Krisis pangan, khususnya beras, melanda dunia. Seperti tsunami yang diam dan suatu saat menjadi bom waktu yang menghantam ketahanan bangsa. Karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi beras. Bagaimana dengan Indonesia?
Warga tampak memenuhi jalan-jalan Kota Port-au-Prince, Haiti. Tak hanya di jalanan, mereka mengekspresikan nestapanya setelah berhari-hari diserang lapar di sentra-sentra kekuasaan. "Kami lapar!" teriak mereka parau, tepat di depan istana presiden. Ya, nilai uang sudah tidak lagi sebanding dengan harga bahan pokok yang terus meroket. Dampaknya, penduduk setempat mengerumuni situs pembuangan sampah dan mencari remah makanan yang terselip dalam kantong-kantong dan bekas tempat makanan lainnya.
Mingguan Jerman der Spiegel mengungkapkan, di Mauritania, Mozambique, Senegal, Pantai Gading, dan Kamerun, harga pangan yang memahal telah membuat manusia menjadi gampang bertengkar memperebutkan makanan sehingga ratusan nyawa melayang. Pangan yang menghidupkan tiba-tiba menjadi momok yang mematikan.
Dunia pun merana. Dari Afrika sebelah selatan sampai sub-Sahara di utara, dari Meksiko sampai Brazil di jajaran selatan benua Amerika. Dari Mesir sampai Suriah di Timur Tengah. Dari Pakistan sampai Bangladesh di lintang selatan Asia, fenomena krisis melahirkan kisah pilu tak berkesudahan. Manusia menjerit dijepit harga pangan yang melambung melampaui daya beli mereka.
Para pemimpin dunia pun serempak membunyikan sirene moral guna mengingatkan dunia bahwa ledakan krisis pangan mesti mesti segera ditangani segera mengingat akan menyengsarakan lebih banyak manusia, bahkan membuat seluruh dunia kelaparan. "Lupakan minyak, krisis global baru itu adalah krisis pangan,” kutip Financial Post. Sementara Washington Post mengingatkan, krisis pangan akan membuat seluruh dunia kelaparan.
Seruan Presiden Bank Dunia Robert Zoelick lebih provokatif. Ia menilai bahwa krisis pangan bakal menjerumuskan manusia ke dalam perang dan kerusuhan. Pernyataan ini diamini kolumnis International Herald Tribune, Thomas Fuller, yang menengarai krisis pangan di Asia bakal menimbulkan implikasi politik dashyat. Lonjakan harga produk pangan memang mulai menyulitkan penduduk dunia.
TETAP SIAGA: Bagaimana dengan Indonesia? Krisis pangan global diyakini tidak akan berpotensi menciptakan krisis di Indonesia seperti yang dikhawatirkan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) mengingat ketahanan pangan dan surplus neraca pembayaran yang dimiliki. "Saya kira tidak, karena yang terjadi di negara-negara seperti Burkina Fasso dan Haiti tidak mempunyai ketahanan terhadap penyediaan kebutuhan pokok di negaranya, baik karena karakteristik negaranya, maupun ketiadaan cadangan devisa yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok dengan segera," kata Direktur Perencanaan Makro Bappenas, Bambang Prijambodo, seperti dikutip Republika.
Namun, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengelompokkan Indonesia ke dalam daftar 37 negara yang mengalami krisis pangan kendati sifatnya sangat lokal. Patut dipahami krisis pangan ibarat tsunami yang diam (silent tsunami) dan sewaktu-waktu menjadi bom waktu yang menghantam ketahanan bangsa. Ibarat mata angin, krisis pangan yang melanda dunia belum bisa ditebak arahnya.
Untuk itu, Indonesia tidak boleh lengah, dan tetap bersiaga. Masing-masing pihak, khususnya lembaga berwenang harus bekerja keras dengan inovasi baru yang ditelorkan. Lembaga negara seperti Perum Bulog harus bekerja keras melakukan pengadaan di dalam negeri, dann cerdik melakukan pembelian karena tidak jarang pengadaan beras di dalam negeri malah mengguncang pasar domestik. Hal ini dikarenakan pengadaan beras oleh Bulog menjadi acuan para pedagang di dalam negeri untuk menentukan harga. Semakin intensif Perum Bulog melakukan pengadaan di tengah stok yang minim, bisa pula harga malah semakin naik.
Dalam situasi seperti ini, para pengamat pertanian menggagas perlunya perencanaan stok dalam jangka panjang. Produksi beras yang sangat fluktuatif karena bergantung pada cuaca menjadikan perencanaan itu sangat penting. Perencanaan itu menyangkut kebutuhan dan produksi beras hingga setidaknya lima tahun ke depan. Dari perencanaan itu kemudian diturunkan berbagai kebutuhan penunjang seperti benih, pupuk, dan sarana produksi pertanian lainnya. Kemungkinan penambahan lahan juga harus diperhitungkan. Insentif untuk petani perlu ditambah.
Perencanaan itu juga mengaitkan kebutuhan sarana pascapanen seperti pergudangan agar hasil panen bisa ditampung. Pemerintah harus memastikan persoalan benih, pupuk, dan pengairan bisa terjamin. Sarana dan prasarana pertanian ini kerap kali menjadi ajang permainan dari segelintir orang sehingga merugikan petani. Kasus ekspor pupuk bersubsidi menjadi contoh permainan yang sangat merugikan petani itu.
Di tengah berbagai upaya teknis di lapangan, perhatian pemerintah terhadap masalah perdagangan beras menjadi kunci stabilisasi harga. Pemerintah harus rajin turun ke lapangan untuk mengecek kondisi produksi dan juga distribusi. Pemerintah juga harus mengajak rakyat untuk mulai menyimpan beras sebagai tindakan berjaga seperti yang dilakukan oleh Filipina.
Ajakan agar rakyat berhemat dan menyimpan pangan diakui banyak pihak belum banyak dilakukan. Untuk urusan yang satu ini, kita masih memiliki sedikit sejarah yang buruk, rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah karena para pejabat tidak memberi contoh yang baik. Pemerintah juga terlihat kurang percaya diri untuk memulai kembali ajakan berhemat dan mengencangkan ikat pinggang.
Berbagai inovasi harus dilakukan. Penelitian-penelitian benih dan cara berproduksi padi harus dilakukan. Akan tetapi, cara-cara instan yang kadang melanggar prosedur hanya akan menimbulkan masalah pada masa depan. Tidak jarang penyakit dan hama baru malah muncul dari inovasi yang dilakukan secara sembrono. Akibatnya, petani malah merugi.
Pelibatan para ahli sebagai penasihat pemerintah untuk urusan seperti ini sepertinya diperlukan. Sebagai contoh, China telah lama membentuk kelompok pemikir untuk urusan krisis pangan ini. Mereka memberi ide-ide alternatif yang tak jarang memberi loncatan pemikiran pada kondisi krisis.
KEBANGKITAN PERTANIAN: Krisis pangan, menurut Posman Sibuea, Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser) Medan, Sumatera Utara, adalah buah pelapukan (decay) pembangunan pertanian yang amat serius. Untuk konsumsi dalam negeri, sejumlah komoditas terpaksa kita impor, seperti beras, daging, susu, kedelai, gula, jagung, dan buah-buahan. “Padahal, lahan subur terbentang dari ujung timur hingga ke ujung barat. Namun, fasilitas sumber daya pertanian itu belum bisa kita gunakan secara baik untuk kemakmuran rakyat,” katanya seperti dikutip Kompas.
Untuk membangkitkan pertanian dalam upaya perwujudan kedaulatan pangan yang berkelanjutan, lanjut Posman, pemerintah harus memiliki tiga agenda tugas utama. Ketiga agenda itu adalah mencegah alih fungsi lahan, melakukan reformasi agraria, dan mendorong percepatan perluasan lahan pertanian tanaman pangan. Sayangnya, hingga kini pemerintah belum memiliki kebijakan yang membumi untuk mewujudkan tiga program besar itu.
Dalam hal percepatan pembangunan ketahanan pangan, lanjutnya, anak kunci keberhasilannya adalah reformasi agraria. “Namun hingga kini belum dijelaskan secara konkret bentuk reforma agraria yang akan dilakukan. Patut dipahami, saat ini persoalan yang terjadi dalam pembangunan ketahanan pangan bukan hanya semakin menyempitnya lahan pertanian secara agregat, tetapi juga semakin bertambahnya jumlah petani gurem yang memiliki luas lahan di bawah 0,3 hektar yang jauh dari skala ekonomi,” kata Posman.
Kebangkitan pertanian, katanya, harus diawali dengan dukungan penyediaan sarana dan prasarana seperti jalan desa, peralatan mekanisasi di bidang pengolahan tanah, benih unggul, pemupukan, pemberantasan hama-penyakit, dan pascapanen. Untuk itu, investasi besar-besaran harus dilakukan untuk kebangkitan pertanian. Stagnasi teknologi budidaya, pascapanen, dan teknologi pengolahan hasil pertanian hanya menciptakan sektor pertanian kurang menantang bagi kaum muda.
SOLUSI ALTERNATIF: Untuk mencari alternatif solusi, Achmadi, staf peneliti di SEM Institute Jakarta, menyarankan adanya kajian tentang produktivitas dan kebijakan pertanian. “Produktivitas pertanian kita, gabah kering giling (GKG), misalnya, sebenarnya sudah lumayan, mencapai 4,54 ton/ha (Korea 6,47 ton/ha; Jepang 6,31 ton/ha; Cina 6,19 ton/ha; dan Thailand 2,63 ton/ha). Seandainya pemerintah memberikan dukungan edukasi dan teknologi yang memadai kepada petani, produktivitas pertanian Indonesia niscaya bisa lebih tinggi,” katanya seperti dikutip Suara Merdeka.
Dalam hal teknologi, katanya, kita bisa belajar dari Jepang dengan precision farming-nya (jarak tanam, takaran air, pupuk, antihama —semuanya diukur secara optimal). Dengan kondisi teknik pertanian seperti sekarang Indonesia sudah menempati posisi keempat produktivitas pertanian, bagaimana jika dengan precision farming?
“Jadi, peran pemerintah sebenarnya sangat vital bagi dunia pertanian nasional, baik dalam bentuk subsidi, edukasi bagi petani, maupun bantuan teknis,” tutur Achmadi. Untuk subsidi, lanjutnya, pemerintah harus meninggalkan paradigma ”cari untung” dan beralih ke paradigma ”pelayanan”, jika pemerintah serius untuk mencapai ketahanan pangan.
Gagasan yang tak jauh berbeda disampaikan Ir. Omah Laduani Ladamay, M.Si, Kepala Dinas Tanaman Pangan Merauke, Papua. Menurutnya, perlu diambil langkah-langkah kebijakan nasional berupa perwilayahan komoditas melalui studi analisis keunggulan komparatif komoditas unggulan setiap wilayah atau daerah kabupaten, agar efektivitas alokasi dana subsidi pemerintah dan perbankan untuk mendorong percepatan pengembangan komoditas tersebut dapat berjalan sesuai rencana.
“Pemerintah harus menyiapkan master plan, bisnis plan dan site plan kawasan sentra produksi komoditas unggulan nasional pada masing-masing daerah tersebut. Menyiapkan pendanaan secara khusus untuk membangun sistem agribisnis pada kawasan tersebut dengan melibatkan semua pihak, baik pemerintah, swasta dan masyarakat petani,” katanya seperti dirilis dalam NTT Online.
Ia menambahkan, perlu adanya kebijakan khusus dari pemerintah untuk beberapa komoditas pertanian yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti beras, jagung, kedelai, gula atau tebu, minyak kelapa sawit, dan sebagainya, yang mulai dari proses hulu sampai hilir terutama penetapan harga dasar yang tidak merugikan produsen maupun konsumen. Yang tak kalah pentingnya, lanjutnya, adalah pengembangan pusat-pusat riset teknologi perbenihan dan pengolahan hasil serta pengembangan sumber daya manusia pada setiap daerah kawasan sentra produksi komoditas tersebut sesuai hasil analisis keunggulan komparatif daerah.
SEBUAH PELAJARAN: Di balik peristiwa, lazim kita ketahui, terselip pelajaran berharga. Demikian pula dengan fenomena krisis pangan global ini. Kontraksi harga pangan yang mengarah kepada krisis pangan dunia, menurut Iwan Setiawan, dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung, memberi pelajaran berharga kepada Indonesia. “Pangan dan pertanian dalam arti luas jangan lagi dipandang sebagai second sector yang jika bermasalah dapat diselesaikan dengan pendekatan instan, impor,” katanya seperti dikutip Pikiran Rakyat.
Impor, lanjutnya, terbukti bagaikan virus yang melemahkan berbagai potensi sumber daya domestik. Karena impor, tren transaksi berjalan komoditas pangan Indonesia kinerjanya semakin devisit. “Oleh karena itu, sudah saatnya kita menjadi negara produsen pangan berdaya saing di pasar pangan dunia, tidak lagi hanya menjadi penonton atas kontraksi harga pangan dunia,” katanya.
Pelajaran kedua, lanjut Iwan, produksi pangan jangan hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan domestik (perut dan politik) belaka, tetapi harus pula memiliki target untuk meraih benefit dari pasar internasional. Jika tidak ingin dikontrol terus-menerus oleh negara lain, katanya, kita harus berusaha berani, kreatif, dan inovatif membalik arus untuk mengontrol pasar pangan dunia.
“Ketiga, sudah saatnya kita menjadikan pangan sebagai identitas dan harga diri bangsa. Kita harus berdaulat dalam hal pangan dan pertanian secara umum,” tutur Iwan. Sudah saatnya meningkatkan kesadaran dan kemandirian bangsa agar jangan terus-terusan menjadi negara yang didikte dan dijajah oleh negara dan pengusaha asing. Segalanya kita punya, kenapa tidak pede berdaulat dan mengontrol pasar pangan domestik, regional, dan internasional?
Menjadikan pertanian Indonesia mandiri, berdaulat, dan memainkan peranan di pasar dunia merupakan pekerjaan rumah dan tanggung jawab besar semua pihak. Setiap provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa-desa yang memiliki potensi pertanian, perikanan, dan peternakan harus memiliki program yang jelas dan relevan. Desa jangan lagi hanya dijadikan sebagai basis pengendalian, perpanjangan tangan administrasi pemerintahan, dan jembatan pembangunan fisik yang pengelolanya terkesan asal ada.
Sudah saatnya desa-desa dikelola oleh sumber daya manusia yang unggul, terampil, kreatif, dan inovatif sehingga memiliki program pembangunan yang orientatif dan prestatif. Kalau bisa, kepala dan pengurus desa adalah anak daerah yang berpendidikan tinggi dan berjiwa pemimpin, manajer, wirausahawan, dan berakhlak. Konsekuensinya, pemerintah harus kreatif, inovatif, dan berani membalik arus brain drain sumber daya dan tenaga ahli ke perdesaan, termasuk finansialnya.
Desa, lanjut Iwan, harus dijadikan sebagai basis pembangunan yang memiliki keterkaitan yang efektif dengan kota-kota dan dunia. “Prinsip pro poor, pro job, pro growth, dan pro environment tentu harus dikedepankan agar berjalan secara berkelanjutan. Komitmen, koordinasi, dan partisipasi antarsektor, antarpelaku, dan stakeholders lainnya, merupakan modal sosialnya,” ucapnya. Betul.
Boks 1
Saatnya Menggalakkan Diversifikasi
Indonesia perlu mengubah konsep pangan yang menyatakan beras sebagai satu-satunya makanan utama. Sebab, konsep pangan semacam itu dinilai menjadi sumber terpuruknya nasib petani, dan hilangnya ragam pangan lain yang pernah eksis di Indonesia. Padahal keragaman jenis bahan pangan itu diyakini bisa menghindari warga dari adanya krisis pangan.
Menurut Susetiawan, staf pengajar Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan konsep yang berlaku, pemerintah menganggap beras akan menciptakan stabilitas politik. “Karena itu, pemerintah berupaya menyediakan beras yang cukup dan murah bagi masyarakat. Konsep itu menjadi dasar legitimasi untuk mengimpor beras, agar stok beras cukup,” katanya seperti dikutip Kompas.
Rendahnya ketahanan pangan Indonesia disebabkan masih didominasinya konsumsi karbohidrat masyarakat Indonesia oleh beras, yaitu di atas 100 kg per kapita per tahun. Oleh karena itu, diversifikasi pangan menjadi salah satu jawaban dengan memanfaatkan sumber daya alam lokal. "Diversifikasi pangan misalnya dilakukan dengan mengolah umbi-umbian menjadi substitusi beras dan tepung serta memperbaiki pola konsumsi protein hewan, sayuran dan buah-buahan," ujar Sekretaris Badan Ketahanan Pangan, Hermanto.
Upaya ini sebenarnya telah diatur dalam pasal 49 UU No. 7/1996 tentang pangan yang mengatakan bahwa pemerintah harus mendorong penganekaragaman pangan dan pemantapan mutu pangan tradisional. Hermanto juga mengakui bahwa proses ini sebenarnya sudah berjalan namun perlu percepatan sehingga muncul inisiatif peraturan presiden mengenai diversifikasi pangan.
Selain melakukan gerakan nasional diversifikasi konsumsi berbasis bahan pangan lokal, Badan Ketahanan Pangan juga melihat bahwa diversifikasi pangan juga dapat diupayakan melalui pemberian penghargaan kepada masyarakat yang mengkonsumsi pangan non beras, pengenalan pangan lokal non beras kepada anak usia dini dan pengembangan teknologi pangan untuk meningkatkan nilai sosial dan nilai tambah pangan lokal non beras.
Namun, hingga saat ini, pemerintah terjebak untuk menetapkan standar kemakmuran berdasarkan tingkat konsumsi beras per hari. “Pengembangan jenis makanan lain seperti jagung, sagu dan umbi-umbian terlupakan. Kalau konsep pangan berubah, krisis pangan bisa diatasi karena fokus pemerintah bukan hanya pada beras,” tutur Susetiawan.
Pendapat serupa disampaikan CEO Garuda Food, Sudhamek AWS. Ia mengatakan, ancaman krisis pangan di Indonesia hanya bisa diatasi jika pemerintah mau mengambil peran yang lebih optimal untuk mendorong dan meningkatkan taraf hidup petani. Petani akan bisa meningkatkan produktivitasnya, tuturnya, jika penghasilannya dari sektor pertanian mencukupi.
Menurut dia, pemerintah perlu mendorong kerja sama antara petani dengan pengusaha. Selain itu, ketersediaan pupuk, infrastruktur dan ketersediaan lahan juga harus dijamin. "Pemerintah bukan hanya regulator dan fasilitator, tapi juga harus menjadi akselerator," katanya. Kini, memang saat yang tepat untuk mengampanyekan program keanekaragaman pangan di tanah air.
Boks 2
Dan Dunia pun Meronta
Suara kecemasan bergema di mana-mana. Krisis pangan global rupanya telah menggedor-gedor kesadaran banyak pemimpin dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menyuarakan kecemasan global atas krisis pangan yang melanda dunia. FAO mengatakan, harga pangan yang membubung bisa membuat lebih 100-juta orang terperosok ke arah kelaparan dan malnutrisi di seluruh dunia.
Lebih jauh, PBB menyatakan bahwa perdamaian dunia terancam akibat kecenderungan kenaikan harga-harga bahan makanan yang sudah terjadi di banyak negara. Gejala itu sudah terlihat dengan jatuhnya korban dalam aksi massa yang memprotes kenaikan harga makanan di sejumlah negara yang rawan krisis.
Direktur Program Pangan Sedunia PBB, Josette Sheeran, menggambarkan keadaan sekarang sebagai “tsunami membungkam” dan mengatakan angka itu semata-mata terdiri dari mereka yang tidak memerlukan bantuan enam bulan lalu. Sheeran mengimbau tindakan darurat, besar-besaran dan untuk jangka panjang pada skala mirip upaya bantuan amal global setelah tsunami Asia pada tahun 2004 lalu.
Untuk itu, ia mengingatkan agar segera dicari jalan keluar dan dilakukan langkah-langkah cepat untuk mengatasi kenaikan harga-harga kebutuhan masyarakat. Perlu segera dilakukan tindakan berupa bantuan benih, pupuk dan pakan bagi para petani di negara-negara miskin. Langkah lainnya yang juga penting dilakukan adalah, menciptakan mekanisme finansial yang memungkinkan negara-negara miskin pengimpor makanan bisa tetap membeli bahan makanan yang mereka butuhkan serta memberikan proporsi yang lebih besar pada anggaran untuk pertanian.
Bahu-membahu antara sejumlah lembaga internasional pun dilakukan. FAO, Bank Dunia, Organisasi Perdagangan Dunia WTO, serta Organisasi pangan dan Pertanian FAO, dibantu Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa Ban Ki Moon, bersatu padu mencari jalan keluar krisis pangan global.
Karena itu, Jacques Duouf dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB FAO mendesak untuk menyokong petani setempat, agar mereka dapat kembali membeli bibit dan pupuk. “Harga pupuk dan bibit tanaman juga naik. Petani semakin sulit berproduksi dan situasinya bisa makin memburuk,” katanya.
Krisis ini sempat memunculkan fenomena yang ganjil di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Negara-negara yang sebelumnya menjadi eksportir makanan secara bebas, kini malah mengekang ekspor. Sikap tersebut diperlihatkan sejumlah produsen pangan, seperti Argentina, Brasil, Vietnam, India, dan Mesir yang membatasi ekspor untuk menjamin ketersediaan pangan di negaranya masing-masing.
Eksportir beras terbesar dunia, Thailand, pun dipaksa mengatur kembali porsi ekspornya karena khawatir terkena getah krisis. Sementara India dan Cina yang berpenduduk miliaran, semakin agresif mendatangkan pangan dari mana pun asalnya, untuk menghidupi penduduknya dan memenuhi permintaan industri boga yang tumbuh pesat di dua raksasa baru ekonomi dunia itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar