Turunnya tingkat kesuburan tanah, rendahnya produktivitas pertanian, serta kelangkaan sumber daya air menjadi hambatan berarti bagi peningkatan produktivitas pangan di masa mendatang. Namun, SRI datang membawa solusi. Apa saja keunggulannya?
Di saat kita mencanangkan produktivitas hasil-hasil pertanian, kita sejatinya juga tengah berhadapan dengan sejumlah permasalahan pelik di lapangan. Bagaimana tidak. Tanah kita ternyata tidak sesubur dulu lagi. Sumber daya air yang menopang produktivitas pertanian juga semakin langka. Pemanasan global kini tidak lagi isu semata, melainkan telah mempengaruhi pola tanam pertanian. Belum lagi tuntutan agar kita juga memproduksi pangan yang sehat dan ramah lingkungan.
Untungnya, di tengah himpitan persoalan, acapkali muncul mutiara gagasan ataupun temuan baru di bidang pola tanam yang mencengangkan. System of Rice Intensification atau disebut SRI, contohnya. Belakangan, inovasi dalam hal intensifikasi pertanian ini diyakini sebagai solusi di saat petani kita didera oleh turunnya produktivitas pertaniannya.
SRI dikenal dengan berbagai keunggulannya, mulai dari usaha tani yang ramah lingkungan, hemat air irigasi, hemat saprodi (bibit), serta produksi tinggi yang di atas rata-rata nasional. Selain dapat mendaur ulang limbah, berbasis kearifan lokal, beras organik yang dihasilkan pun sehat dan bebas residu kimia. Soal harga, tarif harga beras hasil pertanian SRI juga di atas harga pasar.
Inti dari SRI adalah intensifikasi proses yang merupakan sumbangan teknologi kimia terhadap pertanian. Pola tanam ini mengenal prinsip-prinsip dasar yang mesti diaplikasikan dalam setiap usaha pertanian. Tanah yang sehat, karena menggunakan bahan organik, benih muda bermutu yang berumur 5-10 hari dari kecambah di persemaian, serta pola tanam tunggal dan dangkal dengan akar horizontal membentuk huruf L. Di samping itu, benih yang dibutuhkan hanya sekitar 5-7 kilogram/hektar. Jarak tanamnya lebar, dengan kisaran jarak 27x27 cm atau 30x30 cm. Penyiangan dilakukan setidaknya tiga hingga empat kali.
TEKNIK PENANAMAN: Sistem intensifikasi ini diperkenalkan oleh Mubiar Purwasasmita, dosen Departemen Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bersama seorang penyuluh dari Ciamis, Alik Sutaryat, ia mencoba menggunakan kompos untuk menanam padi. Bahkan, Alik sudah mencoba menanam padi di dalam pot. Hasilnya, menanam padi tak selalu harus di sawah. Di rumah pun bisa karena kini padi dapat ditanam di pot. Hasilnya pun bisa berlipat ganda dibandingkan dengan penanaman di lahan sawah yang menggunakan metode konvensional.
Dalam teknik penanamannya, persiapan lahan dilakukan dalam dua tahap, disingkal dan digaru (dihaluskan). Pada saat bersamaan ditaburkan pula kompos. Biarkan lahan macak-macak (lembab) selama satu minggu. Direkomendasikan pemakaian kompos sebanyak 5-10 ton per hektar. Penambahan kompos ini juga dapat dilakukan pada saat penyiangan.
SRI juga mengadopsi pemilihan benih bernas. Sebelum benih disemai perlu dilakukan uji benih bermutu/ bernas dengan menggunakan larutan garam. Persemaian dipersiapkan di lawah sawah dengan menggunakan nampan atau alat sederhana lainnya. Selanjutnya, penanaman satu bibit per lubang saat bibit berumur 5-10 hari. penanaman ini menggunakan sistem tanam tunggal, tanam dangkal, dan akar berbentuk huruf L, dengan jarak tanam minimal 27x27 cm.
Penanaman yang baik adalah benih padi pada usia 10 hari segera dipindahkan ke pot atau sawah karena pada usia 12 hari benih akan menghasilkan buku pertama. Buku pertama itu akan menghasilkan 65 persen anakan. Pada penanaman, benih jangan terlalu ditekan dalam-dalam, cukup dibenamkan hingga berbentuk seperti huruf L. Ini untuk membuat pertumbuhan akarnya maksimal.
Selama masa pertumbuhan, budidaya padi intensif dan efisien ini mengutamakan manajemen perakaran yang berbasis pada pengelolaan air, tanah, dan tanaman. Pengendalian hama dilakukan melalui konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yaitu budidaya tanam sehat, pendayagunaan fungsi musuh alami, pengamatan berkala, dan tidak menggunakan pestisida sintetis.
Penanaman padi metode SRI pada dasarnya tidak selalu harus digenangi. Untuk mendapatkan resapan air yang cukup, perlu dibuat saluran keliling dan memotong pada pertengahan lahan. Pada tahapan pertumbuhan vegatitif, irigasi berselang (terputus) dapat diterapkan. Air diberikan secara macak-macak. Pada saat penyiangan, dilakukan penggenangan (2-3 cm). pada padi berumur 45 hari lahan dikeringkan selama 10 hari untuk menghambat pertumbuhan vegetatif. Irigasi tanpa penggenangan ini diyakini akan dapat menghemat air sampai 40%.
Air diberikan secara macak-macak kembali sampai masa pertumbuhan malai, pengisian butir, hingga bernas. Lahan digenangi sehari sebelum penyiangan untuk mempermudah penyiangan. Penyiangan dilakukan selang 10 hari sebanyak minimal tiga atau empat kali, mulai dari hari ke-10,20,30, dan 40 hari setelah tanam. Selanjutnya, sawah dikeringkan sampai panen.
PERBANDINGAN SIGNIFIKAN: Pola tanam SRI ini memang berbeda dibandingkan dengan cara konvensional. Pada pola tanam konvensional, umur semai sekitar 30 hari, jarak tanam 20x20 cm, serta memerlukan benih 40 kg/hektar. Sedangkan SRI memiliki umur benih 5-10 hari, jarak tanam 30x30 cm, dan benih yang dibutuhkan cukup 7 kg/hektar.
Lahan dan tanaman harus digenangi dalam pola tanam konvensional, sedangkan SRI lahannya tanpa penggenangan, dan kondisi lahan macak-macak. Perbedaan lainnya, 30 hari setelah tanam, padi yang ditanam dengan cara konvensional memiliki kondisi akar layu, sedangkan pola SRI cenderung lebih berkembang dan kuat. Sebab, jika digenangi oksigen pada padi yang bukan tanaman air ini tak bisa menembus akar. Akar pun tak dapat menghasilkan nutrisi yang dibutuhkan tanaman.
Hasil dan pendapatan hasil padi pun meningkat, kualitas produk lebih sehat dan berdaya saing tinggi. Metode tersebut menghasilkan gabah tiga kali lebih banyak dari penanaman konvensional di sawah yang digenangi air. Metode konvensional menghasilkan 4 ton gabah per hektar. Akan tetapi, dengan penanaman yang diberi kompos dapat mencapai hasil 12 ton gabah per hektar. Terbukti, di Sukabumi, pola tanam SRI mencapai 9,2 ton/hektar, Ciamis 9,3 ton/hektar, sedangkan di Garut mencapai 11 ton/hektar.
Pola tanam yang juga tengah disosialisasikan Yayasan Aliksa Organik SRI (AOS) ini juga berdampak pada lingkungan sehat berkelanjutan, tumbuh dan berkembangnya kearifan lokal, serta pemanfaatan potensi lokal. Yang lebih mengejutkan, produkitivitas ini ternyata membangkitkan semangat berusaha tani dan menumbuhkan pasar lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar