Kamis, Januari 22, 2009

Yuddy Chrisnandi: Agenda Progresif untuk Kejayaan Petani

Kemiskinan, ketidakadilan, ketergantungan pada asing, kebodohan, dan korupsi merupakan sederet persoalan yang menghambat kemajuan bangsa in. Untuk itu dibutuhkan pemimpin yang memiliki energi ekstra, visi orisinal, kapasitas, serta keberanian. Tak hanya itu, kita pun butuh seorang pemimpin yang memiliki visi dan gagasan ke depan untuk membawa perubahan.

Berangkat dari pemikiran inilah Yuddy Chrisnandi terdorong untuk mencalonkan diri menjadi presiden dalam pemilu 2009. Berlandaskan visi perubahan dan agenda-agenda progresif pro kerakyatan, ia pun dengan gagah mendeklarasikan diri menjadi Capres. Dan, nyaris tak ada lagi yang mampu membendung kehendak Anggota DPR dari Fraksi Golkar ini untuk menjadi pesaing tokoh-tokoh lama. Motivasinya untuk meraih kekuasaan politik tertinggi di Tanah Air begitu kuat.

Dalam sekejap, pria kelahiran Bandung, 29 Mei 1968, ini pun menjadi magnet baru di kancah perpolitikan nasional. Ia menginspirasi kaum muda sebayanya untuk senantiasa meneruskan estafet kepemimpinan nasional dan mengantarkan bangsa ini berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya. Yuddy, panggilan akrabnya, pun menjadi energi baru sekaligus tokoh alternatif yang memungkinkan rakyat memiliki alternatif pilihan selain tokoh-tokoh lama.

"Visi dan misi ke depan ini yang tidak dimiliki sunset generation. Visi ke depan dan energi baru ini cuma dimiliki orang-orang muda,” kata anggota Komisi I DPR ini. Selain soal regenerasi, menurutnya, ada peluang sekaligus harapan masyarakat yang besar terhadap kehadiran tokoh muda sepertinya. Ia yakin, berdasarkan pemahaman dan pengalamannya di bidang eksekutif dan legislatif, mampu melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan padanya.

Sebagai representasi dari anak muda seusianya, ia menyakini dengan usia yang belum terlalu tua akan memiliki waktu dan tenaga untuk bisa mengatasi persoalan tersebut secara intensif dengan komitmen yang kuat. Menurutnya, persoalan kebangsaan yang kompleks tak hanya menuntut kekuatan fisik, tapi juga kekuatan gagasan, serta visi yang jauh ke depan. “Saya menyakini, orang-orang muda seperti saya adalah jawaban terhadap keinginan untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan,” katanya kepada Qusyaini Hasan, Tri Aji, dan Safitri Agustina dari Majalah PADI.

Ditemui di ruang kerjanya di Ruang 1320 Lt. 13 Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, ia menjawab berbagai pertanyaan dengan lincah dan lugas. Tutur katanya terstruktur dengan tata bahasa yang teratur. Maklum, selain dikenal sebagai anggota legislatif yang kritis, ia juga seorang akademisi. Berikut petikan lengkapnya:

Kemandirian atau kedaulatan bangsa menjadi isu strategis belakangan ini. Apa solusi yang Anda tawarkan?
Menyangkut kemandirian bangsa, kemandirian di sini dapat diartikan semaksimal mungkin kita tidak tergantung pada pihak lain. Walau kita menyadari dalam era globalisasi, dalam tata dunia di mana satu negara dengan negara lain ada hubungan yang saling membutuhkan, namun hubungan yang saling membutuhkan tersebut tidak menjadikan negara kita tergantung pada belas kasihan negara lain. Bahkan bangsa kita tidak tergantung kepada keinginan negara lain.

Artinya kebutuhan-kebutuhan minimal, kebutuhan standar dan kebutuhan primer yag menjadi hak-hak dasar kepentingan rakyat harus dipenuhi negara. Apabila negara sudah mampu memenuhi kebutuhan tersebut, satu tahapan yang paling mendasar untuk mewujudkan sikap bangsa yang mandiri sudah kita miliki. Dengan demikian kita akan memiliki jati diri. Sikap independen itu diperlukan agar kita bisa berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan negara lain.

Menurut Anda, bidang apa saja yang semestinya kita tidak lagi bergantung pada orang lain?
Dalam konsepsi kemandirian yang paling utama adalah kemandirian di bidang pangan, energi, serta politik dan pertahanan. Kalau kita sudah memiliki tiga pilar kemandirian ini, kita akan menjadi negara yang kuat dan diperhitungkan bangsa lain. Jadi kalau kita memilih kemandirian di bidang pangan, otomatis kita tidak perlu lagi impor beras, jagung, gandum, dan segala macam. Akan ada implikasi secara ekonomi yang juga akan memperkuat sistem ketahanan ekonomi nasional, memperkuat sistem ketahanan pangan, memberikan nilai tambah dan kesejahteraan pada mereka yang bekerja di sektor pertanian.

Sebagian pihak menjadikan ketahanan pangan sebuah harga mati. Menurut Anda?
Kebutuhan kita untuk mewujudkan kemandirian Indonesia dengan memiliki ketahanan pangan nasional harus menjadi rencana strategis dari negara untuk segera mewujudkannya. Dan itu, dapat dilakukan. Kenapa? Indonesa negara agraris dan maritim, sehingga tidak ada kendala untuk mengembangkan sektor agraris andalan dan mengembangkan sektor kelautan dan perikanan. Kita sudah diberikan modal yang sangat besar dan tinggal bagaimana kita mengelolanya.

Ini persoalannya di tahap pengelolaan. Kalau kita kelola dengan baik, kita tidak perlu lagi makan dari pasar orang lain. Semua sudah tersedia dan ada di Indonesia, tinggal mau enggak kita mengelolanya dengan baik. Sebut saja pertanian, dari Sabang sampai Merauke, dari ujung timur sampai ujung barat, dari utara sampai selatan, kita mau nanam apa aja pasti bisa. Bahkan daerah paling kering sekalipun, pasti ada tanaman yang bisa ditanam di sana. Tinggal bagaimana kontur tanah, teksturnya, tingkat kelembaban udara pasti ada tanaman yang memiliki nilai produktivitas secara ekonomis yang bisa dimakan dan dikembangkan menjadi industri.

Anda ingin mengatakan, tidak ada alasan untuk tidak mewujudkan ketahanan pangan?
Modal dasarnya kita sudah punya. Tinggal bagaimana negara bisa membuat regulasi-regulasi yang mampu mendorong sektor ini untuk tumbuh, lalu ada insentif bagi mereka yang berinisiatif menggerakkan sektor ini. Harus ada perlindungan negara terhadap seluruh lahan-lahan agraria, harus ada terobosan-terobosan sehingga tidak satu jengkal tanah pun yang tidak dimanfaatkan bagi upaya memperkuat ketahanan pangan nasional.

Menurut pengamatan Anda, apa yang keliru dengan kebijakan di bidang pertanian selama ini?
Pertama, kita terlalu mengekor pada negara barat, sehingga kita melupakan modal dasar yang kita miliki. Kedua, kita merasa tertinggal kalau kita berputar ke agraria, kemudian kita ikut-ikutan mengembangkan industri high technology, yang sebenarnya mengurangi konsentrasi kita terhadap modal ekonomi mendasar yaitu pertanian dan kelautan. Ketiga, minimnya fokus dari para perencana negara dan pengambil keputusan untuk mengembangkan sektor unggulan yang kita miliki. Semua mau diunggulkan, dan terkesan semua berkompetisi. Harusnya dan skala perioritas.

Lalu, bagaimana dengan paradigma pembangunan pertanian selama ini?
Yang paling berbahaya adalah menyangkut paradigma pembangunan seperti apa. Paradigma pembangunan pro barat kapatilistik, neoliberalis, pro pasar, pro globalisasi, ya akan semakin terpuruk rencana dalam mewujudkan ketahanan pangan. Paradigma kembali ke tengah dan kiri, kiri artinya pro rakyat. Oleh karenanya kita tidak anti pasar, anti globalisasi, tidak anti kerjasama dunia, melainkan pro kerakyatan.

Dengan demikian paradigma akan semakin penting. Kalau paradigma bergeser ke rakyat, maka kebijakan pembangunan nasional akan disesuaikan. Menurut pandangan saya, selama ini sulit terwujud karena kita masih mengambang dan menggunakan paradigma yang mana. Kita cenderung menggunakan paradigma liberalisme, ekonomi pasar. Tetapi apa itu menguntungkan masyarakat yang tertinggal.

Karena itukah Anda menawarkan konsep neososialisme sebagai solusi?
Neososialisme bisa menjadi jawaban permasalahan, di mana pemerintah bergerak dan mengambil keputusan berdasarkan keinginan rakyatnya. Dari sana rakyat akan menjadi subjek kedaulatan, pembangunan, dan pemerintahan Indonesia. Dalam hal pertanian, para petani dengan hasil-hasil pertaniannya akan lebih diutamakan dan diunggulkan, walaupun buah-buah asing masuk ke Indonesia. Selain mengangkat Indonesia karena produknya juga meningkatkan kesejahteraan petani lokal. Lewat neososialisme rakyat akan lebih merasakan keadilan.

Selain itu, lanjutnya, neososialisme harus dijalani oleh pemimpin yang berkualitas. Pemimpin harus fungsionaris dan mampu memposisikan dirinya dalam keadaan apapun. Harus memiliki wawasan jauh ke depan dan harus dapat melawan kemapanan yang ada sehingga dapat dekat dan merasakan keadaan rakyatnya. Tujuannya agar dapat menghapus kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, korupsi, dan meghilangkan ketergantungan kita dengan pihak asing.

***
Doktor di bidang ilmu politik ini tak tanggung-tanggung dengan pencalonannya sebagai Presiden. Selain menyiapkan calon pendampingnya di kursi pemerintahan, ia juga telah menyusun kabinet bayangan di bawah nama Kabinet Pembaharuan Indonesia, sebagai sebagai komitmen dan kesungguhan untuk maju menjadi calon presiden pada pemilihan umum 2009. ”Ini bentuk kesungguhan saya,” katanya sambil menambahkan, dengan bentukan ini diharapkan masyarakat memiliki gambaran pada program di masa depan.

Politisi yang mengundurkan diri dari bakal calon legislatif dari Partai Golkar ini nyaris tak mengakomodasikan tokoh lama dalam struktur pemerintahannya. Semuanya adalah tokoh muda yang berasal dari kalangan profesional, birokrasi, maupun aktivis. Tak mengherankan jika nada skeptis publik sempat muncul menanggapi susunan kabinetnya.

Namun, suami Velly Elfira ini tetap dengan pendiriannya. Ia mengatakan, struktur kepemimpinan yang diusungnya memiliki kompetensi dan telah memahami masalah bangsa. Dengan demikian, lanjutnya, tim ini memiliki energi lebih untuk mencari solusi yang tepat. ”Saya optimis bisa menyelesaikan masalah bangsa,” katanya dengan penuh keyakinan.

***

Selama berkunjung ke masyarakat, apa yang Anda tangkap dari aspirasi masyarakat?
Rakyat Indonesia sebagian besar rakyat yang religius, bisa menerima hidup apa adanya pada saat sistuasi tidak memungkinkan. Tapi saat mereka melihat ada situasi orang lain yang berlebihan, mereka pun bertanya tentang keadilan. Rakyat Indonesia mau prihatin bersama, ketika para pemimpin juga prihatian. Solidaritas sosial menjadi sangat penting, mereka mengharapkan pemimpin yang punya sensitivitas dan pemimpin yang bisa merasakan apa yang tengah mereka rasakan. Dan mereka memerlukan kehadiran pemipin yang bisa jadi panutan.

Kedua, pemenuhan kebutuhan pokok yang menjadi tiang kehidupan mereka sehari-hari khususnya makan. Mereka ingin mendapatkan minyak tanah dengan gampang. Kalau digantikan gas mereka berharap mendapatkan gas dengan mudah. Kalau negara saja tidak bisa memenuhi kebutuhan dan menyediakan kebutuhan pokok, bagamana rakyat untuk bisa bermimpi hidup makmur dan bergelimpahan. Paling sederhana saja urusan dapur saja negara tidak bisa menjamin posoakn gas dan minyak tanah. Mereka mengharapkan negara mampu kebutuhan dasar mereka yaitu pangan.

Begitu jugakah dengan kesehatan maupun pendidikan?
Aspirasi selanjutnya, mereka juga pengen hidup sehat. Artinya, Puskemas mesti ada minimal di beberapa desa atau dusun radius 5-10 km ada 1 Puskemas. Mereka ingin sehat, dengan sehat mereka bisa ke sawah, ke kebun, menarik becak atau ojek. Setelah sehat mereka ingin anak-anaknya bisa lebih baik dari orang tuanya. Mereka ingin bisa menyekolahkan anak-anaknya. Mereka ingin nasib anak-anaknya lebih baik dari orang tua mereka.

Jadi, sebetulnya tidak ada keinginan mereka untuk kaya, menjadi pejabat, atau sesuatu yang lebih. Tidak ada. Yang mereka inginkan adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang mendasar saja. Sebetulnya ringan tugas negara. Ini masalah manajemen, pengelolaan, komitmen, keinginan, dan konsistensi upaya terus menerus untuk meningkatkan kualitas kehidupan rakyat.

Khusus di kalangan petani, kebijakan apa yang Anda tawarkan bagi mereka?
74% rakyat Indonesia tinggal di pedesaan dan pesisir pantai. Sisanya 26% di perkotaan dan pinggiran daerah di luar perkotaan. Orang miskin terbesar tinggalnya di pedesaan dan pesisir pantai. Keluarga rumah tangga miskin juga di pedesaan dan pesisir pantai. Orang yang tidak punya pekerjaan juga tinggal di pedesaan dan pesisir pantai, dan juga sebagian kecil masyaraat perkotaan. Mereka yang pembangunan relatif tertinggal oleh faslilitas-fasilitas modernisasi itu juga daerah pedesaan dan pesisir pantai.

Jadi kalau mau menyejahterakan rakyat, ingin mengurangi kemiskinan dan pengangguran, mulainya dari desa dan pesisir pantai. Dari berbagai profesi yang ada, profesi yang paling tidak sejahtera dan miskin adalah mereka yang berprofesi sebagai petani dan nelayan. Petaninya petani gurem yang rata-rata mereka mengelola sawah cuma 0,3 hektar, dan belum tentu sawahnya punya mereka. Jadi orang miskin itu ada di desa. Oleh karena itu tawaran kebijakan pro kerakyatan adalah yang mampu menggerakkan ekonomi pedesaan.

Misalnya?
Menghidupkan kembali KUD (Koperasi Unit Desa, Red.) di dalamnya ada menyediakan benih, obat-obatan tanaman, pupuk, pesistida, alat pertanian juga harus ada, plus kredit simpan pinjam. Dengan adanya KUD, permodalan petani akan dimudahkan. Tidak harus hutang sana sini, tapi untuk memulai produksi pada masa tanam tiba, negara sudah menyiapkan.
Lalu, pada saat menanam, petani juga perlu makan, tapi harus menunggu 3-4 bulan sampai padinya menguning. Mereka tidak boleh berhenti, harus ada sektor produktif lainnya. Program yang harus diluncurkan ke desa bukan seperti program BLT, PNPM Mandiri yang sifatnya birokratis. Tapi luncurkan satu program yang bisa menggerakkan ekonomi desa dengan membentuk badan usaha milik desa.

Persoalannya, mungkinkah ini bisa diwujudkan?
Kita memiliki kurang lebih 72.250 desa se Indonesia. Kalau setiap desa diberi modal dasar untuk membentuk badan usaha miliki desa sebesar Rp500 juta saja, itu angka yang diperlukan negara tidak sampai Rp40 trilun. Angkanya jauh lebih kecil dibandingkan yang dikorupsi oleh BLBI, KLBI. Angkanya jauh lebih kecil daripada tingkat kebocoran APBN yang diperkiran 30% dari APBN.

Dengan adanya Rp500 juta sebagai modal dasar badan usaha milik desa, rakyat di desa yang jumlahnya 1 desa 3000-4000 orang yang sebagian besar 80% petani, mereka bisa mengelola ternak kambing, sapi, ternak telur, pembudidayaan tanaman, dan sebagainya. Hal ini bisa menghidupkan ekonomi desa. Yang menganggur bisa bekerja, yang miskin ada harapan dapat penghasilan. Efek ekonominya pun bisa berantai. Pasar tradisional pun harus dikembangkan, sehingga lebih layak dan tidak becek.

Bagaimana dengan hasil-hasil pertanian?
Pemerintah memiliki kewajiban untuk membeli hasil pertanian pada saat kondisi surplus produksi, sehingga petani memiliki standar daya beli tertentu. Jangan sampai pada saat hasil bumi turun, seperti beras, gabah kering dibeli Rp3.000. Ketika surplus di mana-mana jangan dibeli di bawah Rp3.000. Penghasilan petani bisa turun. Sementara dia harus bayar sewa lahan, bayar pupuk, beli pestisida, modalnya habis. Lama-lama dia berpikir untuk apa bekerja di sektor pertanian.

Kalau ingin penghasilan rata-rata sebulan Rp1 juta, mending jadi buruh pabrik. Lambat laun sektor pertanian akan ditinggalkan oleh generasi selanjutnya, apabila tidak ada proteksi dari negara. Dan inilah yang terjadi sekarang. Karena itu, negara memiliki kewajiban melindungi hasil pertanian supaya harganya tidak jatuh, dan tidak menurunkan kemampuan daya beli dan kesejahteraan petani.

Menurut Anda, kebijakan di sektor pangan tidak hanya soal produksi, tapi juga kreativitas. Bisa dijelaskan?
Tidak semua negara bisa memproduksi beras. Karena itu, kebijakan di sektor pangan mencakup kreativitas-kreativitas, tidak hanya meningkatkan produksi tetapi juga menjamin kesinambungan orang mau untuk bekerja di sektor ini. Posisi petani dalam jangka panjang jadi posisi yang terhormat, diperhitungkan, dan menjanjikan. Tapi, yang terjadi, sekarang jumlah petani semakin menurun. Generasi baru tidak mau di sektor pertanian. Yang masih mau ke sawah adalah orang tua di usia 50-60 tahun. Hal ini karena tidak ada proteksi dari pemerintah yang berkesinambungan di sektor ini.

Sebagai tokoh muda, apa yang akan Anda perbuat agar generasi muda mau kembali ke sawah?
Negara harus punya komitmen yang kuat untuk melindungi sektor pertnaian. Negara juga harus memberikan insentif untuk mereka yang mau bekerja dan mengembangkan sektor ini. Harus ada daya dorong, harus ada motivasi. Selain itu, negara harus menempatkan sektor pertanian sebagai sektor andalan dan sektor unggulan, di mana orang-orang yang memiliki kompetensi di sektor ini lebih dihargai.

Artinya, insiyur pertanian lebih dihargai lagi. Karena mereka tidak dihargai banyak dari mereka yang lari ke wartawan, perbankan, dan sebagainya. Negara kenapa disebut ibu pertiwi, karena dia melindungi. Saat anak-anaknya masih dipapah, dia memberi susu, mengajari, dan memandikan. Itulah tugas negara. Jadi, ketika komitmen negara diyakini memiliki kekuatan untuk melindungi sektor pertanian, semua orang akan memiliki sense of belonging, dan muncul keinginan yang besar untuk terlibat di sektor itu.

Lalu, bagaimana gambaran petani kita masa depan menurut Anda?
Saya memimpikan kelak, para petani menggunakan alat-alat modern dalam mengelola lahannya. Pada 5-10 tahun mendatang, petani kita adalah petani yang sejahtera. Masyarakat desa tidak lagi kekurangan makan, mereka bisa menyekolahkan anaknya, bisa menabung sehingga meningkatan taraf hidupnya. Saya memimpikan petani kita datang pada saat ada temu wicara semisal dengan bupati, gubenur, presiden, mereka datang dengan pakaian yang baik, baju batik yang bersih dan rapi. Mereka bangga, bahkan dengan bangganya mereka berlomba-lomba menjelaskan tentang keberhasilan produski mereka.

Itulah bayangan tentang kehidupan petani dan pedasaan yang ideal bagi saya. Lingkungan alam terpelihara dengan baik, sawah-sawah mereka subur, mereka memiliki peralatan pertanian yang modern, memiliki gudang pengeringan dan penggilingan padi sendiri. Mereka punya pabrik penyedia pupuk kompos organik dan tidak tergantung lagi dengan datangnya pupuk kimia. Di sana juga punya kehidupan peternakan dari ayam, itik, kambing, atau sapi. Mereka punya tingkat atau taraf kemakmuran bukan sekadar bisa menyekolahkan anak dan menjaga kesehatan, tapi bisa tampil menjadi orang yang terhormat. Dan ini bisa dilakukan oleh pemimpin negara yang memiliki komitmen yang pro rakyat.

Biodata:
Nama lengkap: Yuddy Chrisnandi, Tempat, tanggal lahir: Bandung, 29 Mei 1968, Jabatan: Anggota DPR RI (Komisi I), Riwayat Pendidikan: SDN Panitran III Cirebon (1980), SMPN I Cirebon (1983), SMA Negeri 1 Cirebon (1986), S1 FE Univ. Padjajaran (1991), S2 Ilmu Ekonomi Univ. Indonesia (1997), S3 Ilmu Politik Univ. Indonesia (2001) Riwayat Pekerjaan: Bank Bukopin (1991-1992), Bank Bumidaya (1992-1994), Pengusaha-Dirut PT. KVA, PT. CPN (1997-2004), BPPN (1998-2000), Staf Ahli Kapolri (1998-2001), Anggota MPR RI (1998-1999), Staf Khusus Wapres (2001-2003), Dosen Fakultas Ekonomi Univ. Nasional, Dosen Program Pasca Sarjana Ilmu Politik Univ.Indonesia, Pengalaman Organisasi: DPP Golkar Departemen Hukum dan HAM, DPP Golkar Departemen Pemuda, Dewan Pakar KAHMI, Ketua Bidang Litbang Lemkari.

Mafia Pupuk, Bagai Ulat di Musim Tanam

Jelang musim tanam, pupuk langka di mana-mana. Yang biasanya ada, malah raib entah ke mana. Inilah peristiwa yang rutin diderita petani. Persoalannya, konon, terletak pada jalur distribusi dan permainan para mafia. Benarkah?


Wajah Kasman tak bisa menutupi keresahannya. Sudah berputar-putar ke sejumlah kecamatan tetangga, pupuk yang dicarinya tak juga didapatkan. Petani asal Cilamaya, Karawang, Jawa Barat ini pun makin gundah. Padahal, ia begitu membutuhkannya guna menghidupi tanaman padinya yang masih berumur hitungan hari. Jika pun stok di kios ada, katanya, para pemilik kios menaikkan harganya.


Kasman tak sendiri. Para petani di sejumlah daerah lagi-lagi mengeluhkan raibnya pupuk di pasaran. Kelangkaan pupuk kembali terjadi pada musim tanam beberapa waktu lalu. Persediaan pupuk di kios-kios, terutama di wilayah perdesaan yang jauh dari distributor, tak dijumpai sama sekali. Kalaupun ada, jumlahnya sangat terbatas dan para petani harus rela membelinya dengn harga yang jauh tinggi dari harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Harga pupuk bersubsidi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp105.000 per kuintal. Tapi nyatanya di kios yang tersedia harganya mencapai Rp108.000 hingga Rp111.000 per kuintal.

Di lumbung padi di daerah Karawang, Subang, maupun Indramayu, Jawa Barat, para petani pun bernasib sama. Sejumlah kios di wilayah Kecamatan Cilamaya Wetan dan Kulon, Karawang dan Kecamatan Pabuaran, Subang, sepanjang Desember lalu, memperlihatkan umumnya kios-kios tak memiliki persediaan yang mencukupi. Padahal, para petani sudah membutuhkannya untuk pemupukan tahap awal saat tanaman padi masih berumur 20 harian.


Kelangkaan pupuk di Karawang juga terjadi di Kecamatan Lemahabang, Jatisari dan Tempuran, terutama di lokasi-lokasi areal persawahan yang kini masuk musim tanam rendeng golongan IV dan V. Sedangkan di wilayah Kabupaten Subang, selain di Pabuaran, kelangkaan juga terjadi di Kecamatan Patok Beusi, Purwadadi, Kalijati dan Pantai Utara Sukamandi, Ciasem, dan Pamanukan.

Seperti dilaporkan Tempo, di kios pupuk milik Ingkan di Cilamaya Kulon, misalnya, pupuk urea produksi PT.Pupuk Kujang berlabel pupuk bersubsidi dijual dengan harga Rp111.400 per kuintalnya. “Saya belinya dari distributor Rp.108.000 per kuintal,” kata Ingkan. Sementara di kios Roes Pabuaran, Subang, pupuk yang sama dijual seharga Rp 115.000 per kuintalnya. Padahal sesuai harga eceran tertinggi pemerintah, pupuk bersubsidi di tingkat petani hanya boleh dijual seharga Rp.105.000 per kuintalnya.


Kebingunan para petani dengan keberadaan pupuk bersubsidi yang hilang di pasaran juga dirasakan di daerah lainnya. Di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, petani terpaksa harus menyisir dari satu kecamatan ke kecamatan lain untuk memenuhi kebutuhan. Itu pun kalau berhasil mendapatkan barang, harganya sudah melambung mencapai tiga kali lipat. Di Kecamatan Bonang, misalnya, harga pupuk bersubsidi telah menembus Rp190 ribu per-zak, padahal harga eceran tertinggi (HET) sekarang hanya Rp60 ribu.


Menurut pantauan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Demak, Hery Sugiartono, sebagaimana dilaporkan Kedaulatan Rakyat, menghilangnya pupuk di pasaran mengakibatkan para petani tidak dapat melakukan pemupukan karena pupuk tidak tersedia di pengecer. Jika pun ada, persediaan pupuk kurang hingga harganya menjadi tak terkendali.


KERJA MAKSIMAL?: Anehnya, pemerintah maupun para produsen pupuk merasa telah melakukan tugas dengan baik. Pihak PT Pupuk Sriwijaya Sumatra Barat (Sumbar), misalnya, mengakui, seluruh kebutuhan pupuk urea di Sumbar telah didrop ke 55 distributor pupuk. Dari data PT Pusri setiap bulan, seperti dikutip Jurnal Nasional, delivery order telah disalurkan mencapai 5.160 ton dengan kebutuhan Sumbar yang 5.400 ton. Dengan demikian, tak perlu terjadi kelangkaan parah yang dibarengi dengan harga pupuk menjunjung tinggi seperti sekarang ini.


Dalam pertemuan di Pemkab Boyolali, PT Pusri selaku distributor menjamin pasokan pupuk di tingkat pengecer masih aman. PT Pusri, yang diwakili Ferizal, bidang pemasaran wilayah Jateng mengatakan, kelangkaan yang terjadi selama ini diduga lantaran pengecer nakal dan para petani menggunakan pupuk berlebihan.

Untuk mencegah kelangkaan pupuk, Pusri, seperti dikutip Radar Solo, menyediakan resep, yakni pupuk di seluruh gudang di kabupaten harus cukup. Lalu diperlukan realokasi penyerapan pupuk rendah ke daerah yang penyerapannya tinggi agar tetap merata distribusinya. ”Hal ini harus ada aturan seperti SK Gubernur. Lalu langkah yang lebih manjur adalah pemkab melakukan operasi pasar,” terang Ferizal.

Sejumlah produsen pupuk lainnya bahkan mengaku telah memiliki jalur dan sistem distribusi sendiri yang diklaim mampu mencegah berbagai praktik penyimpangan dan menjamin pupuk bersubsidi sampai ke petani. Nyatanya, pupuk tetap saja langka jika dibutuhkan. Kelangkaan dan harga pupuk yang tinggi tetap menjadi persoalan yang belum teratasi dan membuat masyarakat petani menjerit.


Pemerintah sendiri juga merasa telah menggelontorkan dan berusaha mencukupi barang kebutuhan petani tersebut.
Oleh pemerintah, subsidi pupuk intinya bertujuan agar petani mendapatkan harga pupuk dengan harga terjangkau. Lengkap dengan embel-embel meningkatkan produktivitas dan produksi komoditas pertanian yang ujung-ujungnya ketahanan pangan nasional.


Supaya tidak terjadi penyimpangan dalam penyaluran dan menjamin pengadaan pupuk bersubsidi, Pemerintah melalui Menteri Perdagangan bahkan berkali-kali mengatur distribusi pupuk bersubsidi, dengan memperbaiki sistem pengawasan dan perubahan wilayah tanggung jawab produsen (rayonisasi).

Untuk mencegah kebocoran pupuk bersubsidi, produsen diwajibkan untuk menyampaikan daftar distributor dan pengecer di wilayahnya, kemudian pengecer tersebut hanya boleh menebus pupuk dari satu distributor saja. Di samping itu, pemerintah juga mencoba sistem rayonisasi hingga sampai ke pengecer sehingga pengecer ikut bertanggung jawab kepada wilayah desa yang berada di bawah pengawasannya.

Dalam sebuah kesempatan, Menteri Perdagangan, Mari E. Pangestu, juga menegaskan, pemerintah akan memberikan sanksi berat kepada pengecer jika melakukan penyelewengan dalam menyalurkan pupuk bersubsidi. Pengecer yang melanggar akan dicabut izinnya. Pemerintah memperketat pengawasan ini sebagai program jangka menengah sehubungan ketimpangan sistem distribusi. Ketimpangan ini menyebabkan program membantu petani dengan pupuk subsidi tidak maksimal. Dalam jangka menengah, juga akan dibenahi sistem pada hulu industri pupuk.

Selain itu, produsen, distributor, dan pengecer akan menandatangani kesepakatan memperketat pengawasan sampai dengan tingkat desa dan pengecer. Rancangan mengenai kesepakatan ini sudah dibahas, dan para distributor dan pengecer sudah menyatakan komitmennya untuk melakukan pengawasan di masing-masing wilayah.

Hanya saja, niat baik pemerintah itu pun sebatas di angan-angan para petani. Buktinya, sampai kini petani tidak menikmati harga pupuk bersubsidi secara nyata dan petani masih kesulitan mengakses dengan mudah. Petani malah mendapatkan harga pupuk bersubsidi dengan harga tinggi akibat ulah para pengecer nakal yang sulit dikendalikan.


ULAH MAFIA?: Menyusul terjadinya kelangkaan pupuk ini, sejumlah pihak mempertanyakan kinerja jajaran pengawas pupuk di lapangan. “Kami menyesalkan bagaimana bisa pupuk menjadi langka. Itu kebutuhan urgen petani, sehingga berapapun harganya petani tetap akan membeli. Tetapi tolong mereka jangan dipermainkan. Kami minta pihak berwenang bertindak tegas, jika nanti ditemukan adanya mafia pupuk,” kata Yusak Munir, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Petani, Demak, seperti dikutip Kedaulatan Rakyat.


Pernyataan bahwa adanya praktik tangan-tangan kotor mafia di balik kelangkaan pupuk memang berhembus setiap pupuk raib di pasaran. Jaringan mafia pupuk ini bahkan diduga telah mengakar di berbagai daerah jauh sebelum program pupuk bersubsidi digulirkan.


Motifnya, apalagi kalau bukan mencari keuntungan pribadi. Mereka bisa saja menyelundupkan pupuk bersubsidi ke luar negeri karena adanya disparitas harga yang tinggi antara harga jual domestik atau Harga Eceran Tertinggi (HET) dan harga ekspor. Sekadar informasi, harga pupuk di luar negerii bisa mencapai 250 dolar AS/ton, sedangkan HET hanya sekitar 100 dolar AS/ton.

Guna melempangkan niat bulusnya, disinyalir bahwa peristiwa ini juga melibatkan distributor pupuk yang dibantu aparat terkait. "Kita sudah teliti dan tinjau ke lapangan, ternyata ditemukan adanya indikasi permainan distributor," kata anggota Komisi VI DPR, Refrizal, seperti dikutip Antara News.


Menurut dia, diduga kelangkaan pupuk bersubsidi tersebut terjadi karena adanya penyimpangan yang dilakukan pihak distributor dengan dibantu oknum aparat. ”Kami sudah minta pihak Pusri untuk segera menyelesaikan persoalan ini. Jika dibiarkan berlarut-larut, akan merugikan petani dan pemerintah,” katanya.

Kelangkaan pupuk yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia belakangan ini diduga disebabkan oleh distribusi yang tidak beres. Bahkan, anggota FPDIP, Aria Bima, mengatakan, justru ada upaya pembiaran dari pemerintah terkait masalah kelangkaan pupuk belakangan ini. ”Kita harus ada suatu sikap untuk segera melakukan fungsi pengawasan. Harus ada rapat khusus mengenai hal ini," tegas Aria seperti dikutip detikNews.

Sementara itu anggota FPKS, Suswono, mengaku telah melakukan kunjungan ke gudang-gudang produsen di beberapa daerah dan menemukan kejanggalan terkait pendistribusian pupuk nasional. ”Saya menemukan di penyalur resmi, pupuk tidak ada. Malahan di penyalur tidak resmi pupuk menumpuk. Bahkan harganya dua kali lipat. Berarti ada yang tak beres,” beber Suswono.


PERLU DIATASI: Bagaimanapun, kelangkaan pupuk ini tetap perlu diatasi. Sebab, menghilangnya pupuk di pasar dan kios pengecer, begitu menyulitkan bagi petani. Berbagai hal akan muncul sebagai akibatnya, terutama menyangkut faktor produksi. Biaya yang semakin tinggi, sedikit banyak akan mempengaruhi pendapatan hasil panen petani.


Pemerintah dan aparat terkait tetap memiliki tanggung jawab untuk menjamin ketersediaan pupuk bagi para petani, menyusul kelangkaan pupuk bersubsidi yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Desakan ini disampaikan oleh berbagai kalangan mengingat kondisi para petani di beberapa daerah yang makin kesulitan mendapatkan pupuk setiap musim tanam tiba.


Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Advokasi, Syarif Bastaman, mengungkapkan, pemerintah terkesan lamban dalam mengantisipasi kelangkaan pupuk yang dialami oleh para petani. ”Diharapkan kepada pemerintah untuk memperhatikan betul derita para petani di berbagai penjuru tanah air. Tibanya musim tanam, ternyata tidak diimbangi dengan langkah sigap pemerintah. Kami ingin menegaskan, petani adalah ujung terdepan dalam penyediaan pangan,” tutur Syarif Bastaman seperti dikutip Kompas.


Hal senada juga disampaikan oleh Sekjen Pakar Pangan Jackson Kumaat. Menurutnya, jangan sampai para petani dibuat terus menerus mengeluh dengan nasibnya yang seakan harus menjadi bagian terdepan terkena imbas atas krisis ekonomi sekarang ini. Menjamin keberadaan pupuk, kata Jackson, tentu menjadi keharusan pemerintah.


Di samping itu, lanjutnya, Polri juga perlu mengantisipasi indikasi penyelundupan pupuk ke luar negeri. Sementara, Menteri Pertanian harus melakukan operasi pasar guna mengantisipasi kelangkaan pupuk ini. Keresahan para petani mengenai kelangkaan pupuk di saat memasuki musim penghujan saat ini, perlu dilakukan tindakan yang terkoordinasi dan bersinergi.


Syarif Bastaman menambahkan, bukan menjadi alasan bila pemerintah mengatakan kelangkaan pupuk menjadi sebuah rutinitas yang dialami oleh para petani. Yang dituntut petani, tegas Syarif, adalah keberpihakan kebijakan untuk meneruskan kelangsungan hidup para petani di semua daerah di Indonesia.

"Tindakan pemerintah haruslah nyata, bukan hanya pepesan kosong belaka. Sudah tentu, kelangkaan pupuk sekarang ini harus segera dihentikan. Jangan sampai, hal ini malah mengganggu para petani yang sedang mengalami musim tanam," tandas Syarif.


Jackson mempertegas, salah satu langkah lain yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan tindakan tegas kepada siapapun yang terbukti melakukan penyelundupan pupuk ke luar negeri. Menurutnya, operasi pasar yang akan dan sedang dilakukan oleh Departemen Pertanian, perlu didukung dengan tindakan hukum. ”Oleh karena itu, segera tangkap mafia pupuk yang meresahkan petani. Jangan sampai pemerintah dinyatakan gagal oleh para petaninya sendiri,” jelas Jackson.


***


Boks 1

Mengungkap Mampetnya Distribusi Pupuk


Pola distribusi pupuk sejatinya ditengarai rawan kecurangan sejak lama. Jangankan tepat sasaran, pola distribusi pupuk bersubsidi pun lebih banyak menimbulkan kecurangan dan kekurangan. Selain praktek yang dapat menimbulkan monopoli perdagangan, pola distribusi pupuk, mulai dari distributor hingga ke pengecer, dari pengecer ke kios, dan dari kios ke petani, lebih banyak menimbulkan kecurangan.


Alur distribusi pupuk saat ini, terdiri dari: Lini I (pabrik) – Lini II (UPP) – Lini III (Gudang Produsen – Distributor) – Lini IV (Pengecer Resmi) – Kelompok Tani/Petani. Kendaraan pengangkut, pengecer, dan distributor harus teregistrasi. Sedangkan pengecer hanya boleh melepas pupuk kepada petani yang sudah terdaftar di wilayahnya.


Berdasarkan kajian yang dilakukan Dewan Tani Indonesia, terdapat beberapa rangkaian situasi yang menyebabkan kasus kelangkaan pupuk masih terjadi. Anggawira, Direktur Eksekutif API (Agriculture Policy Institut)menyebutkan, kebijakan makro pemerintah dan distribusi pasar pasar yang kacau merupakan pemicu kelangkaan pupuk beberapa waktu lalu. Selain disebabkan produksi terbatas, pendistribusiannya juga kurang baik sehingga menyebabkan penyelewengan-penyelewengan di lapangan.


Bahkan, kebijakan distribusi pupuk bersubsidi semitertutup dengan sistem Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) untuk mengurangi penyimpangan dinilai membingungkan para petani. Di Indramayu, seperti dipantau Pikiran Rakyat, sejumlah petani mengeluh karena tidak termasuk dalam RDKK dan merasa kesulitan untuk mendapatkan pupuk. Sementara itu, adanya kebijakan pengiriman pupuk ke tingkat kios/pengecer yang pelaksanaannya disesuaikan dengan jadwal pemupukan membuat petani kesulitan memperoleh pupuk untuk kebutuhan pemupukan benih.


Seperti diungkapkan para petani di Kecamatan Jatibarang dan Sindang, meskipun distribusi pupuk sistem RDKK dimaksudkan agar petani mendapat kepastian memperoleh alokasi pupuk bersubsidi, pada prakteknya malah membingungkan. ”Buktinya saat ini kita malah sulit mendapat pupuk untuk sekadar kebutuhan pemupukan benih,” kata Amin, petani Desa Kenanga, seperti diutarakan pada Pikiran Rakyat.


Di samping itu, pola distribusi yang selama ini diterapkan masih membuka peluang maraknya penyelundupan pupuk ke luar negeri oleh para mafia perpupukan. Penyebab penyelundupan tersebut adalah akibat adanya disparitas harga yang tinggi antara harga jual domestik (HET) dan harga ekspor. Disparitas harga yang diperoleh para mafia ini pun memang menggiurkan, sekitar 100 dolar AS/ton.


Dari pola distribusi ini terlihat bahwa di balik kasus kelangkaan pupuk ternyata menyimpan masalah yang cukup rumit. Kasus kelangkaan pupuk ini tidak bisa ditangani secara parsial, tapi ditangani secara konprehensif dari berbagai sisi. Pemerintah dan produsen diminta untuk segera mengambil langkah-langkah intervensi.

Yang lebih penting, produsen tidak memonopoli distribusi pupuk ke pengecer guna mengurangi risiko penyelewengan. Sebab, ”Untuk distribusi jelas ada masalah monopoli karena produsen memberikan pada pengecer tertentu. Soal pemberian pupuk secara rayonitas tidak masalah, asal efektif," kata anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Benny Pasaribu, seperti dikutip Antara.

Dia mengatakan, pembagian pupuk secara rayonitas membuat petani tidak memiliki pilihan. Masalah akan timbul jika pupuk dari produsen yang telah ditentukan terganggu akibat masalah produksi, petani akan panik. ”Masalah kelangkaan pupuk memang tidak bisa dilihat sebagian saja. Rencana pemberlakuan RDKK oleh Deptan cukup baik dengan memberikan langsung ke petani, tapi masalahnya kita tidak punya data base yang bagus,” ujar dia.


Menurut anggota DPRD Jawa Tengah, Fatria Rahmadi, program jangka pendek yang perlu ditempuh adalah operasi pasar, khususnya di daerah yang mengalami kelangkaan sangat kritis. Selain itu, perlu peningkatan kualitas pengawasan. Kalau perlu,distributor melakukan mekanisme pengawasan internal, dengan menempatkan petugas khusus yang mengawal pupuk dari gudang ke tangan petani.

”Untuk jangka panjang perlu dipersiapkan skema distribusi alternatif. Pola penyaluran paling cocok seperti penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin). Pemerintah dan produsen langsung mengambil alih operasional distribusi,” katanya seperti dikutip Suara Merdeka. Dengan begitu, lanjutnya, penyaluran pupuk diharapkan akan tepat sasaran, tepat harga, tepat waktu dan tepat kuota. Dari aspek pertanggungjawaban, pengawasan dan koordinasi akan lebih trasnparan dan jelas.


***


Boks 2

Banyak Jalan Berantas Mafia


Sudah jadi pemahaman publik, kelangkaan pupuk di sejumlah daerah penyebabnya diduga dilakukan oleh jaringan mafia pupuk. Kondisi demikian bahkan sudah berlangsung lama. Oleh karenanya, bila pemerintah serius memperhatikan nasib petani, seharusnya aparat terkait berani mempersempit ruang gerak bahkan memberantas mafia pupuk ini.


Menurut sejumlah pengamat, jaringan mafia ini bahkan diduga melibatkan oknum pejabat BUMN pupuk. Karena itu, tak aneh jika sejumlah pihak meneriakkan penggantian direksi BUMN pupuk guna memberantas mafia. ”Salah satu cara untuk memberantas mafia pupuk yakni mengganti direksi BUMN pupuk yang terbukti terlibat mafia pupuk,” tegas Ketua BUMN Watch Naldy Nazar Haroen, seperti dikutip Sinar Harapan.


Tuntutan senada juga disampaikan Ketua Umum Ikatan Pengusaha Muslim Indonesia (IPMI) HM Syaiful Anwar. Menurutnya, pemerintah harus mengganti jajaran direksi BUMN yang memproduksi pupuk jika dalam waktu dua bulan ke depan tidak mampu mengatasi kelangkaan pupuk bagi petani dan industri perkebunan di dalam negeri. ”Kelangkaan pupuk ini telah mengakibatkan petani dan industri perkebunan tersiksa,” katanya, seperti dilansir Antara.


Dia berharap, ketiga BUMN bidang pupuk yakni PT Pusri Palembang, PT Pupuk Kujang Purwakarta dan PT Pupuk Kaltim agar meningkatkan produksi pupuk dan melancarkan distribusi pupuk kepada petani, sehingga dalam musim tanam dua bulan mendatang, petani dan pengusaha perkebunan tidak mengalami kesulitan mendapatkan pupuk. Bahkan, jika perlu, lanjutnya, pemerintah melakukan impor pupuk untuk memenuhi kebutuhan petani dan pengusaha perkebunan.


Pencabutan SK No 70/MPP/Kep/2/2003, tentang pengadaan dan peyaluran pupuk bersubsidi utuk sektor pertanian, yang sering merugikan petani, juga sempat diwacanakan sejumlah pihak. Selanjutnya, pemerintah memberikan tanggung jawab pendistribusian pupuk kepada BUMN khusus yang menangani distribusinya. Pasalnya, muara dari hilangnya pupuk di pasaran adalah pola distribusi yang monopolistik dan rawan penyelewengan.


Cara lain yang dapat ditempuh adalah menerapkan subsidi hasil panen (output) daripada menekankan subsidi pada sarana produksi, seperti pupuk, benih, maupun alat dan mesin pertanian (input). Menurut Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) M. Nur Gaybita, pemberian model subsidi input ini sudak terbukti seringkali diselewengkan. ”Dengan subsidi output, rakyat dapat merasakan langsung karena pemerintah menjamin harga hasil panen tidak jatuh,” katanya.


Solusi yang lebih bijak adalah bagaimana agar para petani kita bisa memutus kebergantungannya kepada pupuk kimia, dengan beralih kepada pengembangan pertanian organik (organic farming). Pertanian organik adalah sistem pertanian yang mirip dengan keseimbangan yang terjadi di hutan. Dalam sistem itu, kesuburan tanah berasal dari pelapukan bahan organik yang terjadi secara alamiah. Siklus tersebut bisa diadopsi dengan menggunakan pupuk kompos alami dari sampah organik. Dengan demikian, petani pun tak perlu menjerit lagi jika pupuk urea bersubsidi dipermainan para mafia di pasaran.




IN BED WITH ARMY, CAN WARS BE COVERED OBJECTIVELY? (2008)


Title: In Bed With Army, Can Wars Be Covered Objectively?
Writer: Akhmad Kusaeni
Editor: Qusyaini Hasan
Publisher: Editor’s Syndicate, Jakarta
Printed: I, 2008
Content: 200 pages

This book you are now reading is originally a piece of Master Project or Thesis written by Akhmad Kusaeni, Deputy Editor in Chief of Antara, Indonesian News Agency.

Ateneo de Manila University is the oldest and a leading university in the Philippines, where almost prominent person in the country graduated from this Jesuit University, such as President Gloria Macapagal Arroyo and Benigno Aquino. Pinoy says that only rich and scholar can study at Ateneo. Mr. Kusaeni is fortunate that he was scholar who gets fellowship from Konrad Adenauer Stiftung. He started study in 2003 and graduated in 2005.

He wrote a Thesis on embedded journalists with case study on military operation in Aceh (Indonesia) and Mindanao (Philippines). Embedded journalism is an intriguing issue. It has raised concern for the practice of ethical and good journalism. Questions of journalistic objectivity are raised in practice of embedding reporters in military units as they go to war. When journalists and army personnel work together, eat together and sleep together, can war be covered objectively? This book has answer for the question.

The other articles in this book are also based from Mr. Kusaeni’s academic work when pursuing his Master of Arts degree. Every semester, he had to submit a final paper on various issues, such as relations between media and politics, media and gender, or media and new technology.

This book will be useful for media communities, academician or just ordinary people.

PRIVATISASI PELINDO II, BENARKAH ADA KORUPSI? (2008)


Judul: Privatisasi Pelindo II, Benarkah Ada Korupsi?
Penulis: Akhmad Kusaeni

Editor: Qusyaini Hasan
Penerbit: Editor’s Syndicate, Jakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: 175 halaman


Privatisasi adalah berhala baru pada dekade 1980 dan 1990-an. Seiring dengan kemenangan sistem kapitalis-liberalis atas sosialis-komunis pasca Perang Dingin, privatisasi menjadi gelombang besar yang menerjang ke seluruh penjuru dunia. Privatisasi menjadi pilihan kebijakan yang banyak diterapkan di negara berkembang maupun negara maju.


Kebijakan privatisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap PT Pelindo II bertujuan sangat mulia, yaitu mendapatkan uang kontan dan mengundang investor asing. Ini misi suci untuk menyelamatkan perekonomian nasional yang terancam bangkrut ketika krisis ekonomi menerpa Indonesia.


Namun, beberapa jurnalis dan aktivis anti korupsi mengklaim bahwa Grosbeak Pte Ltd, perusahaan yang memenangi proses penawaran, dimiliki oleh sejumlah pengusaha yang memiliki keterikatan, termasuk Bambang Trihatmojo, Prajogo Pangestu dan Tanri Abeng. Mereka juga menuding tim negosiasi telah melakukan praktek korupsi dengan menyatakan perusahaan tersebut sebagai pemenang.


Pihak lain mengklaim bahwa tim negosiator, khususnya Tanri Abeng sebagai Pelaksana Harian Tim Evaluasi Privatisasi, telah mengambil uang hasil privatisasi untuk keuntungan sendiri dan mendanai kampanye Golkar dalam Pemilu.


Buku ini mengupas tuntas proses dan kebijakan privatisasi Pelindo II sehingga pembaca bisa menarik kesimpulan apakah ada korupsi dibalik tender bernilai ratusan miliar dolar pada tahun 1999 tersebut.

78 TAHUN PROBOSUTEDJO, BERTANI UNTUK KESEJAHTERAAN NEGERI


Judul: 78 Tahun Probosutedjo, Bertani untuk Kesejahteraan Negeri
Penulis: Qusyaini Hasan dll.
Penerbit: Perpadi, Jakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: 127 halaman

Probosutedjo: “Meningkatkan Hasil Pertanian itu Gampang!”



Keluar dari LP Sukamiskin, Bandung, pada 12 Maret 2008 dengan status ”orang merdeka”, Probosutejo – adik tiri almarhum mantan Presiden Soeharto itu – bertekad menerjunkan diri di bidang pertanian. Fokus perhatiannya jelas: menggenjot produksi pertanian dan meningkatkan kesejahteraan para petani miskin.

Melalui PT Tedja Kencana Tani Makmur, perusahaan miliknya, Probo serius terjun di bisnis padi organik – jenis tanaman padi yang diproduksi tanpa menggunakan bahan kimia – dan menjalin kemitraan dengan para petani melalui pola yang, menurutnya, saling menguntungkan.

"Saya baru enam bulan memulainya," katanya saat panen perdana padi organik di Karawang, Jawa Barat, Maret silam. Produksi padi organik olahannya bisa mencapai lebih dari 10 ton gabah kering panen (GKP). Padahal, rata-rata produksi di Karawang saat itu hanya 6,2 ton.

Maka, lahirlah apa yang disebut ”Metode Probosutedjo” (Metpro), sebuah program peningkatan produksi pertanian dengan cara pengembangan padi organik khusus benih unggul Indonesia.

Metode itu pula yang kemudian ia rumuskan dan tuangkan dalam sebuah buku berjudul Bertani untuk Kesejahteraan Negeri, yang diluncurkan di Kabupaten Sumedang, tepat di ultahnya ke 78, 1 Mei lalu.

EDDIE WIDIONO DI BAWAH PUSARAN MEDIA (2007)


Judul: Eddie Widiono di Bawah Pusaran Media
Penulis: Qusyaini Hasan dll.
Penerbit: Nextmedia, Jakarta
Cetakan: I, 2007
Tebal: 160 halaman

Sebagai arena publik, media massa seharusnya berfungsi memasok, memproduksi, dan menyebarluaskan informasi yang diperlukan guna memfasilitasi pembentukan pendapat umum (opini publik) dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen. Namun, organisasi, modal, ideologi, maupun kultur yang dikembangkan memungkinkan institusi media tidak lagi menikmati kebebasan dan independensinya. Lebih dari itu, situasi ini memberikan ruang gerak baru bagi media untuk memunculkan orientasi, penyikapan, maupun ideologi sosial, ekonomi, maupun politik media yang direkonstruksikan melalui pemberitaannya.

Atas dasar itulah buku ini diterbitkan. Tidak hanya mendeteksi kecenderungan-kecenderungan sikap, orientasi, maupun ideologi pers, riset dalam buku ini juga mencoba menelisik lebih jauh bagaimana media melakukan penilaian, evaluasi, atau redefinisi terhadap fakta berita yang dibangun dalam suatu kemasan (pakage) sikap politik maupun ekonomi tertentu. Selain itu, riset juga menelusuri bagaimana media melakukan pemihakan dengan memberikan citra positif, penolakan dengan citra delegitimatif, maupun sikap netral akibat keberhati-hatikan dalam kebijakan redaksionalnya.

Lalu, mengapa sosok Dirut PLN dipentingkan dalam riset ini? Sebagai pejabat publik yang menangani persoalan kelistrikan nasional, sosok Eddie Widiono seringkali menjadi sorotan publik. Tak terbantahkan lagi, listrik yang menjadi hajat hidup rakyat banyak menempatkan Eddie Widiono sebagai orang nomor satu yang dapat dijadikan kambing hitam sekaligus muara persoalan jika kondisi kelistrikan nasional tidak memberikan kepuasan maksimal bagi seluruh rakyat. Sedikit saja terjadi sesuatu yang berkait dengan soal listrik, serta merta, namanya akan disebut-sebut. Apalagi saat terjadi kenaikan tarif dasar listrik, dia menjelma menjadi public enemy number one.

Penelitian ini mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti; Bagaimana media massa memaknai dugaan korupsi yang melibatkan Eddie Widiono? Bagaimana pola maupun kecenderungan pemberitaan pers berkaitan dengan dugaan korupsi ini? Apakah media memperlihatkan orientasi politik maupun ekonomi yang berbeda terhadap fakta-fakta seputar kasus ini? Lebih dari itu, apakah media telah melakukan pencitraan tertentu terhadap sosok maupun figur Eddie Widiono, serta bagaimana melakukannya?

Selanjutnya, media massa cetak yang dijadikan subyek penelitian ini cukup beragam, baik dari segmentasi pembacara maupun produk jurnalistiknya, seperti berita dan tajuk rencana (editorial). Surat kabar/ koran yang terpilih antara lain Kompas, Rakyat Merdeka, Media Indonesia, Suara Pembaruan. Sedangkan majalah berita yang terpilih antara lain Tempo, Gatra, dan Trust.

PENGADILAN HAM AD HOC TANJUNG PRIOK (2005)


Korban Harus Direhabilitasi

Judul: Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok: Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional
Penulis: A.M. Fatwa
Editor: Qusyaini Hasan & Saripudin HA
Penerbit: Dharmapena Publishing, Jakarta
Cetakan: I, 2005


Mantan narapidana politik zaman Orde Baru, AM Fatwa, Kamis (14/7) malam meluncurkan bukunya yang ke-18 berjudul Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok: Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional terbitan Dharmapena Publishing. Menurut Fatwa, semua kasus pelanggaran hak asasi manusia harus diproses demi keadilan hukum, tetapi semuanya juga harus berujung damai dan saling memaafkan.

Walaupun untuk kepentingan sejarah, haruslah dicatat dan tidak boleh dilupakan sebagai pelajaran bagi generasi yang akan datang, kata Wakil Ketua MPR tersebut ketika menyampaikan sambutan peluncuran bukunya yang meriah itu.

Hadir dalam peluncuran buku tersebut Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara As'at Said.

Fatwa mengatakan kekecewaannya karena peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 walaupun berhasil di bawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc, tetapi Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc baru-baru ini membebaskan seluruh terdakwa.

Fatwa yang diganjar 18 tahun penjara dan menjalani hukuman sembilan tahun itu menyebut peristiwa Tanjung Priok sebagai "�skenario politik intelijen rezim Orde Baru"�.

Beberapa bulan sebelum peristiwa itu, tepatnya 26 Juli 1984, Fatwa diundang Wakil Gubernur DKI Jakarta Mayjen Edi Nalapraya yang sebelumnya lama menjadi Asisten Intel Laksusda Jaya. Kepada Fatwa, Edi mengatakan, Bahwa intelijen berkesimpulan karena sekian lama Saudara ditekan dan diteror dengan berbagai cara, tapi Saudara tidak bisa berubah, maka terpaksa Saudara akan diselesaikan secara hukum...

Sejak itu hari-hari Fatwa senantiasa ditemani oleh seseorang yang belajar berdakwah kepadanya. Orang itu bahkan mengontrak rumah dekat rumahnya. Namun, belakangan diketahui orang tersebut adalah agan intelijen yang ditugaskan untuk mengikuti Fatwa.

Fatwa menegaskan, walaupun gigih memperjuangkan keadilan hukum dalam kasus itu, secara pribadi ia tidak menyimpan dendam terhadap pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa itu seperti Try Sutrisno, Benny Moerdani, bahkan Soeharto.

Fatwa mendesak Jaksa Agung untuk memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi korban Tanjung Priok. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan terbentuk juga harus mengagendakan kasus ini, katanya. (BUR)

CATATAN DARI SENAYAN (2004)


AM Fatwa Terbitkan Memori Akhir Tugas di Senayan

Judul: Catatan dari Senayan:
Memori Akhir Tugas di Legislatif 1999-2004
Penulis: A.M. Fatwa
Editor: Qusyaini Hasan & Saripudin HA
Penerbit: Intrans, Jakarta
Cetakan: I, 2004

Tebal: 238 halaman


Wakil Ketua DPR Andi Mapetahang (AM) Fatwa menerbitkan buku
Catatan dari Senayan sebagai memori mengakhiri tugas selama lima tahun sejak 1999 di parlemen.

Peluncuran buku dilakukan di Depok, Jawa Barat, Minggu, yang dihadiri Duta Besar Malaysia Dato Hamidhon Ali, Mensos Bachtiar Chamzah, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nurwahid, Ketua Panwas Pemilu Komaruddin Hidayat, Wakil Ketua MPR Posma L Tobing, serta sejumlah anggota Fraksi Reformasi DPR dan MPR.

Fatwa menyatakan, bersyukur dapat menyelesaikan buku tersebut sebelum masa jabatannya berakhir sekitar satu bulan lagi. Buku ini juga diselesaikan di tengah kesibukannya sebagai Wakil Ketua DPR serta kesibukannya melakukan kunjungan ke berbagai daerah dan luar negeri.


Kesibukannya juga terasa luar biasa akhir-akhir ini, mengingat posisinya sebagai salah satu ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) untuk mempersiapkan partai mengikuti Pemilu 2004.


Buku setebal 238 halaman yang diterbitkan Institue for Transformation Studies (Intrans) dengan judul lengkap Catatan dari Senayan, Memori Akhir Tugas di Legislatif 1999-2004 merupakan kelanjutan dari buku sebelumnya, Dari Cipinang ke Senayan.


Fatwa yang telah menerbitkan belasan buku termasuk tentang pengalamannya hidup di penjara mengatakan, kedua buku tersebut merupakan pertanggungjawaban politik, moral, dan operasional kepada konstituen serta kepada publik dalam melaksanakan amanat sebagai anggota parlemen.


Buku Catatan dari Senayan terdiri atas enam bab yang diawali dengan pengalaman dan kisah-kisah di balik amandemen UUD 1945, pembahasan berbagai RUU terutama RUU tentang BUMN, penyiaran, sisdiknas, ketenagalistrikan, RUU tentang panas bumi, sumber daya air (SDA) serta UU tentang Pemilu 2004.


Fatwa juga menyoroti dan mengkritisi privatisasi aset-aset negara dan belitan IMF terhadap Indonesia. Di samping itu, dia juga menyoroti Pulau Sipadan dan Ligitan yang akhirnya dimiliki Malaysia.


Bahasan lainnya mengenai penegakan hukum dan HAM, persoalan terorisme, proses pengadilan kasus Tanjung Priok, kemelut di PT DI, laporan BPK yang tidak ditindaklanjuti, dan korupsi Pertamina.
(ant-78t)

DARI CIPINANG KE SENAYAN (2003)


Amien Luncurkan Buku Fatwa, Dari Cipinang ke Senayan

Judul: Dari Cipinang ke Senayan: Catatan Gerakan Reformasi dan Aktivitas Legislatif hingga ST MPR 2002

Penulis: A.M. Fatwa
Editor: Qusyaini Hasan, Saripudin HA & Viva Yoga Mauladi
Penerbit: Institute for Transformation Studies, Jakarta

Cetakan: I, 2003
Tebal: 363 halaman

Ketua MPR RI Amien Rais di Jakarta, Kamis, meluncurkan buku AM Fatwa berjudul "Dari Cipinang ke Senayan" yang merupakan catatan gerakan Reformasi dan aktivitas Legislatif hingga Sidang Tahunan (ST) MPR 2002.
Amien mengatakan, Fatwa adalah tokoh yang konsekuen dan konsisten pada perjuangannya, sehingga pada era Reformasi ia berhasil menjadi Wakil Ketua DPR.

"Suatu hal yang membuat saya terkesan, setelah terpilih menjadi Wakil Ketua DPR, saudara Fatwa menunjukkan sikap syukur yang luar biasa," kata Amien Rais mengomentari perjuangan hidup AM Fatwa yang sempat membawanya ke penjara semasa era Orde Baru. Amien menilai, buku Fatwa bukan sekadar dokumen sejarah atas berbagai peristiwa sosial politik yang dialami, namun juga dapat dilihat sebagai progress report dari seorang wakil rakyat selama pengabdiannya di lembaga legislatif. Amien yang juga ketua umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) --AM Fatwa juga sebagai salah seorang ketuanya-- menyatakan buku ini tidak dimaksudkan untuk mengungkit masa lalu sehingga menimbulkan dendam. "Kita harus berpikir ke depan, menata sistem politik yang demokratis untuk menumbuhkan masyarakat madani," ucapnya.

Selain Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tandjung juga memberikan sambutannya. Akbar menyatakan buku Fatwa akan memperkaya dan melengkapi perspektif terhadap peristiwa- peristiwa dan momentum-momentum sosial politik yang pernah dialami AM Fatwa.
AM Fatwa lahir di Mare, Bone, Sulawesi Selatan 12 Februari 1939. Ia merupakan salah seorang perintis berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di IAIN Jakarta. Fatwa divonis 18 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Desember 1985, atas dakwaan melakukan subversi dengan menerbitkan "Lembaran Putih" Peristiwa Tanjung Priok.

"Walaupun penjara bukan tempat yang asing bagi saya, setidaknya saya pernah ditahan selama enam bulan di tahun 1963/64 dan sembilan bulan di tahun 1978 dan berkali-kali keluar masuk tahanan karena aktivitas politik yang saya lakukan," kata Fatwa.
Acara peluncuran buku di hotel bintang lima ini juga dihadiri Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Wakil Ketua MPR Slamet Surpijadi (F-TNI/Polri), Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, tokoh PDIP Sabam Sirait, Sophan Sophiaan, para mantan penasihat hukumnya serta beberapa dubes dari negara sahabat. [Tma, Ant]

TOMY WINATA DALAM CITRA MEDIA (2003)


Mengurai Wacana tentang Berita Tomy Winata
Oleh: M. Latief


Judul buku : Tomy Winata dalam Citra Media: Analisis Berita Pers Indonesia
Penulis : Saripudin HA & Qusyaini Hasan
Penerbit : Jasa Riset Indonesia (jAri)

Cetakan : I, Oktober 2003
Tebal: xii + 190 halaman


Kiranya, citra Tomy Winata (TW) betul-betul sudah terpuruk dan mati di tangan para kuli tinta. Bisa dikatakan, pencitraan tersebut sudah berlangsung jauh-jauh hari sebelum meletusnya peristiwa unjuk rasa karyawan keamanan Artha Graha, Banteng Muda Indonesia (BMI), serta Forum Pemuda Peduli Pers (FPPP) ke kantor majalah Tempo pada 8 Maret 2003 yang menghebohkan itu.

Nyatanya, memang demikian. Dalam kurun waktu Februari 1999 hingga Maret 2003 silam, hampir semua media mengangkat isu seputar Tomy Winata dengan framing yang delegitimatif terhadap sosok pengusaha ini.

Pascareformasi, Tomy, - yang melakukan kerja sama bisnis dengan Yayasan Eka Paksi (YEKP) milik Angkatan Darat, - ini dilegitimasi melalui citra buruk ABRI dan bisnis militernya selama Orde Baru, kabar tentang adanya jaringan mafia Gang of Nine atau Sembilan Naga, serta beberapa konflik hukumnya dengan sejumlah pengusaha.

Sedikit banyak, ini membuktikan, bahwa media turut andil dalam merangkai ingatan masyarakat tentang citra Tomy sebagai pengusaha yang amat dekat dengan pajabat militer dan polisi.

Sampai-sampai, media massa pun punya julukan tersendiri untuknya, yakni Tomy Winata sebagai the godfather mafia yang menjalankan bisnis haram, mulai dari perjudian, narkoba, hingga penyelundupan. Dan dalam pandangan media itu, dengan kekuatan senjata dan ditamengi preman-preman, apapun bisa dilakukan Tomy di negeri ini, tak terkecuali jalan bisnisnya. Ia bahkan tak akan tersentuh kaki tangan hukum dan akan selalu lolos dari jeratnya.

Walhasil, setelah unjuk rasa pada 8 Maret 2003 di kantor Tempo itu, Tomy secara resmi telah menjadi musuh media, yang akhirnya ditarik menjadi musuh publik. Sementara itu, kalangan jurnalis yang ditengarai oleh Goenawan Muhammad, Fikri Jufri, Todung Mulya Lubis, dan Harry Tjan Silalahi sendiri pun mendelegitimasikan citra Tomy itu dengan membangun gerakan wartawan melawan premanisme atau gerakan antipremanisme.

Melihat ini, ada dugaan, bahwa sebagian besar masyarakat kita hingga sekarang masih menerima secara pasif semua berita yang disiarkan media massa. Jika betul begitu, tentu saja ini cukup merisaukan. Apalagi, sekarang ini bertebaran berita di mana para wartawan penulisnya tak sekadar hanya sebagai pengamat, melainkan juga subyek yang tak terpisahkan dari realitas sosial yang diberitakannya. Mau tak mau, masyarakat perlu meluangkan waktunya untuk berhati-hati menyikapi tiap berita yang disajikan media.

Di sisi lain, sejatinya, sebuah media tetap menganggap khalayak sebagai pembaca yang kritis. Sebab, bukan tidak mungkin, pembaca tak mudah begitu saja menerima fakta yang disajikan media. Dan, belum tentu pembaca akan selalu menyimpulkan fakta yang sampai ke tangannya itu sesuai dengan kehendak wartawan penulis tersebut. Boleh jadi, pembaca sendiri sudah memiliki pertimbangan lain dalam menyikapi berita yang disiarkan media itu.

Artinya, para pengelola media, termasuk wartawannya sendiri perlu membayangkan, bahwa khalayak persnya adalah pembaca berita yang kritis. Karena kenyataannya, demontrasi massa yang terjadi di kantor Tempo pada 3 Maret 2003 lalu itu bukanlah aksi pertama yang menimpa media massa di Indonesia.

Kasus yang menimpa tabloid Monitor pada 1990 itu, misalnya. Protes khalayak menimpa kalangan redaksinya, kantornya diobrak-abrik dan pemimpin redaksinya dituntut untuk diadili. Tiga tahun berikutnya, giliran Tempo didemo oleh sejumlah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam kasus konflik Tempo-Bursah Zarnubi.

Tepat setahun berikutnya, -pada 1994, Republika juga mengalami hal serupa. Koran tersebut didemo mahasiswa yang tergabung dalam Komite Antifitnah. Pada periode setelah reformasi 1998, - tepatnya pada 2000, nasib sama dialami kantor harian Jawa Post di Jawa Timur yang diduduki GP Anshor.

Menilik berbagai kasus di atas, di mana pembaca melakukan unjuk rasa terhadap institusi pers dapat diartikan sebagai ketidakmampuan pers membayangkan khalayaknya sebagai pemaca yang kritis. Sebaliknya, jika para wartawan bisa membayangkan khalayaknya adalah pembaca yang kritis, pilihan faktanya akan disenangi pembaca. Dan bukan tak mungkin, beritanya akan senantiasa ditunggu-tunggu.

Maka, atas dasar itulah kiranya Saripuddin H. A dan Qusyaini Hasan yang merupakan dua aktivis Jasa Riset Indoensia (jAri) itu menuliskan buku Tomy Winata dalam Citra Media - Analisis Berita Pers Indonesia. Namun, mengapa keduanya ”berani” memilih Tomy Winata sebagai objek penelitiannya kali ini? Sulit terbantahkan, bahwa Tomy Winata atau TW memang sosok fenomenal yang acap kali menjadi sasaran empuk media massa. Tentunya, warna-warni pemberitaan seputar dirinya menjadi begitu menarik untuk diselidiki.

Paradigma yang dipergunakan dalam studi kali ini bukanlah paradigma kritikal yang dipergunakan dalam melihat teks, dan bukan pula konstruktivis murni. Tetapi dengan menggunkana analisis framing Robert M. Entman, studi ini berusaha menggambungkan paradigma klasik yang melihat teks media sebagai realitas sesungguhnya dengan paradigma konstruktivis yang melihat teks media sebagai bentukan jurnalis media bersangkutan. Alhasil, kritik terhadap jurnalisme media yang dianalisis dilakukan sedikit mungkin, sedangkan kritik terhadap fakta yang dimuat dilakukan secara tidak langsung, - catatan kaki.

Pendangan resmi media seputar Tomy Winata dalam surat kabar harian atau koran tentu termuat dalam tajuk rencana atau editorial, sehingga inilah yang menjadi obyek studi. Artikel-artikel berita di koran tersebut tidak dijadikan obyek analisis lantaran tak dapat dinyatakan sebagai sikap atau opini resmi redaksi, disebabkan rentan dipengaruhi kinerja dan pengetahuan wartawan peliput atau penulisnya dalam memindahkan inti berita yang dinyatakan oleh suatu kejadian atau sumber berita.

Karena majalah tak memunyai tajuk rencana atau editorial, maka berita dalam laporan utamalah yang menjadi obyek studi. Pemilihan ini dilakukan, selain karena kebiasaan dalam analisis framing di Indonesia sebagaimana dimuat dalam majalah Pantau, juga dengan pertimbangan bahwa artikel-artikel dalam laporan utama adalah kesatuan yang terintregasi, bukan sebagai produksi satu dua jurnalis di suatu media majalah. Laporan utama meruapakan produk bersama yang lahir di meja rapat redaksi.

Jadi diandaikan saja, tidak akan ada artikel yang kontradiktif (legitimatif dan delegitimatif terhadap citra atau profil seseorang) dalam sebuah laporan utama.

Dalam studi ini, benang merah antara artikel laporan utama itulah yang coba dilihat dengan analisis framing Entman tadi. Karena Bab 4 dan Bab 5 tentang laporan utama majalah sebelum unjuk rasa 8 Maret 2003 itu dibedah dengan framing Entman, maka Bab 6 tentang tajuk rencana atau editorial koran dibedah dengan analisis yang kualitatif-simbolik.

Cukup menarik, sebab dengan begitu pembaca bisa akan ikut mengeksplorasi teks secara lebih bebas. Dengan membaca Bab 4 dan Bab 5 sebelumnya, plus, analisis yang terurai di Bab 6 buku ini, sebenarnya telah dibuat untuk memudahkan pembaca menyimpulkan sendiri framing tajuk rencana atau editorial dari perangkat framing Entman.

Sebetulnya, kemudahan-kemudahan atau kekurangketatan metodologis itu dipilih untuk membantu memudahkan pembaca yang tidak bisa membaca analisis media. Bagi yang biasa membaca analisis media pun, pisau analisis yang digunakan dalam studi ini relatif tidak asing, sebab sering ditemui dalam analisis-analisis yang dimuat oleh Pantau, majalah kajian media dan jurnalisme yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI).

Tak lebih, studi dalam buku ini memang ingin menjawab soalan, bagaimana media melakukan pencitraan. Dan tentu saja, bagaimana media menghimpun, memilih, dan menuliskan fakta, melakukan politisasi bahasa, memberi label atau stigma tertentu pada sosok yang diberitakan. Namun, apakah buku ini bisa sedikit dijadikan sebagai wadah pembelajaran yang diharapkan bisa memperkuat kehidupan pers dan memperbaiki kondisi jurnalisme Indonesia? Semoga saja.