksi dengan mengandalkan kontrak-kontrak berbasis utang piutang. Mereka mengumpulkan dana dalam jumlah besar dengan cara berutang kepada publik/masyarakat lalu dana yang terkumpul sebagian besar dibisniskan dengan cara dipiutangkan ke pihak lain, bisa perusahaan bisnis, pemerintah, ataupun rumah tangga. Tujuan penggunaan piutang tersebut oleh pihak lain tadi boleh jadi untuk tujuan komersial/bisnis pula maupun untuk keperluan konsumtif. Tak jarang, sering pula untuk menutup utang lain yang sudah jatuh tempo.


Konsep bisnis seperti ini sudah sangat mendunia. Mayoritas transaksi komersial dilakukan dengan kontrak utang piutang. Orang melakukannya, mulai dari transaksi-transaksi besar yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau pemerintah hingga belanja kebutuhan sehari-hari rumah tangga, dengan melibatkan utang dari lembaga keuangan komersial. Sering kali kita melihat begitu gencarnya lembaga-lembaga keuangan komersial mempromosikan berbagai macam produk transaksi keuangan baik berupa penyimpanan dana di lembaga tersebut maupun fasilitas-fasilitas kredit.


Buy now, pay later. Begitulah konsep yang berkembang dan menggoda hasrat masyarakat untuk membelanjakan uangnya. Tidak heran kalau banyak rumah tangga perkotaan yang anggaran belanjanya dihiasi dengan pengeluaran berbagai cicilan kredit, seperti cicilan KPR, kredit mobil/motor, kredit beli gadget/HP, cicilan kartu kredit atau kartu belanja, plus cicilan arisan.


Memang, di sisi funding (pembiayaan), bank menawarkan berbagai produk yang beragam bagi nasabah. Produk ditawarkan mulai dari kredit untuk kegiatan konsumtif hingga kredit yang ditujukan bagi kegiatan produktif. Bahkan untuk meng-cover kebutuhan nasabah secara perorangan maupun kelembagaan, beberapa kredit bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan, baik konsumtif maupun produktif.


Bagi pebisnis yang tak memiliki cukup dana sendiri untuk memulai atau mengembangkan usaha sudah pasti mencari sumber pendanaan, dari bank salah satunya. Pilihan pertama tentunya bagi bank yang menyediakan kredit khusus bagi usaha produktif skala kecil dan menengah (UKM). Berbagai bank memiliki produk tersebut dengan berbagai nama, namun pada intinya sama. Sebut saja Bank Negara Indonesia (BNI) dengan produk Kredit Wirausaha. Adapula Bank Mandiri dengan kredit bagi usaha mikro dan kredit bagi usaha kecil. Bahkan ada bank yang memberikan kredit khusus bagi peluang bisnis tertentu, seperti waralaba dan sebagainya.


Selain itu, pebisnis juga memiliki pilihan jenis pembiayaan lain, seperti kredit multiguna. Sesuai namanya, bank menawarkan kredit multiguna ini untuk dimanfaatkan oleh nasabah sesuai kepentingannya. Tak terkecuali jika nasabah ingin menggunakannya untuk keperluan bisnis. Fasilitas serupa juga bisa didapatkan melalui produk Kredit Tanpa Agunan (KTA). Bahkan produk ini akan lebih menolong bagi pebisnis yang tidak memiliki atau tidak mau memberikan agunan bagi kredit.


Melihat berbagai manfaat dan peluang kredit atau pinjaman yang ditawarkan lembaga keuangan, tak mengherankan jika kredit perbankan pada 2008 lalu tumbuh 30 persen, lebih pesat dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 22 persen karena pertumbuhan pasar kredit semakin baik, makin turunnya tingkat suku bunga bank, apalagi sektor riil mulai bergerak.


Pada 2009, Bank Indonesia (BI) memperkirakan bahwa pertumbuhan kredit mencapai rata-rata 15,6 persen untuk masing-masing bank. Sebelumnya BI memprediksi pertumbuhan kredit 2009 akan mencapai 18 persen hingga 20 persen. Data itu diambil dari laporan perbankan kepada BI. “Seluruh bank sudah menyampaikan rencana kerja, pertumbuhan kredit angkanya hampir mendekati 16 persen,” kata Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad, beberapa waktu lalu. Menurutnya, kredit tertinggi berasal dari kredit usaha mikro, kecil dan menengah yaitu rata-rata 20 persen. Ini memberikan harapan bagi UMKM sebagai penyangga perekonomian.


Di sisi lain, tren penggunaan kartu kredit di kalangan masyarakat terus meningkat dari waktu ke waktu. Dari data Statistik Perbankan Indonesia pada Januari lalu, sebagaimana dikutip dari situs BI, total kredit yang ditarik lewat aksi gesek menggesek ini tercatat Rp 59,902 triliun. Sementara pada Desember 2008, jumlahnya Rp 59,403 triliun.


Penarikan kredit terbesar, pada bulan itu, terjadi di bank umum sebesar Rp 29,937 triliun. Angka ini relatif lebih tinggi jika dibandingkan sebulan sebelumnya Rp 29,701 triliun. Sementara peringkat kedua adalah bank asing sebesar Rp 13,297 triliun, naik dari posisi sebelumnya Rp 13,287 triliun. Selanjutnya adalah penarikan dari bank umum swasta nasional devisa sebesar Rp 9,203 triliun, turun dari posisi sebelumnya Rp 9,501 triliun.


Tren ini disusul penarikan utang dari bank-bank persero yang mencapai Rp 5,131 triliun, naik dibandingkan posisi akhir tahun 2008 sebesar Rp 4,652 triliun. Sedangkan dari bank campuran dana yang ditarik tercatat Rp 2,304 triliun dari Rp 2,259 triliun dan bank pembangunan daerah dengan jumlah yang stagnan sebesar Rp 3 miliar.


Ironisnya, kendati pertumbuhan kredit menunjukkan angka kenaikan, kredit macet dan permodalan bank menjadi problem utama tahun ini. Bank Indonesia melihat risiko di dunia usaha tahun ini cenderung meningkat. Kondisi ini tercermin dari naiknya kredit bermasalah (non performing loan/NPL), termasuk kredit-kredit macet. Sepanjang Januari 2009, dari data kredit bank umum berdasarkan hubungan dengan bank yang dikutip dari Data Statistik Perbankan Indonesia, jumlah kredit kepada pihak tidak terkait turun dari Rp 1.298,1 triliun menjadi Rp 1.280,5 triliun.


Sebulan berikutnya, tingkat kredit macet (NPL) tercatat naik 0,1 persen menjadi 4,3 persen (gross). Kenaikan kredit macet lebih dikarenakan kondisi perekonomian. “Hampir semua sektor naik karena ini lebih banyak masalah ekonomi daripada sektoral,” ujar Direktur Penelitian dan Perbankan BI, Wimboh Santoso, beberapa waktu lalu. Tak seperti kinerja perbankan, lanjutnya, kredit macet tak mengenal siklus.


Namun, tingkatnya relatif lebih rendah di akhir tahun seiring penghapusan kredit macet oleh perbankan. Wimboh menilai kondisi ini masih aman. “Masih oke, belum berbahaya,” ujarnya. Tapi dia berharap tingkat kredit macet pada Maret lalu dapat turun. Dia mengaku beberapa bank telah meminta restrukturisasi dini terhadap kredit macetnya yang belum masuk kategori macet itu. Namun, Wimboh tak memerinci jumlah perbankan yang telah mengajukan permohonan restrukturisasi. “Tidak ada masalah, silakan saja,” ucapnya.


Yang menarik, selain menjadi media penarikan kredit yang tinggi, transaksi yang dilakukan melalui kartu kredit juga memiliki kredit bermasalah tertinggi. Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad mengemukakan bahwa angka kredit bermasalah (NPL) kartu kredit masih menjadi penyumbang terbesar angka total NPL industri perbankan nasional, yaitu mencapai 10,92 persen. “Sepanjang 2008, rasio NPL gross industri mengalami penurunan 0,96 persen menjadi 6,1 persen,” kata Muliaman, beberapa waktu lalu.


Dia menjelaskan bahwa saat ini memang terjadi tren kenaikan NPL di hampir seluruh sektor industri termasuk industri manufaktur dan pertambangan akibat pengaruh krisis keuangan global. Namun, untuk sektor properti, NPL gross justru turun 0,6 persen menjadi 3 persen seiring megngeliatnya ekonomi dari industri properti.

Mengingat tren kenaikan NPL ini, Direktur Utama Risk Management Center Indonesia (RMCI), Widigdo Sukarman, mengatakan, manajemen risiko dalam perbankan nasional sebaiknya dilaksanakan karena Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi yang cukup dahsyat di 1997. “BI akan menerapkan manajemen risiko guna memenuhi syarat Basel II pada 2010 mendatang, namun sebaiknya penerapan ini segera dilakukan karena kita pernah mengalami krisis pada 1997,” kata Widigdo, beberapa waktu lalu.


Menurut dia, manajemen risiko di bisnis perbankan mutlak adanya, terutama perlu sumber daya manusia (SDM) yang handal guna mengelola bank untuk mencapai target-target yang direncanakan dan menghadapi risiko yang dihadapinya. Dia juga mengungkapkan bahwa arah penerapan manajemen risiko di lingkungan perbankan masih menjadi satu kendala bagi praktisi perbankan.

Melihat realitas ini, RMCI, yang merupakan yayasan nirlaba yang dibentuk BI, akan selalu mensosialisasikan manajemen risiko dan penerapannya di industri perbankan dan terus berupaya mendorong praktisi perbankan dalam mengatasi berbagai kendala yang dihadapinya. Berbagai kendala dan paparan solusi manajemen risiko di industri perbankan secara komprehensip dan tahap demi tahap juga disebarluaskan. Mulai dari pendekatan perhitungan, pelaksanaan, kebijakan, SOP (standard operation prosedure), metode modelling, pengelolaan data, hingga persiapan sistem informasi.


Di lain pihak, sebaiknya pemilik utang baik perorangan maupun kelembagaan juga perlu memperhitungkan untung rugi sebelum memutuskan untuk meminjam uang lewat produk pilihan di antara berbagai produk tawaran bank. Semakin mudah urusan kredit tanpa disertai jaminan misalnya, biasanya bank akan mematok suku bunga lebih tinggi. Begitu juga semakin panjang masa kredit, maka orang akan membayar bunga semakin besar. Pastikan bahwa produk yang dipilih memang solusi terbaik bagi perkembangan keperluan bisnis maupun kebutuhan Anda.