Selasa, November 25, 2008

Soetrisno Bachir, Pembawa Pesan Kedaulatan Pangan

Ada yang berbeda kalau melihat aura maupun performa Partai Amanat Nasional (PAN) belakangan ini. Gerakan politiknya terlihat lebih membuka diri dan diterima di semua lapisan masyarakat. Kalau sebelumnya hanya dikenal di kalangan masyarakat perkotaan, partai berlambang matahari ini kini juga mulai akrab dengan warga di desa-desa di penjuru nusantara. Jika selama ini hanya dikenal di kalangan berdasi dan bersepatu, kini masyarakat bersandal jepit pun mulai menaruh perhatian pada partai ini.

Inklusif dan merakyat. Begitulah gambaran singkatnya. Perubahan ini terasakan makin kencang tatkala PAN dipimpin oleh Soetrisno Bachir. Sosok pengusaha yang menggantikan Ketua Umum DPP PAN sebelumnya, M. Amien Rais, ini memang mengemban tekad yang besar untuk menjadikan PAN sebagai organisasi politik terdepan dalam melakukan advokasi maupun pembelaan terhadap rakyat banyak.

Seperti itukah gambaran yang diinginkan SB, inisial Soetrisno Bachir, tentang PAN masa depan? Pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 10 April 1957, ini merendah. “Sebetulnya saya hanya meneruskan kepemimpinan lama. Saya meneruskan program partai dan membawa perubahan yang lebih baik,” katanya. Perubahan, lanjutnya, adalah sebuah keniscayaan.

“PAN klaksonnya adalah menjalankan hukum alam, perubahan yang lebih baik, modern, serta demokratis,” tutur SB. PAN, lanjutnya, adalah rumah besar yang akan menampung seluruh warga negara Indonesia untuk senantiasa memperjuangkan demokrasi, kedaulatan, martabat, dan kesejahteraan bangsa.

Pendiri Grup Sabira ini memang terbilang masih hijau dalam dunia politik. Namun bila profesionalitas memang diperlukan untuk mengembangkan PAN menjadi partai berpengaruh, ia menyatakan siap menjalankan amanah itu dengan seluruh kemampuan dan daya yang dimilikinya. Ia pun menjanjikan akan berusaha meraih 100 kursi DPR untuk Pemilu 2009, dan memenangi 10 persen pemilihan kepala daerah. “Pilihlah saya bukan karena dekat dengan Amien Rais, tapi karena saya ingin meneruskan perjuangannya,” ujarnya, dalam sebuah kesempatan.


Sutrisno lalu menerjemahkan keinginannya membesarkan dan memodernkan PAN pada empat pokok garis perjuangan. Yakni, partai dan pemenangan pemilu, pengaderan yang andal, partai yang dicintai rakyat, serta membangun organisasi PAN yang modern. Garis perjuangan itu dia operasionalisasikan lagi ke dalam sejumlah program.


Program-program itu antara lain, penataan sistem kerja partai, pengembangan sistem informasi kepartaian, pelatihan-pelatihan kader dan pengurus, pengembangan kapasitas DPP, DPC, DPD sebagai ujung tombak partai, serta membangun dan mengukuhkan citra sebagai (satu-satunya) partai modern di Indonesia.


Program maupun target yang diusung partai yang diklaim lahir dari rahim reformasi ini memang boleh berubah seiring pergantian kepemimpinan PAN. Namun, satu hal yang senantiasa gigih diperjuangkan semenjak pembentukannya, PAN memiliki komitmen yang tinggi untuk memperjuangkan kemandirian maupun kedaulatan bangsa, di semua lini kehidupan. Bangsa yang bermartabat dan disegani di kancah pergaulan dunia adalah misi PAN.


Demikian pula dalam hal kemandirian pangan dan pertanian. Dalam pikiran SB, pangan dan pertanian bukan lagi sekadar komoditas, tapi juga bersinggungan dengan ketahanan bangsa. “Untuk membangun kemandirian, kita harus berani menolak barang-barang impor, walaupun ditekan oleh dunia luar. Kalau apa-apa mesti impor, kita semakin jauh dari hal-hal yang membanggakan sebagai bangsa,” ujar Soetrisno, saat ditemui Qusyaini Hasan dan Safitri Agustina dari Majalah PADI, di rumah pribadinya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Berikut wawancara lengkapnya:

Berbicara soal pertanian, pemikiran apa yang berkembang dalam PAN?
Kami memiliki sayap Solusi Bangsa Center. Ada beberapa sektor yang harus diselesaikan tahun 2009, salah satunya sektor pertanian dan pangan. Kami bikin diskusi yang berkaitan dengan sektor pertanian dan pangan. Yang menjadi pembicara adalah orang-orang yang berkompeten di bidang pertanian dan pangan. L
alu bertemu Menteri Pertanian, beberapa ahli pertanian dari IPB, juga para pelaku bisnis, ternyata masalah kebijakan atau visi pangan pertanian kita tidak saling nyambung, antara demokrasi, akademisi, dan birokrat

Apa catatan-catatan yang dihasilkan lembaga ini?
Kita adalah negara yang subur, seperti lagu Koes Plus “tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Tapi kita mengimpor banyak hal, bahkan dari negara yang tidak beda jauh dari negara kita, baik itu alamnya atau kulturnya, yaitu Thailand. Kita mengimpor, padi, kedelai, jagung, buah-buahan, bawang putih, hingga gula. Kalau kita lihat di hotel-hotel, bukan buah-buahan produksi dari dalam negeri yang ditonjolkan, tapi semua dari luar.

Ada kaitannya dengan persoalan sumberdaya manusia?
Contoh yang gampang, saya tanya Rektor IPB (Institut Pertanian Bogor, Red.), Anda punya doktor IPB berapa orang? Dia jawab, 800 orang. Tapi dari semua itu ada yang banyak jadi wartawan, administratur, atau politisi. Jadi, problem yang dimiliki negara kita adalah tidak adanya visi bersama di antara elemen bangsa, khususnya akademsi, birokrasi, dan pengusaha. Akademisi bisa menghasilkan penelitian yang bagus, harus ditindak lanjuti oleh pemerintah dan pengusaha.

Kenapa beras Jepang terbaik di dunia? Dulu Jepang mengimpor terus dan petani jadi menderita. Akhirnya kaisar mengatakan, “Wahai rakyatku, marilah kita makan beras sendiri.” Itu semua dari mulai akademisi, birokrasi, dan pengusaha meningkatkan produksi beras baik jumlah maupun kualitas. Walaupun beras mereka lebih mahal ketimbang beras Amerika atau Thailand, rakyatnya enggak mau beli, mereka rela untuk mengomsumsi beras sendiri.

Anda ingin mengatakan, kita tidak punya visi bersama dalam membangun pertanian?
Bangsa Indonesia tidak punya visi bersama membangun pertanian dan pangan. Padahal visi ini adalah salah satu solusi agar pertanian dan pangan kita bisa mandiri dan sejahtera. Jadi, harus ada kebijakan yang komprehensif di bidang pangan dan pertanian ini. Dan jangan sampai kita bisa mandiri dan swasembada, tapi petaninya miskin. Enggak ada gunanya. Sekarang adalah bagaimana kita ini swasembada dan petani kaya. Harus ada kebijakan pemerintah yang mengatur soal ini. Misalnya hasil pertanian diekspor supaya harganya lebih mahal. Kalau perlu, pemerintah membeli gabah petani dengan harga yang menguntungkan.

Anda pernah mengatakan, arah pembangunan ekonomi pemerintah SBY-JK saat ini tidak fokus pada sektor pertanian dan pedesaan.
Padahal jumlah rakyat miskin berada paling banyak di pedesaan. Sensus BPS 2006, jumlah warga miskin di pedesaan sebesar 27.8 juta jiwa dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian/perkebunan/perikanan/buruh. Ketidakfokusan ini berasal dari paradigma yang tidak menempatkan rakyat miskin, seperti buruh, petani, nelayan, pekebun sebagai sasaran utama kebijakan pembangunan ekonomi. Dengan tidak fokusnya arah pembangunan ekonomi tersebut, rakyat miskin ini tidak dapat ikut secara maksimal dalam pembangunan ekonominya.

Bukankah pemerintah telah menetapkan revitalisasi pertanian sebagai bagian dari strategi membangun pertanian?
Tapi, konsepnya tidak jelas dan implementasinya tidak intensif dan efektif karena minimnya koordinasi antar lintas sektor yang sampai ke daerah. Saat bersamaan, pemerintah juga tidak menghasilkan pola tata niaga perekonomian sehingga kurang memberikan peran yang maksimal pada Koperasi dan BUMN. Dalam beberapa tahun, terbuktikan bahwa kinerja pertumbuhan pertanian tercatat negatif sehingga menjadi bukti bahwa program revitalisasi pertanian tidak maksimal. Akibatnya, daya beli masyarakat miskin petani di pedesaan menjadi sangat rendah.

Anda pernah mencetuskan gagasan ekonomi desa yang mandiri sebagai solusi dalam mengatasi masalah pangan. Bisa dijelaskan?
Untuk negeri seluas Indonesia, sangatlah riskan jika masalah pangan masih bergantung dari impor. Makanya, ekonomi desa harus digerakkan sehingga masyarakat mandiri bidang pangan. Pertama, kita mendirikan yang namanya gerakan masyarakat ekonomi desa, mereka terdiri dari kepala desa. Ekonomi desa harus dituntaskan melalui mereka sendiri. Selama ini banyak kepala desa yang mengeluh karena program pusat banyak yang tidak sampai ke desa. Sehingga upaya yang kita lakukan bagaimana menggerakkan mereka agar masyarakat desa bisa mandiri di bidang ekonomi.

PAN selama ini memiliki komitmen yang kuat dengan persoalan kedaulatan atau kemandirian. Terkait dengan kedaulatan di bidang pangan, apa solusi yang ditawarkan?
Untuk negara yang besar seperti Indonesia, kedaulatan pangan itu harus. Beda dengan kedaulaan pangan untuk negara kecil seperti Singapura tidak perlu. Dia mengimpor tidak apa-apa karena negaranya enggak cukup untuk itu. Tapi, kita punya negara yang luas dan rakyat yang banyak. Tidak sekadar mengharapkan impor yang murah, tapi ini perlu kedaulatan bangsa di bidang pangan. Karena rakyat kita yang banyak, konsumsi lebih banyak, kita enggak boleh tergantung dengan negara lain.

Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa pangan dan pertanian bukan sekadar komoditas, tapi lebih pada sektor ketahanan bangsa. Bukan sekadar komoditas yang dijualbelikan tapi harus diatur di dalam satu aturan yang mengutamakan kepentingan ketahanan bangsa. Itu bukan pangan saja, tapi juga energi. Untuk membangun kemandirian, kita harus berani menolak barang-barang impor, walaupun ditekan oleh dunia luar.

Apa mungkin efek ketergantungan ini berlanjut di masa mendatang?
Kalau ini terjadi, kita bukan sebagai negara yag kita harapkan mandiri dan bermartabat. Kita semakin jauh dari hal-hal yang menbanggakan bagi seorang bangsa. Kita punya daya saing kuat, bekerja keras, ulet, tahan banting, merasa bangga menggunakan produk dalam negeri karena kita amat mudah mendapat dari mana-mana. Kita sebagai sebuah bangsa memang tidak bisa lepas dari globalisasi, tapi globalisasi bukan berarti kita sebagai korban dari globalisasi itu.

Kita harus mendapat manfaat. Misalnya kita punya tanah subur, mestinya kebijakan pemerintah harus menahan semaksimal mungkin dorongan impor barang-barang dari luar negeri dengan segala cara. Katakanlah, kalau kita melanggar ketentuan WTO (World Trade Center, Red.) kita bisa lakukan berhasil, ya kita lakukan. Negera seliberal apapun, mereka melindungi petaninya. Kita ini negara Pancasilais tapi lebih liberal dari Amerika, Jepang ataupun Eropa sehingga petani terpuruk, masyarakat di bawah menderita. Industri dalam negeri terpuruk karena bnayak serbuan barang impor dari luar negeri.

***

Sepanjang tahun 1976 hingga 1980, Soetrisno aktif menggeluti usaha batik. Lalu, ia bersama kakaknya, Kamaluddin Bachir sejak 1981 mulai mengibarkan bendera bisnis Grup Ika Muda, kini menaungi tak kurang 14 badan usaha perseroan terbatas. Grup itu bergerak di bidang budidaya udang, properti (real estate), ekspor-impor, rotan, peternakan, dan media massa. Soetrisno kemudian mengembangkan bisnis sendiri melalui Grup Sabira, induk bagi 10 perusahaan yang bergerak di bidang keuangan atau investasi, perdagangan, konstruksi, properti, ekspor impor, pelabuhan, dan agrobisnis.


Citra sebagai pedagang, profesional, sekaligus aktivis selalu melekat dalam dirinya. Ia banyak menyumbangkan materi hasil berdagang ke berbagai organisasi sosial keagamaan. Ia memberikan banyak dukungan ketika Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) lahir. Demikian pula di lingkungan HMI, Muhammadiyah, serta PII dalam 25 tahun terakhir sangat mengenal Soetrisno sebagai penyumbang yang dermawan.

Kendati dikenal sebagai pengusaha sukses, Soetrisno memiliki perhatian dan kepedulian yang kuat terhadap kemajuan pangan dan pertanian di Tanah Air. Tanpa sungkan, ia bahkan turun ke sawah dan bergabung dengan petani, baik musim tanam maupun panen raya. Salah satunya saat melakukan panen raya padi varietas unggul MIRA-1 bersama petani di Desa Bojong, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu silam.

Kepada para kadernya, Soetrisno berpesan agar berbagai kegiatan partai yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat luas harus terus ditingkatkan. "Kegiatan panen raya ini tentu bukan merupakan klimaks dari upaya para kader PAN dalam mendarmabaktikan dirinya di tengah petani," katanya. Panen raya padi, menurut dia, seharusnya diikuti oleh aktivitas lain, baik dalam intensifikasi dan diversifikasi hasil pertanian serta pengolahan maupun pemasaran hasil.

***

Apa wacana advokasi atau pembelaan petani yang selama ini terus bergulir di PAN?
PAN sangat berbeda dengan partai-partai lain yang lebih seremonial atau kosmetis di dalam menyampaikan pembelaan pada masyarakat petani. Melalui Solusi Bangsa Center ini PAN akan memberikan solusi pada bangsa dan negara ini bagaimana masalah pertanian dan pangan menjadi satu sektor yang sangat penting dan strategis. Bukan sebuah komoditi semata, tapi lebih menjadikan sektor ketahanan bangsa. Untuk itu semua sektor yang terlibat harus memberikan added value atau kesejahteraan pada bangsa kita.

Waktu saya jalan ke Austria, para petaninya kaya-kaya. Kalau di sini petani buruh sudah dimiliki orang-orang Jakarta. Tidak ada pembagian yang baik. Misalnya tanah yang diberi enggak boleh dijual, karena pertanian ada skalanya. Mesti ada policy bagaimana lahan pertanian di Indonesia harus aman. Kalaupun akan berkurang, ada teknologi baru lagi yang menghasilkan. Kalau dulu 1 hektar bisa mencapai 4 ton, sekarang bisa 10 ton. Mungkin tanah bisa dikecilkan dan bisa digunakan untuk industri lain. Industri yang ada jangan yang merusak, enggak cocok buat real estate, buatlah industru yang ramah terhadap lingkungan.

Padi sempat jadi komoditas politik. PAN sepertinya tidak tertarik.
Mungkin ini pilihan seorang anak manusia yang meyakini hidup di dunia in hanya sementara. Kita dalam berpolitik tidak mau membohongi masyarakat. Misalnya masalah pertanian, partai lain menggunakan politik, kalau perlu berbohong. Tapi akan ada hakim yang lebih tinggi yaitu Tuhan. Kalau kita bisa menjadi nomor satu tanpa harus berbohong, yang itu yang kita pilih.

Apakah hal ini berarti PAN tak memiliki perhatian di bidang perbernihan?
Tidak, perhatian kita lebih pada kebijakan. Boleh kita membantu petani mencari bibit, tapi bukan PAN sendiri yang mengerjakan bibit unggul. Biar saja tugas itu dikerjakan oleh lembaga yang lebih mengerti dan ahli. Kata Nabi, tunggulah kehancurannya apabila sesuatu dikerjakan bukan oleh ahlinya.

Seharusnya partai lebih mengajarkan rakyat soal politik, memberikan informasi mengenai hak-hak yang harus dimiliki rakyat, memberikan kritik pada negara. Itu tugas partai. Partai mempengaruhi kebijakan kepada institusi yang terkait untuk menghasilkan benih bibit unggul. Partai memberikan dorongan melalui UU di DPR. Memberikan dorongan pada pemerintah untuk memberikan subsidi kepada petani. Partai sbukan sebagai eksekutor.

Latar belakang Anda adalah entrepreneurship. Apa benar semua bidang kehidupan ini memerlukan naluri di bidang kewirausahaan?
Segala kehidupan kita yang kita temui pasti tidak terlepas dari masalah entrepreneurship. Di dalam kehidupan globalisasi, saya menyakini pemimpin bangsa atau pengambil keputusan harus ditambah pengetahuan pada era sekarang, mau dia presiden, menteri pertanian, dinas pariwisata harus ditambah wasasan soal entrepreneurship dan korporasi.

Saya ke Cina, ketemu pemimpin partai di sana. Mereka bukan pengusaha, tapi mereka ngerti soal ekonomi, bisnis, tahu taktik soal bisnis. Mereka jemput bola. Beda banget sama kita. Kita nggak ngerti soal keduanya. Contoh, presiden dikasih tahu ada blue energy dari air jadi bahan bakar, karena dia gak ngerti soal wawasan bisnis dan korporasi, dia percaya saja. Seharusnya, panggil ahli-ahlinya untuk memastikan, tapi dia percaya pada ahlinya. Sama juga dengan benih Super Toy, dia bukan percaya pada ahli, justru percaya sama orang yang enggak ngerti bibit.

Sebagai seorang entrepreneur, setujukah Anda akan ucapan bahwa agribisnis adalah bagian dari masa lalu?
Saya tidak percaya itu. Yang ngomong itu mungkin lagi mabuk. Yang namanya pertanian, yang kita makan, mana mungkin pertanian agrobisnis masa lalu, terus kita hidupnya dari plastik? Kalau kursi rotan bisa diganti plastik menyerupai rotan. Tapi kalau makanan enggak bisa. Air dan makanan enggak ada masa lalunya, dari zamannya Nabi Adam sampai kiamat tetap dibutuhkan. Kalau mau maju, lihat saja negara tetangga. Belanda mengekspor bunga tulip, Swiss dengan coklatnya. Rakyatnya pun maju karena itu.

Lalu, apa yang salah jika agribisnis kurang diminati dan tidak berkembang di Indonesia?
Orang Indonesia itu kuper, baik itu visi maupun akademisnya. Sehingga tidak ada sesuatu yang kita dapatkan. Dunia berkembang terus, tapi kita tidak memiliki visi. Di Malaysia, yang disekolahkan ke luar negeri itu lulusan SMP, SMA, tapi kita jutsru menyekolahkan orang-orang yang sudah tua, seperti di departemen maupun instansi pemerintahan.

Itukah sebabnya, Anda begitu gencar menyiarkan slogan, “Hidup adalah perbuatan”
Jadi, itu sebetulnya sebuah political marketing, mencari kalimat yang mudah dimengerti oleh rakyat banyak. Menebar bakti, menuai simpati, itu tagline PAN. Hidup adalah perbuatan adalah satu kalimat yang tujuannya agar bisa gampang diingat dan punya makna oleh semua kalangan. Hidup adalah perjuangan, itu seolah-olah orang yang bukan pejuang enggak bisa memaknai itu. Tidak semua orang pejuang. Hidup adalah Pengabdian, tidak semua orang merasa mampu mengabdi atau berkarya.

Hidup adalah perbuatan, semua orang bisa memakai itu. Makanya ada tagline berikutnya, Berbuat untuk Rakyat. Selanjutnya, Bersama Membangun Rakyat. Cuma, begitu iklan kedua digulirkan tidak bisa diterima oleh masyarakat, justru yang pertama yang sangat diterima. Sehingga, saya bikin baleho dengan slogan, “Hidup adalah Perbuatan.”

Apa makna yang ingin Anda sampaikan dari slogan ini?
Kita ini di dalam era reformasi, sekarang ada euforia demokrasi yang paling berasa adalah kebebasan pendapat. Media massa sangat menikmati era reformasi ini bisa mengatakan apa saja. Situasi ini kalau kita lihat di tv dan koran semuanya adalah ucapan, caci maki, dan hujatan. Namun, bangsa ini perlu perubahan yang lebih baik, bukan dengan ucapan tapi pada perbuatan. Itu makna yang terkandung. Saya mengajak pada seluruh elemen bangsa untuk tidak banyak bicara, tapi banyak berbuat nyata.

Sebagai seorang politisi, apa prestasi paling tinggi bagi Anda?
Saya enggak bisa menjawab prestasi tinggi apa yang saya peroleh. Saya akan memberikan yang terbaik buat bangsa dan negara. Saya menyakini kalau saya berbuat baik tanpa pamrih akan membahagiakan saya. Ketika saya berbuat untuk orang lain, kalau bisa saya lupa, agar saya bisa berbuat yang baik lagi. Filosofi saya adalah melupakan apa yang kita beri, tapi jangan perlu lupa dengan apa yang sudah kita terima. Kalau saya ditolong sama orang, saya tidak akan lupa. Tapi, apa yang sudah kita lakukan buat orang, sebisa mungkin saya lupakan.

Apa upaya Anda agar gagasan Anda ini diterapkan dalam kehidupan nyata?
Siapapun presiden yang terpilih nanti, saya akan memberikan sumbangsih sebagai anak bangsa. Saya akan memberikan solusi dan jalan keluar agar bangsa ini mampu mengatasi masalah-masalahnya sendiri, termasuk dalam hal pangan dan pertanian.

***

BIOGRAFI

Nama: Soetrisno Bachir Lahir: Pekalongan, Jawa Tengah, 10 April 1957 Jabatan: Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Istri: Anita Rosana Dewi (Menikah 1989) Anak: Meisa Prasati, Layaliya Nadia Putri, Maisara Putri, Muhammad Izzam Pendidikan: SD di Pekalongan (1969), SLTP di Pekalongan (1972), SLTA di Pekalongan (1975), Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti (tidak selesai), Fakultas Ekonomi Universitas Pekalongan Pengalaman Kerja: Usaha Batik (1976-1980), Vice President Direktor Ika Muda Group (sejak 1981), Presiden Direktur Grup Sabira (Merupakan induk bagi 10 perusahaan bergerak di bidang keuangan, investasi, perdagangan, konstruksi, properti, ekspor impor, pelabuhan, dan agrobisnis).

Swasembada Pangan 2008, Realistiskah?

Isu swasembada pangan diteriakkan pemerintah. Seperti dikejar angin, berbagai upaya pun terus dilakukan. Banyak yang meragukan, mesti ada pula yang optimistis. Bahkan, ingin menyulap Indonesia menjadi negara eksportir beras. Bagaimana kondisi riilnya?

Pernyataan atau komitmen ini disuarakan secara berulang-ulang oleh pemerintah di berbagai kesempatan. Baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Wapres Jusuf Kalla, menyuarakan bahwa Indonesia bisa mencapai swasembada pangan tahun ini. "Pemerintah sangat serius untuk mewujudkan swasembada pangan melalui berbagai upaya di bidang pertanian termasuk penelitian bibit padi varietas unggul dan perbaikan infrastruktur pertanian,” katanya.



Presiden menambahkan, sudah lama memang kita tidak menambah dan memperbaiki infrastruktur pertanian. ”Kita akan mengalokasikan dana untuk sektor tersebut," kata Presiden Yudhoyono. Dijelaskannya untuk mewujudkan hal itu dari tahun ke tahun pemerintah terus meningkatkan alokasi anggaran pada APBN untuk pembangunan infrastruktur.


Pada 2005 dialokasikan Rp32,9 triliun, 2006 sejumlah Rp55 triliun, 2007 Rp64 triliun dan pada 2008 sebesar Rp89 triliun. Sementara di tahun depan, dialokasikan sebesar Rp99 triliun. Khusus untuk bidang pertanian, kata Yudhoyono, anggaran untuk subsidi pupuk tahun ini dialokasikan sebesar Rp14,6 triliun dan pada 2009 sebesar Rp20,6 triliun. Sementara itu anggaran untuk subsidi benih tahun ini sebanyak Rp33 triliun dan pada 2009 Rp35 triliun.


Presiden menegaskan ada tiga hal yang menjadi perhatian utama pemerintah yaitu peningkatan ketahanan pangan, peningkatan penelitian dan peningkatan kesejahteraan petani. Namun, Wapres Jusuf Kalla merincinya lebih jauh. Menurutnya, swasembada pangan dapat dilaksanakan melalui peningkatan jumlah bibit hibrida, perbaikan saluran irigasi, penguasaan teknologi pertanian serta sosialisasi penggunaan bibit hibrida kepada petani. "Kita hanya butuh kenaikan lima persen produksi padi untuk menuju swasembada, apalagi kita hanya mengimpor 1,5 juta ton dari kebutuhan rata-rata konsumsi beras 32-33 juta ton. Jadi tidak sulitlah untuk mencapai swasembada," kata Wapres, seperti dikutip Antara.



Wapres mengatakan, mandegnya swasembada pangan Indonesia dikarenakan produksi nasional yang konstan, sedangkan rata-rata pertumbuhan penduduk serta konversi lahan pertanian masing-masing meningkat 1,5 persen per tahun.

Jadi, tambahnya, apapun alasannya pemerintah harus meningkatkan produksi padi tiga juta ton per tahun, dan untuk menutupi hal itu pada 2007 pemerintah mencanangkan kenaikan produksi lima persen atau setara dengan dua juta ton beras. Target itu akan bisa dicapai, apalagi saat ini bibit-bibit hibrida telah menghasilkan delapan hingga 10 ton per ha atau 10 - 25 persen dibandingkan dengan padi non hibrida.

PROGRAM RIIL: Secara teoritis, memang tidak terlalu sulit bagi Indonesia untuk mencapai swasembada pangan. China saja yang penduduknya 1,3 miliar bisa tidak antre beras atau demo karena kekurangan beras. Sedangkan kita yang hanya 240 juta ton penduduk masih mengantre beras.


Selain peningkatan jumlah bibit hibrida, lanjut Wapres, pemerintah perlu ada perbaikan proyek irigasi dan penguasaan teknologi pertanian melalui penelitian dan pengembangan oleh balai-balai penelitian di kampus-kampus, lembaga terkait serta swasta. ”Selama ini, peran swasta dalam mendukung ketahanan pangan nasional masih kurang maksimal, padahal dukungan mereka sangat diperlukan terutama untuk dapat menghasilkan bibit-bibit hibrida yang berkualitas," katanya lagi.

Menurut catatan Departemen Pertanian, saat ini Indonesia sudah menghasilkan 287 varietas padi, terdiri atas 189 padi dihasilkan oleh BBPT, 13 oleh Batan, dan 25 varietas oleh swasta. Sayangnya, ”Penggunaan produksi varietas unggul itu belum maksimal, karena belum disosialisasikan secara optimal tentang keuntungan teknis dan ekonomis padi hibrida,” kata Menteri Pertanian Anton Apriyantono, seperti dilansir Antara.

Dalam kesempatan terpisah, Mentan Anton Apriyantono mengklaim, program revitalisasi tanaman pangan dan kebijakan swasembada pangan bahkan dapat dikatakan berhasil. Hal ini, lanjutnya, dapat dilihat dari lima komoditas tanaman pangan unggulan berupa padi, jagung, kedelai, gula dan sapi potong. Data Deptan menunjukkan produksi beras naik 4,8% pada 2007 atau tertinggi dalam 15 tahun.

Kenaikan harga beras, ujarnya, merupakan tren musiman yang terjadi menjelang masa panen. Produksi jagung tumbuh 14,4% atau sebanyak 1,67 juta ton menjadi 13,38 juta ton sementara impor hanya sebesar 5%. ”Kalau mengacu definisi swasembada yang 90% produksi dalam negeri, itu artinya kita sudah mencukupi kebutuhan sendiri," tegasnya seperti dilansir Bisnis Indonesia.

Lebih lanjut Mentan memaparkan, produksi gula naik 4,91% dari 2,31 juta ton menjadi 2,44 juta ton. Dia beralasan impor 110.000 ton gula merupakan kebijakan untuk mengamankan stok dalam negeri oleh Bulog dan PPI. Namun, Mentan mengakui produksi kedelai 134.350 ton dari 747.610 ton menjadi 608.260 ton karena petani terbebani ongkos produksi yang mahal. ”Dari itu semua hanya kedelai yang turun produksinya, saya kira tidak fair kalau dikatakan program revitalisasi tidak berhasil," katanya.


DIRAGUKAN: Nyatanya, klaim Mentan bahwa swasembada pangan telah terwujud di Indonesia menuai banyak kritik. Bahkan, anggota Komisi VI DPR RI, Zulkifli Hasan menyatakan, target swasembada beras yang dicanangkan pemerintah pada 2008 tidak akan tercapai. "Yang terjadi sekarang malah impor tanpa pajak”, ujarnya seperti dikutip Tempo Interaktif.


Menurut dia, pemerintah harus menyelesaikan beberapa permasalahan penting seperti persoalan tanah, revitalisasi fungsi Bulog dan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) serta konversi lahan pertanian. “Kalau kebijakan pemerintah baik, pasti petani akan bertahan”, ujarnya.

Ekonom Iman Sugema berpandangan, tercapainya swasembada beras oleh Indonesia memang sudah lama didengungkan. Ia menilai bahwa itu bukan prestasi baru. "Harus dilihat dulu. Jangan-jangan swasembada ini ditopang oleh beras selundupan yang bisa saja jumlahnya melebihi impor," kata dia.


Demikian pula pendapat Direktur Akademik Magister Agribisnis Institut Pertanian Bogor, Hermanto Siregar. Ia meragukan swasembada beras ini bisa tercapai. ”Pertumbuhan produksi beras kita dari tahun 2000- 2006 hanya 1,2 persen. Sementara pertumbuhan penduduk 1,3 persen,” ujarnya. Artinya, produksi beras kita selalu di bawah total konsumsi maupun kebutuhan rakyat.


Nampaknya proyeksi kebutuhan beras dalam negeri di tahun-tahun mendatang akan terus meningkat. Seperti dilaporkan Agricultural Baseline Projection to 2014, hingga tahun 2014 kebutuhan dalam negeri akan beras terus meningkat antara 22-25 juta ton seiring dengan pertumbuhan penduduk, yang diperkirakan akan mencapai 253 juta jiwa pada tahun 2014. hal ini jika diasumsikan bahwa laju pertumbuhan tetap 1.49%/tahun.

Menurut catatan pengamat ekonomi pertanian Posman Sibuea, rata-rata pertumbuhan produksi beras selalu di bawah pertumbuhan penduduk. Bila prediksi BPS tidak melenceng, tahun 2030 untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang jumlahnya 425 juta jiwa, Indonesia memerlukan beras sebanyak 59 juta ton dengan asumsi konsumsi per kapita beras sebesar 139 kg per tahun.

PERHATIKAN IRIGASI: Setiap program yang melibatkan kebutuhan rakyat, dipastikan ada hambatan yang akan merintangi. Kesenjangan antara permintaan dan suplai tersebut diyakini menjadi hambatan utama dalam mewujudkan program swasembada pangan yang direncanakan pemerintah. Namun, bukan berarti pula kita patah arang dengan program swasembada pangan yang telah dicanangkan.

Salah satu agenda pembenahan yang harus dilakukan adalah irigasi. Mengapa terbangunnya jaringan irigasi begitu penting? Apakah bedanya bagi petani antara menanam dua kali dibanding tiga kali dalam satu tahun? Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian Hilman Manan menjelaskan, ketersediaan jaringan irigasi dapat meningkatkan produksi komoditas pertanian, terutama tanaman pangan secara signifikan. Jaringan irigasi yang memadai akan mendorong peningkatan indeks pertanaman (IP).


Sederhananya, IP adalah tingkat keterseringan atau kemungkinan penanaman komoditas tertentu, seperti padi, dalam satu kalender musim tanam pada lahan sawah beririgasi. Sawah dengan irigasi golongan I (satu) atau yang terdekat dengan sumber air (waduk) memungkinkan ditanami tiga kali dalam setahun (umur panen padi sekitar 110 hari).


Masih banyak pekerjaan harus dituntaskan untuk memperbaiki jaringan irigasi, mulai dari memperketat pengawasan terhadap operasional dan pemeliharaan jaringan, hingga koordinasi dengan berbagai pihak yang tidak langsung terlibat pada perusakan jaringan irigasi.

Hal lain yang juga mendesak untuk dilakukan adalah melanjutkan program diversifikasi pangan. Diversifikasi patut dijadikan penghela yang andal untuk memenuhi ketahanan pangan.


Bukankah seharusnya produksi pangan nonpadi yang ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya? Sebagai negara yang hampir seluruh penduduknya digiring mengonsumsi nasi 3 kali sehari sejak 40 tahun belakangan ini, pemerintah mengalami kesulitan menyediakan beras sebanyak 31 juta ton per tahun bagi rakyat yang jumlahnya sekitar 230 juta, dengan asumsi konsumsi beras penduduk Indonesia sekitar 135 kg per tahun per kapita.


Mewujudkan swasembada beras di tengah produktivitas padi yang kian melandai dan jumlah penduduk yang terus bertambah secara signifikan, menurut Posman Sibuea, maka orientasi kebijakan pangan harus ke arah diversifikasi konsumsi pangan. Hal ini patut segera dilakukan mengingat ketergantungan pada beras dapat menjadi musibah bagi Indonesia apabila harga beras di pasar internasional semakin mahal akibat stok dunia menurun.


Memang bukan perkara mudah mengalihkan konsumsi beras pada umbi-umbian dan pangan nonberas lainnya. Selain persoalan teknis, pengalihan ini juga memerlukan perubahan budaya. Namun, lanjutnya, sebagai langkah awal, diversifikasi konsumsi pangan harus dilakukan dengan semaksimal mungkin memanfaatkan sumber pangan lokal dan menekan ketergantungan pada negara lain.


Warisan Pemerintah Orde Lama, yakni beras yang dicampur ubi jalar (Bebilar) patut kita perkenalkan kembali sebagai salah satu metode pencapaian percepatan diversifikasi konsumsi. Lewat perbaikan teknologi pengolahan pangan, bebilar bisa dihadirkan sebagai nasi sehat kaya betakaroten.


Program diversifikasi konsumsi pangan yang indikator pencapaiannya adalah keragaman pola konsumsi pangan masyarakat dengan parameter Pola Pangan Harapan, dan penerapan konsumsi Beragam, Bergizi dan Berimbang (3 B) sangatlah penting untuk diwujudkan guna pemenuhan hak atas pangan dan meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Dengan demikian, swasembada atau kedaulatan pangan bukan lagi impian.


***

Boks 1

Indonesia Eksportir Beras?

Perdebadan wacana soal swasembada beras terus menggema di mana-mana dan melibatkan banyak pihak. Namun, jika pernyataan Departemen Pertanian (Deptan) dapat kita percayai, kita sejatinya telah berhasil mewujudkan swasembada beras sejak tahun 2007 lalu. ”Produksi pada tahun 2007 saja sudah kelebihan 1 juta ton kok,” kata Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Sutarto Alimoeso, sebagaimana dikutip Antara News, beberapa waktu silam.

Terkait dengan hal itu, produksi padi nasional pada tahun 2008 diharapkan mencapai 61 juta ton atau lebih tinggi 5 persen dibanding tahun 2007. Tahun ini, Deptan memperkirakan surplus beras sejumlah 2,11 juta ton. Asumsinya adalah, produksi padi yang mencapai 59,877 juta ton, dengan konversi GKG ke beras tersedia untuk konsumsi manusia 56,64%, maka tersedia 33,91 juta ton beras. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia tahun 2008 sejumlah 228,523 juta orang dan konsumsi pe rkapita per tahun 139,15 kg beras, maka dibutuhkan 31,80 juta ton beras. ”Untuk itu, saya optimistis kita bisa mewujudkan swasembada pangan ini,” kata Mentan Anton Apriyantono.

Dua tahun berturut mampu meningkatkan produksi 5% per tahun, Deptan mengubah haluan, mengantarkan Indonesia menjadi negara eksportir. ”Dan itu sangat mungkin. Tahun 2007, kita sudah swasembada dalam arti kebutuhan dalam negeri sepenuhnya bisa disuplai dari dalam negeri. Tahun ini, kemungkinan produksi akan meningkat lagi sekitar 4,8%. Kalau itu benar, jelas kita surplus. Harga naik sedikit tidak apa-apa. bisa jadi keuntungan bagi petani,” ujar Anton.

Dari hasil itu, timbul optimisme bahwa sebetulnya kita bisa menjadi eksportir beras. Apalagi, lanjutnya, kalau kita hitung bahwa kita bisa menanam sampai 2-3 kali dan mampu meningkatkan produktivitas. Jadi, kalau dilihat dari potensinya, sangat mungkin kita jadi eksportir. Itu baru kita bicara soal lahan yang ada. Belum soal perluasan lahan yang sedang gencar kita lakukan, bersamaan dengan investor yang terus berdatangan. ”Bayangkan, Indonesia bisa jadi negara seperti apa nanti,” ujarnya dengan mata berbinar.

Ia menargetkan, tahun depan Indonesia bisa memiliki kelebihan beras sampai 9 juta ton. Menurutnya, dengan adanya peluasan lahan sekitar 4,7 juta hae areal sawah, produktivitas beras Indonesia akan meningkat. "Saat ini, luas area persawahan kita masih terjadi perbedaan besar antara Pulau Jawa dengan Luar Jawa," katanya sebagaimana dikutip Tempointeraktif.


Dengan meningkatkan jumlah lahan di luar pulau Jawa, katanya, maka produktifitas beras juga akan meningkat. Bahkan, produksi luar Jawa dengan di Jawa sudah hampir sama volumenya.

Anton beserta jajarannya boleh saja berharap dan berbangga dengan capaiannya. Tapi, penilaian Staf Ahli Bidang Revitalisasi Pedesaan, Pertanian dan Agroindustri Bappenas, Dedi Masykur Riyadi, bisa jadi bahan evaluasi. Menurutnya, Indonesia belum mampu menjadi negara eksportir beras. Peningkatan produktivitas lahan 3-4 persen dalam Rencana Karya Pembangunan sampai 2009 belum cukup menjadikan Indonesia sebagai pengekspor beras.

”Pemerintah seharusnya fokus untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mencapai target swasembada. Sebab, ketahanan pangan kita masih ringkih,” ujarnya seperti dilansir Tempointeraktif. Dia mengatakan, sebagian besar masyarakat Indonesia masih bergantung pada beras dan diversifikasi pangan belum berjalan optimal. Dedi menilai, ekspor justru harus dipersulit sampai Indonesia mencapai swasembada beras. ”Dan, pelarangan ekspor bisa diberlakukan dengan pemberlakukan tarif tinggi,” tambahnya. Nah!

***


Boks 2

Peluang Di Balik Krisis


Fenomena krisis ekonomi dan finansial global yang melanda dunia ternyata menyimpan peluang yang sangat besar yang harus dimanfaatkan, khususnya di sektor pertanian. Bahkan, banyak kalangan meyakini bahwa sektor ini akan menjelma menjadi penggerak ekonomi nasional justru saat negara-negara lain terjerembab dalam krisis. Tentu, hal ini akan terjadi jika pertanian dikelola dengan perhatian yang tinggi.


Di tengah krisis ekonomi yang melanda sebagian besar negara di dunia, memang sudah selayaknya setiap negara memiliki sektor andalan untuk menghadapi dampak terburuknya, termasuk Indonesia. Dari semua sektor yang ada, sektor petanian di Indonesia dinilai cukup menjanjikan. Hal tersebut didukung fakta sejarah bahwa keberhasilan pertanian Indonesia yang pernah diakui dunia internasional. Pada krisis moneter tahun 1997 lalu, sektor pertanian telah membuktikan dirinya mampu menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi nasional. Kegiatan ekonomi nasional terselamatkan dari produksi dan ekspor karet, kelapa sawit, teh, kopi dan kegiatan ekonomi nasional yang bertumbuh pada beras. Di kala sektor-sektor lain seperti perbankan dan industri mengalami keterpurukan, sektor pertanian justru menyerap tenaga kerja yang banyak.

Oleh karena itu, krisis global saat ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan revitalisasi pertanian dan menggenjot produktivitas pertanian. ”Pemerintah perlu memperkuat ketahanan pangan nasional, terutama dengan meningkatkan produktivitas petani. Ini beralasan karena harga produk pertanian di pasar internasional terus merosot akibat krisis keuangan global dan bisa berdampak memperburuk nasib petani di dalam negeri,” kata pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin, seperti dikutip Suara Karya.

Pemerintah, lanjutnya, tak perlu segan-segan melakukan intervensi guna mencegah krisis pangan nasional. Bila kondisi sangat mendesak, pemerintah meningkatkan pembelian beras petani dengan memaksimalkan peran Perum Bulog. ”Pemerintah harus tetap menjaga jangan sampai berkembang informasi negatif yang membuat para petani enggan menanam panganan pokok dan beralih ketanaman lainnya, tentunya tanaman yang bisa membuat ekonomi mereka sejahtera. Pemerintah harus segera menemukan pasar baru, yang lebih menjanjikan guna terus menjaga gairah para petani dalam melakukan produksi," kata Bustanul.

Memang, Menteri Pertanian Anton Apriyantono memastikan, krisis tidak memengaruhi sektor pangan di dalam negeri Indonesia. "Karena pangan seperti beras merupakan kebutuhan primer dapat diusahakan di dalam negeri, termasuk kebutuhan telur, pakan ternak yang berasal dari jagung dapat diproduksi sendiri," kata Anton.

Menurutnya, produksi pangan di Indonesia cukup menggembirakan, khususnya jagung dan beras. Petani dari tahun ke tahun berusaha meningkatkan produksinya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Karena itu, sejak tahun 2005 hingga 2009, lanjutnya, Departemen Pertanian mengimplementasikan tiga program, yakni pengembangan tanaman pangan, program pengembangan agribisnis dan program peningkatan kesejahteraan petani.

Kendati demikian, anggota Komisi IV DPR, Suswono, mengatakan, jika petani beralih menanam tanaman nonpangan, maka kemungkinan besar krisis pangan tidak dapat dihindarkan. Bahkan, menurut Bustanul Arifin, krisis pangan kemungkinan besar dapat dirasakan masyarakat Indonesia dalam satu tahun ke depan. Ini mengingat sekarang stok pangan pokok masih mengalami defisit dan kalaupun lebih, sisa stoknya juga sedikit.

"Yang ada di pasaran saat ini adalah sisa-sisa stok pangan yang masih tersedia. Belum tentu dalam satu tahun ke depan para petani masih mau menanam produk pangan pokok lagi, seperti beras. Ini mengingat harga yang terus mengalami penurunan seiring penurunan permintaan," kata Bustanul.

Karena itu, ”Pemerintah harus berani melakukan pembelian terhadap produk pertanian lokal di saat harga di pasar anjlok. Bulog mempunyai peran penting dalam stabilisasi harga pangan yang sedang anjlok ini," ujar Suswono, seperti dikutip Suara Karya.

Lain halnya pendapat Direktur Eksekutif ICBB (Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology) Dwi Andreas Santosa. Menurutnya, untuk menghindari Indonesia dari krisis dan mencapai kedaulatan pangan, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah menjalankan reformasi agraria, memperluas akses petani terhadap benih, pupuk, dan masukan produksi lainnya, serta jangan jadikan pangan sebagai komoditas perdagangan tetapi untuk mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri.


Selain itu, lanjutnya, Upaya yang dapat dilakukan dengan memperluas lahan pertanian dan kepemilikan lahan untuk setiap petani, serta penggunaan teknologi terutama pada benih. Namun, di balik semua itu, petani harus diberi wewenang dalam pemutusan kebijakan pertanian di negara ini sebagai bukti keberpihakan pemerintah yang besar kepada petani.

Mafia Beras, Kongsi Memiskinkan Negeri

Tak terlihat, namun keberadaanya seringkali merepotkan bangsa. Kelangkaan, kerawanan, bahkan kelaparan tak hanya karena gagal panen, tapi juga efek dari tingkah polah mereka dalam mencari keuntungan bisnis pribadi. Siapa dan bagaimana cara kerja mereka?

“Gawat, Mafia Beras Mau Bikin Rakyat Kelaparan” Begitulah judul headline Harian Rakyat Merdeka, sebuah koran terbitan ibukota, beberapa waktu lalu. Berita tersebut secara panjang lebar mengupas tentang potensi kerawanan pangan yang bakal terjadi akibat ulah para mafia. “Saat ini ada upaya sistematis dari para mafia beras agar krisis pangan terjadi di Indonesia,” kata Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo, seperti dikutip harian yang sama.

Ia menilai, para mafia beras akan mengeruk keuntungan kalau terjadi krisis pangan. Sebab, bila ada krisis pangan, maka pemerintah bakal membuka pintu impor beras. Para mafia beras ini, lanjutnya, sudah memiliki jaringan dengna para cukong beras di Thailand dan Vietnam sehingga ketika keran impor beras dibuka, mereka sudah siap beraksi.

Kebijakan pemerintah yang menurunkan bea impor beras dari Rp550 per kg menjadi Rp450 per kg sejak tahun ini, lanjut Siswono, akan sangat menguntungkan mafia beras ini. “Jika peristiwa krisis pangan terjadi, maka ini akan jadi pembenaran bagi impor beras. Dengan adanya regulasi baru ini, maka klop-lah sudah,” katanya, menambahkan.

Soal keberadaan mafia beras ini secara implisit juga sempat disinggung oleh Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriyantono. Mentan melontarkan pertanyaan menarik seputar kenaikan harga beras yang sempat terjadi. Katanya, beras sebenarnya ada. Tetapi di tangan siapa? Oleh mereka, lanjutnya, beras dikeluarkan sedikit demi sedikit sehingga harganya naik.

Pernyataan Mentan menunjukkan bahwa ada beberapa pihak yang memang mampu mengontrol harga. Menurut Anton, harga tidak murni berlaku sebagai hukum pasar, karena ada kekuatan yang mampu menguasai stok dalam jumlah besar. Artinya, permainan dari kelompok tertentu yang ingin mempermainkan harga beras ini sebetulnya sudah menjadi rahasia umum. Mereka adalah para mafia yang memang memahami seluk-beluk perberasan. Diyakini, upaya ini bukan permainan pedagang kecil yang biasa menjual beras dalam skala kecil.


Meski sangat sulit membuktikannya, keberadaan mafia beras ini sudah lama menjadi kecurigaan banyak kalangan, dan diduga melibatkan para pejabat dan orang-orang partai. Mereka menyimpan beras dalam skala besar, dan mengeluarkannya sedikit demi sedikit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka pendek. Stok beras yang pas-pasan ini tentu saja mendorong naiknya harga beras.


Kenyataan naiknya harga makanan pokok inipun terbukti. Operasi pasar yang digelar pemerintah dengan beratus ribu ton beras seringkali tak kunjung mampu menurunkan harga. Bahkan, di sejumlah daerah harga beras justru semakin meningkat drastis jauh dari jangkauan daya beli masyarakat.


DARI IMPOR: Sejatinya, semua presiden sampai di era reformasi ini mengimpor beras. Soeharto, Habibie, Gus Dur, Mega, hingga SBY, juga mengimpor beras. Jumlahnya saja yang berbeda, berikut komitmen politiknya. Mentan Anton Apriyantono punya kepentingan agar petani tidak terus-menerus rugi. “Selama ini petani selalu berkorban,” katanya.


Keputusan politik pemerintah untuk mengimpor beras sejatinya merupakan keputusan yang sering menjadi kontroversial di kalangan masyarakat, terutama petani. Petani menjadi entitas yang mendapatkan dampak langsung dari kebijakan politik tersebut. Walaupun kapasitas impor beras terus mengalami penurunan, namun isu impor ini selalu menjadi pembicaraan hangat di kalangan elit politik dan pebisnis perberasan.


Permasalahan impor memang masalah ketidakberdayaan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Apalagi indonesia merupakan negara yang subur akan sumberdaya pertanian. Semakin jelas bahwa Indonesia sangat tidak berdaya dalam permasalahan beras.


Gonjang-ganjing soal impor beras tampaknya belum akan berakhir. Berbagai pendapat masih bermunculan, menanggapi kebijakan impor ini. Anggota Komisi VI DPR Aria Bima mengatakan, kebijakan impor beras merupakan bukti kemenangan mafia beras dan kegagalan Perum Bulog dalam menyerap beras petani. Selama ini, Bulog tidak serius membeli beras petani. Karena itu, beberapa waktu lalu, Komisi VI DPR akan mengajukan hak angket kepada pemerintah terkait dengan masalah tersebut.


“Impor 110 ribu ton beras ini hanya akal-akalan Bulog yang bekerja sama dengan mafia beras untuk mengeruk keuntungan dan memiskinkan petani,'' tandas Bima sebagaimana dikutip Suara Merdeka. Ia menambahkan, impor resmi biasanya diikuti dengan impor gelap yang bisa mencapai lima kali lipat. Setiap kebijakan impor pasti ada penumpang gelapnya, yaitu oknum yang memasukkan barang (beras) secara ilegal. Penumpang gelap ini yang harus diwaspadai. Sebab, dialah yang merusak harga beras di pasaran.


Aria Bima mengatakan, kebijakan impor beras juga merupakan bukti konkret ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib petani. Petani akan semakin miskin dan tidak pernah sejahtera jika kebijakan yang diambil seperti ini,'' ujarnya. Sebenarnya, jika Bulog serius melakukan operasi, banyak wilayah di Indonesia yang surplus beras.


Karena itu, ia bersama Ketua Komisi VI DPR Didik J. Rachbini beberapa waktu lalu sepakat berjuang memakai hak angket terhadap pemerintah, berkaitan dengan keputusan mengimpor 110 ribu ton beras. DPR sebelumnya sudah membuat keputusan menolak impor beras dalam rapat dengan Menteri Perdagangan dan Dewan Ketahanan Pangan (DKP).


Selama ini, menurut penilaian Aria Bima, DPR tidak mempercayai ada sesuatu yang kritis soal beras. Komoditas itu hanya dijadikan ajang spekulasi dan hasilnya masuk ke kantong-kantong pribadi dan kelompok. “Jadi DPR 100% tidak percaya praktik-praktik impor. Sebab, pada waktu lalu dilakukan dengan cara-cara seperti itu,” katanya.


Karena itu, sewaktu pemerintah memutuskan untuk impor, DPR melalui Komisi Perdagangan langsung melayangkan Hak Angket. Dengan hak itu, DPR bisa membongkar dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebijakan beras di tanah air, berarti membongkar mafia beras.


"Kami tidak percaya ada krisis beras, sehingga harus mengimpor," ujar Ketua Komisi Perdagangan DPR Didik J. Rachbini sebagaimana dikutip Koran Tempo. Buktinya, kata dia, sampai kini tak ada kekurangan beras di masyarakat.

KEMENANGAN MAFIA: Sekretaris Fraksi PKS Zulkieflimansyah menegaskan, jika memang Presiden mau memberantas korupsi, inilah saatnya memberantas mafia beras di Bulog yang telah merugikan petani puluhan tahun. “Untuk itu, Presiden harus melihat sisi positif penggunaan Hak Angket itu,” katanya seperti dikutip Sinar Harapan.

Sayangnya, DPR ternyata gagal menggunakan hak angket untuk mempertanyakan atau menyelidiki motif di balik kebijakan impor tersebut. Gagalnya angket ini disinyalir juga merupakan bukti kemenangan para cukong beras. Sebab, dengan Angket, ada harapan misteri di balik kebijakan ini bisa dibuka ke publik.

Namun, semua fraksi di DPR sepakat bahwa kondisi perberasan nasional carut-marut. "Kami juga melihat begitu," kata Endin AJ Soefihara, dari F-PPP, sebagaimana dikutip Bali Post. Karena itu, lanjutnya, misteri ini harus diungkap tuntas. Sebab, komitmen pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya pasti berseberangan dengan keinginan para cukong beras. Para tengkulak ini bekerja sama dengan pejabat di pemerintahan untuk memuluskan rencananya.

Tamsil Linrung, anggota DPR dari Fraksi PKS memiliki data mengenai gerilya cukong beras ini. Mulai penimbunan beras hingga impor ilegal. Misalnya, pemerintah menetapkan impor beras 110 ribu ton. Nanti akan ada kapal lain yang membawa beras bersama kapal-kapal resmi. Ini cerita lama yang bertahun-tahun terjadi. Keuntungan cukong ini hingga ratusan miliar.

Belum lagi keuntungan dari disparitas harga beras. Setiap tonnya bisa mencapai US$2-3. Coba dikalikan 110 ribu ton, 250 ribu ton, dan seterusnya, lalu berapa keuntungannya. Uang haram itu tidak dimakan cukong sendiri. Uang mafia beras itu dibagi rata. “Pejabat pemerintah juga terlibat,” kata Tamsil, seperti dilansir Bali Post, sembari menyimpan datanya rapat-rapat.

30 TAHUN: Ingin tahu siapa dan sejak kapan para cukong beras ini? Menurut anggota DPR Didik J Rachbini, jaringan mafia itu sudah lama menguasai impor beras di Indonesia sejak 30 tahun silam. “Impor beras itu hanya akal-akalan jaringan mafia beras yang sudah 30 tahun menguasai Indonesia,” ujarnya, seperti dikutip Koran Tempo.

Selama ini, setidaknya terdapat enam pengusaha atau pedagang beras yang telah melakukan kartel selama berpuluh-puluh tahun. Bak mafia, enam pedagang beras dalam negeri ini seringkali mempermainkan stok sekaligus harga beras di pasaran. “Mereka bukan semata-mata melakukan kartel, tapi ketika masa panen tiba, mereka melakukan oligopoli karena petani tidak mempunyai kekuatan mengorganisasi,” kata Anggota Komisi VI DPR dari PDIP Hasto Kristanto, sebagaimana dikutip detikcom.

Keenam pedagang yang berbentuk perusahaan ini melakukan kartel di dua sisi, yaitu pembelian beras petani, serta penyediaan pupuk dan pestisida. Operasional pedagang ini, ungkap Hasto, sudah dilakukan sejak era Presiden Soeharto. Pedagang itu dilindungi, karena pada waktu itu pemerintah takut ada gejolak petani melakukan land reform sehingga harga dikontrol.

Namun, data-data yang dimiliki mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur soal konspirasi berikut jumlah mafia yang terlibat sungguh mencengangkan. Dia menyebutkan, setidaknya 22 cukong berkeliaran, mempermainkan isi perut 220 juta rakyat. “Tugas pemerintah mencari dan menangkap mereka,” katanya, seperti dikutip Bali Post.

Desakan agar aparat penegak hukum segera membongkar dan menangkap pihak-pihak yang melakukan penyelundupan, penimbunan, dan berbagai tindakan melawan hukum lainnya terkait pangan maupun perberasan pantas menggema di berbagai pelosok negeri. Sebab, hilangnya beras di pasaran sehingga melambungkan harga, tidak terelakkan lagi, merupakan permainan pihak-pihak tertentu yang ingin mereguk keuntungan di balik kesengsaraan rakyat.

Lain daripada itu, permainan ini juga disinyalir merupakan ulah cukong yang ingin melegitimasi impor beras. Untuk itu, Wakil Ketua MPR, AM Fatwa, turut menyuarakan aspirasinya dan mendesak pemerintah membatalkan impor beras. Dia mendukung kebijakan sejumlah gubernur yang melakukan penolakan terhadap rencana pusat tersebut. Apa pun alasan yang dikemukakan pemerintah, opini masyarakat sudah tidak percaya, karena pengalaman masa lalu dalam permainan impor beras. Upaya itu justru menyuburkan tengkulak dan mafia beras,” katanya seperti dikutip Suara Merdeka.


Suara penolakan impor maupun penegakan hukum dari tokoh-tokoh di daerah memang tidak mengada-ada. Berbagai daerah menyatakan bahwa munculnya kebijakan impor beras lebih merupakan kolaborasi kepentingan antara pengusaha dan pemerintah. Mereka yakin, impor dan berbagai skandal yang melibatkan kekuasaan dan para cukong beras tidak hanya merugikan, tapi menyengsarakan petani dan rakyat Indonesia.

Boks 1

Patgulipat Cukong Beras

Sejatinya, maraknya aksi para tengkulak beras di negeri ini karena dipicu oleh ambisi untuk mengeruk keuntungan gila-gilaan. Maka, berbagai trik, tipu muslihat, dan skandal pun dilakukan. Mulai dari penimbunan, penyelundupan, hingga permainan harga.

Bukan rahasia lagi, para cukong banyak diuntungkan oleh kebijakan impor beras. Soal impor, aparat Bea dan Cukai di negeri ini pun tak pernah kekurangan tantangan. Setelah gula ilegal dan daging ilegal, kini muncul beras ilegal. Dalam satu kasus, sekitar 60 ribu ton beras yang diselundupkan dari Vietnam—diduga juga melibatkan pelaku dari kalangan atas pernah terungkap.

banyak fakta yang mengungkapkan terjadinya penyelundupan dengan modus separuh nyolong (spanyol)—istilah yang sangat populer di kalangan pedagang dan kuli angkut yang biasa menangani urusan ekspor-impor. Mereka melakukan manipulasi terhadap daftar pemberitahuan impor barang (PIB). Contohnya, pada awalnya, dokumen ini hanya mencatat enam kapal yang semestinya bermuatan 46.500 ton. Namun, yang dilaporkan ke otoritas pelabuhan hanya 26.925 ton. Ini berarti terdapat 19.575 ton yang tidak dilaporkan dalam manifes. Tak hanya itu, semua beras itu bisa langsung raib entah kemana.

HKTI pernah mencatat bahwa hingga akhir tahun 2004 beras impor ilegal bisa mencapai 2 juta ton. Beras haram ini datang dari berbagai negara seperti Thailand, Australia, Amerika Serikat, Vietnam, Pakistan, dan India. Umumnya bera impor ilegal itu masuk melalui pelabuhan besar di Medan, Tanjung Balai (Karimun), Jakarta, dan Surabaya.

Data lain yang dirilis Majalah Trust menyebutkan bahwa selama periode Mei-Juli 2004 tercatat 29 pemberangkatan kapal membawa beras dari pelabuhan Bangkok, Thailand, dengan tujuan Indonesia. Total beras yang diangkut mencapai sekitar 98.600 ton. Di antara ”armada hitam” ini tercatat tiga kapal yang memakai nama-nama Indonesia, seperti Sinar Borneo, Intan-31, dan Caraka Jaya Niaga III.
Modus penyelundupan dengan menggunakan over volume, ternyata telah terjadi sejak perniagaan beras masih dimonopoli Bulog tempo lalu. Di dalam dokumen impornya hanya disebutkan 5.000 ton. Padahal, jumlah sebenarnya 10 ribu ton. Sisanya yang tak tercatat dipastikan akan terbebas dari bea masuk.

Biasanya, ada dua cara yang biasa dipakai para penyelundup. Kapal pembawa beras masuk ke pelabuhan-pelabuhan kecil di Indonesia yang pemeriksaan kepabeanannya tidak ketat. Cara lainnya, kapal membongkar muatan di pelabuhan negeri jiran yang erdekatan dengan Indonesia. Dari sana beras diangkut kapal kecil ke pelabuhan-pelabuhan rakyat di Indonesia. Beberapa pelabuhan yang dicurigai menjadi pintu masuk beras selundupan adalah Tanjung Balai (Sumatra Utara), Dumai (Riau), dan Kuala Tungkal (Jambi). Biar aman, sebelum diedarkan ke pasar, beras ilegal itu dioplos dulu dengan beras lokal dan dikemas dalam karung berlabel produksi dalam negeri.

Oknum-oknum tersebut tidak bekerja dalam kelompok kecil, tetapi bekerja dalam suatu jaringan yang terpadu (integrated) dengan berbagai unsur yang terkait. Sebab, mustahil beras ratusan ribu ton bisa diselundupkan ke wilayah pabean Indonesia tanpa ketahuan petugas Bea Cukai. Selain merasa diuntungkan dengan manipulasi impor, menurut beberapa sumber, para tengkulak juga mendapatkan laba dari disparitas maupun permainan harga yang mereka lakukan. Nah!

Boks 2

Cara Ampuh Melibas Mafia

Langkah yang diambil Pemerintah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, memang pantas ditiru. Guna memberantas tengkulak perberasan, pemerintah setempat mencetuskan gagasan untuk membangun pusat pengolahan dan pemasaran padi atau rice center pada tahun 2005 lalu.

“Salah satu tujuan kami mendirikan rice center juga untuk memberantas mafia beras Cipinang. Indramayu kini juga sering kali mendapat permintaan beras dari Batam dan Kepulauan Riau," kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu Kusnomo Tamkani di Indramayu, beberapa waktu lalu, seperti dikutip Kompas.

Selama ini, lanjut Kusnomo, para pedagang beras dari Indramayu seringkali dipermainkan oleh pedagang beras Cipinang di Jakarta, sehingga harga beras jatuh, dengan imbas menurunnya pembayaran kepada petani. Oleh karena itu, pihaknya tergerak untuk meningkatkan daya tawar pedagang beras dan petani Indramayu dengan pendirian rice center ini.

Dengan keberadaan rice center, Kusnomo mengatakan, nantinya produk pertanian, terutama padi asal Indramayu, akan masuk ke rice center terlebih dahulu. Bahkan dia memperkirakan beberapa kabupaten di Wilayah III Cirebon, seperti Majalengka, Kuningan, Cirebon, dan Subang juga dapat memanfaatkan pusat pemasaran itu.

Selama ini produksi padi dari wilayah Pantura, Jawa Barat dikuasai para tengkulak. Para petani di daerah tersebut sudah sangat tergantung pada para pengijon sehingga harga jual gabah ditentukan oleh pembeli. Dengan adanya rice center ini, banyak pihak berharap terjadi penyederhanaan mata rantai perdagangan padi sehingga terjadi optimalisasi harga pembelian gabah di tingkat petani.

Terobosan yang dilakukan daerah, seperti Indramayu, hanyalah contoh kecil yang dapat dilakukan guna memberantas para cukong beras. Namun, yang lebih esensi dan mendasar adalah perlunya pemerintah memiliki database di bidang perberasan. Meski sebagai penghasil dan konsumen beras terbesar di dunia, ternyata Indonesia belum punya database perberasan. Padahal dengan database perberasan, pemerintah bisa mengendalikan perdagangan dan distribusi komoditas ini hingga harga gabah stabil.

Dengan database ini, volume stok beras nasional dan siapa yang menguasainya juga akan ketahuan. Data ini mestinya dimiliki Departemen Pertanian dan Perdagangan. Dan, jika terjadi juga defisit neraca beras, Bulog seharusnya melakukan pembelian beras dari petani dalam negeri, bukan menyubsidi petani di Vietnam atau Thailand.

Soal impor beras, Ketua Umum HKTI Prabowo Subianto mengkhawatirkan ada pembonceng dalam impor beras. Karena itu, ia mengusulkan agar impor dilakukan dengan prosedur government to government (G to G). “Jadi, tidak melalui importir atau broker lagi,” kata Prabowo, seperti dikutip Kontan.

Memang, secara umum harus diakui, bahan pangan pokok rakyat Indonesia adalah beras. Seharusnya, pemerintah yang baik tentu melihat contoh di negara yang bagus penataan bahan pangannya. Hampir semua negara yang kokoh dan stabil di bidang pangan, tidak hanya mengandalkan bahan pangan pokok pada satu jenis. Rata-rata membagi kebutuhan pangan mereka dalam bentuk gandum, jagung, beras, ubi, dan kentang.

Sebagai negara agraris di mana begitu banyak sumber karbohidrat yang bisa tumbuh dengan baik, cukup naïf kalau hanya mengandalkan pada produksi beras yang terbukti selalu menuai masalah baik dalam ketersediaan, kesejahteraan petani, maupun distribusinya. Karena itu, diversifikasi pangan sudah selayaknya menjadi perhatian utama pemerintah.

Anton Apriyantono, Motor Pembangunan Pertanian Nasional


Jika ada sosok yang disebut sebagai motor penggerak pembangunan pertanian di Tanah Air, maka Menteri Pertanian Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS layak ditempatkan di urutan teratas. Tak hanya memiliki kewenangan yang luas, baik dalam program, kebijakan, penerapan, hingga pengawasan, ia juga memiliki kemampuan dan kapasitas yang mumpuni dalam memajukan sektor ini.

Mantan dosen Departemen Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor (IPB) ini sejak awal memang memiliki tekad dan komitmen yang kuat untuk memajukan sekaligus menyejahterakan petani dan pertanian kita. Apalagi, sebagai orang nomor satu di jajaran Departemen Pertanian (Deptan), pria kelahiran Serang, 5 Oktober 1959 ini memiliki otoritas yang tinggi dalam menentukan kebijakan pembangunan pertanian nasional.

Dalam pertemuan dengan Susilo Bambang Yudhoyono, dalam rangka uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon anggota menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu, ketika ia terpilih menjadi Presiden, Anton Apriyantono menyampaikan tiga program unggulan yang harus dilakukan guna memajukan sektor agraria, yakni peningkatan ketahanan pangan,
peningkatan kesejahteraan petani, dan meningkatkan nilai tambah produk pertanian.

Tiga hal ini yang menjadi pijakan utama dalam setiap kebijakannya. Menurutnya, kebijakan yang akan disusun harus benar-benar berpihak kepada petani. Selama ini, pertanian identik dengan kesan kumuh, becek, dan terbelakang. “Padahal pertanian tidak hanya bercocok tanam, tapi mencakup berbagai aspek, termasuk agroindustri,” katanya kepada Qusyaini Hasan, Tri Aji, dan Safitri Agustina dari Majalah PADI saat menemuinya di ruang kerjanya di Gedung A Lantai II, Deptan, Ragunan, Jakarta.

Menurutnya, membangun sektor pertanian ke depan berarti menyejahterakan petani, peternak, pemilik kebun, dan petani lainnya. Dengan demikian, sektor pertanian tidak semata-mata mengejar peningkatan produksi, tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. “Oleh karena itu, diperlukan suatu perubahan penting, yaitu agar pembangunan pertanian berpusat kepada manusianya,” kata Anton.

Demi kemajuan di bidang pertanian, Mentan Anton Apriyantono tak kelah lelah untuk terus berjuang. Sosialisasi dan kampanye tentang pentingnya swasembada pangan senantiasa ia gelorakan. Ia pun mengajak para gubernur dan bupati seluruh Indonesia untuk kembali menghidupkan lumbung pangan di daerah masing-masing. Keberadaan lumbung pangan dinilai penting untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Anton yang juga selaku Ketua Pelaksana Harian Dewan Ketahanan Pangan Nasional berujar, “Ketahanan pangan secara nasional sesungguhnya juga tergantung pada kesiapan masing-masing daerah.”

Sebagai bukti akan kesungguhannya dalam memajukan pertanian, ia mengobarkan tekad dan semangat untuk memperbaiki citra pertanian. Anton, panggilan akrabnya, pun tak ragu untuk turun ke sawah dan berbecek-becek dengan petani. Kehadirannya seringkali menyemarakkan acara tanam perdana, panen bersama, ataupun memperkenalkan inovasi dan teknologi terbaru di bidang pertanian. “Progam pertanian perlu didukung oleh semua institusi di jajaran Deptan dan institusi terkait lainnya,” tuturnya. Berikut wawancara lengkapnya:

Bisa dijelaskan apa program kerja maupun target Departemen Pertanian di tahun 2008 ini?

Program kerja Deptan tahun 2008 khususnya di sub sektor tanaman pangan adalah peningkatan produksi dan produktivitas dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional dengan sasaran produksi padi 61 juta ton gabah kering giling (GKG), serta jagung 14,5 juta ton pipilan kering. Ada pula program penyebarluasan teknologi pengelolaan sumber daya dan tanaman secara terpadu (PTT) melalui metode sekolah lapangan (SL). Penyebaran tanaman meliputi padi non hibrida seluas 1,5 juta ha oleh 60 ribu kelompok tani, padi hibrida 86 ribu ha oleh 6.500 kelompok tani, dan jagung 200 ribu ha oleh 13.500 kelompok tani.

Bagaimana perkembangan sejauh ini?

Berdasarkan Angka Ramalan II BPS produksi padi tahun 2008 mencapai 59,877 juta ton GKG atau meningkat 2,27 juta ton (4,76%) dari tahun 2007. Jagung mencapai 14,85 juta ton pipilan kering atau meningkat 1,566 juta ton (11,79%) dari tahun 2007. Capaian ini merupakan rekor dalam sejarah pertanian kita.

Produksi beras domestik sejak tahun 2005 sebenarnya tidak ada masalah dalam arti cukup untuk memenuhi kebutuhan. Yang masalah adalah menyangkut keterjangkauan oleh sebagian masyarakat. Harga yang cukup baik dari sisi petani produsen adakalanya dinilai terlalu tinggi dan tidak terjangkau oleh kelompok masyarakat yang masuk katagori miskin.

Pemerintah menargetkan swasembada pangan tahun ini dapat terwujud. Bagaimana prospek atau peluang dalam mewujudkan hal ini?

Ada kesenjangan produktivitas antara potensi dengan kondisi lapangan. Selain itu, tersedianya teknologi (hibrida, umur pendek, SRI, Legowo dll), peluang pasar domestik dan internasiaonal, potensi SDM yang masih dapat ditingkatkan, serta usaha tanaman pangan merupakan peluang investasi (menarik investor). Kami melihat, dukungan yang besar dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, misalnya Sulsel, Gorontalo, Sumsel, dan lain-lain, memiliki potensi dalam memajukan pertanian kita.

Sejauh ini apa kendala dalam mewujudkan hal ini?

Kami menghadapi kebutuhan pangan terus meningkat sering dengan meningkatnya jumlah penduduk. Harga pangan dunia terus meningkat, ketersediaan lahan dan air berkurang, dampak fenomena iklim (banjir, kekeringan dan gangguan OPT), serta infrastruktur pertanian banyak yang rusak. Ada juga akses petani terhadap modal lemah, serta kelembagaan pertanian maupun koordinasi di berbagai tingkatan masih lemah.

Lalu, bagaimana perkembanganya saat ini?

Pada tahun 2008 diperkirakan surplus beras sejumlah 2,11 juta ton. Asumsinya adalah, produksi padi yang mencapai 59,877 juta ton, dengan konversi GKG ke beras tersedia untuk konsumsi manusia 56,64%, maka tersedia 33,91 juta ton beras. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia tahun 2008 sejumlah 228,523 juta orang dan konsumsi pe rkapita per tahun 139,15 kg beras, maka dibutuhkan 31,80 juta ton beras. Untuk itu, saya optimis kita bisa mewujudkan swasembada pangan ini.

Apakah program ini tidak terpengaruh oleh peristiwa krisis pangan global yang sedang terjadi?

Secara tidak langsung memang ada pengaruhnya. Namun berdasarkan data-data yang ada justru pada saat ini kondisi pangan nasional masih aman-aman dan produksi terus meningkat. Kita harus bersyukur ketika negara-negara lain dilanda krisis pangan, Alhamdulillah Indonesia termasuk aman. Ketersedian pangan kita cukup bahkan surplus. Dengan krisis pangan global justru merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi Indonesia yang merupakan negara agraris untuk membuktikan bahwa kita mampu. Banyak investor baik dari dalam maupun luar negeri yang akan melakukan investasi di sub tanaman pangan.

Apa langkah antisipasi agar Indonesia terhindar dari krisis pangan?

Selain memanfaatkan peluang peningkatan produksi padi/beras, maka program diversifikasi pangan non beras harus digalakkan lagi, mengingat Indonesia mempunyai potensi sumber pangan lokal yang sangat beragam di setiap wilayah, seperti sagu, jagung, hingga umbi-umbian. Peran media massa juga sangat penting dalam mendukung hal ini, misalnya tidak memberitakan dengan nada merendahkan masyarakat kita yang mengomsumsi pangan non beras.

Sejauh ini, bagaimana perkembangan program diversifikasi pangan di Indonesia?

Pada intinya penerapan program diversifikasi pangan dilakukan dengan terus mengupayakan pemanfaatan bahan pangan lokal yang jenisnya sangat beragam di negeri kita. Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dengan cara lebih mensosialisasikan ragam pangan yang tersedia. Kita juga perlu memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa makan selain beras tidak menurunkan status sosial. Selain itu, diversifikasi pangan juga dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangan sehingga dapat tercapai pola pangan harapan 100, yang pada saat ini baru mencapai skornya 75,6.

Lalu bagaimana soal ketersediaan pangan, khususnya dengan penerapan otonomi seperti sekarang?

Dalam kaitan inilah, saya telah berkirim surat ke semua gubernur dan bupati di seluruh Indonesia untuk meningkatkan ketahanan pangan. Antara lain dengan meningkatkan ketahanan pangan sampai ke tingkat RT/RW. Caranya dengan membuat cadangan pangan di masing-masing RT sekitar 500 kg. Fungsinya sebagai lumbung pangan di wilayah RT masing-masing. Cadangan ini bisa dipakai untuk membantu mereka yang kurang mampu. Entah sebagai pinjaman atau bantuan dari yang kaya atau berkemampuan kepada mereka yang miskin.

***

Pria yang menamatkan pendidikan akademiknya di bidang pertanian dan ilmu pangan, IPB ini dilantik menjadi Menteri Pertanian menggantikan Prof. Dr. Bungaran Saragih, pada Oktober 2004 lalu. Sebelumnya, doktor bidang Kimia Pangan dari University of Reading, Inggris, ini adalah menjadi staf pengajar Departemen Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta), IPB, ini dengan jabatan Lektor di Fateta IPB. Ia pun sempat menjadi dosen tamu di National University of Singapore (NUS) pada program Food Science and Technology, auditor di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Kosmetika (LPOM) MUI, dan sedang dalam pengusulan untuk menjadi profesor atau guru besar di IPB.

Boleh dibilang, hampir sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk menggeluti bidang pertanian dan pangan. Suami dari Ir. Rossi Rozanna Septimurni, MKes, yang merupakan peneliti pada Puslitbang Gizi dan Kesehatan Depkes yang berpusat di Bogorm ini dikenal sebagai pria yang sangat bersahaja. “Kesederhanaan penampilan fisik tidaklah harus berarti kesederhanaan berpikir. Saya akan tetap dengan kehidupan yang selama ini sudah berjalan,” katanya.

Sesuai dengan programnya dalam peningkatan ketahanan pangan, kesejahteraan petani, dan nilai tambah produk pertanian, ia menjelaskan bahwa komitmen pemerintah untuk membantu petani tidak perlu diragukan. Selain melanjutkan program bantuan benih unggul, Pemerintah juga berkomitmen untuk tetap menjaga ketersediaan pupuk dengan harga tetap (tidak terpengaruh harga BBM).

Tahun 2008, lanjutnya, pemerintah menyediakan dana Rp 13 triliun untuk subsidi pupiuk. Angka ini hampir dua kali lebih besar dari angka subsidi tahun sebelumnya. Untuk membantu permodalan dan peningkatan kesejahteraan petani, pemerintah juga telah menggulirkan berbagai program dan skema kredit. ”Antara lain Kredit Usaha Rakyat, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM), dan Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP). Deptan telah menyediakan dana Rp 1,1 trilyun untuk program PUAP di 11.000 desa seluruh Indonesia,” katanya.

***

Bagaimana dengan kebijakan pertanian, khususnya di sektor padi dan perberasan?

Kebijakan yang diambil dalam komoditas padi adalah meningkatkan pendapatan petani dan pelaku agribisnis padi melalui peningkatan produktivitas dan produksi. Hal dimaksudkan untuk mewujudkan swasembada padi/beras secara berkelanjutan. Kami juga tetap memberikan subsidi khususnya benih dan pupuk. Kami juga memfasilitasi pembiyaan, bantuan benih dan peralatan pra dan pasca panen, serta melindungi harga dengan penetapan HPP beras/gabah.

Belakangan ini santer desakan publik agar kita tidak hanya memiliki ketahanan pangan, tapi juga kedaulatan pangan. Apa komentar Anda?

Sesuai dengan konteksnya, pengertian ketahanan pangan terus berkembang, mulai dari ketersediaan pangan, tidak melakukan impor lebih dari 5 persen, bahkan saat ini mengarah kepada istilah kedaulatan pangan. Pada saat ini kita sedang mengarah kepada pencapaian kedaulatan pangan melalui berbagai program pemerintah, seperti program swasembada beras, swasembada daging, swasembada gula, dan lainnya dalam karangka revitalisasi pertanian. Di samping itu, Deptan juga mengembangkan percontohan Desa Mandiri Pangan di beberapa daerah.

Apa benar sampai saat ini kita bisa surplus produksi secara merata?

Secara nasional pada tahun 2008 akan terjadi surplus produksi padi/beras. Namun, dengan kondisi iklim Indonesia dimana ada dua musim tanam (MH dan MK), maka diperkiraan pada tahun 2008 terjadi defisit beras antara produksi di bulan yang sama masih kurang. Hal ini berlangsung selama lima bulan, yaitu pada Januari, September, Oktober, Nopember, dan Desember 2008. Demikian pula antara kebutuhan di suatu wilayah dengan wilayah lain, ada yang surplus produksi dan banyak pula yang harus mendatangkan dari wilayah lain. Untuk itu sangat diperlukan stok nasional yang pada saat ini ditandatangani oleh Perum Bulog.

Apa pemicu terjadinya surplus ini?

Dalam strategi kita, ada empat, yaitu ekstentifikasi, intensifikasi, penyelamatan pasca panen, serta memperkuat kelembagaan dan pembiayaan. Ekstentifikasi, paling tidak untuk mengimbangi konversi lahan sawah. Pembuatan sawah baru terus dilakukan terutama di luar Jawa. Tahun ini kita targetkan 30 ribu ha. Soal intensifikasi, kita membagikan secara gratis benih unggul yang produktivitasnya tinggi. Di samping itu, penggunaan pupuk yang berimbang, pengairan yang mencukupi, dan teknologi budidaya yang optimal.

Semuanya ini kita kemas dalam bentuk sekolah lapang, Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Tahun ini sekitar ada 1,5 juta ha melakukan sekolah lapang. Satu kelompok tani mengelola 25 ha, 1 ha laboratorium lapang. Petani dibimbing soal budidaya yang baik dan diberi benih serta pupuk gratis. Kita juga melakukan penyelamatan pasca panen, mulai menyediakan terpal untuk perontokan dan pengerikan. Bulog membantu dalam menjaga harga dan produktivitas, serta memperkuat kelembagaan dan pembiayaan.

Apa terobosan baru agar bisa surplus produksi secara merata?

Untuk surplus produksi secara merata tidaklah mungkin, mengingat masing-masing wilayah mempunyai potensi dan kendala yang berbeda. Sebagai contoh DKI Jakarta tidak mungkin memenuhi kebutuhan pangannya dari DKI, tetapi dapat memenuhi kebutuhan dari propinsi lainnya. Hal yang dilakukan adalah memanfaatkan peluang di propinsi lain untuk memenuhi kebutuhan secara nasional.

Sempat muncul gagasan untuk ekspor. Realistiskah?

Dulu kita memang ingin swasembada pangan lestari. Tapi dua tahun berturut mampu meningkatkan produksi 5% per tahun. Maka, sekarang kita berubah sasarannya, menjadi negara eksportir. Dan itu sangat mungkin. Tahun 2007, kita sudah swasembada dalam arti kebutuhan dalam negeri sepenuhnya bisa disuplai dari dalam negeri. Tahun ini, kemungkinan produksi akan meningkat lagi sekitar 4,8%. Kalau itu benar, jelas kita surplus. Harga naik sedikit tidak apa-apa. bisa jadi keuntungan bagi petani.

Dari situ timbul optimisme bahwa sebetulnya kita bisa menjadi eksportir beras. Apalagi kalau kita hitung, kita bisa menanam sampai 2-3 kali dan mampu meningkatkan produktivitas. Jadi, kalau dilihat dari potensinya, sangat mungkin kita jadi eksportir. Itu baru kita bicara soal lahan yang ada. Belum soal perluasan lahan yang sedang gencar kita lakukan, bersamaan dengan investor yang terus berdatangan. Bayangkan, Indonesia bisa jadi negara seperti apa nanti.

Anda mengatakan bahwa menggantungkan semua kebutuhan pangan dicukupi dari dalam negeri. Maksudnya?

Berapa luas sih lahan kita? Apalagi dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk dan lain-lain. Yang bisa kita cukupi adalah bahan-bahan pokok saja. Contoh yang paling ekstrem adalah mungkin enggak kita tanam gandum. Untuk sekarang sih memang tidak bisa. Tapi, di masa mendatang siapa tahu. Jadi, ini contoh ekstrem saja, bahwa tidak semua bisa ditanam dan dicukupi dari sini. Tidak mungkin itu. Kita harus memilih, kalau beras, jagung, gula, insya Allah bisa.

Belakang ini juga muncul gagasan agar kita lebih berorientasi pada maritim (maritime oriented). Apa komentar Anda?

Pemahamannya tidak seperti itu. Kami berpendapat, baik daratan maupun lautan harus dikembangkan secara bersama dan seimbang sesuai potensi di masing-masing wilayah. Kita memiliki daratan dan lautan yang luas dan harus dioptimalkan demi kesejahteraan kita bersama. Saya ingatkan, potensi kita di bidang perikanan atau lautan masih belum tergali, bahkan sering dicuri orang.

Benarkah sektor pertanian adalah bagian dari masa lalu dan tak lagi dapat diandalkan di masa mendatang?

Tidak benar itu. Selama manusia masih makan tanaman (sereal dan lainnya), maka pertanian masih merupakan sektor yang masih menjadi andalan di masa yang akan datang. Jadi, pertanian masih bisa kita optimalkan sehingga memberikan kesejahteraan bagi kita.

Lalu, apa upaya Anda untuk mengembalikan kejayaan pertanian kita?

Kita harus mengembangkan pertanian sesuai potensi dengan skala usaha yang menguntungkan, lebih efesien sehingga mampu bersaing di pasar internasional.