Rabu, Juli 13, 2011

Menggali Ide, Menambang Laba Lewat Industri Kreatif

Mengemas keahlian, talenta, maupun kreativitas ternyata tak hanya menyenangkan, tapi juga menguntungkan. Mendapatkan tempat seiring dengan kemajuan ekonomi kreatif. Benturan ide, ego, dan miskin ide menjadi kendala.

Untaian nada dari dawai gitar nan rancak langsung mengelus-elus indra pendengaran begitu pemutar peranti compact disc itu bekerja. Aliran progresi nada-nada bertema musik blues terasa begitu kental. Sesaat kemudian, hentakan drum yang tegas dan mantap mengiringi. Setelah mengambil beberapa ketukan, untaian lirik melintas dengan warna suara yang khas. Menyulam melodi, menyambung harmoni.

Pemaparan di atas adalah lagu pertama dari album grup musik asal Denpasar, Bali yang bernama Dialog Dini Hari (DDH), sebuah kelompok seniman yang digawangi musisi Dadang SH Pranoto. Grup yang dipeloporinya ini merupakan proyek kreativitas kolektif, dan belum genap setahun terbentuk. Namur, album Beranda Taman Hati yang digarap secara independen makin mendapat tempat di hati publik dan mereguk keuntungan ekonomi.

Kelompok seniman ini tak sendirian. Berbagai kelompok yang bergerak di bidang industri kreatif lainnya, seperti film, drama, tari, media, periklanan, arsitektur, fashion pariwisata, kerajinan, hingga pertunjukan jasa kreatif lainnya telah berkibar seiring dengan demam ekonomi kreatif yang melanda negeri. Dengan keahlian dan talenta yang dimiliki, mereka berperan besar dalam peningkatan kesejahteraan dan kemajuan ekonomi melalui penawaran kreasi intelektual yang mereka produksi.

Kreativitas, inovasi, dan entrepreneurship belakangan ini menjadi kawan segendang sepenarian. Ketiganya selalu melengkapi, bahkan menjadi prasyarat bagi lahirnya karya dan terobosan baru dalam industri kreatif. Tak hanya itu, ketiga aspek ini pun menjadi ajimat baru dalam menambang keuntungan dan prestasi.

Banyak orang maupun kelompok yang dapat kita sebut dengan mudah, betapa kreativitas telah menjadi ladang usaha sekaligus penggerak industri baru. Jagat hiburan, seni budaya, maupun inovasi-inovasi baru yang sarat kreativitas selalu memunculkan tokoh-tokoh ekonomi baru di tanah air.

Menurut catatan Direktorat Jenderal Industri Kreatif, Kementerian Perdagangan, terdapat beberapa faktor yang mendukung ekonomi kreatif menjadi masa depan ekonomi nasional. Pertama, adanya ide dasar atau stock of knowledge. Kedua, semangat kewirausahaan yang tinggi. Ketiga, pendanaan atau sistem pembiayaan yang bisa mengatasai masalah. Keempat, adalah apa yang disebut dengan the triple helix, yakni kerjasama strategis antara akademisi, pemerintah, dan bisnis.


Berdasarkan aspek-aspek di atas, Indonesia memiliki potensi untuk pengembangan industri kreatif. Berdasarkan data makro yang dimiliki, industri kreatif telah menyumbang PDB sebesar Rp 150 triliun serta dapat menyerap tenaga kerja lebih dari tujuh juta. Penyumbang terbesar dari industri kreatif adalah industri fashion sebesar 40 persen, diikuti industri kerajinan yang memberikan kontribusi sebesar 25 persen.


Inggris, yang pertama kali memperkenalkan istilah industri kreatif pada 1997, menerima pendapatan nasional sebesar 7,9 persen atau £ 76,6 milyar pada 2000. Mengingat perannya yang tak kecil, Pemerintah Inggris menggarap sektor ini secara serius dan menetapkan 13 sektor usaha yang tergolong sebagai industri kreatif. Sektor yang dimaksud antara lain periklanan, kesenian dan barang antik, kerajinan tangan, desain, tata busana, film dan video, perangkat lunak hiburan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan, jasa komputer, televisi, dan radio.


Layaknya orang yang kreatif, seorang entrepreneur dapat mengubah rongsokan menjadi emas. Entrepreneur dengan kemampuan pikiran dan tangan dinginnya mampu memanfaatkan peluang yang ada dengan sebaik-baiknya sehingga menghasilkan benefit berlimpah. Tak hanya itu, dengan latar belakang pendidikan yang baik dan berkualitas, orang yang bergerak di bidang industri kreatif mampu bersaing, berinovasi, dan kaya dengan ide-ide baru dalam perjalanan bisnisnya.


Kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan gagasan yang baru, original, dan out of the box. Kreativitas menjadi inovasi ketika disambut oleh pasar. Dan, seorang entrepreneur tidak boleh berpuas diri terhadap produk yang dihasilkannya. Sebab, produk kreatif memiliki ciri yang khas, siklus hidup yang singkat, risiko tinggi, margin yang tinggi, keanekaragaman tinggi, persaingan tinggi, dan mudah ditiru.

Karena itu, pengembangan inovasi yang dilakukan secara kolektif menjadi resep baru agar mampu menggali ide secara terus menerus. Pasalnya, dalam industri kreatif, unsur kreativitas dan ketekunan dalam menemukan ide baru menjadi modal awal. Prinsipnya, siapa yang kreatif, ia akan eksis. Siapa yang kuat secara ide, dia yang bakal digdaya. Sebaliknya, berhenti dalam berkreativitas sama saja bunuh diri pelan-pelan.

Kreativitas yang dilakukan secara kolektif, bisa membuat pekerjaan menjadi lebih ringan dan efisien. Sebuah proses kreatif yang dilakukan secara bersama-sama bahkan bisa menghasilkan karya seni yang ‘kaya’. Namun, hal ini bukan tanpa kendala. Aktivitas seni yang dilakukan secara kolektif tentu mengundang sejumlah persoalan yang tidak bisa disebut sederhana. Mengelola kerjasama tim, menjembatani ego, hingga menyatukan ide dari banyak kepala, tentu bukan hal mudah.

Oleh karena itu, ada beberapa hal penting yang menjadi dasar terbangunnya proses kreativitas kolektif yang produktif. Komunitas komik yang sering menggarap produksi komik secara kolektif harus menyadari posisi dan tanggung jawab masing-masing dalam pengembangan kreativitas adalah hal terpenting. Selain itu, setiap individu yang tergabung dalam kreativitas kolektif harus menyadari bahwa keeksisannya adalah bagian dari mata rantai yang saling terkait.

Sementara itu, grup musik DDH memprioritaskan attitude sebagai hal penting di balik kerja kreatif secara kolektif. Menurut mereka, etika sederhana itu penting untuk meramu ego masing-masing personel. “Jika memiliki attitude yang baik dan positif, tentu akan tercipta suasana saling menghargai dan respect antar anggota,” ujar Dadang, vokalis DDH.

Memang mengelola individu-individu dalam proses kreatif yang dilakukan secara bersama-sama tidak mudah. Karena persoalan banyak muncul dari benturan ide dan ego yang merupakan hal yang kadang sulit diperdebatkan. Hanya toleransi, kesabaran, sampai kedewasaan dalam menyikapi perbedaan lah yang dapat menjembatani berhasilnya penciptaan sebuah karya yang dibangun oleh lebih dari satu kepala.

Rabu, Mei 19, 2010

Big Brain Big Money, 24 Pikiran Terlarang yang Bisa Membuat Anda Kaya Raya


Penulis: Tom Mc Ifle
Editor: Qusyaini Hasan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 180 halaman
Anda Harus BACA buku ini!

Jangan belajar menyetir melalui buku, terjunlah ke jalan, kendarai mobilnya, rasakan insting-nya, peka terhadap feeling-nya, kemudian bukalah bisnisnya. Inilah mindset pebisnis yang ditularkan buku ini. Memang Anda tak dituntut untuk ‘mempelajarinya’, melainkan ‘melakukan’ dan ‘mempraktekkannya’ dalam dunia bisnis yang nyata.

Memiliki mindset seorang pebisnis memang tidak cukup hanya dipelajari, tapi HARUS dilalui. Insting ternyata bisa dilatih, bahkan bisa menjadi ampuh ketika dipraktekkan dalam bisnis. Buku ini memberikan pencerahan A-Z soal entrepreneurial mindset, disertai kisah-kisah sukses anak bangsa yang berjuang dari zero menjadi hero.

Pelajari kiat-kiat sukses :

 Bagaimana melatih ketajaman intuisi
 Bagaimana cara memberi makanan sehat untuk otak
 Bagaimana cara membaca efektif, cepat dan mudah mengingat
 Bagaimana bisa Kaya menjadi karyawan, bermain saham atau bisnis
 Bagaimana mengenali karakter orang kiri dan orang kanan
 Bagaimana mengalahkan Mitos Pengusaha yang menjebak
 Bagaimana meningkatkan rasa percaya diri
 Bagaimana menerapkan ritual yang melatih alam bawah sadar
 Bagaimana meningkatkan ikhlas yang menambah ridho dan rejeki

Selasa, Februari 23, 2010

Taufiq Effendi: Sang Birokrat Reformis


Penulis: S.S. Budi Rahardjo dan Qusyaini Hasan

Penerbit: Ridma Publishing
Tebal: 180 halaman

Sebagai Menneg PAN, Taufiq Effendi punya dua obsesi, memberantas korupsi dan memberlakukan KTP tunggal bagi semua warga negara Indonesia. Soal korupsi, Taufiq menyangkal bilamana korupsi sebagai budaya bangsa Indonesia. “Bagi saya itu bukan budaya, saya yakin betul, itu karena kesempatan yang tebuka lebar,” kata Taufiq.

Saat menerima tongkat estafet dari pendahulunya Taufiq sadar benar akan tumpukan pekerjaan yang belum terselesaikan. Selain harus segera dituntaskan, pengerjaannya pun mesti cepat dan tepat. “Tak ada lagi istilah ‘partai tunda’,” katanya.

Ia pun menggelar program yang menekankan pada tindakan nyata. Ia ingin mengubah paradigma lama pegawai negeri yang malas, bergaji kecil, mempersulit administrasi, mencari kesempatan untuk melakukan korupsi, doyan sogok, menjadi pegawai profesional.

Walhasil, ia mampu meningkatkan kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan melakukan reformasi birokrasi. Menyelesaikan masalah kepegawaian, seperti tenaga honorer. Tingkat kesejahteraan pegawai negeri terus membaik seiring dengan meningkatnya penerimaan kas negara melalui pajak. Rekrutmen besar-besaran terhadap pegawai honorer terus digelar sepanjang waktu.

Yang lebih membanggakan, mantan Ketua Tim Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK ini juga menyaksikan hasil rekrutannya mampu menegakkan hukum dan menyeret pelaku korupsi ke bui. Ia mempercepat pemberantasan KKN seiring dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Capaian lainnya tentu dapat Anda simak lewat buku ini.

Penerapan GCG, Mencari Model untuk Indonesia

Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat dianggap mengadopsi model corporate governance yang berbeda-beda. Model apa yang cocok diterapkan di Indonesia?

Berawal dari ambruknya sejumlah perusahaan besar di Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu, penerapan good corporate governance seperti mendapat momentum kembali. Agar kasus serupa tidak terulang, pada 2002 pemerintah federal AS menerbitkan Sarbanes-Oxley Act (SOA) yang dimaksudkan untuk memperketat kontrol dan audit terhadap perusahaan. Ketentuan SOA, seperti dikutip dari situs BPKP Indonesia, merupakan perangkat perusahaan untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik dan transparan. Ketentuan mengenai aturan kontrol itu menggunakan framework yang disusun oleh Comitte of Sponsoring Treadway Organization Comission (COSO).

Di Indonesia, konsep good corporate governance pun menyeruak di kalangan usaha, terutama pada badan-badan usaha milik pemerintah. Isu korupsi yang menjadi tema negatif selama bertahun-tahun dikhawatirkan bisa mengganggu performa perusahaan-perusahaan negara yang telah go public. Konsep ini pun menjelma menjadi ajimat baru bagi kesehatan dan keberlangsungan perusahaan.

Lihat saja perkembangan Telkom belakangan ini. Menurut Direktur Utama PT. Telkom Indonesia Tbk, Rinaldi Firmansyah, Telkom masih eksis dikarenakan prinsip good corporate governance telah menjadi fondasi perusahaan. ”Itu seperti pembuluh darah,” katanya. Terbukti, di tengah kompetisi industri telekomunikasi yang begitu ketat, Telkom mampu bersaing karena menerapkan kesehatan, transparansi, dan akuntabilitas perusahaan.

Jika dikaitkan dengan struktur kepemilikan dalam perusahaan, menurut H. Sri Sulistyanto, Dosen Fakultas Ekonomi yang juga peneliti dari Universitas Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, penerapan prinsip good corporate governance selalu memunculkan paradoks. Teori menyatakan, untuk mengurangi masalah agensi adalah dengan “mekanisme pemegang saham besar” (large outside shareholder). ”Kenyataan yang terjadi di lapangan justru menunjukkan hal tersebut membuat akses dan kontrol pemegang saham mayoritas terhadap manajemen perusahaan menjadi tak terbatas, yang pada akhirnya hanya merugikan pemegang saham minoritasnya,” katanya.

Contoh lain yang dikemukakan Sulistyanto adalah mekanisme employ stock option program (ESOP) yang sebenarnya didesain agar terjadi kepemilikan manajerial (managerial ownership) dalam perusahaan. Kepemilihan manajerial, lanjutnya, secara konseptual diharapkan membuat terciptanya corporate of ownership. Dalam posisi ini, manajemen tidak lagi hanya sebagai bertindak pengelola perusahaan (agent), namun juga berperan sebagai pemilik perusahaan (principal). Peran ganda ini, kata Sulistyanto, diharapkan dapat membuat menajemen perusahaan mau bekerja lebih baik dan lebih keras karena perusahaan yang dipegangnya bukan lagi milik orang lain, namun juga miliknya sendiri.

Kenyataannya, ia menilai, konsep “mulai” ini ternyata justru dimanfaatkan manajer perusahaan untuk kepentingan pribadinya. Seperti dalam kasus Enron yang terjadi di AS, setelah menerima ESOP, perusahaan memang meningkat kinerjanya. Tapi peningkatan kinerja tersebut ternyata merupakan hasil rekayasa untuk mendongkrak harga pasar saham perusahaan tersebut. Kemudian pada saat harga saham mencapai puncaknya (windows of opportunity), manajemen Enron mengeksekusi saham opsinya.

Namun, Komisaris Utama PT Telkom Tbk. Tanri Abeng, memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, konsep good corporate governance menjadikan sistem sebagai panglima. Semua orang termasuk pemegang saham harus tunduk kepada sistem. ”Karena itu, yang paling berkepentingan dengan tata kelola yang baik itu harusnya datang dari pemegang saham. Sebab, Kalau konsep ini berjalan sempurna, maka pemegang saham tidur saja kan. Jadi, itu suatu yang otomatis,” katanya.

Selama ini, AS menerapkan model one board system dalam membangun tata kelola usahanya. ”Dalam one board system ini, direksi dan komisaris menjadi satu, karena memang mereka bertanggung jawab bersama untuk memformulasikan rencana strategis perusahaan,” katanya. Bahkan, lanjut Tanri, sinergi ini memungkinkan terjadinya share responsibility dan ownership sebagai acuan.

Kalau diinterpretasi secara sempit, Tanri menambahkan, governance mengatur fungsi komisaris dan direksi secara berbeda. “Tapi, kalau saya mengangkat pengertian yang lebih luas, adalah kristalisasi dari jiwa one board system yang berlaku di AS,” katanya. Karena itu, lanjutnya, tugas komisaris tidak hanya menyetujui atau mengawasi, tapi juga bersama direksi melakukan sinergi positif membangun suatu kebersamaan agar badan usaha itu tumbuh dan berkembang.

Sejauh ini, penerapan model corporate governance di berbagai belahan dunia, seperti AS, Jepang, dan Eropa Barat dianggap mengadopsi model yang berbeda-beda. Menurut Sulistyanto, hal ini disebabkan oleh perbedaan tipe pasar modal dan bisnis yang berkembang. Oleh karena itu, lanjutnya, praktik bisnis setempat (practice based approach) juga mesti dijadikan pertimbangan dalam mengadopsi sebuah model. ”Perbedaan budaya, sistem perekonomian, sistem politik dan pemerintahan, dan sebagainya memang membuat business culture Indonesia berbeda dengan negara lain,” tuturnya.

Namun, lanjutnya, Indonesia sejauh ini banyak mengadopsi model dari AS, termasuk perekonomian, bisnis, pasar modal, bahkan akuntansinya. ”Maka lebih tepat jika GCG yang dipakai di Indonesia juga mengadopsi model AS,” kata Sulistyanto, menambahkan. Kendati demikian, ia menegaskan, setiap negara tetap mempunyai keunikan sendiri, yang membuat satu negara berbeda dengan negara lain, baik budaya, sistem perekonomian, sistem politik dan pemerintahan, dan sebagainya.

Perkembangan budaya, sistem perekonomian, maupun sistem politik dan pemerintahan telah mempengaruhi corporate culture perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. ”Mengingat bahwa budaya, sistem perekonomian maupun dinamika bisnis, sistem politik dan pemerintahan antara Indonesia dan AS berbeda, maka bisa dimengerti jika corporate culture dunia usahanya juga berbeda,” ujarnya. Dampaknya, penerapan good corporate governance di Indonesia memerlukan kekhasan dan tidak mungkin sama dengan model yang diterapkan di negara lain.

Unjuk Aksi, Raih Prestasi

AXIOO International Motocross Championship 2009 Round II, dihadiri para kroser internasional, Tim AXIOO membukukan prestasi gemilang.

Seri ke-2 Kejuaraan AXIOO MotoX - International Motocross Championship 2009 bertajuk “AXIOO Motocross Championship Round II”, kembali digelar di Indonesia, pada 11-12 Juli 2009 lalu. Kali ini, yang bertindak selaku tuan rumah adalah Sirkuit Argopuro, Jember, Jawa Timur. Kejuaraan kali ini memainkan beberapa kelas pertandingan, di antaranya SE 125CC Pro-light, SE 80CC, SE 65CC, SE 50CC, SE 125CC Executive, dan SE 125CC EX-Pro series.

Berbeda dengan Seri I yang dilangsungkan sebulan sebelumnya yang hanya melibatkan peserta dari beberapa negara, Seri II ini diramaikan oleh para kroser dari berbagai negara dipastikan akan ambil bagian untuk meramaikan event internasional ini. Sedikitnya 16 negara, antara lain dari Australia, Selandia Baru, Jepang, Cina, Filipina, India, Thailand, dan Hongkong, berani memastikan ambil bagian dengan mengirimkan kroser-kroser papan atas mereka, untuk berlaga di kelas bergengsi 125 cc.

Kedatangan para kroser asing ini diharapkan dapat membuat persaingan jadi lebih menantang. Apalagi kebanyakan dari mereka sudah datang lebih awal dan melakukan persiapan bersama para kroser lokal. Event yang diselenggarakan atas kerja sama Pemerintah Kabupaten Jember dan Pengurus Propinsi IMI Jatim ini juga diramaikan seluruh kroser nasional papan atas seperti Denny Orlando, Aep Dadang, Febby Ariwibowo, Alexander Wiguna, Adi Aprian Nugraha, Aldy Lazaroni, dan Hannu Malherbe.

Dua kroser, Watanaa Khanlaya dan James Robinson yang membela tim Suzuki Evalube AXIOO Racing Team, mampu memanaskan persaingan menuju yang terdepan. Selain Watanaa, Thailand juga menghadirkan Krisada Bunvatee yang dipastikan akan menambah kerasnya persaingan. Meski baru pertama kali tampil di Indonesia, Bunvatee mampu memberikan perlawanan terbaiknya untuk bisa memenangkan event perdana yang diikutinya di Indonesia ini.

Bermain di sirkuit seluas 10,500 m2, pada kejuaraan ini tim AXIOO – Evalube yang diwakili kroser Kim Ashkenazi asal Australia meraih prestasi gemilang. Untuk race pertama, Kim William Ashkenazi meraih gelar juara pertama pada kelas SE 125CC Pro-light. Sedang untuk race 2 milik pebalap Australia lainnya, Jarryd Mcneil. Sedangkan juara Seri I, pebalap nasional Aep Dadang hanya masuk finis di urutan ke-12 dengan catatan waktu 25 menit, 6,696 detik.

Pada race pertama, Kim William Ashkenazi yang juga juara Australia 1992, tampaknya belum tertandingi kroser lainnya di kelasnya. Ashkenazi menyelesaikan 18 lap dengan waktu 24 menit dan 34,172 detik, meninggalkan kroser Thailand, Wattana Kanlaya, sekitar 7,5 detik di belakangnya. Wattana berada di posisi kedua.

”Saya senang dengan sirkuit ini, selama tidak hujan. Kalau hanya debu, tidak jadi persoalan. Kalau seandainya turun hujan, saya menjadi orang pertama yang akan mengundurkan diri dari kejuaraan ini,” kata Ashkenazi yang pernah mengikuti Kejuaraan Dunia Motokros 2002.

Dalam ajang yang dikemas dalam program Bulan Berkunjung Jember (BBJ) 2009 ini, AXIOO meraih keberhasilan, baik sebagai peserta maupun sponsor utama penyelenggaraan event berkelas internasional ini. Hal ini memang menjadi komitmen AXIOO untuk memberikan layanan terbaik, baik bagi peserta lomba, para kostumer, maupun masyarakat luas.

Sebagai bukti komitmen penuh dari AXIOO sebagai sponsor utama, AXIOO yang juga mensponsori event "Jember Axioo Extreme Motocross Internasional” ini menyediakan Media Center yang memudahkan rekan-rekan media dalam meng-up date informasi yang ada. Bagi pelanggan setianya, AXIOO memberikan apresiasi yang tinggi dengan menyiapkan tempat duduk atau tenda khusus VIP.

View terbaik dan full-service akomodasi diberikan oleh AXIOO demi mengutamakan kenyamanan para pelanggannya untuk menyaksikan kejuaraan ini dari awal hingga akhir. Hal ini sesuai dengan komitmen AXIOO – Your Lifetime Partner.

Senin, Februari 22, 2010

Mengurai Jiwa Sang Pemimpin

Apa yang mendasari seorang pemimpin menjadi peragu, cepat bertindak, atau bahkan otoriter?

Kepemimpinan tak melulu soal seni dalam mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, ternyata. Ia juga melibatkan banyak hal, termasuk bakat bawaan, kompetensi, dan keterampilan untuk memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan. Bahkan, kemampuan memotivasi tak jarang menjadi kunci keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain sehingga tujuan tercapai.

Namun, soal keberhasilan, semua itu bermuara pada muatan psikologi, karakter, maupun perilaku sang pemimpin. Mau bukti? Dalam berbagai kesempatan, berbagai pengamat sempat memberikan penilaian bahwa pemimpin nasional kita cenderung peragu dan lamban dalam memutuskan sebuah kebijakan.

Benarkah demikian? Hamdi Muluk, dosen yang juga Koordinator Program Master dan Doktoral pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia memiliki jawabannya. Menurutnya, karakter ini dapat dilihat dari motif sosial atau afiliasi yang dimiliki sang pemimpin. “Motif atau keinginan berafiliasi, seperti hubungan personal atau pertemanan, mempengaruhi segala tindakan dan keputusan pemimpin,” katanya. Keinginan berafiliasi inilah yang membuat seorang pemimpin ingin diterima dan disenangi semua kalangan.

Memiliki motif afiliasi ini memang tak bisa disalahkan. Bahkan, seperti motif sosial lainnya, misalnya keinginan berprestasi atau berkuasa, lanjut Hamdi, keinginan ini penting dimiliki seorang pemimpin agar publik mengetahui apa yang menjadi nilai-nilai dasar dari seorang pemimpin itu. “Apakah menjadi pemimpin hanya didasari untuk berkuasa semata, ataukah lewat kekuasaan ia ingin menorehkan ssuatu prestasi dalam hidupnya, atau hanya untuk menyenang-nyenangkan orang sekeliling dia,” katanya. Dengan mengetahui motif dasar dan pandangan hidup dia yang mendasar, tuturnya, publik setidaknya tahu ia mau dibawa ke mana.

Secara umum, lanjut Hamdi, kepribadian seseorang terbentuk secara dinamis, tergantung pada faktor bawaan atau genetik maupun pola asuh dari lingkungan, khususnya lingkungan keluarga. Faktor inilah yang menentukan karakter, temperamen, kecerdasan dasar seseorang. “Kepribadian ini akan berkembang terus sepajang umur, mulai dari kecil sampai dewasa,” tutur Hamdi.

Doktor bidang psikologi ini melanjutkan, karakter-kakarakter dasar atau sifat-sifat dasar (traits) pada umumnya terbentuk karena interaksi faktor genetik dan lingkungan pada awal-awal tahun kehidupan, dan mulai stabil setelah masa remaja. Jadi, kepribadian seorang anak mulai terbentuk dan sukar berubah kalau ia sudah mendekati usia dewasa.

“Nah, dasar pembentukan kepribadian seorang pemimpin pun sama saja dengan kebanyakan orang,” ujarnya. Selanjutnya, pemahaman mengenai kepemimpinan yang dikembangkan tergantung pada paradigma teori yang lebih mereka percayai. Soal leadership, lanjutnya, ada yang menganggapnya sebagai sifat yang sudah ada dari kecil, namun ada juga yang mengatakan sebagai skill atau keterampilan yang bisa dilatih.

Konvergensi di antara pelbagai macam teori itu, menurut Hamdi, lebih menyetujui bahwa leadership mungkin saja didominasi oleh faktor bakat dari kecil, tapi juga lebih banyak ditentukan oleh faktor situasi. Menurutnya, “Apakah lingkungan mengasah dia untuk menjadi pemimpin. Belakangan juga banyak sekolah kader kepemimpinan yang intinya lebih percaya bahwa kepemimpinan adalah sebuah skill (kterampilan) yang dapat dipelajari.”

Segendang sepenarian dengan Hamdi, psikolog A. Kasandra Putranto menyatakan, pada prinsipnya teori terkini tentang leadership sejalan dengan teori terkini tentang karakter manusia. “Sebagian adalah nature genetik, sebagian adalah lingkungan belajar, sebagian lain karena mekanisme diri dalam mengambil keputusan untuk mengadopsi karakter seperti apa atau menjadi apa,” katanya.

Yang pasti, baik Hamdi maupun Kasandra juga sepakat bahwa gambaran seorang pemimpin ideal senantiasa mensyaratkan banyak hal. “Visi, kemampuan komunikasi, mengelola konflik, negosiasi dan bargaining mutlak diperlukan seorang pemimpin, Demikian juga dengan kecerdasan emosi dan sosial,” kata Hamdi. Visi, lanjutnya, justru menjadi roh utama seaorang pemimpin untuk membedakan dengan orang yang hanya jadi follower.

Seorang pemimpin tidak perlu memiliki kecerdasan akademis seperti seorang profesor atau filosof. Namun, tutur Hamdi, seorang pemimpin tidak boleh bodoh, tapi secara konseptual maupun kompleksitas intelektual memiliki kemampuan di atas rata-rata. Walaupun tidak semutlak seperti soal visi, lanjutnya, kemampun memperhitungkan risiko dan mengamibil keputusan yang tepat, kemampuan mengelola konflik dan kemampuan persuasi, negosiasi, dan diplomasi juga harus dimiliki seorang pemimpin.

Di samping kemampuan intelektual, Hamdi juga mensyaratkan perlunya kecerdasan emosional bagi seorang pemimpin. Semakin cerdas ia secara emosional, semakin stabil jalan pikiran, ucapan, dan tidakan-tindakan dia. “Sehingga keputusan-keputusan bisa lebih matang dan bijak. Dan yang terpeting ia lebih mampu menguasai diri kalau dalam keadaan tertekan,” katanya.

Kasandra memberikan pendapat yang menjadi pelengkap menyangkut syarat ideal yang harus dimiliki pemimpin. Menurutnya, leadership skill yang diperlukan jauh lebih luas dari sekadar apa yang tertera di atas. “Perlu juga melibatkan soal intuisi, kreativitas, visi, ambisi, coaching, negosiasi, management, dan sebagainya,” kata pemilik PT Kasandra Persona Prawacana ini.

Secara rinci Hamdi menyebutkan, dalam konteks perusahaan, misalnya dalam posisi manajer, kepemimpinan lebih diarahkan kepada penguasaan teknikal, plus majaerial, konseptual dan atau kemampuan teknokratik, serta sedikit visi dan kemampuan mengimplementasikan misi tertentu. “Untuk posisi direktur utama atau pemilik perusahaan, yang diutamakan kemampuan visioner jauh ke depan, kemampuan menanggung risiko, dan kemampuan untuk menyakinkan orang akan mimpi-mimpi atau visi yang ia bagun itu,” tuturnya.

Di samping itu, menurutnya, insting dan kepekaaan dalam dunia bisnis (sense of businees) juga diperlukan bagi seorang pemimpin. Hal ini justru sangat penting dalam konteks bisnis, kepekaan, instik dan intuisi, tahu kapan harus membuat keputusan di saat yang tepat, memperhitungkan risiko dengan cermat, dan berani mengambil keputusan. Ia menambahkan, keputusan yang cermat, tepat dan juga cepat sangat dibtuhkan seorang pemimpin dalam konteks bisnis.

Sama halnya dengan posisi pemimpin politik, misalnya pemimpin eksekutif atau legislative, ujar Hamdi, juga diperlukan kemampuan visioner dan kemampuan mengkomunikasikan visinya dan mempengaruhi orang untuk mengikuti "mimpi"nya tadi menjadi ruh dari pemimpin politik. “Namun, berbeda dari dari lingkungan perusahaan yang lebih terstruktur, seorang pemimpin politik dituntut punya political skills, yaitu kemampuan mengelola konflik, negosiasi, dan diplomasi,” katanya.

Biasanya, Hamdi menambahkan, perpaduan visi, kemampuan komunikasi politik, serta keterampilan bernegosiasi dan diplomasi akan berbuah kepada karisma politik. Paling tidak, tingkat penerimaan sosial di lapisan rakyat meningkat. “Inilah yang kerap juga diterjemahkan sebagai popularitas politik,” ucapnya, “Kepemimpinan ini makin efektif jika pemimpin menerjemahkan visinya ke dalam misi dan program. Setelah itu ia bisa memonitor guna memastikan program itu jalan.”

Gaya kepemimpinan seperti apa yang cocok dalam mengendalikan bisnis seperti sekarang ini? Hamdi menjawab, semua tergantung pada bisnisnya. “Sekarang dalam konteks reformasi birokrasi, orang berbicara pentingya services atau servant leadership,” katanya. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus punya kemampuan melayani dan menangkap aspirasi masyarakat.

Soal otoriter atau demokratis ini, lanjut Hamdi, lebih terletak kepada gaya atau style bagaimana sebuah keputusan diambil. Misalnya, apakah lebih bersifat top-down, lebih otoriter, ataukah dengan melibatkan parisipatisi dari kolega atau bawahan juga sehingga bernuansa lebih demokratis. “Dalam beberapa hal keduanya kadang-kadang dimainkan tergantung situasi oleh seorang pemimpin,” katanya.

Namun, lanjutnya, ada juga hampir dalam setiap situasi seorang pemimpin memiliki kecenderungan untuk berindak otoriter atau demokratis. Kalau sudah seperti itu, Hamdi berujar, berarti otoriter atau demokratis bukan lagi soal gaya, tapi sudah menjadi trait (sifat) kepribadian dasar orang itu.

Kasandra juga berpandangan, hal ini bukan semata-mata menyangkut gaya kepemimpinan, tetapi skill. “Gaya otoriter, permisif saja sudah lama ditinggalkan karena tidak efektif,” katanya. Walaupun demikian, Hamdi memprediksikan, gaya yang lebih directif dan sedikit otoriter terasa memungkinkan dijalankan untuk industri manufaktur.

Karena itu, keduanya bersepaham bahwa gaya apapun yang diterapkan seorang pemimpin, kontrol maupun pengawaan terhadap perusahaan maupun lembaga politik tetap perlu, tergantung aturan main yang dipakai. Jika tidak, kepemimpinan diyakini akan bebas kendali dan mengarah pada kesewenang-wenangan.

Lemahnya Perlindungan terhadap Data Pribadi

Dering ponsel menyela acara makan siang Hery Artono. Wirausahawan di bidang alat mesin pertanian ini buru-buru meraih ponsel di hadapan. “Halo,” katanya, dengan nada berat. Lama ia terdiam, sambil mendengarkan suara di seberang. “Oh, tidak Mbak. Lain kali saja. Terima kasih ya,” katanya, sambil buru-buru menutup panggilan.

Kepada para relasinya, pria asal Semarang, Jawa Tengah ini lantas bercerita mengenai asal-usul panggilan tadi. Rupanya, tawaran berbagai pihak yang mengatasnamakan bank penerbit kartu kredit yang dimilikinya telah mengusik ketenangannya. Mulai dari Kredit Tanpa Agunan (KTA), asuransi, paket wisata, hingga produk komersial lainnya. “Bukan sekali ini saja, tapi berkali-kali. Ini sangat mengganggu,” ujarnya lagi.

Herry Artono tak sendirian. Nasib yang lebih tragis menimpa Beatrice Pangestu, karyawan swasta di Surabaya, Jawa Timur. Sebulan setelah aplikasi kartu kreditnya disetujui sebuah bank asing, ia mendapat telepon yang mengaku dari bank penerbit kartu kredit untuk melakukan konfirmasi atas kartu kredit yang ia terima. Tanpa curiga, Beatrice pun memberikan nomor kartu berikut expiry date-nya. “Karena saya yakin orang tersebut dari bank penerbit kartu kredit karena mengetahui identitas pribadi saya,” katanya.

Kemudian, orang tersebut mengatakan bahwa dirinya mendapatkan free 3 voucher dari Grand Hyatt Hotel. Rasa senang menyelinap bilik hati Beatrice. Namun, belum hilang rasa senang ini, ternyata di akhir pembicaraan orang tersebut menyebutkan jumlah yang harus ia bayar dan langsung didebet otomatis dari kartu kredit Beatrice, sebesar Rp 3.687.900.

“Saya sangat terkejut dan langsung menelepon card center untuk melakukan pemblokiran terhadap kartu kredit saya,” katanya. Nasi sudah menjadi bubur. Ternyata kartu kredit yang ia miliki sudah melakukan transaksi berupa debit sejumlah nominal di atas oleh pihak penelpon. Pihak penerbit pun tak dapat melakukan pembatalan transaksi tersebut. Yang lebih menyesakkan, pihak penerbit mengakui tak tahu menahu dan tak pernah melakukan kerja sama apapun dengan penelpon.

Pengalaman seperti ini boleh jadi menimpa Anda atau siapapun yang pernah melakukan transaksi atau memberikan data pribadi kepada perusahaan yang membutuhkan. Peristiwa ini menunjukkan, posisi individu di hadapan entitas bisnis seringkali tidak kuat. Sebagai contoh, seseorang yang mengajukan aplikasi kartu kredit diharuskan untuk mengisi formulir yang disediakan oleh lembaga keuangan yang mengeluarkan kartu tersebut. Nyaris seluruh data penting yang berkaitan dengan orang tersebut wajib diberikan, atau ia kehilangan kesempatan untuk memperoleh kartu kredit.

Kewajiban menyerahkan data pribadi, yang menyangkut banyak aspek kehidupan dan perjalanan hidup seseorang dan bahkan keluarganya, telah menjadikan individu tawanan sistem. Data pribadi harus diserahkan untuk kebutuhan apapun, mulai dari mengajukan kredit rumah, melamar pekerjaan, mengambil hasil undian, dan sebagainya.

Sebaliknya, seakan tidak ada kewajiban dari pihak yang menghimpun data pribadi tersebut untuk menjaga kerahasiaannya, dalam pengertian hanya menggunakannya untuk kepentingan seperti yang telah disepakati. Sering terjadi, data pribadi itu diteruskan kepada pihak lain tanpa seizin pribadi yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana sebuah perusahaan bisa menawarkan produk atau jasanya kepada seseorang dengan mengirim surat ke alamat rumah padahal nama dan alamat yang bersangkutan tidak tercantum di buku telepon.

Menurut catatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), belakangan ini pengaduan soal adanya telepon yang menawarkan beragam produk mulai marak. “Maraknya kejahatan melalui SMS (short message service), undian berhadiah, hingga melalui surat atau dokumen yang seolah-olah resmi, karena pelaku usaha tidak bisa mem-protect atau melindungi data-data milik konsumen,” kata Anggota Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo.

Secara kelembagaan, YLKI juga mengeluhkan masih lemahnya perlindungan terhadap data pribadi yang diterapkan instansi pemerintah maupun badan usaha. Kondisi ini rawan menimbulkan tindak kejahatan, di mana yang menanggung akibatnya konsumen atau masyarakat luas. Apalagi, lanjut Sudaryatmo, kasus-kasus ini akan terus terjadi selama pemerintah belum bisa memberikan perlindungan data pribadi secara optimal serta menyediakan perangkat hukum yang bisa menimbulkan efek jera terhadap pelaku maupun instansi yang ceroboh.

Merespon adanya keluhan masyarakat ini, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) bekerja sama dengan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) tengah menyiapkan RUU Perlindungan Data dan Informasi Pribadi (RUU PDIP). Kendati hanya pengatur pejabat publik, RUU ini dimaksudkan agar perusahaan peminta data pribadi bertanggung jawab menyimpan kerahasiaan data pribadi masyarakat atau konsumennya.

Namun, pengamat telematika Onno W. Purbo menjelaskan, kerahasiaan data pribadi ini sudah diproteksi oleh UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 26. Pasal ini menjelaskan antara lain, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.

Pasal ini juga mengatur, orang yang dilanggar haknya pun dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan UU ini. “Jadi, perusahaan yang meminta data kita hanya bisa menyerahkan ke pihak lain jika ada ijin tertulis dari kita yang memiliki data. Secara etik,, perusahaan tersebut harus bertanggung jawab untuk melindungi data kita,” kata Onno, menjelaskan.

Telaah mengenai kasus ini tidak dimaksudkan untuk memperkeruh persoalan, termasuk mencari-cari kesalahan pihak manapun. Diskusi lebih diarahkan pada apa dan bagaimana seharusnya perusahaan maupun konsumen maupun masyarakat luas memperlakukan data-data pribadinya secara cermat dan tahu data apa yang bisa dipublikasikan atau tidak.

***

Onno W. Purbo

Pakar Telematika

“Manajemen Indonesia Harus Belajar Banyak”

Secara etis, data dan informasi yang diberikan oleh nasabah atau masyarakat kepada perusahaan yang meminta data pribadi hanya untuk keperluan perusahaan yang bersangkutan dan hanya untuk kepentingan tertentu seperti yang diinginkan pemberi data. Biasanya untuk authentikasi atau billing. Dan, perusahaan penerima data tidak boleh mempublikasikan atau menjual data pribadi nasabah atau konsumen ke pihak ketiga.

Kalau memakai media elektronik, ada sedikit proteksi dari UU ITE. Pasal 26 menjelaskan, (1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. (2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

Saya bukan orang hukum, jadi saya mungkin saja salah. Namun, kalau transaksi memakai media elektonik, maka UU ITE Pasal 26, seperti saya sebut di atas bisa dipakai. Memang data diambil oleh bank atau perusahaan telekomunikasi dan bisa saja dijual kepada siapapun atau merchant manapun. Misalnya yang sering kejadian untuk dikirimi katalog setiap bulan biar kita tertarik untuk belanja.

secara etika, kita berhak untuk meng-update data, berhak supaya data tersebut tidak dipublikasikan. Perusahaan juga tidak boleh meng-copy-kan atau menjual ke pihak ketiga tanpa seizin pemilik data. Kalau merasa terganggu kita bisa menggugat pakai UU ITE Pasal 26. Sebab, tindakan menyerahkan data kepada pihak lain itu tidak dapat ditoleransi.

Kalau mengacu ke UU ITE Pasal 26, perusahaan yang meminta data kita hanya bisa menyerahkan ke pihak lain jika ada ijin tertulis dari kita yang memiliki data. Perusahaan harus bertanggung jawab untuk tidak menyerbarluaskan data tersebut.

Tindakan maupun langkah legal yang dapat dilakukan seorang konsumen yang datanya diserahkan kepada pihak lain juga sudah diatur dalam UU ITE Pasal 38 dan 39. Apabila pemilik data merasa dirugikan dan dapat membuktikan kerugian yang dialaminya, maka ia dapat mengajukan gugatan kepada pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.

Pasal ini juga mengatur, masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Dari sisi perlindungan data individu, semua data pelanggan atau individu adalah amanat. Jangan sampai perusahaan menyepelekan amanat yang diberikan masyarakat. Sebab, sering kali manajemen menganggap sepele keamanan data. Contoh yang paling sederhana, banyak orang (manajer) memberikan password ke anak buahnya supaya memudahkan pekerjaan dia. Padahal otoritas seorang manajer dengan anak buahnya berbeda, sehingga akibatnya bisa fatal sekali.

Secara prosedural, harus dibuat prosedur pengumpulan data minimal yang tidak melanggar privacy seseorang, tapi tidak melanggar hukum jangan sampai sembarangan orang data mengakses database. Kalau pun ada yang mengakses database data tersebut sebaiknya di-log atau dicatat siapa, kapan, serta apa yang diakses supaya sewaktu-waktu terjadi masalah kita dapat dengan mudah melacak

Yang mungkin juga penting, proteksi sistem pengiriman data maupun server sebaiknya mengikuti standar atau konsensus network security yang berlaku supaya tidak sembarangan orang dapat melihat data yang ada. Karena itu, manajemen di Indonesia masih harus banyak belajar prosedur proteksi data dan informasi berkaitan dengan komputer, karena ini menjadi fatal di dunia yang serba maya.

***

Sudaryatmo

Anggota Pengurus Harian YLKI

“Masuk Ranah Legal”

Banyak yang mulai terganggu dan mengeluh dengan adanya pembocoran data pribadi ini. Ada beberapa konsumen yang merasa tidak memberikan data, namun tiba-tiba ditawari produk yang sebetulnya tidak dibutuhkan mereka. Padahal, konsumen tak pernah memberi mandat pada perusahaan untuk menyebarkan data pribadi dia kepada pihak lain.

Yang jadi masalah, bank atau perusahaan penerima data pribadi menggaransi tidak akan membocorkan data. Tapi, perusahaan mengaku tidak bisa mengontrol perusahaan kurir untuk meng-copy data, walaupun hanya alamat. Dulu, data kelompok masyarakat pengguna kartu kredit itu bisa diperjualbelikan. Artinya, dari sisi nama dan alamat saja jadi ladang bisnis. Apalagi kalau sampai ke soal kinerja, track record, performance pembayaran, sehingga layak ditawari berbagai macam produk.

Dalam konteks industri, perbankan dibangun berdasarkan trust. Bank menjamin data tidak dibocorkan. Kalau nasabah tidak lagi percaya pada bank, sebetulnya bank itu sudah habis. Namun, saya yakin bahwa kalangan industri perbankan tidak akan menyalahgunakan trust konsumennya.

Kaitannya dengan rejim kerahasiaan bank, dulu memang masih ada perdebatan, sampai batas mana rahasia bank. Dengan UU baru, menjadi jelas apa yang harus di-cover bank serta mana yang data yang boleh dipublikasikan. Kalau seperti tabungan, bank tak boleh mempublikasikan. Beda kalau kewajiban, seperti hutang, boleh diumumkan, dalam rangka supaya nasabah mau menunaikan kewajibannya.

Walaupun demikian, hak sebagai pribadi setelah memberikan data untuk mendapatkan jaminan atas perlindungan kerahasiaan data. Kalau kita bisa membuktikan bahwa perusahaan yang meminta data membocorkan atau bahkan menjualbelikan data pribadi dan berdampak pada kerugian pada pemilik data, pemilik data berhak menuntut.

Tindakan menyerahkan data ke pihak ketiga sudah masuk ranah legal. Ketika kita mengisi formulir kredit pemilikan rumah, bank tak punya kewajiban untuk mengembalikan data yang diminta, tapi bukan berarti konsumen memberikan hak pada perusahaan untuk menyebarluaskan datanya.

Tuntutan ke arah legal action juga bisa dilakukan apabila terbukti pembocoran data ini merugikan nasabah. Memang kalau kita bicara dalam konteks legal, kita menggunakan acuan UU yang sifatnya umum, pidana atau perdata. Ada yang menggunakan yang sifatnya khusus, seperti UU perlindungan data pribadi. Konsumen bisa menuntut perusahaan secara perdata maupun pidana kepada pihak yang membocorkan data pribadi kepada pihak ketiga.

Mestinya perlindungan terhadap data diberikan perusahaan, sehingga bisa meyakinkan konsumen bahwa sistem yang diterapkan berlapis sehingga tak mungkin data dicuri atau dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Tapi, sistem apapun, di belakangnya kan ada orang, sehingga tak bisa dipegang. Kasus yang terungkap, seperti kloning kartu kredit, selalu melibatkan orang dalam, karena dia tahu sistemnya.

Sanksi yang dapat diberikan pada perusahaan yang memberikan data pribadi ke pihak ketiga, bisa beragam. Dalam konteks administrasi, kalau perusahaan bisa dibuktikan telah membocorkan data nasabah, otoritas bank sentral yang bisa menjatuhkan sanksi, bahwa perusahaan itu telah melanggar prinsip good corporate governance.

Dari aspek perdata, perilaku ini dapat menimbulkan kerugian karena pihak bank melakukan pelanggaran terhadap hak subyektif pemilik data. Dia telah menggunakan data, menyebarluaskan, atau menjual data tanpa ijin pemilik data. Gugatan ini bisa disampaikan ke peradilan umum dan nasabah berhak mendapatkan ganti rugi.

Kasus ini menyangkut relasi, interaksi, hubungan antara pribadi dengan lembaga bisnis, memang harus ada aturan yang spesifik. Di sini kita mendesak adanya UU Perlindungan Data Pribadi, untuk melindungi para pemilik data. Bagi pemilik data, harus ada kejelasan mengenai apa yang boleh dan tak boleh dilakukan. Sampai berapa jauh dia membuka data pribadi.

Muhamad Ismail Thalib
Direktur PT Zahir Accounting

“Posisi Konsumen Lemah”

Pihak perusahaan sebagai peminta data konsumen hendaknya hanya menggunakan data tersebut untuk keperluan kelengkapan data transaksi yang terhubung antara perusahaan tersebut dengan konsumen. Data yang dimintapun hendaknya hanya data-data yang benar-benar diperlukan dan terkait dengan transaksi.

Di samping itu, konsumen yang dimintai data mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan bahwa data-data yang diberikan hanya dipergunakan untuk keperluan pelayanan dengan perusahaan yang bersangkutan. Dengan kata lain, seharusnya pemilik data mendapatkan perlindungan bahwa data-data yang diberikan tidak dipergunakan oleh perusahaan lain, ataupun bagian lain meski satu grup usaha.

Apalagi data tersebut diperlakukan sebagai data calon target pemasaran dari perusahaan lain yang terhubung baik secara langsung atau tidak langsung dengan perusahaan pertama di mana konsumen menyerahkan datanya. Sebab, dari sisi etis, tindakan menyerahkan data kepada pihak lain sama sekali tidak dibenarkan.

Sejauh pemahaman kami, tidak ada Undang-Undang yang memperbolehkan perusahaan yang meminta data kita menyerahkan ke pihak lain. Lebih spesifik lagi, Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang secara khusus menjamin kerahasiaan data konsumen. Undang-Undang yang di negara lain lazim disebut UU PDP (Personal Data Protection) semestinya menjadi perhatian khusus dari pemerintah.

Karena belum ada UU yang secara khusus mengatur PDP tersebut, maka perusahaan yang menyebarkan data konsumen itu bisa lepas dari tanggungjawab. Mereka bisa saya dengan sesuka hati menyebarluaskan data pribadi, termasuk data yang sifatnya privacy sekalipun.

Padahal, dari sisi perlindungan data individu, yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan yang meminta data adalah memastikan dan menjamin bahwa data tersebut tidak disalahgunakan selian kepentingan transaksi yang berkaitan. Bahkan tidak dipergunakan untuk kepentingan marketing produk lain dari perusahaan yang sama. Perusahaan mesti punya itikad baik dalam keamanan data konsumen.

Jika penyebarluasan data pribadi ini sudah terjadi, tindakan yang dapat dilakukan seorang konsumen yang datanya diserahkan kepada pihak lain adalah meminta bantuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Upaya hukum pastinya bisa dilakukan. Namun, posisi konsumen akan sangat lemah karena tidak adanya sanksi hukum yang jelas dan tegas yang mengikat perusahaan yang menyebarkan data tersebut.

Berkaitan dengan sistem penyimpanan data, proteksi dan keamanan data, suatu sistem yang mengatur jaminan keamanan data konsumen mesti diciptakan agar kepercayaan konsumen kepada perusahaan bisa meningkat. Dalam hal kasus pertukaran data konsumen di kalangan perusahaan kartu kredit membuat kepercayaan konsumen kepada perusahaan penyedia kartu
kredit di Indonesia akhir-akhir ini menjadi menurun.