Selasa, Februari 23, 2010

Penerapan GCG, Mencari Model untuk Indonesia

Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat dianggap mengadopsi model corporate governance yang berbeda-beda. Model apa yang cocok diterapkan di Indonesia?

Berawal dari ambruknya sejumlah perusahaan besar di Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu, penerapan good corporate governance seperti mendapat momentum kembali. Agar kasus serupa tidak terulang, pada 2002 pemerintah federal AS menerbitkan Sarbanes-Oxley Act (SOA) yang dimaksudkan untuk memperketat kontrol dan audit terhadap perusahaan. Ketentuan SOA, seperti dikutip dari situs BPKP Indonesia, merupakan perangkat perusahaan untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik dan transparan. Ketentuan mengenai aturan kontrol itu menggunakan framework yang disusun oleh Comitte of Sponsoring Treadway Organization Comission (COSO).

Di Indonesia, konsep good corporate governance pun menyeruak di kalangan usaha, terutama pada badan-badan usaha milik pemerintah. Isu korupsi yang menjadi tema negatif selama bertahun-tahun dikhawatirkan bisa mengganggu performa perusahaan-perusahaan negara yang telah go public. Konsep ini pun menjelma menjadi ajimat baru bagi kesehatan dan keberlangsungan perusahaan.

Lihat saja perkembangan Telkom belakangan ini. Menurut Direktur Utama PT. Telkom Indonesia Tbk, Rinaldi Firmansyah, Telkom masih eksis dikarenakan prinsip good corporate governance telah menjadi fondasi perusahaan. ”Itu seperti pembuluh darah,” katanya. Terbukti, di tengah kompetisi industri telekomunikasi yang begitu ketat, Telkom mampu bersaing karena menerapkan kesehatan, transparansi, dan akuntabilitas perusahaan.

Jika dikaitkan dengan struktur kepemilikan dalam perusahaan, menurut H. Sri Sulistyanto, Dosen Fakultas Ekonomi yang juga peneliti dari Universitas Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, penerapan prinsip good corporate governance selalu memunculkan paradoks. Teori menyatakan, untuk mengurangi masalah agensi adalah dengan “mekanisme pemegang saham besar” (large outside shareholder). ”Kenyataan yang terjadi di lapangan justru menunjukkan hal tersebut membuat akses dan kontrol pemegang saham mayoritas terhadap manajemen perusahaan menjadi tak terbatas, yang pada akhirnya hanya merugikan pemegang saham minoritasnya,” katanya.

Contoh lain yang dikemukakan Sulistyanto adalah mekanisme employ stock option program (ESOP) yang sebenarnya didesain agar terjadi kepemilikan manajerial (managerial ownership) dalam perusahaan. Kepemilihan manajerial, lanjutnya, secara konseptual diharapkan membuat terciptanya corporate of ownership. Dalam posisi ini, manajemen tidak lagi hanya sebagai bertindak pengelola perusahaan (agent), namun juga berperan sebagai pemilik perusahaan (principal). Peran ganda ini, kata Sulistyanto, diharapkan dapat membuat menajemen perusahaan mau bekerja lebih baik dan lebih keras karena perusahaan yang dipegangnya bukan lagi milik orang lain, namun juga miliknya sendiri.

Kenyataannya, ia menilai, konsep “mulai” ini ternyata justru dimanfaatkan manajer perusahaan untuk kepentingan pribadinya. Seperti dalam kasus Enron yang terjadi di AS, setelah menerima ESOP, perusahaan memang meningkat kinerjanya. Tapi peningkatan kinerja tersebut ternyata merupakan hasil rekayasa untuk mendongkrak harga pasar saham perusahaan tersebut. Kemudian pada saat harga saham mencapai puncaknya (windows of opportunity), manajemen Enron mengeksekusi saham opsinya.

Namun, Komisaris Utama PT Telkom Tbk. Tanri Abeng, memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, konsep good corporate governance menjadikan sistem sebagai panglima. Semua orang termasuk pemegang saham harus tunduk kepada sistem. ”Karena itu, yang paling berkepentingan dengan tata kelola yang baik itu harusnya datang dari pemegang saham. Sebab, Kalau konsep ini berjalan sempurna, maka pemegang saham tidur saja kan. Jadi, itu suatu yang otomatis,” katanya.

Selama ini, AS menerapkan model one board system dalam membangun tata kelola usahanya. ”Dalam one board system ini, direksi dan komisaris menjadi satu, karena memang mereka bertanggung jawab bersama untuk memformulasikan rencana strategis perusahaan,” katanya. Bahkan, lanjut Tanri, sinergi ini memungkinkan terjadinya share responsibility dan ownership sebagai acuan.

Kalau diinterpretasi secara sempit, Tanri menambahkan, governance mengatur fungsi komisaris dan direksi secara berbeda. “Tapi, kalau saya mengangkat pengertian yang lebih luas, adalah kristalisasi dari jiwa one board system yang berlaku di AS,” katanya. Karena itu, lanjutnya, tugas komisaris tidak hanya menyetujui atau mengawasi, tapi juga bersama direksi melakukan sinergi positif membangun suatu kebersamaan agar badan usaha itu tumbuh dan berkembang.

Sejauh ini, penerapan model corporate governance di berbagai belahan dunia, seperti AS, Jepang, dan Eropa Barat dianggap mengadopsi model yang berbeda-beda. Menurut Sulistyanto, hal ini disebabkan oleh perbedaan tipe pasar modal dan bisnis yang berkembang. Oleh karena itu, lanjutnya, praktik bisnis setempat (practice based approach) juga mesti dijadikan pertimbangan dalam mengadopsi sebuah model. ”Perbedaan budaya, sistem perekonomian, sistem politik dan pemerintahan, dan sebagainya memang membuat business culture Indonesia berbeda dengan negara lain,” tuturnya.

Namun, lanjutnya, Indonesia sejauh ini banyak mengadopsi model dari AS, termasuk perekonomian, bisnis, pasar modal, bahkan akuntansinya. ”Maka lebih tepat jika GCG yang dipakai di Indonesia juga mengadopsi model AS,” kata Sulistyanto, menambahkan. Kendati demikian, ia menegaskan, setiap negara tetap mempunyai keunikan sendiri, yang membuat satu negara berbeda dengan negara lain, baik budaya, sistem perekonomian, sistem politik dan pemerintahan, dan sebagainya.

Perkembangan budaya, sistem perekonomian, maupun sistem politik dan pemerintahan telah mempengaruhi corporate culture perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. ”Mengingat bahwa budaya, sistem perekonomian maupun dinamika bisnis, sistem politik dan pemerintahan antara Indonesia dan AS berbeda, maka bisa dimengerti jika corporate culture dunia usahanya juga berbeda,” ujarnya. Dampaknya, penerapan good corporate governance di Indonesia memerlukan kekhasan dan tidak mungkin sama dengan model yang diterapkan di negara lain.

Tidak ada komentar: