Isu swasembada pangan diteriakkan pemerintah. Seperti dikejar angin, berbagai upaya pun terus dilakukan. Banyak yang meragukan, mesti ada pula yang optimistis. Bahkan, ingin menyulap Indonesia menjadi negara eksportir beras. Bagaimana kondisi riilnya?
Pernyataan atau komitmen ini disuarakan secara berulang-ulang oleh pemerintah di berbagai kesempatan. Baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Wapres Jusuf Kalla, menyuarakan bahwa Indonesia bisa mencapai swasembada pangan tahun ini. "Pemerintah sangat serius untuk mewujudkan swasembada pangan melalui berbagai upaya di bidang pertanian termasuk penelitian bibit padi varietas unggul dan perbaikan infrastruktur pertanian,” katanya.
Presiden menambahkan, sudah lama memang kita tidak menambah dan memperbaiki infrastruktur pertanian. ”Kita akan mengalokasikan dana untuk sektor tersebut," kata Presiden Yudhoyono. Dijelaskannya untuk mewujudkan hal itu dari tahun ke tahun pemerintah terus meningkatkan alokasi anggaran pada APBN untuk pembangunan infrastruktur.
Pada 2005 dialokasikan Rp32,9 triliun, 2006 sejumlah Rp55 triliun, 2007 Rp64 triliun dan pada 2008 sebesar Rp89 triliun. Sementara di tahun depan, dialokasikan sebesar Rp99 triliun. Khusus untuk bidang pertanian, kata Yudhoyono, anggaran untuk subsidi pupuk tahun ini dialokasikan sebesar Rp14,6 triliun dan pada 2009 sebesar Rp20,6 triliun. Sementara itu anggaran untuk subsidi benih tahun ini sebanyak Rp33 triliun dan pada 2009 Rp35 triliun.
Presiden menegaskan ada tiga hal yang menjadi perhatian utama pemerintah yaitu peningkatan ketahanan pangan, peningkatan penelitian dan peningkatan kesejahteraan petani. Namun, Wapres Jusuf Kalla merincinya lebih jauh. Menurutnya, swasembada pangan dapat dilaksanakan melalui peningkatan jumlah bibit hibrida, perbaikan saluran irigasi, penguasaan teknologi pertanian serta sosialisasi penggunaan bibit hibrida kepada petani. "Kita hanya butuh kenaikan lima persen produksi padi untuk menuju swasembada, apalagi kita hanya mengimpor 1,5 juta ton dari kebutuhan rata-rata konsumsi beras 32-33 juta ton. Jadi tidak sulitlah untuk mencapai swasembada," kata Wapres, seperti dikutip Antara.
Wapres mengatakan, mandegnya swasembada pangan Indonesia dikarenakan produksi nasional yang konstan, sedangkan rata-rata pertumbuhan penduduk serta konversi lahan pertanian masing-masing meningkat 1,5 persen per tahun.
Jadi, tambahnya, apapun alasannya pemerintah harus meningkatkan produksi padi tiga juta ton per tahun, dan untuk menutupi hal itu pada 2007 pemerintah mencanangkan kenaikan produksi lima persen atau setara dengan dua juta ton beras. Target itu akan bisa dicapai, apalagi saat ini bibit-bibit hibrida telah menghasilkan delapan hingga 10 ton per ha atau 10 - 25 persen dibandingkan dengan padi non hibrida.
PROGRAM RIIL: Secara teoritis, memang tidak terlalu sulit bagi Indonesia untuk mencapai swasembada pangan. China saja yang penduduknya 1,3 miliar bisa tidak antre beras atau demo karena kekurangan beras. Sedangkan kita yang hanya 240 juta ton penduduk masih mengantre beras.
Selain peningkatan jumlah bibit hibrida, lanjut Wapres, pemerintah perlu ada perbaikan proyek irigasi dan penguasaan teknologi pertanian melalui penelitian dan pengembangan oleh balai-balai penelitian di kampus-kampus, lembaga terkait serta swasta. ”Selama ini, peran swasta dalam mendukung ketahanan pangan nasional masih kurang maksimal, padahal dukungan mereka sangat diperlukan terutama untuk dapat menghasilkan bibit-bibit hibrida yang berkualitas," katanya lagi.
Menurut catatan Departemen Pertanian, saat ini Indonesia sudah menghasilkan 287 varietas padi, terdiri atas 189 padi dihasilkan oleh BBPT, 13 oleh Batan, dan 25 varietas oleh swasta. Sayangnya, ”Penggunaan produksi varietas unggul itu belum maksimal, karena belum disosialisasikan secara optimal tentang keuntungan teknis dan ekonomis padi hibrida,” kata Menteri Pertanian Anton Apriyantono, seperti dilansir Antara.
Dalam kesempatan terpisah, Mentan Anton Apriyantono mengklaim, program revitalisasi tanaman pangan dan kebijakan swasembada pangan bahkan dapat dikatakan berhasil. Hal ini, lanjutnya, dapat dilihat dari lima komoditas tanaman pangan unggulan berupa padi, jagung, kedelai, gula dan sapi potong. Data Deptan menunjukkan produksi beras naik 4,8% pada 2007 atau tertinggi dalam 15 tahun.
Kenaikan harga beras, ujarnya, merupakan tren musiman yang terjadi menjelang masa panen. Produksi jagung tumbuh 14,4% atau sebanyak 1,67 juta ton menjadi 13,38 juta ton sementara impor hanya sebesar 5%. ”Kalau mengacu definisi swasembada yang 90% produksi dalam negeri, itu artinya kita sudah mencukupi kebutuhan sendiri," tegasnya seperti dilansir Bisnis Indonesia.
Lebih lanjut Mentan memaparkan, produksi gula naik 4,91% dari 2,31 juta ton menjadi 2,44 juta ton. Dia beralasan impor 110.000 ton gula merupakan kebijakan untuk mengamankan stok dalam negeri oleh Bulog dan PPI. Namun, Mentan mengakui produksi kedelai 134.350 ton dari 747.610 ton menjadi 608.260 ton karena petani terbebani ongkos produksi yang mahal. ”Dari itu semua hanya kedelai yang turun produksinya, saya kira tidak fair kalau dikatakan program revitalisasi tidak berhasil," katanya.
DIRAGUKAN: Nyatanya, klaim Mentan bahwa swasembada pangan telah terwujud di Indonesia menuai banyak kritik. Bahkan, anggota Komisi VI DPR RI, Zulkifli Hasan menyatakan, target swasembada beras yang dicanangkan pemerintah pada 2008 tidak akan tercapai. "Yang terjadi sekarang malah impor tanpa pajak”, ujarnya seperti dikutip Tempo Interaktif.
Menurut dia, pemerintah harus menyelesaikan beberapa permasalahan penting seperti persoalan tanah, revitalisasi fungsi Bulog dan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) serta konversi lahan pertanian. “Kalau kebijakan pemerintah baik, pasti petani akan bertahan”, ujarnya.
Ekonom Iman Sugema berpandangan, tercapainya swasembada beras oleh Indonesia memang sudah lama didengungkan. Ia menilai bahwa itu bukan prestasi baru. "Harus dilihat dulu. Jangan-jangan swasembada ini ditopang oleh beras selundupan yang bisa saja jumlahnya melebihi impor," kata dia.
Demikian pula pendapat Direktur Akademik Magister Agribisnis Institut Pertanian Bogor, Hermanto Siregar. Ia meragukan swasembada beras ini bisa tercapai. ”Pertumbuhan produksi beras kita dari tahun 2000- 2006 hanya 1,2 persen. Sementara pertumbuhan penduduk 1,3 persen,” ujarnya. Artinya, produksi beras kita selalu di bawah total konsumsi maupun kebutuhan rakyat.
Nampaknya proyeksi kebutuhan beras dalam negeri di tahun-tahun mendatang akan terus meningkat. Seperti dilaporkan Agricultural Baseline Projection to 2014, hingga tahun 2014 kebutuhan dalam negeri akan beras terus meningkat antara 22-25 juta ton seiring dengan pertumbuhan penduduk, yang diperkirakan akan mencapai 253 juta jiwa pada tahun 2014. hal ini jika diasumsikan bahwa laju pertumbuhan tetap 1.49%/tahun.
Menurut catatan pengamat ekonomi pertanian Posman Sibuea, rata-rata pertumbuhan produksi beras selalu di bawah pertumbuhan penduduk. Bila prediksi BPS tidak melenceng, tahun 2030 untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang jumlahnya 425 juta jiwa, Indonesia memerlukan beras sebanyak 59 juta ton dengan asumsi konsumsi per kapita beras sebesar 139 kg per tahun.
PERHATIKAN IRIGASI: Setiap program yang melibatkan kebutuhan rakyat, dipastikan ada hambatan yang akan merintangi. Kesenjangan antara permintaan dan suplai tersebut diyakini menjadi hambatan utama dalam mewujudkan program swasembada pangan yang direncanakan pemerintah. Namun, bukan berarti pula kita patah arang dengan program swasembada pangan yang telah dicanangkan.
Salah satu agenda pembenahan yang harus dilakukan adalah irigasi. Mengapa terbangunnya jaringan irigasi begitu penting? Apakah bedanya bagi petani antara menanam dua kali dibanding tiga kali dalam satu tahun? Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian Hilman Manan menjelaskan, ketersediaan jaringan irigasi dapat meningkatkan produksi komoditas pertanian, terutama tanaman pangan secara signifikan. Jaringan irigasi yang memadai akan mendorong peningkatan indeks pertanaman (IP).
Sederhananya, IP adalah tingkat keterseringan atau kemungkinan penanaman komoditas tertentu, seperti padi, dalam satu kalender musim tanam pada lahan sawah beririgasi. Sawah dengan irigasi golongan I (satu) atau yang terdekat dengan sumber air (waduk) memungkinkan ditanami tiga kali dalam setahun (umur panen padi sekitar 110 hari).
Masih banyak pekerjaan harus dituntaskan untuk memperbaiki jaringan irigasi, mulai dari memperketat pengawasan terhadap operasional dan pemeliharaan jaringan, hingga koordinasi dengan berbagai pihak yang tidak langsung terlibat pada perusakan jaringan irigasi.
Hal lain yang juga mendesak untuk dilakukan adalah melanjutkan program diversifikasi pangan. Diversifikasi patut dijadikan penghela yang andal untuk memenuhi ketahanan pangan.
Bukankah seharusnya produksi pangan nonpadi yang ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya? Sebagai negara yang hampir seluruh penduduknya digiring mengonsumsi nasi 3 kali sehari sejak 40 tahun belakangan ini, pemerintah mengalami kesulitan menyediakan beras sebanyak 31 juta ton per tahun bagi rakyat yang jumlahnya sekitar 230 juta, dengan asumsi konsumsi beras penduduk Indonesia sekitar 135 kg per tahun per kapita.
Mewujudkan swasembada beras di tengah produktivitas padi yang kian melandai dan jumlah penduduk yang terus bertambah secara signifikan, menurut Posman Sibuea, maka orientasi kebijakan pangan harus ke arah diversifikasi konsumsi pangan. Hal ini patut segera dilakukan mengingat ketergantungan pada beras dapat menjadi musibah bagi Indonesia apabila harga beras di pasar internasional semakin mahal akibat stok dunia menurun.
Memang bukan perkara mudah mengalihkan konsumsi beras pada umbi-umbian dan pangan nonberas lainnya. Selain persoalan teknis, pengalihan ini juga memerlukan perubahan budaya. Namun, lanjutnya, sebagai langkah awal, diversifikasi konsumsi pangan harus dilakukan dengan semaksimal mungkin memanfaatkan sumber pangan lokal dan menekan ketergantungan pada negara lain.
Warisan Pemerintah Orde Lama, yakni beras yang dicampur ubi jalar (Bebilar) patut kita perkenalkan kembali sebagai salah satu metode pencapaian percepatan diversifikasi konsumsi. Lewat perbaikan teknologi pengolahan pangan, bebilar bisa dihadirkan sebagai nasi sehat kaya betakaroten.
Program diversifikasi konsumsi pangan yang indikator pencapaiannya adalah keragaman pola konsumsi pangan masyarakat dengan parameter Pola Pangan Harapan, dan penerapan konsumsi Beragam, Bergizi dan Berimbang (3 B) sangatlah penting untuk diwujudkan guna pemenuhan hak atas pangan dan meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Dengan demikian, swasembada atau kedaulatan pangan bukan lagi impian.
***
Boks 1
Indonesia Eksportir Beras?
Perdebadan wacana soal swasembada beras terus menggema di mana-mana dan melibatkan banyak pihak. Namun, jika pernyataan Departemen Pertanian (Deptan) dapat kita percayai, kita sejatinya telah berhasil mewujudkan swasembada beras sejak tahun 2007 lalu. ”Produksi pada tahun 2007 saja sudah kelebihan 1 juta ton kok,” kata Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Sutarto Alimoeso, sebagaimana dikutip Antara News, beberapa waktu silam.
Terkait dengan hal itu, produksi padi nasional pada tahun 2008 diharapkan mencapai 61 juta ton atau lebih tinggi 5 persen dibanding tahun 2007. Tahun ini, Deptan memperkirakan surplus beras sejumlah 2,11 juta ton. Asumsinya adalah, produksi padi yang mencapai 59,877 juta ton, dengan konversi GKG ke beras tersedia untuk konsumsi manusia 56,64%, maka tersedia 33,91 juta ton beras. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia tahun 2008 sejumlah 228,523 juta orang dan konsumsi pe rkapita per tahun 139,15 kg beras, maka dibutuhkan 31,80 juta ton beras. ”Untuk itu, saya optimistis kita bisa mewujudkan swasembada pangan ini,” kata Mentan Anton Apriyantono.
Dua tahun berturut mampu meningkatkan produksi 5% per tahun, Deptan mengubah haluan, mengantarkan Indonesia menjadi negara eksportir. ”Dan itu sangat mungkin. Tahun 2007, kita sudah swasembada dalam arti kebutuhan dalam negeri sepenuhnya bisa disuplai dari dalam negeri. Tahun ini, kemungkinan produksi akan meningkat lagi sekitar 4,8%. Kalau itu benar, jelas kita surplus. Harga naik sedikit tidak apa-apa. bisa jadi keuntungan bagi petani,” ujar Anton.
Dari hasil itu, timbul optimisme bahwa sebetulnya kita bisa menjadi eksportir beras. Apalagi, lanjutnya, kalau kita hitung bahwa kita bisa menanam sampai 2-3 kali dan mampu meningkatkan produktivitas. Jadi, kalau dilihat dari potensinya, sangat mungkin kita jadi eksportir. Itu baru kita bicara soal lahan yang ada. Belum soal perluasan lahan yang sedang gencar kita lakukan, bersamaan dengan investor yang terus berdatangan. ”Bayangkan, Indonesia bisa jadi negara seperti apa nanti,” ujarnya dengan mata berbinar.
Ia menargetkan, tahun depan Indonesia bisa memiliki kelebihan beras sampai 9 juta ton. Menurutnya, dengan adanya peluasan lahan sekitar 4,7 juta hae areal sawah, produktivitas beras Indonesia akan meningkat. "Saat ini, luas area persawahan kita masih terjadi perbedaan besar antara Pulau Jawa dengan Luar Jawa," katanya sebagaimana dikutip Tempointeraktif.
Dengan meningkatkan jumlah lahan di luar pulau Jawa, katanya, maka produktifitas beras juga akan meningkat. Bahkan, produksi luar Jawa dengan di Jawa sudah hampir sama volumenya.
Anton beserta jajarannya boleh saja berharap dan berbangga dengan capaiannya. Tapi, penilaian Staf Ahli Bidang Revitalisasi Pedesaan, Pertanian dan Agroindustri Bappenas, Dedi Masykur Riyadi, bisa jadi bahan evaluasi. Menurutnya, Indonesia belum mampu menjadi negara eksportir beras. Peningkatan produktivitas lahan 3-4 persen dalam Rencana Karya Pembangunan sampai 2009 belum cukup menjadikan Indonesia sebagai pengekspor beras.
”Pemerintah seharusnya fokus untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mencapai target swasembada. Sebab, ketahanan pangan kita masih ringkih,” ujarnya seperti dilansir Tempointeraktif. Dia mengatakan, sebagian besar masyarakat Indonesia masih bergantung pada beras dan diversifikasi pangan belum berjalan optimal. Dedi menilai, ekspor justru harus dipersulit sampai Indonesia mencapai swasembada beras. ”Dan, pelarangan ekspor bisa diberlakukan dengan pemberlakukan tarif tinggi,” tambahnya. Nah!
***
Boks 2
Peluang Di Balik Krisis
Fenomena krisis ekonomi dan finansial global yang melanda dunia ternyata menyimpan peluang yang sangat besar yang harus dimanfaatkan, khususnya di sektor pertanian. Bahkan, banyak kalangan meyakini bahwa sektor ini akan menjelma menjadi penggerak ekonomi nasional justru saat negara-negara lain terjerembab dalam krisis. Tentu, hal ini akan terjadi jika pertanian dikelola dengan perhatian yang tinggi.
Di tengah krisis ekonomi yang melanda sebagian besar negara di dunia, memang sudah selayaknya setiap negara memiliki sektor andalan untuk menghadapi dampak terburuknya, termasuk Indonesia. Dari semua sektor yang ada, sektor petanian di Indonesia dinilai cukup menjanjikan. Hal tersebut didukung fakta sejarah bahwa keberhasilan pertanian Indonesia yang pernah diakui dunia internasional. Pada krisis moneter tahun 1997 lalu, sektor pertanian telah membuktikan dirinya mampu menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi nasional. Kegiatan ekonomi nasional terselamatkan dari produksi dan ekspor karet, kelapa sawit, teh, kopi dan kegiatan ekonomi nasional yang bertumbuh pada beras. Di kala sektor-sektor lain seperti perbankan dan industri mengalami keterpurukan, sektor pertanian justru menyerap tenaga kerja yang banyak.
Oleh karena itu, krisis global saat ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan revitalisasi pertanian dan menggenjot produktivitas pertanian. ”Pemerintah perlu memperkuat ketahanan pangan nasional, terutama dengan meningkatkan produktivitas petani. Ini beralasan karena harga produk pertanian di pasar internasional terus merosot akibat krisis keuangan global dan bisa berdampak memperburuk nasib petani di dalam negeri,” kata pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin, seperti dikutip Suara Karya.
Pemerintah, lanjutnya, tak perlu segan-segan melakukan intervensi guna mencegah krisis pangan nasional. Bila kondisi sangat mendesak, pemerintah meningkatkan pembelian beras petani dengan memaksimalkan peran Perum Bulog. ”Pemerintah harus tetap menjaga jangan sampai berkembang informasi negatif yang membuat para petani enggan menanam panganan pokok dan beralih ketanaman lainnya, tentunya tanaman yang bisa membuat ekonomi mereka sejahtera. Pemerintah harus segera menemukan pasar baru, yang lebih menjanjikan guna terus menjaga gairah para petani dalam melakukan produksi," kata Bustanul.
Memang, Menteri Pertanian Anton Apriyantono memastikan, krisis tidak memengaruhi sektor pangan di dalam negeri Indonesia. "Karena pangan seperti beras merupakan kebutuhan primer dapat diusahakan di dalam negeri, termasuk kebutuhan telur, pakan ternak yang berasal dari jagung dapat diproduksi sendiri," kata Anton.
Menurutnya, produksi pangan di Indonesia cukup menggembirakan, khususnya jagung dan beras. Petani dari tahun ke tahun berusaha meningkatkan produksinya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Karena itu, sejak tahun 2005 hingga 2009, lanjutnya, Departemen Pertanian mengimplementasikan tiga program, yakni pengembangan tanaman pangan, program pengembangan agribisnis dan program peningkatan kesejahteraan petani.
Kendati demikian, anggota Komisi IV DPR, Suswono, mengatakan, jika petani beralih menanam tanaman nonpangan, maka kemungkinan besar krisis pangan tidak dapat dihindarkan. Bahkan, menurut Bustanul Arifin, krisis pangan kemungkinan besar dapat dirasakan masyarakat Indonesia dalam satu tahun ke depan. Ini mengingat sekarang stok pangan pokok masih mengalami defisit dan kalaupun lebih, sisa stoknya juga sedikit.
"Yang ada di pasaran saat ini adalah sisa-sisa stok pangan yang masih tersedia. Belum tentu dalam satu tahun ke depan para petani masih mau menanam produk pangan pokok lagi, seperti beras. Ini mengingat harga yang terus mengalami penurunan seiring penurunan permintaan," kata Bustanul.
Karena itu, ”Pemerintah harus berani melakukan pembelian terhadap produk pertanian lokal di saat harga di pasar anjlok. Bulog mempunyai peran penting dalam stabilisasi harga pangan yang sedang anjlok ini," ujar Suswono, seperti dikutip Suara Karya.
Lain halnya pendapat Direktur Eksekutif ICBB (
Selain itu, lanjutnya, Upaya yang dapat dilakukan dengan memperluas lahan pertanian dan kepemilikan lahan untuk setiap petani, serta penggunaan teknologi terutama pada benih. Namun, di balik semua itu, petani harus diberi wewenang dalam pemutusan kebijakan pertanian di negara ini sebagai bukti keberpihakan pemerintah yang besar kepada petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar