From zero to hero. Begitulah gambaran mengenai kiprah dan kontribusi Fadel Muhammad terhadap Provinsi Gorontalo. Sebagai gubernur dengan provinsi baru yang awal pembentukannya dicibir secara sinis, ia mampu membuat lompatan jauh ke depan. Gorontalo tumbuh menjadi daerah mandiri, bahkan menjadi daerah yang punya perkembangan paling pesat di Indonesia Timur, khususnya
Kalau Nani Wartabone dikenal sebagai tokoh sejarah klasik Gorontalo, maka Fadel, panggilan kecilnya, menjelma menjadi tokoh sejarah Gorontalo modern. Ia mencintai sekaligus dicintai rakyatnya. Sebuah simbiosis mutualisme yang langka. Di saat euforia pemilihan kepala daerah (pilkada) dan orang mulai rebut mencari sosok pemimpin ideal, masyarakat Gorontalo telah merasakan arti maupun keberadaan seorang pemimpin yang mengerti kata hati dan memahami kemauan mereka.
Di sisi lain, pria kelahiran Ternate, 20 Mei 1952, ini menjadi gubernur yang paling banuak dibicarakan di tingkat nasional. Memang ia telah populer jauh sebelum menjadi pemimpin daerah. Namun, kiprah, sepak terjang, ide, maupun program pembangunannya telah menarik perhatian publik. Gorontalo, seperti yang diimpikannya sendiri, telah menjadi salah satu wilayah perdagangan sekaligus lumbung pangan potensial di kawasan timur Indonesia.
Lewat gagasannya yang kental dengan jiwa kewirausahaan, Gorontalo tumbuh menjadi daerah yang giat membangun, mulai dari sumber daya manusia, perikanan dan pertanian.
Sehubungan dengan dua fokus yang disebut terakhir ini, jagung dan ikan adalah dua komoditas yang dalam beberapa tahun ini diunggulkan sebagai brand Provinsi Gorontalo. Dua komoditas ini semakin dipacu lagi dengan program yang disebut Program Agropolitan. Jagung pun kini diidentikkan dengan Gorontalo. Karenanya, Fadel pun dijuluki sebagai “Gubernur Jagung”.
Fadel terus berinovasi dalam mewujudkan mimpinya untuk mewujudkan Gorontalo yang sejahtera dan diperhitungan di tingkat nasional. Provinsi di bagian utara Kepulauan Sulawesi ini telah menjadi sentra baru penghasil padi. “Budaya enterpreneurship itu perlu dimiliki oleh seorang pemimpin daerah, sehingga mereka kreatif dan inovatif. Tanpa budaya enterpreneurship, daerah itu akan tumbuh secara lamban,” katanya kepada Qusyaini Hasan, Mukhri Soni, dan Tri Aji dari Majalah PADI saat menemuinya di Kantor Perwakilan Provinsi Gorontalo di Gedung Anugerah, Jakarta Selatan. Berikut petikannya:
Bisa diceritakan kondisi obyektif Gorontalo hari ini?
Kondisi Gorontalo hari ini jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi Gorotalo ketika saya pertama kali menjadi Gubernur. Hal ini dapat diukur dari dari daya beli masyarakat yang meningkat sekali. Tingkat pendidikan masyarakat semakin baik, sumber daya manusianya semakin bagus. Tingkat kesehatan masyarakat semakin meningkat, karena akses dan pelayanan terhadap kesehatan semakin bagus. Tiga hal inilah yang menjadi ukuran saya untuk menyatakan kondisi Gorontalo semakin baik dari sebelum-sebelumnya.
Apa kemajuan yang signifikan di bidang ekonomi?
Kalau kita lihat pertumbuhan ekonomi Gorontalo ketika pertama kali saya menjadi Gubernur hanya 4,sekian %, lalu naik menjadi 5%, dan sekarang 7,9 %. Malah menurut Bank Indonesia pertumbuhan ekonomi Gorontalo itu 8 %. Dan, yang saya senang, Gorontalo hari ini disebut sebagai propinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, artinya ekonomi tumbuh, tapi rakyat pada level menengah dan bawah juga ikut tumbuh. Hal ini dicapai karena kita memprioritaskan pembangunan di sektor pertanian dan perikanan, sebab di sinilah kantong-kantong kemiskinan berada.
Gorontalo kini menjadi provinsi baru yang terus berkembang. Apa yang menjadi kunci sukses kepemimpinan Anda sehingga mampu mengangkat Gorontalo?
Banyak faktor utama yang menjadi kunci kesuksesan saya selama memimpin Gorontalo. Pertama, Gorontalo itu kita bangun dengan konsep yang berbeda, bahwa kita fokus terhadap program-program yang kita buat. Kalau di daerah lain kan semua mau dikerjakan. Kalau di Gorontalo kita hanya fokus membangun sumber daya manusia, pertanian, dan perikanan. Jadi, akhirnya dana yang terbatas bisa dimanfaatkan secara maksimal, sehingga tampak hasil dari program yang kita laksanakan.
Kedua, kita harus menggerakkan masyarakat melalui birokrasi. Jadi birokrasi di Gorontalo saya berdayakan dengan baik dengan merubah main set. Kultur para birokrat di Gorontalo itu saya ubah ke arah yang lebih baik sehingga para birokrat itu bekerja menjadi penggerak dan motivator bagi petani. Dan, jangan lupa bahwa para birokrat itu dibayar dengan menggunakan uang rakyat, maka kalau tidak dimanfaatkan dengan baik, kan mubazir.
Apakah jaringan juga menjadi penentu kesuksesan Anda?
Saya berpendapat bahwa seorang pemimpin daerah itu bisa melakukan perubahan kemudian sukses ke arah yang lebih baik kalau dia punya networking yang kuat. Saya kebetulan punya network yang kuat di Jakarta, sehingga saya bisa bikin program-program skala nasional bahkan internasional. Sebaliknya menurut saya kelemahan-kelemahan dari bupati-bupati dan juga gebernur-gubernur lainnya adalah mereka tidak punya network yang kuat, sehingga dalam membangun daerahnya tidak secepat Gorontalo dalam mengembangkan daerahnya. Maka netwok itu sangat penting sekali dalam membangun dan mengembangkan daerah.
Lalu, Anda juga memperhitungan soal brand daerah. Bisa dijelaskan?
Kita harus mengambil branding, trade mark, atau merek dalam mengembangkan potensi daerah. Dan, saya berpendapat bahwa mengembangkan sebuah wilayah/daerah harus punya branding. Memang jaman dulu daerah tidak perlu branding, tapi sekarang dengan koorporasi mau tidak mau satu daerah harus punya branding yang bisa ditonjolkan baik ke tingkat nasional maupun internasional.
Gorontalo pun mengusung jagung sebagai brand?
Jagung adalah komoditas yang kami branding selain ikan. Oleh karena itu, kami menjamin ketersediaan benih unggul dan pupuk dengan harga terjangkau petani, Prasarana dan jalan ke sentra jagung dibangun, demikian pula kebijakan perbankan di Gorontalo. Para petani dan Camat dibawa ke Jawa hingga Thailand untuk belajar memproduksi pertanian yang baik. Hasilnya, spektakuler. Petani Gorontalo mampu menciptakan benih jagung unggul bernama Lamuru FM. Dan, sejak tahun 2002, Gorontalo telah mengekspor jagung ke Malaysia lalu ke Korea Selatan, langsung dari Pelabuhan Gorontalo. Gorontalo berencana akan mengekspor jagung hingga satu juta ton.
Mengenai pemerintahan yang transparan dan akuntabel, bagaimana menurut Anda?
Ini adalah salah satu faktor kunci keberhasilan. Saya membangun pemerintahan dengan transparan dan akuntabel. Transparan artinya saya berkomunikasi dengan orang, mau ketemu saya selama saya ada waktu silakan. Pesan singkat melalui handphone akan saya balas. Begitu juga koran maupun terbuka kritik saya. Saya bahkan punya acara Halo Gubernur di media lokal setiap minggu. Saya pastikan, pemerintahan saya akuntabel dapat dipertanggung jawabkan dalam segala hal, baik di bidang pendidikan maupun dalam bidang kesehatan masyarakat. Saya pernah membuktikan akuntabilitas dari Gorontalo itu dengan mengundang BPKP untuk mengaudit Gorontalo. Hasilnya di semua sektor, mulai dari pertanian, pendidikan, kesehatan dan sebagainya, semuanya akuntabel dapat dipertanggungjawabkan.
Ada yang berpendapat bahwa Gorontalo melejit seperti sekarang karena dipimpin oleh sosok yang memiliki jiwa entrepreneurship yang kuat. Benarkah?
Kami memang ingin membangun masyarakat Gorontalo yang mandiri, berbudaya entreperneur, dan bersandar pada moralitas agama. Kemandirian, diukur dengan kemampuan untuk mempertahankan otonomi provinsi Gorontalo agar tak kembali ke provinsi induk. Budaya entrepreneur diukur dengan kemampuan masyarakat melakukan pembaruan, pengorganisasian, penciptaan sesuatu yang ditujukan untuk mencapai kemakmuran yang disertai dengan penghitungan risiko. Dengan sedikit sentuhan entrepreneurship, saya yakin potensi dan kekayaan sumber daya alam yang ada di daerah itu akan bisa dioptimalkan bagi masyarakat setempat. Dan soal itu, sudah menjadi bagian dari hidup saya selama ini. Jadi bukan persoalan yang teramat sulit.
Kami dengar, Anda juga memberikan insentif pada birokrasi yang mampu meningkatkan hasil pertaniannya?
Untuk memotivasi agar petani itu bisa berpendapatan atau berproduksi tinggi memang tidak mudah, harus ada insentif. Di Gorontalo, aparat pemerintah-aparat pemerintah kabupaten, terutama untuk aparatur pemerintah desa dan kecamatan saya kasih insentif. Untuk camat namanya tunjangan kinerja camat, tunjangan kinerja desa. Kepala desa mana yang mampu menaikkan produksi jagung misalnya dari 10 ton menjadi 20 ton maka kepala desa tersebut saya kasih insentif Rp 1,5 juta per bulan. Ini di luar gaji dia Rp 4.60.000. Dengan metode seperti ini, siapa yang tidak senang kerja.
****
Sejak Gorontalo dipimpin Fadel, kota kecil ini menyulap diri menjadi rumah para petani. Tak ada lagi sekat pemisah antara kota dan desa. Yang ada adalah sebuah jembatan yang mampu memerdekakan para petani yang selama ini hanya dijadikan jualan wacana saat kampanye. Agropolitan, begitulah nama konsep pembangunan pertanian ini.
Dengan visi dan manajemen baru, Fadel mampu menyulap jagung Gorontalo menjadi komoditas potensial yang bisa di jual ke mana saja. Kalau dulu masyarakat hanya menjadikan jagung sebagai produk makanan khas Gorontalo, kini ia membukakan cakrawala pemahaman rakyatnya bahwa jagung menjadi apa saja yang mereka inginkan. Gorontalo pun menjadi penyangga pangan sekaligus ikon kota agropolitan, ikon yang banyak ditinggalkan oleh daerah lain yang lebih memilih metropolitan.
Pengalamannya sebagai manajer atau pengusaha di perusahaan terkemuka, membuat Fadel cepat melakukan keputusan-keputusan yang inovatif dan kreatif. Lihat bagaimana bagaimana dia membuat interpreneur government, sebuah lompatan yang jarang dilakukan daerah lain. Model manajemen ini berisi prinsip kerja keras, bergerak efektif, tidak statis dan hanya menunggu seperti yang biasa melekat dalam manajemen birokrasi pemerintah selama ini. 'Manajemen wirausaha' yang diperkenalkan Fadel ini juga sangat efisien dan berani membuat perubahan yang disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan.
****
Bisa dijelaskan mengenai konsep Agropolitan yang Anda kembangkan saat ini?
Konsep agropolitan itu masalah penamaan saja, karena di setiap program pengembangan itu kalau diberikan nama yang bagus kan enak terdengar. Konsep agropolitan yang saya munculkan itu tujuannya adalah agar masyarakat Gorontalo jangan berpikir bahwa daerah mereka itu harus menjadi metropolitan. Yang akan kita bangun itu adalah desa dan kecamatan agar masyarakat itu tidak eksodus ke kota lagi. Selain itu terkait dengan konsep agropolitan itu agar masyarakat tahu dan sadar bahwa basis perekonomian negeri ini yang harus diperkuat adalah di sektor pertanian yang pada akhirnya semua bangga menjadi petani dan bangga menjadi daerah pertanian.
Apakah pola pembangunannya sama seperti membangun metropolitan?
Harus diketahui bahwa konsep agropolitan itu semuanya berbeda dengan konsep membangun kota. Kalau untuk pembangunan jalan dengan konsep agropolitan tidak sama dengan konsep pembangunan jalan kota. Kalau untuk jalan kota per kilo meter mencapai Rp 1,5 miliar, maka untuk agropolitan per kilo meter cukup Rp 300 juta. Coba hitung, berapa penghematan yang dihasilkan dan berapa banyak akses jalan yang bisa dibangun dibandingkan pembangunan jalan kota.
Contoh lainnya adalah masalah air, di mana pemerintah pusat membangun bendungan Jatiluhur dan Brantas misalnya. Dengan membangun bendungan yang menelan biaya begitu besar, pemerintah berpikir bahwa rakyat suka, padahal tidak. Rakyat itu tak butuh bendungan, tapi butuh air untuk lahan pertanian mereka. Untuk membangun satu bendungan itu butuh dana paling tidak butuh dana Rp 400 miliar. Dengan dana sebesar itu katakanlah kiga mampu mengairi lahan pertanian seluas 2000 hektar, artinya harga per hektarnya Rp 60 juta.
Selanjutnya, apa program lain di bidang pertanian yang sedang Anda galakkan?
Ketika pertama kali menjabat sebagai Gubernur Gorontalo, fokus utama kita adalah jagung. Setelah di tahun ketiga saya memimpin, produksi padi di Gorontalo pas-pasan, malah kadang-kadang hampir kurang. Dengan kondisi itu sebagian masyarakat meminta saya untuk juga memperhatikan padi. Memang sebelumnya saya juga memperhatikan padi, tapi tidak sefokus saya memperhatikan jagung. Dengan kondisi tanaman padi yang pas-pasan bahkan minim itu saya melakukan lompatan dengan mengganti benih-benih padi tradisional yang selama ini digunakan oleh petani dengan benih-benih padi unggul, seperti Ciheurang, Cigeulis, dan benih unggul lainnya saya bawa dari Jawa.
Belum lama ini saya coba lagi menggunakan benih-benih hibrida dan hasilnya Gorontalo bisa surplus beras. Jadi kebijakan pangan baik jagung, beras, dan tanaman pangan lainnya saya atur seperti blue print tersendiri. Saya berpendapat, negara harus punya blue print. Begitu juga di tiap daerah, bahkan diharuskan bagi tiap pemerintah daerah memiliki blue print di bidang pangan, sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan seperti saat ini.
Setelah Gorontalo swasembada pangan, selanjutnya apa yang ingin Anda perbuat untuk Gorontalo?
Obsesi saya adalah tidak ada lagi impor beras. Saya tidak mau terima impor jagung. Saya alergi dan menolak impor kedelai. Saya malu impor gula dan saya sangat tidak suka kepada impor-impor komoditi yang berhubungan dengan pertanian. Menurut saya, Indonesia memiliki potensi dan sangat mampu untuk mandiri di bidang pangan. Dan, bagi saya berbicara mengenai kerawanan pangan dan impor beras di negeri agraris ini adalah tabu. Saya adalah orang-orang yang berkali-kali menolak impor beras. Artinya swasembada dan kedaulatan pangan adalah harga mati untuk Indonesia. Saya menyatakan ini bukan hanya sekedar wacana tapi saya sudah buktikan hal itu di Gorontalo.
Menurut Anda, apa langkah-langkah yang harus tempuh untuk mewujudkan hal itu?
Caranya, misalnya untuk padi yang pertama, ambil sejuta hektar lahan yang full irigasi dan seluruhnya diberikan benih-benih unggul, baik hibrida maupun non hibrida dan benih-benih lokal diganti semuanya. Ini harus dibantu oleh pemerintah, pemerintah tidak boleh membiarkan rakyat sendirian. Kedua, pemerintah baik pusat maupun daerah harus bertanggung jawab terhadap produksi rakyat. Pemerintah harus mengetahui berapa produksi padi, jagung, kedelai, dan lainnya dan pemerintah harus membeli hasil produksi rakyat. Artinya apa? Yang ingin saya katakan di sini adalah rakyat harus dibuat berpendapatan. Dengan sadar pemerintah harus melakukan intervensi agar petani memiliki pendapatan yang tinggi.
Kebijakan seperti telah Anda terapkan di Gorontalo.
Kalau di Gorontalo sudah terlembagakan dan sudah ada instrumen yang melaksanakan ini sampai kelapangan, sehingga gampang untuk dikontrol. Dan, apa ukurannya di lapangan? Ukurannya di Gorontalo adalah untuk kepala desa dan camat, Gubernur memberikan insentif, kalau mereka memelihara produksi padi, jagung, dan ikan rakyat, maka camat dan kepala desa itu mendapatkan insentif sebagai tambahan yang jumlahnya sampai dua bahkan tiga kali lipat dari jumlah gaji pokok mereka. Hal ini tentu saja memotivasi mereka untuk lebih rajin, tekun, dan sungguh-sungguh dalam bekerja untuk menjaga produksi rakyat.
Brand soal daerah agraris, apakah itu juga bisa dilakukan di tingkat nasional?
Harus bisa. Menurut saya, kalau pemerintah pada tingkat nasional ini cerdas, dia harus mengambil itu (pertanian, red.) menjadi branding nasional. Kalau itu dibikin menjadi branding dia, maka semua elemen akan mendukung dia. Akibatnya apa? Tidak ada lagi impor. Percaya sama saya!. Kita pernah sampai ke sana, kita pernah swasembada pangan, dan tidak ada bedanya lahan yang dulu dengan lahan yang sekarang kan sama. Manusia yang kerja juga sama, hanya tingkat konsumsinya yang bertambah. Logikanya, Indonesia mestinya menjadi negara eksportir beras.
Tapi yang terjadi kan justru sebaliknya. Apa yang salah?
Saya tidak mengerti dengan pemerintahan pusat. Apa sebenarnya yang ingin diperbuat. Saya benar-benar tidak mengerti. Saya sangat prihatin, merasa malu, dan juga sedih sebagai warga negara melihat kondisi pangan nasional kita hari ini. Saya merasa malu dan seharusnya pemerintah pusat tidak melakukan impor sapi dari Australia sampai 400 ribu ekor, karena saya mampu untuk melakukan dan mengembangkan itu di Sulawesi (Gorontalo).
Dana untuk impor sapi yang begitu besar, tidak digunakan untuk mengembangkannya di dalam negeri sendiri dan kita sangat punya kemampuan untuk itu. Yang lebih menyedihkan lagi, dana sebesar Rp 1,7 triliun dibelanjakan untuk impor beras dari Thailand dan Vietnam. Kalau kita mengimpor beras begitu banyak sama dengan kita membeli benih untuk 800.000 hektar sawah. Kenapa dana sebesar itu tidak digunakan untuk menghidupkan petani-petani kita ketimbang kita melakukan impor beras.
Bagaimana dengan kontribusi Gorontalo dalam rangka mewujudkan swasembada pangan nasional?
Gorontalo itu,
Fokus di Sulawesi, kita mampu memproduksi semua biji-bijian, karena biji-bijian ini menurut pengamatan saya adalah makanan yang mengandung protein yang tinggi dan bisa dihasilkan di tanah (daerah, red.) sub tropis, maka Sulawesilah pulau yang paling potensial untuk menghasilkan biji-bijian itu.
Sebagai inisiator di kaukus gubernur-gubernur yang ada di
Pada akhir Maret 2008 lalu saya rapat dengan seluruh gubernur di Makasar untuk membuat semacam deklarasi atau pengumuman bahwa kami sanggup melakukan ke arah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar