Menurut Kepala Badang Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Marzan Aziz Iskandar, sebuah karya digolongkan sebagai inovasi bahkan karena temuan yang sudah memiliki nilai ekonomi. Karena itu, lanjutnya, inovasi membutuhkan effort yang besar dan harus melibatkan tiga pihak, perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan, dunia industri, serta sistem pemerintahan maupun politiknya harus kondusif.
Tata kelola pemerintahan ini, lanjut pria kelahiran Pagaralam, 18 Mei 1958 ini, harus menciptakan environment yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sistem inovasi nasional. “Inovasi merupakan produk bangsa yang dihasilkan dari interaksi dari berbagai pihak. Bukan kegiatan yang berdiri sendiri, soliter, tapi hasil dari upaya berbagai pihak yang ada di dalam bangsa itu,” katanya saat ditemui Tim Inspire di ruang kerjanya di Gedung II Lantai 2, BPPT, Jakarta.
Hubungan antara lembaga-lembaga ini, lanjutnya, tidak bisa terjadi begitu saja. Diperlukan satu lembaga lagi yang namanya intermediasi yang menghubungkan dan menggali apa yang dibutuhkan masing-masing pihak. Oleh karena itu, lanjutnya, tiga sistem ini harus bekerja sama dengan erat dalam upaya memenuhi demand atau permintaan. Berikut wawancara lengkapnya:
Inovasi sebagai keharusan. Bagaimana keniscayaan ini berkembang di negara kita?
Di negara kita inovasi sudah ada. Kita lihat potensi mahasiswa, prestasi siswa-siswa, yang menjuarai olimpiade fisika, kimia, matematika, otomotif, hingga desain grafis. Masalahnya ini adalah invensi. Bagaimana kita hubungkan dengan industri yang bisa memproduksinya secara massal. Kegiatan robotik tadi harus diramu ulang sesuai kebutuhan. Demand-nya bagaimana.
Hal ini menjadi akumulasi dari dinamika hubungan kerja ketiga lembaga tadi. Ini tentu harus didukung dengan standar maupun norma, dukungan inovasi bisnis, hak kekayaan intelektual, serta modal ventura dan perbankan. Karena inovasi seperti ini jika tidak ada yang membiayai, investor, sistem perbankan yang mendukung, susah juga.
Bagaimana inovasi yang dihasilkan tidak lagi sebatas pajangan?
Yang kita sebut inovasi kalau tidak hanya menjadi pajangan. Menjadi pajangan itu kalau belum sampai pada proses inovasi lalu terhenti. Robot misalnya. Toh, belum ada industri robot di Indonesia. Jadi, setelah menang, ya langsung disimpan, belum ada upaya kita untuk mendayagunakan hasil inovasi ini. Kita tidak perlu robot sekarang.
Tapi sistem otomatisasinya barangkali bisa dipakai untuk memperbaiki sistem produksi kelapa sawit atau pengolahan karet. Jadi, robot itu banyak sekali berkaitan dengan sistem otomatisasi. Ini bisa digunakan untuk sistem produksi. Karena itu pilihannya adalah mendayagunakan hasil inovasi ini untuk mendukung industri agro, sawit, energi, dan sebagainya yang memang ada kebutuhannya.
Apa yang merangsang berkembangnya iklim inovasi?
Permintaan pasar. Ada demand. Hanya demand itu adanya sekarang atau untuk yang akan datang. Biasanya kalau kita tahu ada demand sekarang sudah terlambat. Karena itu industri yang paling maju melakukan prediksi. Jadi, hal ini sudah lazim, memprediksi apa yang akan menjadi kebutuhan di masa datang, dan kita bekerja sekarang untuk merespon kebutuhan ini.
Namun, hal semacam ini belum menjadi suatu kebiasaan di tanah air. Biasanya kalau di perguruan tinggi melakukan kegiatan berdasarkan pertimbangan bahwa kita ingin mengejar ketertinggalan teknologi dari negara yang lebih maju. Kita mengadopsi apa yang mereka lakukan. Sementara di industri kita belum sampai pada kemampuan memprediksi kebutuhan di masa mendatang.
Lalu, apa peran dan kontribusi pemerintah, dalam hal ini BPPT, dalam membuka iklim kondusif untuk inovasi?
Yang kita lakukan mengajak industri untuk bekerja sama, apa yang Anda butuhkan, kami akan carikan solusi. Apakah kita akan gunakan teknologi sendiri, dari tempat lain yang kita carikan, kalau perlu dari mana pun di dunia ini. Kalau perlunya teknologi. Tapi juga dia butuh sebuah kebijakan, misalnya dia memutuhkan perlindungan, insentif, apakah memang mereka layak, kita akan rekomendasikan.
BPPT tidak hanya melakukan riset, tapi juga pengkajian dan pemanfatan teknologi yang diperlukan supaya industri tumbuh dan berkembang. Kita ajak industri, juga lembaga yang diperlukan. Kalau kita ajak industri energi, kita juga ajak instansi terkait. Bahwa kami sedang mempersiapkan energi, kita butuh regulasi. Kita bisa langsung bikin yang canggih dengan kapasitas besar. Kita mulai dari kecil, dan ditingkatkan. Suatu saat kita akan sampai pada kebutuhan yang diinginkan. Itu kita lakukan secara sitematis melibatkan perbankan, perguruan tinggi, dan industri.
Apa yang menjadi hambatan serius dalam berinovasi, selain kurangnya komunikasi antarlembaga?
Jadi selama ini yang jadi salah satu kendala dalam pembangunan sistem inovasi nasional adalah antarsistemnya belum terjadi komunikasi yang harmonis. Selain itu, pengertian akan sistem inovasi belum dipahami secara sama. Orang bisa saja bilang, itu urusan Anda, itu urusan saya. Urusan kita yang mana? Urusan kita sistem inovasi ini. Itu masih jarang, karrena masih kental cara kerja yang soliter. Satu institusi kerja sendiri.
Ini yang paling banyak jadi kendala dalam tumbuh kembangnya budaya inovasi. Inovasi ini tidak bisa tidak membutuhkan kolaborasi. Dia tidak bisa tumbuh dalam environment yang soliter, sendiri-sendiri. Jadi, dia harus dalam suasana kolaborasi. Ini diciptakan melalui insentif, dorongan dari pimpinan instansi dengan kesadaran bahwa ini memang diperlukan untuk tumbuh kembangnya sistem inovasi.
Di antara tiga lembaga, mana yang menjadi titik krusial?
Di lembaga penelitian dan pengembangan juga perlu ditanyakan, apakah yang mereka kerjakan sudah sesuai dengan kebutuhan. Apakah sudah begitu permintaannya. Jangan-jangan yang kita kerjakan malah tidak dibutuhkan. Atau hanya tugas sekolah, hanya ingin mengejar jabatan guru besar, peneliti, hanya untuk itu. Sebaliknya industrinya sendiri, apakah sudah punya rencana pengembangan produk, perluasan kapasitas. Apakah mereka sudah mengidentifikasi keperluan ini. Apakah sudah berkomunikasi dengan para peneliti dan akademisi.
Artinya, masih mengalami kendala semuanya. Termasuk environment yang diciptakan oleh sistem pemerintahannya. Termasuk juga budgeting, mendorong perbankan, melakukan standarisasi terhadap produk yang sesuai dengan kemampuan nasional kita. Banyak sekali pekerjaan yang harus secara simultan. Karena itu, sebaiknya ada UU yang mengatur ini, ada lembaga yang mengkoordinir untuk memotret dengan kaca mata burung. Ini yang belum, ini yang perlu ditingkatkan, dan sebagainya.
Benarkah inovasi yang terjadi hanya difokukan pada teknologi, bukan pada sistem organisasi atau praktek adminsistrasi?
Kecenderungan sekarang ini memang ada semacam salah kaprah bahwa inovasi selalu dikaitkan dengan teknologi. Padahal inovasi ini adalah suatu sistem di mana ada lembaga politiknya yang harus mendukung, ada lembaga pendidikan, pengembangan, dan penelitian, serta ada industri. Jadi sistem ini harus bekerja sama mengikuti irama koordinator. Karena itu, memang harus saling berkomunikasi satu sama lain.
Menurut Anda, apa bedanya inovasi pada perusahaan privat atau publik?
Inovasi pada perusahaan bisnis yang paling maju, mereka punya sistem sendiri secara mikro. Tetap saja ada kerja sama dengan pengambil kebijakan, teknolog, peneliti, juga bagian produksi. Hanya skala kecil, lingkup perusahaan sendiri. Seorang peneliti atau perekayasa, kalau tidak mendapatkan pekerjaan, dia tidak bisa bekerja. Diberi pekerjaan tanpa target, dia akan kerjakan semaunya. Itu membuat kegiatan tidak fokus, misalnya. Karena itu, tetap saja harus ada hubungan dengan pengambilan keputusan, ada budget, target, hasil yang dituju. Jadi tidak didasarkan pada ramalan saja. Bagian produksi juga menjamin hal ini bisa dihasilkan pada level sekian.
Sejauh mana budaya inovasi ini melembaga dalam pola pikir masarakat kita?
Menurut saya, belum melembaga. Artinya memang kita masih harus membangun dari awal. Saya setuju perlu adanya sebuah naskah akademis, mengenai sistem inovasi nasional. Naskah ini ditindaklanjuti melalui produk UU yang memungkinkan kegiatan inovasi ini dipayungi. Karena kita khawatir bahwa upaya membangun sinergi dan kolaborasi terkendala dengan kebiasaan kita bekerja secara soliter. Terutama hubungan antarlembaga yang harus kita atur. Saya setuju perlunya produk UU atau apa, yang jadi landasan hukumnya. Tapi didahului oleh studi yang komprehensif dalam bentuk naskah akademis.
Apa yang kita bisa perbuat, kita gunakan sistem inovasi untuk meningkatkan nilai tambah, kemudian kita lakukan secara Indonesia incorporation, sinergi dengan berbagai pihak. Ini memerlukan koordinator. Apakah Menristek, Menko Perekonomian, atau yang lain. Tapi, mereka harus punya pemahaman mengenai sistem inovasi yang bisa melihat mana kekurangan, sehingga dibutuhkan insentif untuk meng-encourage semua hal.
Namun, apakah inovasi sebagai keharusan sudah dipahami masyarakat kita?
Sebenarnya kita setuju bahwa inovasi memang sebuah keharusan. Bahkan kemarin dalam pidatonya di DPR, presiden menghimbau bahwa kita butuh inovasi termasuk inovasi teknologi. Hanya bangsa yang inovatif, adaptif, dan produktiflah yang bisa menjaga kelangsungan hidupnya. Di sini menonjol peranan penelitian dan pengembangan. Sudah jelas, tinggal bagaimana mengimplementasikannya.
Kewirausahaan juga penting, bagaimana pun majunya di sisi penelitian dan pengembangan, kalau industrinya tidak mendukung, tak bisa juga. Karena untuk memindahkan hasil invensi ini menjadi inovasi dan menghasilkan keuntungan, manfaat, pertumbuhan ekonomi, butuh para wirausahawan, entreprenuer, teknopreneur. Jadi, kalau kita punya wirausahawan yang dengan cepat membaca apa yang dibutuhkan, mereka merumuskan dalam bentuk rencana bisnis, inovasi pasti lancar.
Menurut Anda, apa landasan utama keberlangsungan inovasi ke depan?
Kita menyesuaikan dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang kita punya. Itu yang utama dan jadi modal untuk kita tingkatkan nilai tambahnya. Tinggal bagaimana memanfaatkan ini dalam kerangka kerja sistem inovasi nasional. Jadi, kekayaaan alam kita apa, kita akan proses menjadi apa. Apa kebutuhan teknologi, sistem produksi, sistem manufacture-nya. Dan dihasilkan dari bahan baku yang kita miliki. Ini yang paling nyata. Misalnya industri buah, energi, tanaman, meubel, ini yang kita ekspor. Jadi, kita gunakan sistem inovasi ini untuk menghasilkan produk-produk yang kompetitif.
Maksud Anda, seperti tuntutan bahwa inovasi tak boleh berhenti, begitukah dengan pekerjaan ini?
Ini pekerjaan jangka panjang, tapi harus kita mulai segera. Dan, kita bisa. Modalnya ada, sumber daya alam dan manusia kita potensial. Jadi, saya sangat optimis bisa. Asalkan ada keinginan untuk merumuskan dan secara konsistem menjalankannya. Kalau kita tidak memulai segera, kita akan lebih tertinggal lagi dalam hal daya saing, kemandirian bangsa, serta kesejahteraan. Bayangkan, bagaimana caranya memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk yang setiap tahun bertambah, kalau tidak dengan inovasi.
Kita menghasilkan puluhan ribu sarjana tiap tahun. Ke mana mereka harus bekerja. Hanya dengan sistem inovasi, muncul adanya inovasi baru, sehingga menghasilkan usaha-usaha baru. Bisa bayangkan itu. Apabila sistem inovasi nasional tidak dibangun dan bekerja dengan baik, maka potensi yang kita miliki, sumber daya alam maupun manusia kemungkinan akan diserap oleh orang luar untuk mengisi kebutuhan global. Ini merugikan kita semua. Kita memiliki, tapi yang memakai orang lain.
Biodata:
Nama lengkap : Dr. Ir. Marzan Aziz Iskandar
Tempat, tanggal lahir : Pagaralam, 18 Mei 1958
Jabatan : Kepala BPPT
Pendidikan :
- Fakultas Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung (ITB), 1985
- Magister Teknik Elektro, Tokai University, 1991
- Doktor Teknik Elektro, Tokai University, 1994
Riwayat Karier :
- Kepala BPPT (2008 – sekarang)
- Deputi TIEM (2005 – 2008)
- Sekretaris Utama (2002 – 2005)
- Kepala Biro Perencanaan (2000 – 2002)
Penghargaan :
- Peneliti Peduli Paten, dari Menristek/BPPT (1999)
- Satyalencana Wira Karya, dari Presiden RI (1999)
- Peneliti BPPT Paling Berprestasi, dari Menristek/BPPT (1998)
- Satylancana Karya Satya 10 Tahun, dari Presiden RI (1998)
- Saty Karya 10 Tahun, dari Menristek (1995)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar