Senin, Februari 22, 2010

Taufiq Effendi: "Kapan Kita Berhenti Bodoh?"

Artikulasi maupun retorikanya menakjubkan. Begitu pula dengan ritme maupun permainan volume suaranya yang turun naik. Inilah yang membuat ucapannya terasa ringan dan enak didengar. Begitu juga tatkala ia berceramah di hadapan para ulama dan masyarakat di Gresik, Jawa Timur, pertengahan Juli 2009 lalu.

Seperti halnya Bung Karno, ia begitu menguasai cara berbicara di depan publik. Menguasai artikulasi dan mengekspresikannya. Menggunakan kata-kata yang baik. Harap maklum, Taufiq Effendi, pemilik suara itu adalah pemain teater, orator, sekaligus komunikator ulung.

Sewaktu melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Taufiq aktif dalam kegiatan teater maupun aktivitas kemahasiswaan. Suasana kota yang kondusif membuat naluri seni Taufiq turut bermekaran.

Ia pun berteman dengan sejumlah seniman, seperti Arifin C. Noer. Muhammad Diponegoro, Amaroso Katamsi, Chairul Umam, dan sebagainya. Ia pun bergabung dengan Teater Muslim dan menjadi pemimpin Sanggar Antasari di Yogyakarta, dengan mementaskan drama maupun monolog Ada Waktu dan I Want To Be The Best.

Menulis skenario, puisi, maupun naskah, menyutradari, bahkan menjadi cover majalah juga sempat dilakoni Taufiq. Sebagai seniman dan budayawan, di kalangan koleganya, Taufiq dikenal pandai bermain drama dan mahir menyusun naskah sandiwara.

Tak hanya penuh retoris, setiap ucap yang terlontar menyiratkan kedalaman pemikiran dan nilai holistik yang mendalam. Begitu juga saat ia menerima Tim Matra Indonesia untuk sebuah wawancara eksklusif. Selain dikenal sebagai birokrat yang reformis, pria kelahiran Barabai, Kalimantan Selatan, 12 April 1941 ini juga tergolong religius dan memiliki pemahaman agama yang kuat.

Kepada S.S. Budi Rahardjo dan Qusyaini Hasan dari Matra Indonesia yang mengikuti perjalanannya ke Gresik, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara ini berbicara banyak, mulai dari isu terorisme yang kembali meledakkan ibukota, sikap dan mentalitas bangsa, hingga isu reformasi birokrasi yang terus digelorakannya hingga akhir masa tugasnya. Berikut kutipan lengkapnya:

Bom kembali mengoyak ibukota. Apa yang ada di pikiran Anda?

Mengapa Noordin M Top dan Dr. Azahari ngebom Bali, mengacaukan Indonesia? Oh, mungkin dia ingin menghancurkan kebatilan, karena banyak orang berbikini di Bali, ada kedzaliman di sini. Tapi bukankah di depan rumahnya sendiri, di Genting Highland, Malaysia, ada tempat perjudian. Tapi, kok ngebom negara lain, kenapa? Tidak ada yang mempersoalkan hal ini.

Ada enggak korelasinya turisme kita tidak naik-naik, sementara pariwisata di negara lain makin pesat. Ada enggak korelasinya dengan anjloknya kunjungan wisatawan, sementara di Malaysia naik. Kapan kita berhenti bodoh? Apakah ini bukan persaingan? Kenapa tiba-tiba muncul Ahmadiyah, lalu kita sibuk dengan itu. Lupa dengan Noordin M Top.

Inilah akibatnya jika Pancasila diagung-agungkan?

Kenapa Pancasila ditaruh begitu tinggi? Siapa yang menaruhnya? Akhirnya jadi sasaran tembak. Kita malu bicara Pancasila. Jadi, orang yang menaruh Pancasila tinggi-tinggi bukan tanpa maksud. Tapi untuk dihancurkan.

Lalu kenapa anak kita kecil jatuh, lalu lantai atau meja yang dipukul-pukul, terus dibilang nakal? Kenapa di bangsa lain tak ada kebiasaan ini? Kok kita punya? Ini membentuk watak kita sejak bayi untuk menyalahkan orang lain di nomor satu. Blaming.

Adakah kaitannya peristiwa ini dengan kesalahan-kesalahan kita terdahulu?

Coba selidiki, mengapa Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Kutai Kertanegara, Kalingga, Singosari, usianya pendek-pendek? Baca buku tentang Keris Empu Gandring, hancurnya kerajaan-kerajaan itu bukan karena serangan musuh, tapi karena pengkhianatan dan kebodohan bangsa ini.

Lihat kerajaan Belanda yang menjajah kita, sampai sekarang masih ada. Kerajaan Nippon juga masih ada sampai sekarang. Mengapa bangsa ini suka sekali bicara tanpa fakta dan bukti? Mengapa bangsa Jepang, yang 80% tanahnya adalah bebatuan, tidak ada hasil bumi maupun tambang, tapi menjadi negara terkaya nomor dua di dunia. Mengapa Swiss yang tak punya kebun coklat, bisa jadi Negara pengekspor coklat terbesar di dunia?

Menurut Anda, mengapa semua ini terjadi?

Kelemahan kita adalah karena kita tidak tahu peran. Ayah-ayahan, ibu-ibuan. Buktinya apa? Di sebuah pengadilan, seorang anak dihukum 8,5 tahun penjara karena narkoba. Ayah ibunya di situ menangis sejadi-jadinya karena buah hati dan belahan jantungnya divonis.

Tapi anak itu bilang, “Pak hakim, saya tidak dendam sama pak hakim. Dan saya pantas menerima hukuman ini. Saya tidak dendam sama pak jaksa. Pak jaksa telah bekerja dengan baik. Juga pada polisi yang menangkap saja hingga saya diadili sekarang ini. Tapi saya dendam kepada dua mahluk, yaitu ayah dan ibu saya. Karena mereka yang selalu bertengkar setiap hari. Mempertahankan egonya masing-masing, hanya mau menang sendiri. Yang ada piring atau pintung yang dibanting. Tidak ada salat berjamaah di rumah.”

Apakah pemikiran ini lahir karena Anda terbiasa berpikir out of the box?

Jangan berpikir yang kecil. Saya suka baca buku autobiografi. Ketika orang menegur Thomas alfa Edison, “Hei, kau seribu kali salah dalam percobaan itu.” Kata Thomas, “Saya tidak rugi, karena saya sudah tahu, seribu hal yang tidak boleh saya lakukan. Karena itu tinggal sedikit lagi saya akan mencapai keberhasilan.”

Baca Kolonel Sanders, ribuan toko ia masuki untuk tahu ayam gorengnya. JK Rowling juga sama, hampir puluhan penerbit menolak karya Harry Potter-nya. Nothing is easy. Tidak ada yang mudah. You must be sweat, harus berkeringat. Kita terlalu manja, bangsa ini tak boleh manja. Kita takut bersaing dan minta proteksi terus.

Kenapa kita tak punya siapa-siapa yang patut dibanggakan dalam sejarah?

Kenapa bangsa ini tidak punya Nelson Mandela? Tidak punya Kemal Attaturk, tidak punya Jose Sizal atau Thomas Jefferson. Tapi dulu kita punya Bung Karno, kita bikin baleho besar-besar buat dia. Kita elukan, teriakkan dan nyanyikan buatnya. Lalu, mulut ini juga yang memaki-maki Bung Karno. Tangan ini juga yang meruntuhkan balehonya. Tangan apa ini? Mulut apa ini?

Hal yang sama dialami oleh Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Megawati, mungkin juga SBY. Lalu kenapa kita tidak punya siapa-siapa? Mengapa kita menghancurkan sendiri pahlawan-pahlawan kita? Lihatlah Thomas Jefferson, hidupnya tidak bagus-bagus amat. Kenapa orang harus bersih, suci, kusuma wardhani? We are human.

Anda pernah mengatakan, bangsa ini suka bikin penjara bagi dirinya sendiri. Apa maksudnya?

Di zaman Orla, apa-apa harus Nasakom. Sekarang kita hancurkan musyawarah dan mufakat, kemudian menggantinya dengan reformasi. Kita bikin penjara yang namanya reformasi. Perilaku bangsa Indonesia yang suka bikin penjara bagi dirinya sendiri, karena tidak tahu apa yang ingin diraihnya dan hanya tahu kulitnya. Hanya orang bodoh yang suka bikin penjara bagi dirinya sendiri.


Bangsa Indonesia juga mengidap sikap ambivalen dalam bersikap dan berperilaku. Maunya demokrasi, tetapi hanya mau menang, dan tidak mau kalah. Kalau mau menerapkan demokrasi, semua orang harus tahu akan konsekuensinya, sehingga bila sistem tersebut diterapkan harus dibarengi sikap berani menang dan mau kalah. Bila sudah menetapkan menjadi negara demokrasi, menetapkan sistem otonomi, menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan menjalankan reformasi, harus tahu persis segala konsekuensinya.


Apa contoh konkretnya?

Presiden bisa mengendalikan secara baik Mendagri, namun Mendagri kesulitan mengatur gubernur, karena mereka berasal dari partai politik (parpol). Mendagri juga tidak mudah mengendalikan bupati/walikota karena mereka juga dari parpol. Bupati juga tidak mudah mengatur para kepala desa, karena kades dipilih langsung oleh rakyat. Jika ingin berhasil mencapai cita-cita harus memiliki konsep yang jelas dan bisa dilaksanakan. Jangan bikin konsep yang tidak bisa dilaksanakan. Itu namanya `dakik-dakik` (mengawang-awang, Red.)

Anda juga menyatakan, keberhasilan kita juga dihambat oleh peninggalan-peninggalan kolonial. Bisa dijelaskan?

Pola-pola korupsi yang dilakukan sama persis dengan yang dilakukan VOC. Ketika berpidato di Universitas Leiden, Belanda, saya katakana kepada para petinggi di kampus itu, Indonesia kini menjadi salah satu negara terkorup, karena belajar dari kompeni zaman penjajahan Belanda (VOC) sejak 1602.

Termasuk soal hari libur pegawai negeri yang mencapai 130 hari dalam setahun?

Contoh, dalam editorial surat kabar, ditulis hari libur pegawai negeri 130 hari. Apa yang terjadi begitu orang tahu pegawai negeri liburnya sebanyak itu? Edan. Maunya naik pangkat, gaji besar, tapi maunya libur terus.

Mohon maaf, saya tanya seorang profesor, itu kebanyakan enggak 130 hari? Kebanyakan, katanya. Dia bawa sekretaris waktu itu. Saya bilang, tulis! Sabtu dan Minggu libur. Setahun berapa minggu? 104. tambahkan libur nasional 14 hari. Cuti 12 hari. Totalnya berapa? 130 hari. Saudaraku, ini jahat. Dalam ilmu komunikasi, ini namanya insinuasi. Menghasut ini.

Anda juga menyoal tentang lima kelemahan bangsa yang perlu dibenahi. Bisa dijelaskan?

Ada lima kelemahan bangsa Indonesia yang mesti kita benahi. Pertama, kita harus tahun peranan yang harus dilakoni setiap individu. Misalnya, seorang suami, istri, guru, pejabat mesti tahu apa yang harus mereka lakukan. Kedua, kebersamaan, yang sekarang tampaknya menjadi barang langka. Kebersamaan yang saat ini sering diartikan sempit, sehingga setiap perbedaan yang muncul tidak dicoba dicarikan solusi atau penyelesaiannya, yang terjadi justru sebaliknya. Setiap perbedaan yang muncul malah dipertajam sehingga tidak jarang timbul konflik yang berkepanjangan.

Ketiga, jati diri. Kita sebagai bangsa belakangan ini seolah-olah telah kehilangan jati diri. Bangsa yang dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah, sekarang telah berubah menjadi bangsa yang beringas, mudah marah, dan mudah melakukan perbuatan yang kadangkala melampaui akal sehat kita. Keempat, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mestinya menjadi alat pemersatu yang menyatukan semua perbedaan yang ada menjadi suatu kekuatan membangun bangsa.

Kelima, atau yang terakhir adalah keimanan. Kalau semua persoalan dikupas dan diselesaikan dengan dasar keimanan, bekerja juga didasarkan dengan keimanan, pengabdian demikian pula; pastilah segala macam persoalan yang terjadi dan melanda bangsa ini akan dengan mudah diselesaikan tanpa menimbulkan persoalan baru.

Tidak ada komentar: