Karena itu, Anggota Komisi IV yang membidangi masalah pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, serta pangan, ini tak mau menyia-nyiakan tugasnya sebagai pengawal sekaligus salah satu inisiator berbagai regulasi yang berkaitan dengan sektor-sektor tersebut. “Sektor inilah yang harus dibela. Pengertian berpihak itu, ya di sini,” kata anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini, berapi-api.
Bukan sekadar retorika belaka. Pembelaannya terhadap persoalan pangan dan pertanian begitu kentara. Soal kebijakan impor beras, misalnya, Sekretaris I Fraksi PDI Perjuangan ini bahkan didaulat menjadi juru bicara para pengusul hal interpelasi beras impor. “Kebijakan impor beras adalah bukti tidak adanya konsistensi jajaran pemerintah dengan arah dan kebijakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan yang digariskan. Impor beras tidak berpihak dalam membantu kegiatan ekonomi di pedesaan dan justru menyubsidi petani negara lain,” katanya.
Tak mengherankan jika ia tak bosan menyuarakan agar masalah-masalah di sektor pertanian segera bisa diatasi, karena kondisinya sudah sangat kritis. Apalagi, selain sebagai landasan ekonomi bangsa, sektor ini juga masih menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat di Indonesia. “Untuk menyelamatkan nasib petani, tugas pemerintah tidak hanya menjaga keberlangsungan proses produksi produksi saja. Namun juga harus bisa menjaga atau memproteksi hasil pertanian agar harganya tetap stabil di pasaran dan petani tetap memperoleh keuntungan,” tuturnya kepada Qusyaini Hasan dari Majalah PADI. Berikut petikan lengkapnya:
***
Menurut Anda, seberapa kritiskah kondisi pertanian kita belakangan ini?
Kalau kita melihat kondisi pertanian, mengenaskan. Sekarang kondisi pertanian kita memang merana. Sampai-sampai tidak ada anak kecil yang mau jadi petani. Keberpihakan pemerintah terhadap petani sangat sedikit. Tak terlalu banyak orang yang yang membela petani. Jadi, sampai kapan pun sektor ini akan tetap termarjinalkan selama orang tidak peduli. Padahal, kalau kita mau kembali ke kekuatan dasar, ya sektor pertanian ini.
Jadi, sebenarnya ke mana arah kebijakan pertanian kita?
Pada tingkat itulah, dari sisi kebijakan makro pembangunan justru sekali tidak mengarah ke sana. Pertanian seperti business as usual saja. Kalau ada pupuk dikasih, benih dikasih, pupuk kita kasih. Tapi, tidak pernah ada gambaran, ini akan mengacu ke mana? Apakah mengacu ke kedaulatan pangan, kesejahteraan petani, atau ke model sektor alternatif yang memiliki daya dukung riil di tingkat petani. Soalnya, kalau ingin lebih terampil, harus ada pelatihan, sekolah. Dan itu butuh waktu.
Jika dibuat skala prioritas, sektor ini ada di posisi mana?
Saya kira prioritas pertama adalah bagaimana agar kedaulatan pangan bisa tercapai dan suplai kebutuhan pangan bisa dipenuhi. Kalau memang ini prioritas, maka kebijakannya adalah, semua sektor harus ada di bawah komando presiden, mengarah ke situ. Instruksikan kalau ia menginginkan rakyat tidak kelaparan. Pangan paling utama. Semua diarahkan ke sana.
Sekarang irigasi yang ngurus siapa? Departemen Pekerjaan Umum (PU). Irigasi tersier dan kuarter baru yang ngurus Departemen Pertanian (Deptan). PU dan Deptan kepentingannya beda-beda. Begitu infrastruktur dibangun bagus, dia lupa, bendungan dan irigasi dibuat bagus, tapi airnya tidak ada. Airnya ada di hutan. Tapi hutannya rusak. Bagaimana reboisasi harus dilakukan. Jadi, menurut saya, ini sesuatu yang tidak padu, tidak sinkron. Tidak ada visi, apakah akan mengarah ke sana. Kalau mau mengarah ke sana, mestinya hutannya diperbaiki, lahan pertanian yang menyempit harus dibuat.
Inikah urgensi revitalisasi pertanian yang Anda maksud?
Ya. kalau itu menjadi sebuah misi pertanian yang luhur, mestinya mereka ini diperhatikan. Pertanian, kelautan, kehutanan, itulah yang ada. Sekarang soal hutan sudah berebut sama tambang. Soal pertanian sudah berebut dengan properti, termasuk alih fungsi lahan. Kelautan, bagaimana memberdayakan nelayan kita. Apakah dengan budidaya, atau menangkap ikan dengan cara tradisional itu. Artinya, pertanian dalam arti luas ini belum menjadi prioritas. Saya melihatnya begitu. Belum ada terobosan baru. Mbok ya digebrak gitulah.
Menurut Anda, apa pengaruh otonomi daerah terhadap sektor pertanian?
Di era otonomi daerah, sektor pertanian tidak lagi menjadi sektor pusat. Pusat hanya policy saja. Yang eksekusi itu daerah. Tidak semua kabupaten itu mempunyai sawah. Jadi, serahkan saja pada daerah. Sehingga terjadi perdagangan antardaerah. Kan enggak bisa dipaksa semua wilayah harus swasembada beras. Konyol kan. Daerah kota, ya perdagangan saja. Nanti, orang desa jual ke kota, kemudian mereka membeli bahan kebutuhan pokok, dan kota membeli hasil pertanian itu. Kalau semua ngotot, tidak terjadi perdagangan.
Dari sisi permodalan, apa solusi Anda?
Sekarang petani kurang modal. Permintaan petani cuma dua sebetulnya, irigasi dan pupuk. Begitu pupuk tinggi, duit tidak ada. Begitu duit tidak ada, mereka ke rentenir. Kenapa Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rp14 triliun tidak dibuatkan bank pertanian saja? Kenapa tidak? Tapi, tidak ada yang mau. Ngapain presiden mengundang Muhammad Yunus, dari Grameen Bank, Bangladesh, ke istana? Kenapa kita tidak menyontoh mereka, membuat bank untuk petani atau orang miskin dengan bunga yang rendah. Manajemen perbankan kita sudah maju.
Kalau soal anggaran, berapa persen alokasinya untuk pertanian?
Sekarang, kalau tidak salah, Rp8 triliun ya. Kalau kita bicara ideal, ya masih jauhlah. Tapi, kalau kita bicara kondisi keuangan, ya kurang. Makanya, dibuat prioritas saja. Kalau prioritasnya di situ, kan bisa digoyang-goyang. Mungkin tahun ini pertanian kita dorong, kita kasih anggaran, yang lain prihatin dulu. Kalau semuanya harus tercukupi kan tidak mungkin. Kita kan bukan negara kaya.
Persoalannya, apakah pertanian sekarang jadi prioritas atau tidak?
Ingat, kita pernah salah desain dengan jumping policy di mana kita tiba-tiba menjadi negara industri, hi-tech. sehingga sektor agraris kita tinggalkan. Kenapa tidak pada industri agrarisnya yang kita kuatkan? Katanya di negeri kita, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Berarti subur sekali kan. Tapi, mana itu? Kalau jumping pada hi-tech, siapa sih yang bisa? Orang yang well educated saja yang bisa mengikutinya. Tapi, kan sebagian besar tidak.
Jadi, menurut saya, sebenarnya maunya pemerintah itu apa sih? Mau pilih prioritas yang mana? Kalau begini, kita gemas melihatnya. Sebenarnya kita mendorong, umpama katakan, ok petani kita susah. Kenapa mereka susah? Mereka tidak punya akses. Akses permodalan kita dorong untuk membuat bank pertanian, tapi tidak ada. Skill dan informasi, ok. Kita usulkan adanya UU \Penyuluh Pertanian. Sudah kita buat. Satu desa satu penyuluh, sebagai sumber bertanya para petani. Syukur-syukur nanti mereka dilengkapi dengan teknologi, akses internet, sehingga hasil riset bisa diseminasi langsung. Kita minta riset diarahkan pada riset yang aplikatif yang memang dibutuhkan para petani.
Soal program Deptan, apa yang bisa Anda koreksi?
Saya melihat semua sudah bagus, termasuk program. Tapi implementasinya yang jadi persoalan. Ketika rapat di tingkat kabinet, mbok ya Deptan agak lebih berani memprioritaskan, karena sebagian besar penduduk kita memang petani. Atau setidaknya ada kekompakan antara Mentan, Menhut, dan Menteri Kelautan. Dengan demikian, ini menjadi kekuatan untuk melobi Menkeu, Mendag, hingga menteri perindustrian, sehingga secara nasional presiden bisa memutuskan, ini, semua harus ikut. Kan gitu. Bukan industrinya dibenahi, sektor hulu dibenahi, tapi hilirnya tidak. Jadinya split, Mendag maunya impor atau ekspor. Deptan enggak. Yang satu pengen jualan, yang satu tahan-tahan dulu. Ini kan sudah berbeda.
Apa sih muara ketidaksinkronan ini?
Visi. Visi inilah yang akan menjadi prioritas. Seandainya jadi prioritas, harus ada alat control atau tools yang bisa menjaga agar rencana ini berjalan, menjaga operasional, dan bisa sampai tujuan. Ketika tidak jadi prioritas, maka terjadilah seperti ini. Ketika diadakan revitalisasi pertanian secara luas, termasuk kehutanan, kelautan dan perikanan, itu telah menjadi political statement. Tidak implementatif. DPR pasti dukung. Persoalan berikutnya, how to-nya itu tidak ada. Agar bisa berjalan, dibuat satu kebijakan, kehutanan dibenahi agar air bagus. Harus prioritas pada irigasi untuk pertanian, dan sebagainya.
***
Bagi Ganjar, panggilan akrabnya, keterlibatannya dengan sektor pertanian maupun pertanian adalah sebuah kecelakaan. Berlatar belakang pendidikan hukum dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ia malah ditempatkan di Komisi IV. “Saya tidak pernah mencantumkan gelar. Dikira lulusan SMA,” kata penggemar fotografi ini.
Penugasan ini membuatnya merasa terpanggil untuk belajar dan menyelami lebih jauh soal pertanian. Begitu bahan bacaan tambah banyak, ia pun semakin tertarik.” Saya makin sadar bahwa inilah yang digeluti sebagian besar rakyat kita. Kalau PDI Perjuangan membela wong cilik, arti sebenarnya wong cilik, ya ini. Marhaen ini. Sektor inilah yang harus dibela,” tuturnya.
Tentu ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri ketika ia mampu menyerap aspirasi public. “Handphone saya terbuka untuk siapa pun. Termasuk sms pak tani soal kelangkaan pupuk. Setiap reses dan ketemu orang, saya suruh catat nomor handphone saya. Saya ingin politik itu ya seperti ini,” katanya. Ia berusaha untuk tidak membuat jarak antara konstituen dengan dirinya sebagai wakil rakyat terpilih.
***
Belakangan, kita terkendala dengan lahan yang menyempit sehingga produktivitas tidak optimal. Anda punya solusi?
Dulu pernah ada gagasan corporate farming. Kenapa tidak bisa diimplementasikan? Lahan digabung jadi satu, terus ada pengelolanya. Daripada lahannya kecil-kecil, beli pupuknya banyak, bayarannya banyak, tapi tidak terpakai semua dan disimpan di rumah. Ini kan idle. Kalau bareng-bareng kan bisa iuran. Kalau lahan sekian, ongkosnya sekian. Kalau bisa dilakukan kan bagus.
Kalau lahan menyempit, tanah rusak, irigasi tidak ada, ya mari kita perbaiki. Persoalannya, apakah kita memperbaiki atau tidak? Akses modal seperti apa. skim permodal di deptan itu banyak. Tapi apa yang terjadi, itu tidak jalan. Terlalu berbelit dan tidak accessible terhadap petani. Makanya kita mendorong waktu itu agar petani punya harga diri. Kalau tidak, nanti seperti kedelai, payah itu.
Lalu, apa inisiatif dari DPR dalam hal ini?
DPR sedang menyusun UU Lahan Pertanian Abadi dan Berkelanjutan. Itu yang sekarang kita sedang ambil inisiatif, karena pemerintah tidak mengambil inisiatif. Setelah selesai, hasil produk pertanian mesti dilindungi dengan politik perdagangan yang mendukung petani. Di tengah proses produksi ini, inilah yang kemudian mestinya pemerintah dukung.
Jadi, pemerintah mesti ada rencana dan target. Misalnya, 5 tahun memimpin, akan terjadi sekian persen, petani akan didorong pada bantuan dari sisi permodalan, input untuk produksi, bantu bibit atau pupuk, atau alat pertaniannya, sampai ke hasil produksinya. Hasil produksinya tolong diprioritaskan bisa diprioritaskan. Bulog bisa beli di atas HPP. Subsidi untuk pupuk, bisa dicabut, karena petani punya daya beli. Subsidi diarahkan untuk membeli harga beras yang tinggi.
Apakah perlu dibuat kebijakan harga beras murah?
Menurut saya, tidak. Tapi terjangkau. Terjangkau ini tidak harus murah dong. Artinya daya beli masyarakat sudah bisa kita tingkatkan. Pada tingkat itulah, kalau kita meminta harga beras murah, petani kasihan. Tapi, kalau harga beras tinggi, kasihan masyarakat. Makanya, harga berasnya harus terjangkau. Tinggi tidak apa-apa agar petaninya makmur. Tapi bagaimana agar harga terjangkau. Dari situlah berkembang menjadi lebih besar, tidak hanya sektor pertanian. Kalau sudah demikian, revitalisasi pertanian, kehutanan, dan kelautan yang kita tagih hari ini. Bayangkan kenaikan harga bbm ini, siapa yang terkena.
Bagi Anda, usaha apa yang harus kita lakukan agar kedaulatan pangan dapat tercipta?
Langkah menuju kedaulatan pangan, sebenarnya kita sudah punya. Tapi, lagi-lagi kendala di tingkat implementasi. Pada saat pemerintah kita gebuk dengan menolak impor beras, pemerintah kelabakan. Artinya apa? pemerintah reaktif. Ngomonglah soal swasembada beras, kan reaktif, karena merespon atas kerasnya DPR dalam hal impor. Apa yang kita ingin capai dengan penolakan ini? Agar kita punya kedaulatan. Tidak hanya sekadar ketahanan, berdaulat kita. Jangan didikte kita. Kedelai, kita didikte. Kita pernah memiliki tingkat kecukupan dalam hal kedelai. Pada tahun 1990, tiba-tiba Amerika memberi keleluasan impor sehingga tidak ada biaya, mengimporlah kita. Bahkan dikasih kredit ekspor. Daripada nanam mahal-mahal, impor aja lebih murah. Mana ada petani yang mau nanam kedelai. Bayangkan, bangsa kita yang dikatakan mental tempe itu, tempe yang kita makan itu impor. Gila enggak.
Isu krisis pangan global, kita tidak seperti terpengaruh.
Ini telah menjadi isu, harga beras di pasar internasional melambung tinggi. Di Eropa pun sama. Mereka juga bicara juga soal kelaparan. Ada klaim kita surplus, lalu ada gagasan untuk ekspor. Pertanyaannya, kok buru-buru amat sih ambil keputusan ekspor ini. Apa kita tidak mau melihat 3 bulan lagi kita bisa panen atau tidak. Lihat saja, sekarang sudah mulai kering kan. Kalau terjadi puso-puso, bagaimana. Siapa yang tanggung jawab? Jadi, Kita mestinya genjot pertanian habis-habisan. Nanti kita jualan nonminyak. Ini komoditas yang wah, dahsyat. Afrika, Eropa, beli beras sama kita, bayangkan itu. Bukan main.
Apa karena program diversifikasi yang sudah jalan?
Dan, diversifikasi makanan harus kita mulai saat ini. Jangan paksa lagi orang harus makan nasi. Makan gaplek, sagu, ubi juga tidak apa-apa kok. Ketela juga boleh. Hanya persoalannya bagaimana kita men-serve makanan ini menjadi makanan yang enak dan menarik. Gaplek jangan hanya jadi tiwul, bisa juga jadi mie.
Dulu, akibat swasembada, semua orang dipaksa makan beras. Akhirnya ketika beras tidak ada, semua kewalahan. Sagu, ketela, jagung, ubi ditinggal. Kalau diversifikasi dilakukan, tantangan ini menjadi peluang yang besar. Ketika terjadi kelaparan di dunia, pertanian kita dibikin surplus. Pangan kita melimpah, sehingga orang datang ke Indonesia tidak lagi beli minyak, tapi mereka beli makanan.
Ketika krisis terjadi, apakah pas gagasan ekspor beras ini?
Secara ekonomi ya. Tapi secara daya tahan, nanti dulu. Pertanyaannya, apakah ini bisa ajeg? Apakah surplus hari ini bisa sustain, berkelanjutan. Kalau terjadi gempa atau kekeringan, terhitung enggak. Kalau ini bisa dianalisis dengan jelas, maka hal ini menguntungkan. Persoalannya, tiga bulan lagi kita bisa panen enggak? Kalau surplus ini berjalan tiga tahun berturut-turut, kita bisa ekspor. Kalau yang dilakukan pemerintah atau petani hari ini ada hasilnya, ini peluang. Tapi kalau belum, bahaya itu. Kita bisa kelaparan di negeri sendiri. Mampus kita. Kalau ini sudah menjadi skala prioritas, dunia asing sudah bicara kelaparan, genjot pertanian.
Kita akan untung sebenarnya kalau national agriculture policy bagus. Sebenarnya ini bisa menjadi satu bargain kita terhadap dunia internasional. Jangan dijual beras.. kita tahan, sehingga negara luar depend on Indonesia. Kalau mereka tergantung sama kita, kita bisa menentukan harga. Harga tinggi, petani sejahtera. Tapi dalam diplomasi internasional kita perlu effort yang lebih tinggi. Mendag harus kita berikan tugas yang lebih berat. Dan itu memang tidak ringan. Kita harus lobi WTO, termasuk kepada siapa saja yang membutuhkan beras ini.
Banyak orang berpendapat, sektor pertanian tak bisa sepenuhnya disalahkan kalau terjadi krisis pangan. Lihat juga maritim. Menurut Anda?
Kata orang Jawa, pertanyaan ini benar tapi ora pener? Benar tapi kurang tepat. Jangan jadikan hal ini sebagai excuse untuk lari dari tanggung jawab. Kita tetap harus mengelola pertanian kita. Revitalisasi pertanian dalam arti luas harus berjalan dan dijalankan. Yang kedua, memang paradigma berpikir kita harus digeser dari pertanian yang land oriented menjadi ocean oriented. Itu betul. Indonesia besar, dan sebagian besar itu laut. Jadi, pertanian, kehutanan, dan kelautan harus kompak. Potensi lautan harus kita gunakan. Itu yang belum terdorong. Kita pun tidak memperhatikan nelayan.
Anda ingin mengatakan, sekarang kita harus ocean oriented?
Harus. Kenapa kita selalu land oriented? Karena waktu itu kita hanya bicara darat, sehingga hutan dibabat, tambangnya dihancurin, pertanian tidak terkontrol, lahan semakin sempit, hancurlah semua. Tapi, kalau laut, siapa yang bisa menduga bahwa kekayaaan laut sudah habis atau belum. Inilah perlunya lembaga yang memiliki otoritas tunggal dalam mengawasi laut. Jadi, mari kita sejahterakan penduduk kita melalui laut. Kita buktikan, kalau di laut kita jaya.
Apa benar, agrobisnis itu bagian dari masa lalu?
Itu yang saya katakan soal orientasi tadi. Negara ini maunya apa? Jumping policy dari agro ke industri. Mestinya ada sebuah ketegasan, pemerintah itu maunya apa. kalau kita memang tidak mampu, sebaiknya back to basic. Balik saja ke agroindustri. Apa sih di luar padi? Banyak buah-buahan. Bung Karno bawa buah ke mana-mana, ke Arab, Thailand, dan sebagainya. Sekarang terbalik. Belinya serba
Back to basic ini bukan langkah mundur?
Kalau back to basic dengan menelantarkan dengan
***
Biodata
Nama: Ganjar Pranowo Tempat, tanggal lahir: Purbalingga, 28 Oktober 1968 Pendidikan: Sarjana Hukum Universitas Gadjah Mada Organisasi: Ketua Mahasiswa Pencinta Alam Fak. Hukum UGM, Ativitas Majalah Gelanggang Mahasiswa UGM, aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jabatan di Partai: Badiklatpus DPP PDI Perjuangan (2002-2005), Wakil Kepala Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) DPP PDI Perjuangan (2005-2010) Jabatan di Parlemen: Sekretaris I Fraksi PDI Perjuangan, Anggota Komisi IV (Pertanian, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, dan Pangan), Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ketua Pansus Susduk RUU MPR, DPR, DPD, DPRD, dan Partai Politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar