Kamis, Agustus 06, 2009

Glen Glenardi, Bankir Sahabat Petani

Tak banyak pelaku perbankan yang memiliki perhatian besar dan menyeluruh terhadap persoalan petani dan pertanian di Indonesia. Jika pun ada, itu pun tak seberapa. Namun, jika Anda ingin tahu sosok bankir yang concern kepada petani, maka salah satu figur yang pantas kita sebut adalah Glen Glenardi. Direktur Utama Bank Bukopin ini meneguhkan komitmennya untuk memprioritaskan pelaku usaha kecil dan menengah, salah satunya petani, sebagai panglima.


Petani, menurut pria kelahiran Cirebon, 30 Oktober 1960, ini merupakan andalan bangsa untuk mendukung kemajuan negeri. Karena itu, lanjutnya Bank Bukopin siap memandu petani agar mereka bisa hidup layak, sejahtera, dan jauh dari kemiskinan berkepanjangan. “Petani harus diberdayakan, kami siap memberikan kredit pada mereka. Bank Bukopin tidak akan mempersulit, walaupun tetap melalui mekanisme yang mudah dipahami oleh petani," kata alumni Magister Manajemen IPB ini.


Lebih lanjut, Glen, panggilan akrabnya, mengatakan senantiasa memprioritaskan penyaluran kreditnya kepada para petani di tanah air. Bank Bukopin juga secara konsisten tekun bergerak di sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Meski demikian, ia tetap mengingatkan kepada jajarannya agar selalu bekerja dalam prinsip kehati-hatian. ”Kehati-hatian memang menjadi perhatian saya dalam menjalankan bisnis di Bank Bukopin,” paparnya kepada Qusyaini Hasan, Tri Aji, dan Sulistyo M. Nugroho dari majalah PADI, di kantornya di daerah Pancoran, Jakarta Selatan.


Prinsip kehati-hatiannya inilah yang mengantarkan Bank Bukopin mengalami pertumbuhan cukup pesat dari waktu ke waktu. Sampai kuartal ketiga tahun ini, aset unaudit Bank Bukopin tumbuh menjadi Rp 34 triliun. ”Itu hasil kerja keras seluruh awak Bukopin,” ujar ayah tiga anak ini, merendah. Berikut petikan wawancara selengkapnya:


***

Apa visi dan misi dalam memajukan Bank Bukopin?

Bank bukopin berdiri tahun 1970, para pendirinya adalah gerakan koperasi. Karena pendirinya koperasi, misinya adalah mengembangkan usaha koperasi dan usaha kecil menjadi maju. Koperasi itu bagian dari usaha kecil, yang di dalamnya ada unsur petani, pedagang, industri, dan sebagainya. Setelah saya pimpin, saya hanya mempertegas visi dan misi yang sudah ada, yang diwariskan para pendiri kepada kami.


Kebijakan atau program apa yang menjadi skala prioritasnya?

Pada dasarnya ada tiga sector dalam sisi kredit, korporasi, UKM, dan konsumer. Saya hanya mempertajam lagi bahwa UKM dan koperasi adalah panglima terdepan. Oleh karena itu, saya menegaskan bahwa cabang tidak boleh menggarap korporasi, tapi hanya UKM dan koperasi. Saya tekan itu, biarpun ada korporasi, biar ditangani oleh pusat. Itulah yang saya pertajam bisnis yang sudah ada sebelumnya. Itulah bentuk keberpihakan Bank Bukopin.


Bagaimana perkembangan kinerja Bank Bukopin sejauh ini?

Kinerja kami cukup baik. Secara rasio keuangan, alhamdulillah dalam konteks baik. Sampai saat ini kita masuk dalam 15 besar, ada di tengah. Bukan di atas. Sekarang bank banyak yang merger, dan kebanyakan asing. Terutama bank asing yang banyak masuk sekarang. Jadi, yang tadinya 10 besar, tergeser.


Bagaimana dengan system kompetisinya?

Dengan masuknya bank asing, posisi kita berpengaruh, meskipun kompetisinya tetap bagus. Insya Allah kita tetap bisa berkompetisi. Perlu diketahui, bahwa saat ini hampir sebagian besar bank di Indonesia dikuasai asing. Bank kecil juga sudah jadi bank asing. Paling yang masih punya local, bank agro dan bank kesejahteraan.


Anda seperti dikeroyok?

Memang seperti dikeroyok. Yang menengah tinggal Bank Bukopin. Kalau Bank Bukopin, kan bukan bank pemerintah. Hanya tinggal Bank Bukopin, di luar bank BUMN tentunya. Jadi, Bank Bukopin seperti the last mohicant, yang masih milik kita, tanpa asing. Saya bersaing dengan bank asing.


Tapi, Anda bisa pastikan bank ini tetap tumbuh?

Kita tumbuh terus, walaupun ada krisis. Memang laba tidak tumbuh. Karena situasi, bisnisnya di tahun 2008 bahkan turun dibandingkan dengan tahun 2007. Pada umumnya bank tidak tumbuh dengan baik dari sisi finansialnya. Tapi, Bank Bukopin tetap eksis. Aset kami Rp 32,7 triliun yang unaudit. Kuartal tiga, aset Rp 34 triliun yang unaudit.


Apa strategi yang dilakukan sehingga bank ini tetap sehat dan stabil?

Adapun strategi, harus ada yang namanya fokus dalam sebuah bisnis. Bank bisnisnya tiga, yaitu komersil, korporasi, dan konsumer. Bank asing itu rata-rata mainnya di korporasi dan konsumer. Tinggal dibalik, mana yang jadi panglimanya. Ada yang konsumer, ada pula yang korporasi. Bank Bukopin juga sama, menempatkan UKM sebagai basis. Baik pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Di tengahnya baru komersil dan konsumer. Jadi tiga segmen. Dengan pola seperti itu, cabang maupun unit bisnis menjadi fokus menangani UKM, karena korporasi hanya ditangani pusat. Dalam segmentasinya kita tetapkan seperti itu.


Soal masa distribusi, bagaimana?

Strategi berikutnya adalah masa distribusi. Kita batasi, karena yang namanya kantor cabang untuk UKM, maka titik-titik cabang itu harus banyak. Harus dikembangkan, dan membuka kantor yang lebih dekat ke pelayanan. Kemudian, yang namanya UKM, kita menggarap dari titik mikro sampai menengah. Saya mengabarkan UKM seperti kurva x, paling bawah orang yang baru memulai usaha, capacity building atau community development. Itu tak bisa kita touch. Tapi, kita berafiliasi dengan World Bank dengan menaruh dana di kelurahan.


Bagaimana dengan produk Swamitra?

Soal program simpan pinjam, saat ini kita sudah membina hampir 620 koperasi simpan pinjam. Omzetnya sudah hampir Rp 1 triliun. Itu tersebar, mulai dari nelayan, pertanian, pasar. Kita berikan teknologi, training, system, dan prosedur. Kita mengasistensi petugas kami yang sehari-hari duduk di situ. Kita membantu manakala membutuhkan kredit, kita bantu. Kita monitor. Visible, belum bankable. Manakala dia sudah visible dan bankable, dia bias lari ke Bank Bukopin. Jadi, strategi kami, kurva x itulah yang harus kita satukan. Di mana World Bank punya binaan, maka disitu ada yang namanya Swamitra.


Kalau Swamitra ada dan banyak. Saya tak menamakan Swamitra sebagai program, tapi sebuah produk. Program itu lebih cenderung dipakai pemerintah. Bank Bukopin juga ada dan berpartisipasi. Bahkan, kami berpartner dengan pemerintah dan menyalurkan kredit ketahanan pangan hingga usaha rakyat. Jadi komplet. Kita satu-satunya bank swasta nasional yang paling banyak dipakai dan dilibatkan oleh pemerintah dalam berbagai program. Pemberian kredit juga bagian dari produk.


Apa pola atau sistem yang Anda terapkan dalam penyaluran kredit?

Saya kira, sama dengan bank-bank lain. Penetapan bunga juga sama saja. Orang jualan sama di mana-mana. Yang beda, pola penyalurannya, bahwa kami melayani yang visible, tapi belum bankable, tidak secara langsung. Cuma, kelebihan kami, kami ada sistem yang untuk pengusaha kecil, visible tapi belum bankable. Bank lain mana ada? Justru tak peduli. Bayangkan saya membangun 620 koperasi simpan pinjam, mana bank yang paling banyak membina.


Tapi, kalau program, karena datang dari pemerintah, pasti ada perbedaan. Contohnya Kredit Usaha Rakyat (KUR), bunganya 16% paling tinggi. Bank lain ada yang lebih tinggi. Ketahanan pangan dan padi 9%. Apakah disebut sebagai perbedaan? Silakan saja. Bank Bukopin salah satu bank yang menyalurkan kredit program.


Sektor apa yang menjadi skala prioritas penyaluran kredit?

UKM dan koperasi. Sektor ini menjadi panglima di Bank Bukopin sampai sekarang.


***

Kegigihan seorang account officer itu terbayar sudah. Bergabung dengan Bank Bukopin sejak tahun 1986, karier Glen Glenardi terus meroket tanpa aral berarti. Setelah sempat menjabat kepala bagian kredit pada 1989, ia dipercaya memimpin cabang Cirebon. Bekas tenaga pemasar di perusahaan periklanan dan properti ini naik jabatan sebagai kepala urusan koperasi pada 1992. Jabatan group head pun disandangnya sejak 1995 hingga 1999, ketika kemudian ia diberi amanat untuk menduduki kursi direktur usaha kecil dan koperasi.


Hingga, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Mei 2005 memilihnya sebagai Direktur Utama Bank Bukopin menggantikan posisi mantan Direktur Utama Bank Bukopin, Sofyan Basir, yang menjabat Direktur Utama PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BRI). Ia mengaku tak pernah membayangkan menjadi orang nomor satu di perusahaan. Kiat khusus untuk mencapai karier cemerlang pun tak ada. Hanya nasihat orang tua yang menjadi bekal. “Saya ingat omongan orang tua saja. Kalau kita tekun dan kerja keras, kita akan muncul,” tuturnya.

Di bawah kepemimpinannya, Bank Bukopin terus berkiprah sesuai garis kebijakan para pendirinya. “Bank Bukopin memiliki misi untuk memberikan layanan yang terbaik bagi nasabah, berperan dalam pengembangan koperasi dan usaha kecil serta meningkatkan nilai tambah investasi pemegang saham dan kesejahteraan karyawan,” kata pria yang sempat bercita-cita jadi musisi ini, penuh keyakinan.

Sebagai seorang bankir, Glen dikenal reli­gius. Ia menjalani pekerjaannya sebagai sebuah ibadah. “Hidup itu kan ibadah. Tentu kita harus menjalankan pekerjaan kita dengan baik. Kalau sebagai bankir, ya kita tekuni profesi itu dengan baik,” ujarnya. Mensyukuri anugerah Tuhan, Glen pun berusaha mengembangkan bakatnya dengan menyanyi dan bermain musik di sela-sela kesibukannya. Sebab, katanya, “Keindahan itu bisa menyeimbangkan otak.”


Sifatnya yang lain adalah kehati-hatian dalam bicara Tapi, sikap itulah yang menjadi strategi banknya berkelit dalam kondisi ekonomi makro yang belum mengun­tungkan. Menurutnya, kehati-hatian sangat penting dalam memberi kredit. Sebab, kata suami Suri Gadih Ranti ini, “Dalam satu keranjang buah yang baik belum tentu semua baik. Dan, da­lam satu keranjang buah yang busuk belum tentu semua busuk. Jadi, pandai-pandai­lah memilih buah yang tidak busuk.”


***


Seperti apa gambaran umum kebijakan Anda di bidang pemberdayaan petani dan pertanian?

Tadi saya sampaikan, kalau bicara UKM dan koperasi, bisa pertanian, industri, atau perdagangan. Dari tiga komponen ini, sesungguhnya yang paling besar di pertanian dan perdagangan. Di pertanian, ada kredit ketahanan pangan. Ada kredit Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Sawit juga ada. Kalau bank swasta, masih ada di sawit, tanaman keras dan gampang. Tapi coba lihat singkong, mana ada. Kita alhamdulillah masih ada. Kredit singkong, pertanian, padi, jagung, tebu, kita ada.


Program pembiayaan pertanian juga masih ada?

Masih. Ini salah satu andalan kita. Bank lain, belum tentu ada. Kecuali bank pemerintah. Bank swasta mana? Geleng-geleng kepala mereka. Padahal bank itu makan juga kan. Oleh karena itu, kita adalah salah satu bank yang menyalurkan program pemerintah.


Berapa besaran dana yang dikucurkan untuk kredit ini?

Dana menjadi relatif. Orang kalau ngomong korporasi, bangun mall satu orang, itu bisa besar. Kalau petani, satu hektar berapa sih? Modal kerjanya cuma Rp 2,5 juta. Jadi, kalau saya ngomong dari aset kita yang Rp 34 triliun, nggak mungkin buat petani semua. Ha-ha-ha. Karena modal yang dibutuhkan petani kecil.


Tapi, kalau rata-rata kita explosure Bank Bukopin, konteks perdagangan maupun pertaniannya cukup besar juga. Kalau ngomong sebuah value produk, itu yang paling besar di perdagangan. Bikin padi, sehektar cuma Rp 2 juta, dengan jumlah produksi 4-5 ton. Per kilonya seharga Rp 2 ribu, jadi Rp 20 juta. Itu diperdagangkan lagi, sehingga lebih besar.


Untuk off farm dan on farm, bagaimana?

Kita kalau ngomong sektor pertanian, jangan bicara sekadar nanam. Harus off farm dan on farm-nya juga. Kalau bicara padi, mungkin sudah ratusan juta untuk on farm-nya. Tapi, manakala sudah jadi perdagangan beras, sudah jadi triliunan. Terbayang nggak. Saya ikut di tebu rakyat paling Rp 500 miliar. Karena per hektar cuma Rp 2,5 juta. Tapi, manakala sudah menjadi gula, omzetnya bisa mencapai Rp 2 triliun. Jadi, ini yang harus kita lihat. Kalau ditanya, berapa besarnya, ya besar. Kalau kita ngomong dalam konteks off farm dan on farm.


Jumlah dana dari tahun ke tahun, seberapa signifikan kenaikannya?

Rata-rata tahun kemarin cukup baik. Portofolio kita 40-60% itu untuk UKM, dari value change tadi. Komersil sekitar 20-30%, konsumer 10-20%. Kita jaga komposisi ini.


Program lain yang dampaknya signifikan dalam memberdayakan petani?

Kami membiayai kredit ketahanan pangan. Ada yang buat singkong, jagung, tebu, sawit. Kita main di situ. Dalam konteks pertanian, saya mendirikan lembaga Swamitra. Itu bayangkan, ide itu sederhana, untuk mereka yang visible, tapi tidak bankable. Karena, petani susah datang ke bank. Nah, mereka kita kumpulkan, ikut koperasi simpan pinjam.


Tapi, bukankah program ini juga menganut sistem bunga yang cukup memberatkan petani?

Bila berdiri, kita masuk ke situ sebagai asistensi. Kita mentraining, memberikan sistem, prosedur, teknologi, kepada lembaga ini. Ini disalurkan lagi kepada para petani. Memang kelihatannya bunganya tinggi. Tapi, namanya koperasi, begitu untung, kembali lagi ke anggota. Itulah yang kita lakukan, dengan maksimal pinjaman bisa mencapai Rp 50 juta.


Rencana dan target tahun ini?

Tahun ini, hampir semua sektor berkembang hati-hati. Memang semua lagi ada problem. Sehingga tidak terlalu banyak mematok target. Paling tidak pertumbuhan 10%-15% itu sudah bagus. Tapi, optimis, omzet kita tumbuh terus. Justru manakala krisis ini, kita harus optimis. Kembali berbuat sesuatu dengan tingkat keyakinan yang tinggi, dan staf yang valid. Yakin saja.


Sebagai bankir yang dikenal sebagai sahabat petani, apakah Anda akan meneruskan kebijakan ini?

Bisa dikatakan dari sisi kebijakan akan terus, karena Bank Bukopin merupakan bank swasta yang menyelenggarakan event-event pembinaan pada petani. Bank Bukopin dekat dengan petani, jadi saya dibawa-bawa. Alhamdulillah, kan lebih jadi sahabat daripada musuh. Petani itu unik, lucu, dan susah dipegang. Membiayai petani itu jangan dikira untung. Mereka kadang kreditnya jalan, tapi waktu pengembalian nggak mau.


Ada jaminan misi ini tetap jalan, siapapun pemimpin nasional nanti yang terpilih?

Insya Allah. Bahkan saya sudah melangkah terus. Saya lagi diskusi dan mencoba untuk membuat sebuah row model yang lebih applicable lagi. Saya ajak profesional, sebagai petugas penyuluh lapangan (PPL). Saya rekrut insinyur pertanian, saya ajarkan bisnis. Saya ajak tokoh masyarakat juga, saya biayai. Saya sudah coba. Tahun ini berjalanan hampir 20 hektar, di Jawa Barat. Row model seperti ini yang akan dikembangkan. Kalau sukses, saya masuk ke sana, saya biayai lagi. Mudah-mudahan tahun ini sukses.

Urgensi Revitalisasi Penggilingan Padi

Unggul dalam kuantitas, tapi tak berdaya dalam hal kualitas. Begitulah gambaran Penggilingan Padi di Indonesia. Formula yang digunakan pun berpengaruh terhadap produktivitas perberasan setiap tahun. Inilah urgensi revitalisasi digalakkan.

Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap beras, tergolong cukup tinggi sampai saat ini. Secara nasional, jumlah konsumsi setiap orangnya mencapai 139 kilogram setiap tahunnya atau sama dengan tingkat konsumsi di Jepang pada 1942. Dengan demikian, untuk mencukupi kebutuhan beras tingkat nasional, dibutuhkan setidaknya 33 juta ton per tahun.


Guna memenuhi pasokan beras, pemerintah menggenjot produksi padi maupun gabah. Namun, memfokuskan diri pada produksi panen ternyata tidak cukup. Pemerintah juga dituntut untuk mengatur soal kegiatan maupun kualitas formula penggilingan padi (PP) yang beredar di masyarakat. Karenanya, dibutuhkan sebuah kebijakan yang menyeluruh seputar panen dan pasca panen agar produktivitas perberasan nasional terus meningkat.


Gagasan soal peningkatan formula PP tidaklah mengada-ada. Menurut Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (PERPAD), M. Nur Gaybita, setiap tahunnya beras yang terhilang atau terbuang akibat tercampur sekam saat proses penggilingan padi mencapai sekitar 3 persen dari 58 juta ton beras.


Akibat rendahnya kinerja mesin, lanjutnya, setidaknya 1,2 juta ton beras dimungkinkan lenyap selama proses penggilingan dan berkumpul dalam bentuk sekam. ”Kalau dihitung, nilai beras yang terbuang saat proses penggilingan ini mencapai sekitar Rp 6 triliun per tahun. Ini sungguh memprihatinkan,” katanya.


Menurut data yang dimiliki PERPADI, jumlah PP di Indonesia saat ini mencapai 108.000 unit. Sekitar 80.000 unit merupakan Penggilingan Padi Kecil (PPK). PPK ini umumnya memiliki konfigurasi mesin yang kurang memenuhi standar. Sistem kerjanya one pass (70%), terlebih lagi saat ini berkembang penggilingan mobile dengan sistem kerja one pass. Rendemen pun tergolong rendah (60%), dan tingkat broken-nya cukup tinggi (di atas 30%)


Sebagian besar PP, tepatnya sekitar 90.000 unit tidak mempunyai dryer sehingga sekitar 35 juta ton gabah tidak dapat dikeringkan dengan baik. Dampak yang lebih buruk, harga gabahnya turun Rp 200 per kilogram, sehingga menyebabkan kerugian Rp 7 triliun per tahun. ”Belum lagi banyak pengelola PP yang kurang memperhatikan sistem formula di pabrik PP, sehingga banyak beras terbuang karena bercampur sekam,” tuturnya, menambahkan.


Untuk itu, ia menghimbau seluruh pengelola PP untuk meningkatkan standar mutu PP guna meningkatkan kualitas produksi beras. ”Mesin pengolahan penggilingan gabah memiliki peranan penting dalam tercapainya perbaikan kualitas dan peningkatan produktivitas beras di masa mendatang,” katanya.


Kualitas mesin penggilingan padi, lanjutnya, akan menentukan produktivitas beras yang dihasilkan, dan berpengaruh pada program ketahanan pangan yang digalakkan pemerintah. Mesin berkualitas akan menghasilkan rendemen dan mutu beras sebanyak 3 persen lebih besar daripada mesin penggilingan bermutu rendah. “Inilah yang saya harapkan kepada anggota Perpadi di lapangan untuk lakukan perbaikan agar produksi jangan hilang,” tegasnya.


Mesin berkualitas akan menghasilkan rendemen dan mutu beras sebanyak tiga persen lebih besar daripada mesin penggilingan bermutu rendah. Karena itu, dianjurkan agar perusahaan penggilingan padi secara nasional untuk memperbaiki mesin penggilingannya, agar produksi tidak hilang secara percuma.


Jumlah PP tumbuh dengan pesat di Indonesia. Hingga kini keberadaan PP sudah mencapai 110.000 unit, baik yang masih berjalan maupun yang sudah tidak berjalan, dan memproses sebanyak 508 ton juta gabah rata-rata dalam musim panen. Bandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, hanya memiliki 130 pabrik dan mampu menghasilkan beras sekitar satu juta ton.


Dengan kata lain, secara kuantitas, penggilingan padi yang kita miliki memang membanggakan. Tapi, soal kualitas, tunggu dulu. Kita bahkan cenderung memiliki kelebihan pabrik. Janganlah ada lagi yang membuat pabrik PP.


Untuk itu, Gaybita mengingatkan seluruh pengelola penggilingan padi di Indonesia agar memperbaiki formula penggilingan padi ini. ”Kita minta semua pabrik penggilingan memperbaiki kualitas formula, sehingga tidak terjadi lagi kehilangan beras akibat tercampur sekam,” ujarnya. Betul.


***


Maksimalkan Produksi dengan Teknologi


Penggilingan padi yang banyak beredar dan berkembang di masyarakat tergolong penggilingan kategori kecil. Hasilnya, tingkat output dan kerusakannya pun relatif tinggi. Saatnya sarana dan teknologi mesinnya direvitalisasi.

Formula Penggilingan Padi (PP) ternyata memiliki dampak yang signifikan dalam proses penggilingan padi yang menghasilkan beras yang dipasarkan pada saat sekarang. Beras yang beredar cukup beragam sesuai dengan kualitas yang dihasilkan pada budidaya atau akibat proses penggilingan padi.


Sebanyak 88.000 unit atau 80% dari total penggilingan padi yang ada sekarang dapat dikategorikan dari formula rendah. Tidak mengherankan jika kualitas yang dihasilkan cukup rendah, dengan rendemen rata-rata 60%. Masyarakat pun mengalami kehilangan sebesar 5% dengan jumlah beras mencapai 1 juta ton broken bisa di atas 20 % per tahun.


Seiring dengan upaya memperbesar tingkat rendemen dan memperkecil kerusakan dalam proses penggilingan, PP kategori kecil yang memiliki empat formula ini harus ditingkatkan. Misalnya, merubah formula dengan menambahkan polisher sehingga menjadi dua unit. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan rendemen agar mencapai 65 persen.


Dalam penggunaan PP kategori sedang, kerusakan beras yang dihasilkan relatif lebih rendah dibandingkan dengan penggilingan kategori kecil. Sekilas memang terdapat peningkatan kualifikasi maupun kemampuan penggilingan jenis ini. Untuk PP kategori sedang, termasuk di dalamnya Rice Milling Unit (RMU), begitu menentukan kualitas beras. Dan, kerusakan beras yang dihasilkan oleh penggilingan padi kategori sedang juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan PP untuk kategori kecil.


PP kategori sedang memiliki dua formula. Pertama, formula yang menghasilkan beras dengan rendemen mencapai 65% dan menghasilkan broken maksimum 20%, yang kemudian disebut PP Formula 1. Kedua, formula yang menghasilkan beras dengan rendemen 65% dan broken maksimum 15%, yang kemudian disebut PP Formula 2.


PP Formula 1 pada umumnya memiliki satu unit husker, satu unit separator (ayakan beras pecah kulit), dan dua unit polisher. Untuk lebih jelasnya mengenai PP Formula 1 bisa dilihat pada gambar 1. Sedangkan PP Formula 2 memiliki satu unit husker, satu unit separator, dan minimal tiga unit polisher (lihat gambar 2). Dan, pada umumnya PP kategori sedang ini mampu menghasilkan 1,5-2 ton beras per jam.


Khusus kepada pemilik PP Formula 1 dianjurkan untuk menambah satu atau dua unit polisher lagi agar rendemen lebih besar dan broken bisa ditekan. Dan, baik bagi pemilik PP Formula 1 maupun PP Formula 2 disarankan untuk menambah satu unit stoner (penyortir batu/kerikil) dan greder (menyortir broken) agar kualitas beras yang dihasilkan dapat diatur sesuai dengan permintaan pasar.


Tidak hanya bersandar pada proses penanaman atau pra produksi, kualitas maupun kuantitas beras juga ditentukan oleh alat penggilingan padi yang digunakan. Makin tinggi level penggilingan, makin bagus pula tingkat kualitas. Sebaliknya, makin rendah pula tingkat kerusakan produksinya.


Salah satu PP yang memiliki formula yang lebih baik adalah level tiga ini yang tergolong PP besar. Kini, banyak beredar dan berkembang di masyarakat. Penggilingan jenis ini telah temasuk memproses gabah menjadi beras dengan menentukan ragam beras berikut kualitasnya. Hasilnya, tingkat output dan kerusakannya relatif rendah dibandingkan dengan penggilingan kategori kecil maupun sedang atau menengah.


Formula pada PP besar pada umumnya mempunyai 1 husker, 1 separator (ayakan beras pecah kulit modern), 3 atau 4 polish, 1 water polish, 1 greder, serta timbangan digital. Pada umumnya kapasitas pabrik pada Vol. 3 ini dapat memproses beras hingga mencapai 3 sampai 5 ton per jam. PP besar pada umumnya mempunyai dryer, baik dari bahan bakar BBM atau dari bahan bakar sekam, dan juga mempunyai lantai jemur.


Agar menghasilkan kualitas yang lebih optimal, diperlukan tambahan alat silo kecil yang dapat dibuat dari kayu papan sebanyak minimal dua unit dengan isi lebih kurang 30 ton beras pecah kulit. Langkah ini dilakukan agar beras pecah kulit didinginkan terlebih dahulu selama satu malam.


Pembinaan dan penyuluhan tentang perbaikan konfigurasi mesin PP senantiasa diperlukan. Untuk memaksimal rendemen dan keuntungan, para pengelola memang harus memperhatikan sistem formula, agar beras tidak terbuang percuma karena bercampur sekam.


Untuk itu, kita senantiasa terus mengingatkan seluruh pengelola penggilingan padi di Indonesia agar memperbaiki formula penggilingan padi ini. Kita berharap, semua pabrik penggilingan memperbaiki kualitas formula, sehingga produksi perberasan nasional makin optimal dan sesuai target yang direncanakan.


***

Mengatur Tata Kelola dan Regulasi

Pengelolaan Penggilingan Padi mutlak ditingkatkan dari waktu ke waktu. Demikian halnya dengan regulasi yang mengaturnya. Revitalisasi dua bidang ini diyakini makin menyempurnakan kegiatan PP menjadi lebih efektif dan berdaya saing.

Dari sisi manajemen maupun pengelolaan, revitalisasi dapat diawali dengan mengatur prosedur dan sistem kerja, pembukuan, dan pemasaran. Prosedur kerja “bersih” akan membuat produkstivitas kerja meningkat. Oleh karena itu, pembersihan alat dan tempat kerja harus dilakukan setiap kali selesai kerja dan menjadikan prosedur kerja ini sebagai kegiatan tetap dan rutin.


Penggunaan alat yang dapat mengukur kapasitas dan hasil kerja juga mutlak diperlukan. Begitu juga dengan pembuatan target output kerja sesuai dengan kapasitas alat, agar hasil kerja dapat dievaluasi. Di samping itu, manajemen stok dan administrasi yang rapi serta pencatatan yang baik dan rapi akan mempermudah kerja dan pengawasan kerja.


Sistem kerja menggunakan prosedur kerja yang disiplin hendaknya mematuhi standard operating prosedure (SOP), mulai dari hal-hal yang sederhana sekalipun. Penggunaan baju kerja dan masker merupakan salah satu SOP kerja di penggilingan. Demikian halnya dengan penggunaan peralatan yang dapat meningkatkan efisien kerja dan biaya, sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan daya saing usaha.


Selain menata manajemen, kebijakan, regulasi, dan operasional PP, juga senantiasa diperlukan. Salah satunya adalah perlunya peraturan untuk mengendalikan pertumbuhan PP. Sebab, total PP seluruh Indonesia telah mencapai 110.000 unit. Ini cenderung berlebihan, karena yang paling wajar dengan produksi sekarang cukup sekitar 20.000 unit saja.


“Kita kelebihan pabrik, janganlah ada lagi yang membuat pabrik PP,” kata M. Nur Gaybita. Banyaknya jumlah pabrik penggilingan ini, lanjutnya, memperparah tingkat kerusakan beras, baik di daerah maupun secara nasional. Apalagi, lanjutnya, hasil penggilingan padi tidak seratus persen menjadi beras. Hanya 70 persen yang menjadi beras, 30 persennya masih bercampur gabah.


Di beberapa daerah, perizinan dalam mendirikan PP baru mulai dipersulit. Begitu juga dengan penempatan atau relokasi pendirian PP yang tak lagi bisa dilakukan secara sembarangan. Agar tidak terjadi perebutan lokasi strategis untuk pabrik penggilingan padi, diaturlah soal penempatan. Misalnya, dalam radius 1000 hektare hanya ada tiga penggilingan, agar pabrik itu bisa hidup.


Selain membantu PP untuk mendapatkan permodalan, pemerintah juga mengatur pola pembinaan agar PP dapat melakukan kerjasama dari hulu sampai hilir. Kemitraan antara PP besar dengan PP kecil, PP dengan petani sekitarnya masih belum terlaksana dengan maksimal, kalaupun ada masih sedikit. Kemitraan PP dengan perbankan masih sangat sedikit.


Selain itu, perlu juga dikembangkan pola kemitraan hulu sampai hilir dalam kegiatan perberasan agar tercipta sebuah kerjasama yang saling menguntungkan. Sistem yang berkaitan dari simpul hulu sampai simpul hilir dalam membangun pertanian padi yang tangguh sangat diperlukan pola penanganan dan pembinaan secara terpadu yang saling menguntungkan.


Kemitraan ini memungkinkan petani, bandar pengumpul (Gapoktan), dan PP hanya memproses sampai pecah kulit (brown rice). Selanjutnya, PP bekerja sama dengan Rice Milling Polish (RMP), untuk kemudian RMP memperoses beras pecah kulit tersebut menjadi beras berkualitas dan bermitra dengan pedagang beras.


Kegiatan dalam pola tersebut tidak hanya akan terfokus, tetapi juga akan berkelanjutan, efisien, memiliki daya saing, nilai tambah, dan saling menguntungkan di antara berbagai pihak. Untuk menunjang hal tersebut, bantuan pemerintah berupa pendampingan atau penyuluhan akan lebih terarah dan mudah melaksanakannya dari simpul hulu sampai simpul mudik yang paling akhir.


Bantuan pemerintah juga dapat berupa subsidi pupuk dan benih. Selain itu, pemerintah dapat menyalurkan kredit perbankan yang tepat sasaran, mudah dikontrol, dan mempunyai dampak yang positif dalam peningkatan produksi padi. Dengan demikian, kegiatan perberasan ini betul-betul menguntungkan banyak pihak, mulai dari petani, PP, pedagang, maupun konsumen.


Selain itu, disarankan supaya dibangun dan dikembangkan pola kemitraan yang kuat dari simpul hulu sampai simpul hilir dalam kegiatan dunia perberasan, yakni kemitraan yang berkesinambungan dan terfokus antara petani dengan bandar pengumpul (Gapoktan), Bandar Pengumpul dengan PP hanya memproses gabah menjadi beras Pecah Kulit (PK). Sedangkan PP PK dengan Rice Milling Polish (RMP) memproses beras PK menjadi beras berkualitas sesuai dengan permintaan konsumen. Dengan demikian, tercipta kegiatan dalam dunia perberasan yang saling menguntungkan semua pihak yang terkait.


Di atas semua itu, untuk menunjang pola kemitraan dan kegiatan tersebut, diperlukan perhatian dan bantuan dari pemerintah secara serius dan terfokus. Perhatian atau bantuan tersebut terutama dalam bentuk pembiayaan baik dalam bentuk pinjaman atau hibah maupun pendampingan atau penyuluhan yang lebih terarah dari simpul hulu sampai simpul hilir. Hal ini pada akhirnya bisa lebih memudahkan dalam rangka mengembangkan dan mewujudkan beras berlabel yang berkualitas.



Zaenal Soedjais, Pengawal Kebijakan Pupuk Nasional

Komoditas ini begitu laris manakala musim panen datang menjelang. Namun, anehnya, justru menjadi barang yang langka manakala musim tanam tiba. Tak hanya susah dicari, harga di pasaran pun melonjak tinggi. Petani dibuat gelisah karenanya. Perolehan uang hasil panen sebelumnya tak cukup lagi untuk membeli karena permainan harga di balik sulit dan langkanya komoditas ini.

Begitulah persoalan klasik di seputar pupuk di Tanah Air. Inilah ironi di tengah gencarnya pemerintah dalam menggalakkan program ketahanan pangan nasional. Target pemerintah untuk meningkatkan produksi padi dan mengurangi impor beras bisa kandas di tengah jalan. Soalan yang lebih buruk, akankah kita bisa mencapai sebuah kedaulatan pangan yang sering kali dikampanyekan?

Pesimisme publik dalam mewujudkan pangan yang berdaulat, dengan mengurai persoalan pupuk, seperti sirna dengan diresmikannya Dewan Pupuk Indonesia (DPI), Desember 2008 lalu. Seperti namanya, organisasi independen yang bersifat nirlaba ini akan berperan sebagai mitra strategis pemerintah dalam mengoptimalkan peran industri pupuk di Indonesia, dalam mendukung ketahanan pangan maupun pembangunan nasional

Lembaga ini menjadi oase di tengah kebutuhan masyarakat akan pemenuhan pupuk demi optimalisasi hasil-hasil pertanian. Karena itu, DPI, yang terdiri dari para stakeholder di bidang perpupukan nasional memainkan tugas dan kewenangan strategis sesuai visi dan misi DPI. ”Visi kami adalah menjadi salah satu institusi bagi tercapainya suatu sistem dan usaha agribisnis yang modern, efisien, ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta menjadikan Indonesia sebagai produsen utama komoditas pertanian tropis dunia,” kata Ketua Umum DPI, Zaenal Soedjais.

Lembaga yang dipimpin oleh pria kelahiran Cirebon 10 Agustus 1942 ini memang mengemban misi mulia, yaitu mensinergikan berbagai kepentingan dalam dunia perpupukan, melalui pendayagunaan berbagai potensi peluang yang tersedia, guna mewujudkan kemakmuran pelaku dan penerima manfaat perpupukan, dalam rangka tata perekonomian nasional yang berkeadilan. Karena itu, tugas-tugas lembaga meliputi pemberian saran, pendanaan, dan pendapat kepada pemerintah serta para pemangku kepentingan perpupukan, mengenai kebijakan hulu dan hilir perpupukan nasional.

Bersama tim, Soedjais tak hanya mengawal berbagai kebijakan maupun program pemerintah di bidang perpupukan, tapi juga melaksanakan pemantauan ketersediaan pupuk di tingkat petani, distribusi, maupun industri. Kegiatan pelatihan, riset, dan promosi, pemanfaatan pupuk untuk berbagai sektor. Ia juga mendorong adanya pengembangan jaringan dan hubungan kerja dengan lembaga nasional maupun internasional juga kerap dilakukan.

Ke depan, kata Mantan Direktur Utama PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), pihaknya akan berusaha untuk mengatasi peningkatan ketahanan pangan, mengatasi kendala peningkatan produksi pupuk, mengatasi ketidaklancaraan distribusi pupuk, disparitas harga, penataan subsidi pupuk, perbaikan kesejahteraan petani, serta pengembangan pupuk organik. ”Yang paling penting adalah mengatasi kelangkaan pupuk yang sering terjadi di Indonesia,” katanya kepada Qusyaini Hasan, Safitri Agustina, dan Sulistyo M. Nugroho dari Majalah PADI, ketika ditemui di kantornya di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Berikut petikannya:

***

Sebetulnya apa gagasan awal dibentuknya DPI?
DPI dengan Deptan mengadakan konsultasi di antara stakeholders yang menyangkut masalah perpupukan, seperti produsen pupuk kimia, produsen pupuk organik, distributor pupuk, asosiasi pedagang, asosiasi distributor, asosiasi pengguna, hingga perguruan tinggi. Semua sepakat bahwa masalah menyangkut perpupukan harus ada organisasi yang independen yang merepresentasikan semua pemangku kepentingan ini. Pemerintah memang punya kebijakan perpupukan nasional, tapi harus ada lembaga yang independen yang mengevaluasi kebijakan ini.

Di lapangan kita bisa menilai apakah kebijakan sudah bisa dilaksanakan dengan baik dan tepat. Kalau hasilnya tidak sesuai dengan yang dikehendaki, maka lembaga ini harus bisa mengevaluasi apa sebabnya. Saya yang mensponsori para stakeholder ini sehingga timbul gagasan untuk membuat satu deklarasi 30 April 2008, dan proses pembentukan sekaligus pelantikan oleh Menteri Pertanian (Mentan) pada 19 Desember 2008 lalu.

Lalu, apa tugas utama lembaga ini di hadapan pemerintah?
Meski dilantik Mentan, lembaga ini independen. DPI akan menjadi sparing partner startegis yang memberikan advice kepada pemerintah mengenai kebijakan perpupukan nasional baik pusat maupun daerah. Lembaga ini juga sebagai pemberi second opinion, pandangan. Bahkan, dapat berperan sebagai penyempurnaan kebijakan, perubahan kebijakan yang menyangkut perpupukan.

Mitra strategis, kata Anda. Konkretnya bagaimana?
Kebijakan perpupukan sangat menentukan sustainbility produksi pangan kita. Bangsa yang lebih dari 100 juta orang, tidak boleh ada ketergantungan pangan terhadap orang lain. Kedaulatan pangan harus ada pada suatu bangsa yang besar. Jika tidak akan terjadi seperti Rusia. Orang mengapresiasi kebebasan, lupa kerja, lupa ke sawah, akibatnya produksi gandum Rusia merosot. Akhirnya impor, bahkan sampai mengemis ke Amerika. Akhirnya Rusia menjadi apa yang Amerika pikirkan, tidak lagi menjadi bagian dari negara yang independen. Hati-hati, kita bisa aja mengalami seperti itu. Makanya, kita perlu mengontrol pangan.

Kembali soal peran, apakah DPI juga dapat menentukan kebijakan pupuk nasional?
Penentu kebijakan tetap pemerintah dong. Tapi, pemerintah harus realistis, mennetapkan kebijakan tdak bisa di atas meja. Penetapan kebijakan harus mendengar dari semua stakeholder. DPI adalah lembaga yang bisa didengar, karena kami merepresentasikan semua kepentingan. Daripada pemerintah membuat lembaga survei, ngomong sama industri, lebih baik sama kami. Karena, dalam DPI, saya tidak boleh mengeluarkan statement tanpa adanya kompromi dulu dengan kawan-kawan. Ini suatu komitmen bagi kami.

Apakah kewenangan DPI dalam melakukan evaluasi sampai pada tahap mengawasi atau mengontrol?
Kita hanya memantau saja, apalagi kita punya orang-orang yang kita pilih di semua daerah. Kita tinggal telepon, dan menanyakan seberapa jauh kebutuhan pupuk petani. Memang juga ada sikap kritis. Tapi, kita juga enggak selalu push. Kalau memang baik, ya kita dorong. Ini sifatnya patner strategis. Kalau kita melihat ada yang kurang tepat, ya kita langsung mengevaluasi. Dan, saya tidak ragu-ragu mengatakannya. Orang juga tahu saya sudah 22 tahun ngurusin pupuk kimia. Kalau saya ngomong, orang pasti mendengar. Kadang saya ngomong salah juga masih dipercaya orang. Makanya, mesti cegah jangan sampai saya ngomong salah.

Lalu, apa program kerja yang menjadi skala prioritas Anda?
Skala priotitas pertama, melakukan reevaluasi semua ketentuan yang masih berlaku menyangkut kebijakan perpupukan dan sekitarnya. Mulai dari peratuan UU, Kepmen, PP, dan sebagainya. Kebijakan lain yang ada kaitannya langsung ataupun tak langsung dengan perpupukan akan dievaluasi. Kita lihat seberapa jauh efektivitasnya, seberapa jauh memberi kontribusi pada pereonomian nasional dan kemandirian pangan.

Kedua, kita selalu mengadakan meng-appraise pelaksanaan kebijakan negara. Misalnya subsidi, jumlah sekian apa benar sampai? Kalau enggak sampai, siapa yang mendapat sisanya itu? Gagasan pemerintah kalau menetapkan subsidi Rp 1.200 akan sampai bulat, tapi nyatanya tidak. Nah, itu yang akan kita evaluasi, di mana pemerintah memberikan subsidi tapi petani tidak menerima subsidi tersebut. Pemerintah memberikan subsidi, tapi tidak sampai pada tujuannya. Tidak ke mana-mana selain ke spekulan, pedagang yang kontribusinya kecil, cuma memindahkan barang, tapi dapatnya banyak. Yang nanam justru dapatnya sedikit.

Anda juga menekankan pentingnya penyuluh pertanian yang handal. Bisa dijelaskan?
Prioritas selanjutnya, kami mencoba menyakinkan pemerintah perlunya ada penyuluh yang lebih handal. Tenaga penyuluh ini harus dibekali pengetahuan yang hebat mengenai pertanian dan perpupukan. Kemudian dibekali ilmu untuk mempengaruhi orang dan bisa diterima baik oleh orang lain. Kalau bisa dia juga dibekali laboratorium sendiri, dia punya lahan di mana dia bisa memperlihatkan kemampuan dan praktek pada lahan yang dia punya. Jika dia tidak punya lahan, dia bisa menggunakan lahan daerah yang biasa disebut tanah bengkok, lahan yang dimiliki desa.

Soal kelangkaan pupuk, misalnya, apa advice yang Anda sampaikan ke pemerintah?
Kelangkaan pupuk tentunya sangat terkait dengan suplai. Suplai memang diindikasikan banyak berkurang karena pabrik pupuk tidak mendapatkan suplai bahan baku gas alam terutama urea. Kalau bahan baku berkurang, pastinya produksi berkurang. Masalah suplai yang berkurang mesti dipenuhi, karena itu advice kita, gas harus terpenuhi, karena gas di mana-mana ada, dan buat pupuk hanya 7%. Kalau gas disuplai pemerintah, maka produksi kita sudah mendekati 7,9 juta. Itu amat berlebihan dan lebih dari cukup, mestinya tak ada keluhan. Tinggal pendistribusian.

Bagaimana dengan adanya gagasan perlunya setiap daerah mendirikan pabrik pupuk untuk mengatasi kelangkaan pupuk?
Bisa saja, tapi pupuk apa? Kalau pupuk kimia sangat tak rasional, karena bahan bakunya tak semua daerah punya. Tapi kalau pupuk organik, di semua tempat ada. Itu gagasan yang sangat bagus. Gagasan pokok, berikanlah pada petani satu policy ke arah kemandirian, termasuki kemandirian memproduksi input yaitu pupuk yang dia perlukan. Bahannya banyak, dari hijau-hijauan sampah bantuan alam, seperti kotoran manusia, kotoran hewan, bahkan jerami juga bisa menjadi pupuk kompos. Hal ini mengurangi ketergantungan petani kepada pupuk kimia.

Bagaimana dengan pola pemberian subsidi?
Tempo hari mengapa pupuk begitu susah. Harga subsidi dengan non subsidi itu beda 5 kali lipat atau 500%. Inilah yang menggoda orang untuk berspekulasi. Zaman saya masih aktif, 5-10 tahun lalu, harga subsidi pernah sama, subsidi pada semua pangan, industri, pertanian, dan sebagainya. Kemudian dibedakan 20%. Kalau sedikit begini, orang mau main-main juga berpikir beberapa kali karena risikonya dicabut. Makanya, saya sarankan, kembali disamakan atau membedakan sedikit seperti dulu. Wapres sudah setuju, tapi belum tahu kapan diterapkan.

Zaman sudah berubah, pola subsidi harus dilakukan evaluasi. Mungkin lebih baik kalau subsidi diberikan kepada petani misalnya berdasarkan luasan tanah. Subsidi diberikan kepada petani, terserah mereka mau beli pupuk yang mana. Kita juga mengusulkan agar pengelolaan subsidi diberikan pada daerah. Kalau selama ini dikelola pusat, saatnya pemda diberdayakan. Mereka diberikan kewenangan. Jika daerah merasa lebih baik melalui gapoktan atau KUD (Koperasi Unit Desa, Red.) silakan saja.

Apakah DPI juga menyarankan soal larangan impor?
Kita bukan menolak atau melarang impor, kita hanya mengingatkan. Impor merupakan suatu kepedulian pemerintah yang hebat pada pertanian. Tapi kepedulian yang hebat juga bisa merusak. Terlalu memanjakan anak, pasti juga merusak, bukan?. Kita jangan buru-buru impor kalau kita punya kemampuan. Kalau impor, kita akan mengeluarkan foreign exchange. Kedua, kita punya pabrik. Gimana perasaan orang-orang pabrik yang telah memproduksi, tapi pemerintah masih mengimpor? Mereka bisa tersinggung. Saya juga pernah merasakannya.

Ketiga, menurut saya impor itu meruntuhkan integritas suatu negara. Lihat saja Jepang, meraka mati-matian itu menggunakan produk-produk buatan sendiri. Harga beras beras mahal sekali, tapi mereka bisa kok. Jepang pernah mengalami kekeringan, sehingga pemerintahnya mencoba buat impor. Tapi, justru rakyat Jepang menolak untuk mengomsumsi beras impor. Hebat, kan? Mereka punya prinsip, lebih baik makan beras sedikit, tapi produksi sendiri daripada mengomsumsi beras orang lain. Inilah yang harus kita tiru.

***

Zaenal Soedjais memang memiliki perhatian besar terhadap pupuk sejak lama. Tak hanya mendongkrak karier profesionalnya, soal pupuk jugalah yang mengantarkan anak kelima dari sembilan bersaudara ini ke jenjang akademik yang lebih tinggi. Penelitian tentang pupuk membuatnya meraih gelar doktor dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pada 2008 lalu. Ia dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude setelah disertasinya di bidang pengembangan pupuk organik berhasil menyakinkan para penguji.

Waktu itu Soedjais mengajukan disertasi berjudul ”Analisa Kebijakan Subsidi Pupuk Anorganik dalam Konteks Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia”. Disertasi ini merupakan hasil penelitiannya di Kabupaten Sragen dan Bantul. Dalam disertasinya, mantan dosen di sejumlah perguruan tinggi ini menegaskan perlunya kajian ulang terhadap pemberian subsisi pada pupuk anorganik. Padahal, suami Sri Afifah ini selama tiga tahun menjadi orang nomor satu di produsen pupuk anorganik (kimia, Red). "Saya kira pemerintah harus mulai mengalihkan subsisi pupuk anorganik kepada pupuk organik," tuturnya.

Meski pernah berkecimpung di bidang produksi pupuk anorganik, pria yang kini menjadi Ketua Umum Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina) ini mengaku prihatin dengan tingginya penggunaan pupuk ini. Akibat penggunaan pupuk anorganik secara berlebihan, saat ini lahan pertanian di Indonesia mengalami kerusakan di ambang batas. ”Sebagian besar petani Indonesia sudah mengalami ketergantungan pada pupuk anorganik. Padahal, penggunaan pupuk anorganik ini akan menghilangkan unsur hara dalam tanah yang berakibat menurunnya tingkat kesuburan tanah," tukasnya.

Komisaris di berbagai perusahaan ini juga mengkritik kebijakan pemerintah pada masa lampau yang menganjurkan penggunaan pupuk anorganik bagi petani sebagai keputusan yang tidak tepat. Karena itu, ia mengusulkan agar kebijakan ini segera direvisi. "Untuk menyelamatkan lahan pertanian di Indonesia, pemerintah harus mulai beralih ke pupuk organik," kata pria yang aktif di bergagai organisasi sosial dan profesi ini.

***

Anda sekarang tampaknya memiliki perhatian besar terhadap pertumbuhan pupuk organik. Bisa dijelaskan?
Dahulu, di era 60-an, pemerintah mengintroduksi Revolusi Hijau, melalui penggunaan bibit unggul dan pupuk kimia. Bibit unggul ini hasilnya bagus, tapi rakus hara. Pupuk kimia pada awalnya hanya sebagai penunjang atau suplemen, bukan menu utama, makanya dulu pemakaian pupuk urea hanya 60 kilo/hektar. Tapi, pemerintah justru menaikkan kebutuhan pupuk kimia. Di sinilah, pemerinah memberikan pelajaran pada petani tapi keliru. Pupuk yang awalnya menjadi suplemen menjadi menu utama. Penggunaan pupuk kimia hingga sekarang sudah berlebihan Karena itu, kita sedang menggenjot memasyarakatkan penggunaan pupuk organik, karena pengunaan pupuk kimia sudah berlebihan.

Sekadar mengikuti tren?
Pola hidup dan pola makan di zaman modern ternyata memiliki dampak yang tidak baik bagi kesehatan. Salah satu buktinya adalah proses pengolahan makanan cenderung menggunakan bahan non-organik alias kimiawi yang rentan menimbulkan penyakit. Itu sebabnya, saya dan teman-teman di Maporina menghimpun potensi sekaligus kerjasama dari berbagai pihak untuk mengembangkan potensi pertanian organik di Indonesia. Kita sebenarnya memiliki potensi luar biasa besar untuk mengembangkan pertanian organik. Potensi ini ada pada luasnya lahan pertanian tropis yang dimiliki Indonesia dengan plasma nutfah yang sangat beragam serta juga ketersediaan bahan organic yang melimpah.

Bukankah ini terkesan menafikan keberadaan pupuk kimia?
Maporina memang dari awal memperjuangkan penggunaan sistem pertanian organik. Tapi, pro organik ini bukan berarti menafikan pupuk kimia. Kita hanya ingin menyadarkan petani bahwa selama ini ada yang salah. Maporina hanya mempertegas kita jalan malu-malu untuk kembali yang benar. Apalagi, saya 22 tahun menggeluti pupuk kimia, tapi justru di akhir-akhir tahun saya justru merenungi kalau ada yang salah di negara ini. Pemakaian pupuk meningkat demi mengejar produksi. Padahal produksi yang ditargetkan juga tidak signifikan karena tanahnya yang sudah tidak subur. Sampai kapan pun kalau lahan kita dihajar terus dengan pupuk kimia, pada suatu saat tidak akan kuat lagi. Kelangsungan dan ketahanan pangan akan terganggu.

Tapi, Anda pasti tahu migrasi dari pupuk unorganik ke organik bukan hal mudah.
Dulu, waktu orang belum mengenal pupuk unorganik, pemerintah setengah mati untuk menyakinkan petani menggunakan pupuk kimia. Namun, untuk memperkenalkan pupuk kimia lebih sederhana, karena ada kecenderungan ini lebih modern dan pengaruhnya sangat instan. Dalam beberapa hari bisa terlihat hijau royo-royo. Sebaliknya, organik lebih sulit lagi, karena perkembangannya lebih lambat, efeknya baru dirasakan tiga bulan lagi. Petani sangat tidak sabar, sebab petani sudah addictive dan sangat kecanduan dengan pupuk kimia.

Anda mengatakan, pertanian organik dapat mengatasi kelangkaan pupuk. Apa sebabnya?
Sering terjadi gara-gara tidak mendapat pupuk petani gagal berproduksi, dan lahan dibiarkan terbengkalai, padahal banyak alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti pupuk. Pertanian organik merupakan sistem pertanian terpadu yang sangat selaras dengan alam. Dengan sistem pertanian terpadu, selain ketergantungan kepada pupuk yang kadang dipermainkan para distributor dapat teratasi, juga dapat mengatasai rawan pangan, karena keluarga petani dapat menghasilkan produk pangan yang dapat menunjang kebutuhan gizinya yang sangat perlu untuk meningkatkan produktivitas.

Anda ingin menegaskan, sistem pertanian organik merupakan keniscayaan?
Tidak ada kontaminasi yang dihasilkan sistem pertanian organik. Dengan organik, kita bisa memanfaatkan bahan-bahan yang selama ini tak terpakai, berarti barang-barang itu bisa dihemat, sekaligus bisa memanfaatkan sampah. Sampah yang selama ini jadi masalah, sekarang bisa menjadi keuntungan. Ini juga bisa dibangun di mana-mana, pertumbuhan akan tersebar. Konsep pertanian organik bisa menekan biaya produksi sangat besar, misalnya dalam menanam padi, mereka tidak menggunakan pupuk non organik, tapi menggunakan pupuk organik yang dihasilkan dari hewan ternak milik sendiri atau membuat pupuk kompos sendiri.

Dampaknya pada persoalan pangan dan lingkungan, bagaimana?
Secara umum model pertanian ini sebagai pertanian yang secara teknik tepat, secara ekonomi dapat berkembang, secara kultur dapat diterima, dan berdasarkan sains yang holistik. Sistem pertanian organik merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan pangan dan lingkungan yang kadang sering harus saling mengorbankan. Karena itu, model pertanian organik ini harus terus dikembangkan dan didukung. Sebab sistem ini telah diakui dunia sebagai pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sistem ini diharapkan dapat menjawab keprihatinan terhadap timbulnya berbagai permasalahan pada sebagian lahan pertanian.

***

Biodata Lengkap
Nama: Zaenal Soedjais Tempat, tanggal lahir: Cirebon, 10 Agustus 1942 Pendidikan Terakhir: Doktor dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Jabatan: Ketua Umum Dewan Pupuk Indonesia (DPI), Ketua Dewan Penasehat Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Ketua Umum Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina), Ketua Umum Kagama Business Society (KBS), Sekjen PB Persatuan Golf Indonesia, Anggota Dewan Penasehat Organisasi HKTI, Anggota Dewan Penasehat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Riwayat Pekerjaan: Dosen di berbagai perguruan tinggi (1965-1981), Tenaga Konsultan Management Center UGM (1967 -1970), Pegawai Kantor Akuntan ”Chairul Anwar” Yogyakarta (1969), Pegawai PT Semen Gresik (1970-1981), Anggota Komisaris PT. Eternit Gresik (1975-1980), Direktur Keuangan dan Komersil PT. Semen Madura (1981-1983), Direktur Keuangan dan Komersial PT. Pupuk Kalimantan Timur (1983-1995), Presiden Komisaris PT. Kaltim Parna Industri (1994-1995), Presiden Komisaris PT. Kaltirn Methanol Industri (1992-1994), Presiden Direktur PT. Asean Aceh Fertilizer (1995-2001), Direktur Utama PT. Pusri Holding (2001-2004) Riwayat Organisasi Sosial & Profesi: Pengurus PSSI Pusat, Bidang Penegakan Disiplin, Ketua Pengda PBVSI Propinsi Kalimantan Timur, Ketua Ikatan Akuntansi Indonesia, Kompartemen I Akuntan Management, Wakil Ketua Kompartemen KADIN Indonesia Bidang Tenaga Kerja dan Lingkungan Hidup, Ketua Perhimpunan Industri Kimia, ASEAN, Bendahara Badan Dakwah Pembangunan Agama Islam (Organisasi di bawah MUI), Ketua Umum Ikatan Akuntan Indonesia (1998-2002), Ketua Perhimpunan Industri Kimia Indonesia (1996-2003), Wakil Ketua International Fertilizer Association (1998-2004), Wakil Ketua Presidium Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia-APPI (1996-2001), Anggota Dewan Pertimbangan Kadin Indonesia (1999-2004), Wakil Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (2000-2004), Ketua Presidium Presidium Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia-APPI (2001-2005), Ketua Dewan Penyantun Institut Teknologi Indonesia (2001-2005).


Mendongkrak Swasembada Pangan dengan Mekanisasi

Tak ada swasembada pangan tanpa diterapkannya mekanisasi dalam aktivitas pertanian kita. Begitu seruan banyak kalangan terkait pentingnya penggunaan alat-alat modern di lahan sawah. Apa dan bagaimana program mekanisasi ini berkembang di Indonesia?


Dengan penuh daya tarik, Sofian Tjandera, pemrakarsa Indonesia Pertanian Center atau disebut dengan I-PC mempresentasikan soal kegiatan mekanisasi pertanian yang dilakukan sejumlah negara maju. Presentasi yang juga disertai gambar bergerak di hadapan peserta Rapat Kerja Nasional Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), itu kontan mendapat animo dari para peserta yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia.


Dalam presentasi ditampakkan bagaimana petani Malaysia, Thailand, Vietnam, dan sejumlah negara tetangga menggarap lahannya dengan mengandalkan alat-alat modern yang praktis dan efisien. Tampak pula bagaimana hasil-hasil pertanian yang diperoleh dari mekanisasi tersebut yang mampu mendongkrak kesejahteraan dan pendapatan masyarakat setempat.


Saat sesi tanya jawab, seorang peserta dari Bali, dengan penuh semangat menyampaikan soalan yang agak miris. ”Kapan negeri kita bisa seperti itu?,” katanya dengan wajah penasaran. Nada penuh semangat dan harapan akan masa depan pertanian saling bersahutan di antara peserta, bercampur baur dengan sikap sinis dan prihatin atas pembangunan pertanian yang belum beranjak jauh.


Bagaimana perkembangan dan prospek teknologi atau mekanisasi pertanian di Indonesia? Kalangan awam menyatakan, teknologi pertanian sering dipahami sebagai penggunaan mesin-mesin pertanian lapang (mechanization) pada proses produksi pertanian, bahkan sering dipandang sebagai traktorisasi. Pemahaman seperti itu, menurut sejumlah pihak, dapat dimaklumi karena introduksi teknologi di bidang pertanian ketika itu diawali dengan gerakan mekanisasi pertanian untuk memacu produksi pangan terutama dengan penerapan traktor pada kegiatan pertanian.


Mekanisasi pertanian diartikan sebagai pengenalan dan penggunaan dari setiap bantuan yang bersifat mekanis untuk melangsungkan operasi pertanian. Bantuan yang bersifat mekanis tersebut termasuk semua jenis alat atau perlengkapan yang digerakkan oleh tenaga manusia, hewan, motor bakar, motor listrik, angin, air, dan sumber energi lainnya. Secara umum mekanisasi pertanian dapat juga diartikan sebagi penerapan ilmu teknik untuk mengembangkan, mengorganisasi, dan mengendalikan operasi di dalam produksi pertanian. Ruang lingkup mekanisai pertanian juga berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan modernisasi pertanian.


Terkait soal fungsi, berbagai kalangan mengakui bahwa mekanisasi pertanian ini bertujuan untuk meningkatkan produktifitas tenaga kerja, meningkatkan produktifitas lahan, dan menurunkan ongkos produksi. Penggunaan alat dan mesin pada proses produksi dimaksudkan untuk meningkatkan efesiensi, efektifitas, produktifitas, kualitas hasil, dan megurangi beban kerja petani. Oleh karena itu, agar pemanfaatan potensi lahan yang tersedia tersebut dapat optimal, perlu didukung oleh sistem mekanisasi pertanian yang baik.


RAGAM MEKANISASI: Dengan mekanisasi, sejatinya pekerjaan petani menjadi lebih efektif dan efisien. Sebagai contoh, petani memerlukan waktu 100 hari dan biaya Rp5 juta untuk mengolah sawah seluas 3 ha dengan cara konvensial. Bandingkan pengolahannya dengan menggunakan traktor. Hanya membutuhkan 10 jam kerja, dan biaya Rp195.000, lahan sawah selesai digarap. Singkatnya waktu pengolahan karena mekanisasi, dalam hal ini menggunakan traktor.


Keberadaan traktor sangat membantu tugas-tugas petani dalam menggarap lahannya. Selain untuk pengangkutan hasil pertanian, traktor itu bermanfaat untuk mensurvei kebun dan mengangkut pupuk serta bibit. Sebagai contoh, traktor serbaguna yang biasa dipakai adalah Massey Ferguson seri MF 400's yang terdiri atas beberapa tipe seperti MF 415 untuk mengangkut hasil panen berdaya 46 hp; MF 440, 82 hp. Dengan bak pengangkut 3,25 m x 1,8 m, MF 440 mampu mengangkut beban 4 ton. Traktor itu bersistem hidrolik sehingga pemindahan TBS dari bak ke lokasi pengolahan sangat cepat. Sebab, bagian depan bak terangkat dan miring. Pada posisi itu TBS kelapa sawit cepat keluar bak.


Selain traktor, alat lain yang mendukung keberhasilan beragribisnis adalah all terrain vehicle (ATV) alias kendaraan lapangan. Grizzly seri 700 keluaran Yamaha, salah satu contoh. Alat itu mampu bergerak lincah di sela-sela tanaman kelapa sawit berjarak tanam 9 m x 9 m lantaran bertubuh ramping, berukuran 2 m x 1,2 m. Bobotnya cuma 274 kg makanya leluasa berjalan tanpa takut merusak infrastruktur jalan.


Soal bahan bahan bakar traktor itu sangat irit, 2,5 liter per jam, meski di jalan yang berat berkemiringan 25o dan beban 300 kg. Dalam kondisi jalan rata, Grizzly hanya menghabiskan bensin 2 liter per jam dan beban 500 kg. Karena dirancang untuk transportasi lahan, Grizzly dengan sistem penggerak 4 roda sangat mudah dikendarai.


TERHAMBAT: Soal tujuan dan fungsi mekanisasi, semua kalangan tampaknya memiliki satu kata. Namun, di tingkat implementasi, menurut data yang ada, mekanisasi pertanian di Indonesia selama ini relatif lamban. Hal ini disebabkan oleh skala kepemilikan lahan yang relatif kecil, relatif rendahnya insentif harga produk pertanian olahan, dan melimpahnya tenaga kerja di sektor pertanian.


Dampak yang lebih jauh, penerapan teknologi mekanisasi pertanian seringkali mendapat tentangan dari masyarakat. Upaya mempercepat penerapan teknologi pertanian pun terhambat sejumlah kendala. Selain modal, masalah sosial dan budaya petani juga menjadi faktor penyebab masih minimnya penggunaan teknologi pertanian.

”Hingga sekarang hanya traktor yang sudah benar-benar masuk dan menjadi keseharian petani. Sementara alat-alat mesin pertanian (alsintan) lainnya masih minim digunakan petani," ujar Meksy Dianawati, konsultan teknik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat, beberapa waktu lalu seperti dikutip Kompas.


Faktor modal, lanjutnya, diakui masih menjadi kendala bagi petani. Namun, masalah modal ini bisa diatasi dengan pemberian bantuan. Namun, terangnya, merubah perilaku dan kebiasaan petani inilah yang membutuhkan waktu lama. ”Faktor sosial budaya justru membuat proses introduksi teknologi pertanian lebih sulit dilakukan,” katanya.


Sebagai contoh, mesin perontok padi sudah berapa tahun dikenalkan, tapi sampai sekarang masih jarang digunakan. Padahal, penggunaan alat itu bisa menekan angka kehilangan. Dengan menggunakan alat perontok manual atau gebrotan, angka kehilangan gabah bisa mencapai 5 persen. Jumlah itu masih sering dianggap kecil oleh petani sehingga dibiarkan saja. Padahal, jika dilihat secara global, akan didapatkan angka yang fantastis.


Pada perkembangan awalnya penerapan teknologi mekanisasi pertanian di Indonesia mengalami hambatan dalam hal teknis, ekonomis, dan sosial. Penggunaan traktor sebagai salah satu teknologi mekanis mulai berkembang pesat mulai tahun 70-an. Traktor 2-roda yang pada tahun 1973 berjumlah 1.914 unit meningkat menjadi 53.867 unit pada tahun 1995, sementara itu traktor 4-roda hanya sedikit mengalami peningkatan dari dari 1.600 unit menjadi 6.124 unit.


KONTRIBUSI SWASTA: Dilihat dari besarnya kegiatan usaha pertanian dan besarnya kebutuhan akan pangan baik untuk konsumsi domestik maupun ekspor, dapat dikatakan bahwa perkembangan teknologi mekanisasi pertanian di Indonesia masih belum menggembirakan. Hal yang serupa terjadi terhadap perkembangan industri alat dan mesin pertanian (alsintan). Jika teknologi pertanian dianggap sebagai unsur penentu dalam upaya mencukupi ketersediaan bahan pangan dalam negeri saja, maka perkembangan teknologi alsintan tersebut masih sangat lambat.


Perkembangan mekanisasi pertanian tidak terlepas dari peranan industri alsintan swasta. Sebagian besar dari alsintan produksi beras sudah dapat diproduksi dalam negeri. Pelopor industri alsintan yang berhasil adalah yang berlokasi di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Sumatera Barat. Bahkan saat ini ada perusahaan yang telah mampu mengekspor produknya ke 16 negara. Alsintan beserta suku cadangnya yang diekspor tersebut adalah traktor tangan, rice milling unit, rubber roll, dan pompa air.


Untuk mencapai pembangunan pertanian yang tangguh, efesien, dan modern memang membutuhkan dukungan dari teknologi pertanian yang cocok untuk petani kita. Jenis teknologi yang cocok tidak mesti harus yang mutakhir dan canggih, tetapi teknologi tersebut dapat diterapkan dan dikembangkan sendiri oleh masyarakat kita.


Terkadang kita tidak dapat menghindarkan dari proses alih teknologi. Namun demikian, dalam alih teknologi tersebut kita tidak boleh hanya mengadopsi teknologi secara mentah-mentah untuk langsung diterapkan pada masyarakat petani kita. Melainkan teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Hal ini harus benar-benar dijadikan dasar pemikiran dalam kaitannya dengan alih teknologi, karena sistem pertanian di negara sumber teknologi mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara kita.


PERLU PROTEKSI: Sebelumnya, produsen komponen alsintan, khususnya roll karet, sempat mengeluhkan gempuran produk Cina yang tidak memenuhi standar. Produk itu dikhawatirkan akan membahayakan keamanan bahan pangan yang dihasilkan dari alsintan tersebut. Selain itu, pada satu sisi, produsen di dalam negeri terus tertekan akibat tidak harmonisnya tarif bea masuk (BM) antara bahan baku dengan produk jadi, sehingga harga produk lokal di dalam negeri pun sulit bersaing.


Guna meningkatkan kualitas produksi alsintan, Pemerintah melalui Departemen Perindustrian muali memokuskan pada pengembangan empat kelompok industri mesin yang dinilai sangat dibutuhkan di masa depan dan sampai saat ini produksinya belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Salah satunya, ya alsintan. Industri alsintan akan menjadi fokus karena kebutuhan alat pertanian akan tetap tinggi. Untuk itu, pemerintah terus berupaya untuk memperkuat struktur industri alsintan melalui pemberdayaan bengkel-bengkel di daerah.


Lebih dari itu, guna mengantisipasi serbuan alsintan dari luar, Pemerintah akan memproteksi alsintan dari serbuan impor asal Cina dengan mekanisme tarif dan tata niaga seiring dengan pertumbuhan industri yang terus melaju. Langkah perlindungan yang berbentuk kenaikan tarif bea masuk (BM) ini diberikan pemerintah dengan tujuan untuk memperkuat struktur industri permesinan nasional.

Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian Ansari Bukhari mengatakan, Departemen Keuangan segera menaikkan tarif bea masuk (BM) produk Alsintan dari 0%-5% menjadi 7,5% untuk mengurangi volume impor Alsintan. ”Kalau dengan tarif itu volume impor mesin masih tinggi, dalam satu tahun ke depan pemerintah segera menaikkan kembali tarif BM produk alsintan secara proporsional," kata Ansari, seperti dikutip Suara Pembaruan.


Industri alsintan di dalam negeri, lanjutnya, memperlihatkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Dari tujuh subsektor industri permesinan seperti konstruksi baja, alat konstruksi, mesin proses, alat energi, penunjang, dan kelistrikan, hanya subsektor Alsintan yang mencatatkan tren pengembangan cukup positif, seiring dengan kebutuhan mesin pra dan pascapanen di sektor pertanian yang terus meningkat.


Kondisi ini dimanfaatkan industri Alsintan lokal untuk meningkatkan kinerja produksi, karena sejumlah komponen pendukung mesin-mesin pertanian telah dikuasai industri lokal. ”Basis produksi alsintan tersebar di Yogya, Jateng, Lampung, Malang, hingga Kalbar, dan telah diekspor ke sejumlah negara berkembang,” katanya, menambahkan.


Kendati demikian, lanjutnya, pertumbuhan industri Alsintan masih lambat karena tertekan produk impor. Sepanjang tiga tahun terakhir, perkembangan nilai produksi Alsintan dari industri dalam negeri naik sangat tipis. Tidak adanya proteksi pemerintah di sektor alsintan, menyebabkan pemodal asing enggan berinvestasi di sektor ini karena tidak menguntungkan, sementara penyerapan tenaga kerja tidak bertambah.


TETAP ADA PELUANG: Peluang pengembangan mekanisasi pertanian di Indonesia, diakui banyak pihak, masih terbuka lebar. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa di subsektor tanaman pangan, khususnya padi, dari alur aktivitas kegiatan usahatani padi mulai dari pengolahan lahan hingga penggilingan, hanya ada dua kegiatan yang penerapan mekanisasinya sudah mencapai 100 persen, yaitu pengendalian hama-penyakit dan penggilingan padi, sementara untuk kegiatan yang lainnya masih relatif rendah, bahkan untuk kegiatan tanam, penyiangan dan panen 100 persen masih menggunakan alat tradisional.


Dari hasil identifikasi dengan menggunakan metode “pohon industri”, menunjukkan bahwa prospek bisnis 17 komoditas unggulan sangat cerah untuk dikembangkan di Indonesia. Investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan ke 17 komoditas unggulan tersebut selama 5 tahun (2005-2010) mencapai Rp. 145,7 triliun. Sementara itu, kebutuhan investasi selama periode yang sama untuk sektor pertanian secara keseluruhan mencapai Rp. 183,1 triliun.


Pengembangan teknologi pertanian diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat kita umumnya dan petani khususnya. Dapat dipastikan bahwa jika teknologi pertanian yang cocok tersebut telah berhasil dikembangkan dan diterapkan di negara kita, maka ketahanan pangan atau swasembada pangan pasti akan tercapai sehingga kemandirian dalam hal ekonomi dan politik dapat kita wujudkan. ”Mekanisasi mutlak kita terapkan. Jika tidak, jangan bicara soal swasembada,” kata Ketua Umum Perpadi, M. Nur Gaybita.


Apabila hal tersebut benar-benar kita miliki, lanjutnya, maka dalam menghadapi era global nanti kita sudah punya bekal paling tidak ketahanan pangan dalam menghadapi beberapa goncangan. Dengan ketahanan pangan berarti bahaya kekurangan pangan atau kelaparan akibat tajamnya persaingan pada era global dapat dihindarkan. Pada akhirnya kita punya modal kemandirian minimal dalam satu aspek pangan dan beberapa aspek lainnya misalnya keutuhan bangsa dan semangat untuk berkompetesi demi kemajuan bangsa yang berdaulat dan bermartabat.


Boks 1

Kebijakan Sudah, Penerapan Belum

Tak ada yang menafikan posisi, kontribusi, kekuatan, serta peluang mekanisasi pertanian untuk memberikan dukungan bagi pembangunan pertanian di Indonesia. Namun, sampai saat ini status mekanisasi pertanian dalam menunjang pengembangan pertanian di Indonesia belum memadai. Karena itu, untuk menciptakan suatu sistem mekanisasi pertanian yang berkelanjutan, pemerintah mengeluarkan kebijakan, strategi, dan program yang pada intinya mengajak semua pihak yang terkait dengan mekanisasi pertanian memiliki hubungan yang erat dan masing-masing pihak dapat memperoleh manfaat dari keberadaan mekanisasi pertanian tersebut.


Sebagai supporting system, pemerintah mengakui, posisi mekanisasi pertanian harus kuat dalam menopang modernisasi, dan sekaligus memberdayakan dan memihak kepada petani yang lemah dalam posisi tawar. Kebijakan pengembangan mekanisasi pertanian ini diharapkan mampu menumbuhkan peningkatan produktivitas baik pada sumber daya lahan dan tenaga kerja, peningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, serta peningkatan mutu produk dengan nilai tambah tinggi sehingga produk pertanian berdaya memiliki daya saing.


Di samping itu, mekanisasi juga didorong dalam rangka bertumbuh-kembangnya industri alsintan dalam negeri secara efisien, dengan kualitas yang dapat diunggulkan, dan dapat dijangkau oleh petani, serta mendorong kemitraan antara industri besar, industri kecil pengrajin alsintan, sehingga terjadi harmonisasi dalam pendalaman industri yang saling menguatkan.


Pemerintah mengakui, hubungan antar lembaga yang terkait dengan mekanisasi pertanian di Indonesia masih renggang. Contohnya, antara petani dengan pemerintah, petani dengan produsen alsintan, maupun antara pemerintah dengan pihak swasta, khususnya dalam hal riset. Untuk itu, pemerintah melalui Deptan, menempuh strategi dengan tujuan ganda yaitu membangun industri pertanian di pedesaan dengan basis mekanisasi pertanian pada sentra produksi.


Setelah itu, kebijakan dan strategi ini tertuang dalam berbagai program. Program pengembangan mekanisasi pertanian ini dilaksanakan dalam satu sistem yang terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik. Program ini melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan pembangunan pertanian, dan bukan merupakan program dari Deptan atau sektor pertanian, tapi merupakan program nasional yang melibatkan sektor ekuin (pertanian, industri, perdagangan, infrastruktur, dan keuangan), pendidikan, dan pemerintahan daerah.


Kebijakan, strategi, dan program sudah ditetapkan pemerintah. Apakah program mekanisasi pertanian langsung tancap gas? Tidak juga. Susunan kebijakan hingga program ini hanya berjaya dalam tataran teks, namun tak menunjukkan apa-apa pada tahapan pelaksanaan. Sepertinya, pemerintah tetap mengandalkan partisipasi sekaligus dukungan untuk mencapai tujuan dan sasaran kebijakan pengembangan mekanisasi pertanian.


Dukungan itu antara lain berupa infrastruktur untuk mendukung revitalisasi pertanian, seperti pengembangan dan rehabilitasi jaringan irigasi dan sumber airnya, jalan dan jembatan untuk sarana transportasi alat dan mesin pertanian, serta produk pertanian. Demikian juga dengan teknologi mekanisasi dan produksi alat dan mesin pertanian yang diupayakan dari dalam negeri. Pemerintah tidak hanya mendukung pengembangan komoditas, namun juga mendorong tumbuhnya industri alat dan mesin dalam negeri.


Kemudahan akses perbankan untuk mendapatkan kredit alat dan mesin pertanian dan kredit bagi bengkel pembuat alsintan, menurut pemerintah, juga mutlak diperlukan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penyuluhan kepada petani pengguna, operator, dan pengelola UPJA agar penggunaan alsintan secara teknis dan ekonomis menguntungkan, serta secara sosial tidak menimbulkan dampak negatif.


Boks 2

Saatnya Belajar dari Seberang

Melongok penerapan mekanisasi pertanian di negara-negara sahabat sungguh penuh inspirasi. Lihatlah Australia, misalnya. Secara keseluruhan mekanisme pertanian di Australia dikelola secara mekanisasi. Bahkan sinar laser digunakan sebagai petunjuk untuk meratakan tanah. Untuk menyebaran padi, pesawat digunakan sebagai media penyebarnya. Sedangkan, alat memotong dan menebah batang padi juga menggunakan mesin yang relatif modern. Pertanian di negara-negara juga mengandalkan mekanisasi apalagi lahan di sana sangat terbatas. Oleh karena itu, sistem pertanian di sana mengandalkan mesin-mesin berat seperti traktor, mesin pemotong dan mesin pemanen.


Tak jauh beda dengan Australia, begitulah Malaysia. Dengan sistem mekanisasi pertanian yang diterapkan, para petani di Malaysia tidak lebih sebagai manager dan mitra kerja bagi perusahaan Liong Eek Trading. Sebab, mereka tidak lagi mengerjakan sawah mereka sendiri, tapi pengerjaannya langsung dikerjakan oleh perusahaan bersangkutan. Kalau pengerjaannya dikerjakan oleh perusahaan, terus apa tugas petani di sana? Mereka hanya menjaga pengairan dan penanganan hama. Dengan tugas yang sangat terbatas itu, para petani dapat bekerja di bidang lainnya seperti pemeliharaan ternak, kebun holtikultura dan pekerjaan lainnya.


Untuk menjadi sebuah perusahaan pengelola pertanian padi, fasilitas yang dimiliki antara lain satu unit alat pengatur bibit dan arang sekam ke dalam kotak-kotak benih, dua unit alat penaam benih (alat trasplenter), kotak-kotak kecil berjumlah 120.000 unit untuk menaruh benih dalam kegiatan persemaian di areal 1,2 ha tersebut. Selain itu, empat unit traktor roda empat, dan tiga unit alat pemanen sekaligus perontok dan siap membersihkan gabah dari sampah dan hampa (combine harvester).


Setiap harinya, perusahaan ini mampu membuat persemaian sebanyak 6 ha. Persemaian padi dibuat dalam dua tahap. Masing-masing terdiri dari 120 ha, dengan kapasitas penanaman padi 6 ha peharinya, maka untuk satu tahap pengerjaan persemaian membutuhkan waktu sekitar 20 hari. Dengan demikian, hanya dalam kurun waktu 40 hari perusahaan ini telah mampu melakukan persemaian seluas 240 ha. Dalam satu tahun mereka dapat mengerjakan dua kali masa tanam dan dua kali pula panen.


Langkah yang menyebabkan pertanian di Jepang jauh meninggalkan Indonesia dalam jangka waktu yang sama adalah produktivitas pekerja. Yang utama dalam produkstivitas pekerja (petani) Jepang adalah terjadinya perbaikan yang esensial dalam praktik pertanian Jepang sesuai dengan produksi kecil yang efisien. Selain itu di Jepang produktivitas pekerja (petani) bukan hanya diperhitungkan per ha sawah, tetapi penggunaan tenaga kerja dimanfaatkan seefisien mungkin dengan menggunakan perhitungan yang baik.


Dalam pelaksaannya meliputi langkah nyata untuk meningkatkan akses kepada aset produktivitas berupa teknologi harus dimanfaatkan dan dikembangkan untuk tujuan yang lebih maju diantarnya pengolahan tanah, pemberian air, pemilihan bibit unggul, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pemanenan secara bijaksana.


Begitulah. Berkaca pada pengalaman yang dimiliki sejumlah negara di atas, mekanisasi pertanian memberikan banyak manfaat tidak hanya bagi petani, tapi juga mampu meningkatkan produktivitas hasil-hasil pertanian. Karena itu, tak ada salahnya kita menjadikannya sebagai inspirasi baru. Betul?