Senin, Februari 22, 2010

PT Pertamina Geothermal Energy, Menerangi Negeri dengan Green Energy

Pemerintah mengandalkan pembangkit listrik dari energi terbarukan pada pembangunan megaproyek 10.000 WM tahap kedua. Pertamina Geothermal Energy siap menerima tantangan.

Sebagai perusahaan energi yang mengandalkan energi terbarukan (renewable energy), PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) memiliki kontribusi berarti dalam pemenuhan kebutuhan energi tingkat nasional. Apalagi, kandungan energi yang bersumber dari panasbumi ini baik cadangan maupun sumberdaya yang dimiliki begitu potensial dengan kandungan 40% cadangan geothermal dunia, atau setara dengan kapasitas energi mencapai 27.000 GW.

Sampai saat ini, PGE memiliki hak pengelolaan atas 15 Wilayah Kerja Perusahaan (WKP) geothermal di atas lahan seluar 2250 hektar dengan total potensi 8400 MW setara dengan 4350 MMBOE. Dari 15 WKP tersebut, 10 WKP dikelola sendiri oleh PT PGE, antara lain Kamojang (200 MW), Lahendong (60 MW), Sibayak (12 MW), Ulubelu, Lumutbalai, Hululais, Kotamubagu, Sungai Penuh, Iyang Argopuro, dan Karahabodas. Tiga area di antaranya telah berproduksi dengan total kapasitas 272 MW, atau setara dengan 12.900 BOEPD.

Mengingat potensi energi yang dimiliki, PGE memiliki andil dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional. Dalam menunjang program pemerintah dalam membangun pembangkit listrik 10.000 MW tahap kedua. Dari pembangkit berkapasitas 4.733 MW, 60% di antaranya dibebankan pada PGE dengan target membangun pembangkit berkapasitas 1.342 MW pada 2014 mendatang.

Untuk mencapai target dimaksud, PGE mengalokasikan belanja modal sebesar US$3 miliar dalam kurun 2008-2014. Menurut Direktur Utama PT PGE Abadi Poernomo, dana yang berasal dari internal maupun eksternal Pertamina itu di antaranya digunakan untuk untuk mengembangkan PLTP Ulubelu (Lampung) Unit 3 dan 4 berkapasitas 2x55 Mega Watt (MW) senilai US$300 juta. PLTP Lahendong (Sulawesi Utara) Unit 5 dan 6 berkapasitas 2x20 MW senilai US$20 juta, serta PLTP Lumut Balai (Sumatera Selatan) Unit 1 sampai Unit 4 dengan kapasitas 4x55 MW senilai US$660 juta.

Untuk mencapai target tersebut, PGE lebih aktif dalam melakukan eksplorasi dan terus mengembangkannya dengan membangun unit-unit pengolahan yang baru di daerah lain. Pada 2008 lalu, PGE melakukan pengeboran sebanyak 11 sumur. Tahun ini, ditargetkan mampu mengebor 23 sumur, dan 2010 sebanyak 37 sumur. “Kita harus menunjukkan bahwa kita bisa mengembangkan energi geothermal di negeri sendiri dalam segala bentuk. Prestasi ini harus terus ditingkatkan dari tahun ke tahun untuk mencapai target membangkitkan 1.342 MW pada 2014,” kata Abadi, menjelaskan.

Ia mengakui, pengembangan geothermal selama ini terkendala oleh terbatasnya sumber daya manusia, sementara potensi panas bumi Indonesia cukup besar. Selain itu, proses perijinan dalam penggunaan lahan masih terkesan tumpang tindih dengan peraturan-peraturan daerah. Pasalnya, hampir 50% cadangan panas bumi Pertamina Geothermal berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan suaka, maupun hutan produksi yang menurut Undang-Undang hutan konservasi tidak bisa diotak-atik.


Inilah tantangan berarti yang dihadapi dalam pengembangan energi geothermal di sejumlah daerah. “Meski UU sudah mengatakan demikian, kita usulkan pada pemerintah untuk bisa bagaimana caranya kita bisa beroperasi. Itu yang harus kami atasi,” kata Abadi. Karena itu, ia berharap, kerja keras PGE ini mendapat dukungan berupa sinkronisasi peraturan-peraturan di tingkat pemerintah agar pengembangan panas bumi dapat berjalan dengan lancar.

Selama ini, kinerja PGE berada dalam posisi “Double A” dan terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Tahun ini perseroan menargetkan dapat meraup pendapatan sebesar Rp1 triliun. Nilai ini lebih rendah dari pendapatan tahun lalu yang mencapai Rp1,4 triliun. Menurut Abadi, penurunan pendapatan ini akibat terkoreksinya harga jual listrik ke PLN sebagai dampak menurunnya harga minyak mentah dunia.

Kendati demikian, kepedulian dunia dalam mengurangi emisi dan gas rumah kaca menarik minat lembaga-lembaga keuangan dunia untuk menginvestasikan dananya pada pengembangan energi geothermal. Selain bersumber dari dana internal Pertamina, kalangan eksternal seperti World Bank maupun lembaga keuangan asing tertarik untuk mengucurkan dananya demi pengembangan geothermal. “Seluruh dunia sepakat, investasi di fosil oil dikurangi, dan dialihkan ke renewable resources. Karenanya cari dananya mudah,” kata Abadi.

Begitu investasi masuk, lanjutnya, nilai keekonomian tariff listrik dari panas bumi hendaknya diperhatikan. Menurutnya, rule of time listrik dari panas bumi berkisar 8-9 sen dolar AS/kwh. Karena itu, lanjutnya, pemerintah harus konsekuen jika dilihat dari konsep yang mau disubsidi, BBM atau panas bumi. Misalnya, jika PGE menjual 8-9 sen dolar AS per kwh, ternyata dalam perjalanan daya beli PLN cuma 6 sen dolar, maka 2 sen dolar ditanggung pemerintah sebagai subsidi.

“Intinya, bagaimana kami bisa mengembalikan loan itu, namun di sisi lain kami sebagai korporat harus mendapat untung. Itulah acuan BUMN yang sehat, di mana setiap usahanya harus ada laba. Makanya harus ada sinkronisasi dengan pemerintah,” tuturnya.


Sejauh ini, PGE memantapkan diri sebagai perusahaan energi yang ramah lingkungan. Perusahaan yang menyediakan energi terbarukan, bebas polusi, dan ramah lingkungan ini memastikan bahwa pelestarian lingkungan menjadi perhatian utama. Apalagi, dampak dari pengembangan energi terbarukan ini dapat dikatakan tidak begitu signifikan bagi perubahan iklim maupun lingkungan. “Kita bisa buktikan, tanaman di sekitar wilayah kerja masih tetap green. Lingkungan tetap lestari, kita tetap menjaga hutan sesuai dengan kondisi aslinya,” katanya.

Energi yang dihasilkan juga merupakan energi terbarukan dan berkelanjutan jangka panjang, bersih, ramah lingkungan, memiliki emisi gas karbon dioksida yang sangat rendah, menjadi energi alternatif sebagai pengganti energi fosil, dan dapat dikembangkan di lahan yang sempit. Selain itu, pengembangan energi panas bumi juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Saat ini, lanjut Abadi, energi panas bumi tidak sekadar dimanfaatkan untuk menghasilkan daya listrik, tetapi juga untuk pemanasan dan pengeringan pada sejumlah industri pengolahan. Energi tersebut dapat digunakan untuk pengolahan gula aren, pengeringan kopra, cengkeh, dan vanilla, sehingga pemanfaatan energi ini mampu meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar.

Dengan kandungan energi yang besar, baik dari sisi cadangan maupun sumber daya yang menguasai 40% dari seluruh cadangan energi geothermal di dunia, PGE pantas optimistis dengan visinya untuk mewujudkan perusahaan energi geothermal berkelas dunia pada 2014. Meskipun demikian, lanjut Abadi, tahapan-tahapan ini bukanlah suatu yang mudah dicapai, namun perlu kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak.

Tidak ada komentar: