Senin, Februari 22, 2010

Mengubah Merek, Risiko dan Pengelolaannya

Pada 1 November 2008 lalu, Bank Niaga dan Bank Lippo, dua entitas bank terkemuka di Indonesia, resmi bergabung dan menyulap menjadi Bank CIMB Niaga. Merger ini berawal dari kebijakan Bank Indonesia khususnya mengenai Kebijakan Kepemilikan Tunggal atau Single Present Policy (SPP), di mana pemegang saham mayoritas dari Bank Niaga maupun Bank Lippo memilih merger sebagai opsi terbaik demi kepentingan seluruh stakeholder.

Proses merger yang melibatkan dua institusi perbankan terkemuka di Indonesia ini pun membentuk bank keenam terbesar di Indonesia berdasarkan aset. Perpaduan keunggulan kedua bank menciptakan sebuah bank yang lebih baik dan bersaing serta tumbuh di tengah makin ketatnya persaingan sektor perbankan Indonesia.

Melalui brand baru ini, stakeholders yakin dapat segera melangkah ke tahapan implementasi berikutnya dengan lancar dalam membangun entitas bank baru hasil integrasi yang lebih kokoh dan maju, serta yang menjadi bank pilihan utama nasabah. Bagi CIMB Group, merger ini akan memperkokoh posisi dan meningkatkan prospek pertumbuhannya sebagai kelompok bisnis terkemuka di Asia Tenggara.

Persoalannya, jika perubahan nama benar-benar dilakukan sebuah institusi bisnis, apakah yang akan terjadi selanjutnya? Akankah konsumen beralih ke merek lain, tetap setia, atau lebih berhati-hati? Apakah perubahan nama lantas berarti perubahan produk, kualitas, dan reaksi dari konsumen? Belum tentu. Namun, inilah yang menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan.

Menurut Lisa Nuryanti, Managing Director Expands Consulting, saat ini banyak perusahaan baik besar maupun kecil yang berupaya meningkatkan penjualan dan memenangkan persaingan melalui berbagai strategi. Salah satu strategi yang banyak dilakukan akhir-akhir ini adalah rebranding.

Rebranding dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah mengganti nama, brand, atau merek. Penggantian nama secara penuh atau sebagian merupakan pilihan strategi yang disesuaikan dengan tujuan perusahaan. Salah satu tujuannya antara lain untuk membedakan produk dengan produk pesaing melalui keunikan memberikan nilai tambah bagi konsumen.

Biasanya suatu brand atau merek, lanjutnya, termasuk yang sudah sangat kuat sekalipun, suatu saat akan mengalami titik jenuh. “Apabila hal ini tidak diantisipasi sejak dini, akan terjadi penurunan, baik dari segi pendapatan maupun profit atau keuntungan,” katanya.

Apabila perusahaan menunggu hingga terjadi penurunan, bisa dikatakan perusahaan sudah terlambat untuk mengambil tindakan penyelamatan. Pada saat itu, katanya, diperlukan effort dan biaya yang luar biasa besar sehingga akan sangat memberatkan perusahaan.

Penggantian logo korporat sendiri merupakan sebuah tren yang muncul dewasa ini. Dahulu merek hanya dilekatkan pada produk, kini perusahaan pun mulai mengembangkan mereknya. Salah satu bentuknya adalah dengan pergantian logo. Seiring dengan proses merger dan akuisisi yang banyak dilakukan, akhirnya juga membuat kebutuhan akan logo baru sangat diperlukan.

Kendati demikian, Lisa juga mengingatkan tantangan rebranding. Sebab, melihat berbagai kasus mengenai rebranding, ternyata proses pelaksanaan rebranding tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pergantian ini sempat menjadi diskusi hangat para praktisi pemasaran. Ada yang pro maupun kontra. Pemberian merek memang bukan soal sembarangan. Penciptaan merek dapat diperoleh dengan memilih nama, logo, simbol, desain serta atribut lainnya.

Kenyataannya, menurut Amalia E. Maulana, Brand Consultant & Head of School, Marketing, Binus Business School, memang masih banyak pihak internal perusahaan yang secara enteng menerjemahkan rebranding ini seolah-olah hanya perubahan identitas brand (ganti logo, ganti stationery, dan semacamnya) dan perubahan komunikasi brand (perubahan iklan, perubahan website) saja. Padahal di dalamnya terkandung perubahan makna brand (ini dikenal dengan nama repositioning), yang membawa implikasi pada perubahan perilaku dalam melayani konsumen.

Cerita tentang perubahan yang digarap dalam rebranding, lanjut Amalia, haruslah believable dan meyakinkan, mengingat ada hal-hal yang harus dihapus atau diganti dari ingatan konsumennya. Proses rebranding tidak semata-mata ditujukan pada konsumen saja, tetapi pada seluruh stakeholders, termasuk orang-orang yang bekerja untuk brand itu sendiri, yaitu internal perusahaan.

Jika pada kalangan yang secara kesehariannya bekerja untuk brand sudah mempertanyakan "kemampuan cerita baru" yang ingin diproyeksikan perusahaan dalam rebranding, kebenaran itu akan segera dipertanyakan oleh pihak eksternal perusahaan dalam waktu singkat.

Menyelaraskan janji baru sebuah brand agar sejalan dengan kinerjanya bukan sesuatu yang mudah dan sambil lalu. Perlu ada sebuah tim yang bekerja khusus dalam proyek ini. Sosialisasi rebranding secara internal sama prosedurnya dengan pada saat perusahaan melakukan perubahan manajemen lain. Prinsip dan step-by-step "Managing Change" perlu diterapkan untuk memastikan proses internalisasi perubahan di dalam berlangsung mulus.

Konsistensi peningkatan mutu proses internal sebagai implikasi dari rebranding dan konsistensi dalam komunikasi ke eksternal pada setiap touch point perlu dijaga secara seksama. Keberhasilan rebranding adalah keberhasilan sebuah proses. Tanpa komitmen manajemen untuk menjaga konsistensi, akan terjadi banyak distorsi dalam pelaksanaanya, dan ini yang akan menjadi batu sandungan dalam proses perubahan itu sendiri.

Sekali lagi, rebranding bukan sekedar berganti logo. Tugas berat yang dipikul sebuah proses rebranding adalah memastikan bahwa repositioning yang merupakan agenda utamanya, berjalan dengan baik. Persepsi konsumen perlu digiring dengan menciptakan pengalaman baru yang lebih menyenangkan dalam berinteraksi dengan brand.

Ada banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan dalam rebranding. Kalau perusahaan belum siap secara internal untuk berubah, pikirkan lagi, apakah sudah tepat keputusan untuk rebranding. Risikonya sangat tinggi. Mengkomunikasikan perubahan berarti meningkatkan harapan konsumen. Tanpa peningkatan kinerja brand yang disesuaikan dengan 'benefit' baru yang dijanjikan, bukan tidak mungkin justru perubahan ini akan memicu munculnya kekecewaan konsumen yang merujuk pada slogan baru.

Memang tidak ada resep yang mengatakan bahwa perusahaan bisa berhasil jika berganti logo. Perubahan logo tidak akan berarti apa-apa apabila perusahaan tidak menjalankan nilai-nilai yang dimiliki perusahaan dengan baik. Studi kasus kali ini memaparkan beragam risiko mengganti merek dan cara mengelolanya.

Sumber :

Kafi Kurnia

Konsultan Marketing

“Sama dengan Ganti Kepribadian”

Sampai sekarang, banyak orang yang masih berpikiran bahwa brand adalah logo, nama. Padahal, brand itu sebenarnya bukan logo atau nama. Brand mirip dengan personality, kepribadian. Contoh yang paling gampang, apakah Anda merasa Dji Sam Soe ketinggalan jaman? Tidak. Karena ia berevolusi. Yang berevolusi bukan logo, tapi cara berkomunikasi, packaging, atau cara beriklan yang beda.

Jadi, yang sangat dominan adalah kepribadian. Nama atau logo tidak harus berubah. Rebranding juga tak mesti dilakukan. Dan, tantangan yang paling besar dalam melakukan rebranding sebetulnya bukan pada mengubah nama atau logo. Mengubah nama atau logo itu hanya soal penyesuaian.

Kalau produk sudah laku dan konsumen sudah menyukai, buat apa dilakukan rebranding. Gucci, Mercedes Benz, BMW, Louis Vitton, sekadar menyebut contoh, tak pernah melakukan rebranding. Mereka oke-oke saja, walaupun mereka adalah produk mewah.

Rebranding dilakukan kalau iklim bisnis dirasa sudah tidak sama lagi. Kompetisi sudah tidak sama. Contohnya, Toyota sudah tak punya Corolla, tapi kalau dilihat, Vios juga Corolla atau Soluna. Mereka mengganti produk, karena jamannya sudah berubah. Jadi, mereka merasa perlu juga menyesuaikan dengan selera dan perubahan yang terjadi pada konsumen. Kalau tidak berubah dan menyesuaikan dengan generasi sekarang, produk pasti tidak laku.

Mengganti merek motifnya banyak sekali. Mengubah haluan atau personality, mengganti target pasar, atau akuisisi dan merger. Akibatnya harus dilakukan rebranding. CIMB Niaga, contohnya. Satu harus ngalah. Ini merger dan akuisisi. Kalau baru ganti logo dan nama, belum tentu rebranding. Dapat dikatakan rebranding kalau sudah melakukan kegiatan terobosan baru di inovasinya.

Peluang dan risiko, rebranding itu risikonya besar. Kalau hanya mengganti nama dan logo tanpa exercise yang gila-gilaan, itu jauh lebih mudah. Tapi, kalau sampai mengganti personality, positioning atau target marketnya. Rebranding menggunakan skema yang lebih rumit. Kalau konsumen tidak bisa menangkap hal ini, proses rebranding dianggap gagal. Itulah sebabnya, rebranding sangat berisiko. Banyak produk yang melakukan rebranding, tapi malah gagal total.

Prosentase kegagalan ini tidak bisa dipastikan, karena pelaku maupun skalanya berbeda-beda. Rebranding bukan sesuatu yang diukur secara sistematis. Ada program rebranding yang bisa menghabiskan dana hingga miliaran rupiah. Ada yang total, berbalik arah, ada yang fine tuning saja.

Di Indonesia, exercise rebranding yang massif belum ada. Saya belum melihatnya. Akan sangat sulit mengatakan yang gagal yang mana. Karena mengganti logo dan nama belum bentu dibilang rebranding. Tapi kalau servis, produk, atau inovasi belum berubah, rebranding belum dapat dikatakan terjadi.

Rebranding sama saja dengan mengganti karakter. Dalam rebranding, semua yang sifatnya kosmetik, ganti logo dan nama itu gampang. Keberhasilan rebranding juga tergantung sama top management-nya. Tapi program sesungguhnya yang berat. Rebranding juga menyangkut performa dan kinerja produk maupun institusi bisnis.

Silih Agung Wasesa

Senior Associate Consultant Intermatrix Communications

“Kuncinya Konsistensi”

Landasan utama dilakukannya rebranding sebetulnya disebabkan adanya perubahan bisnis objective yang dimiliki oleh perusahaan. Perubahan ini bisa disebabkan internal, seperti perubahan visi dan misi, perubahan competitive advantage, serta ruang gerak merek. Bisa juga disebabkan oleh eksternal, seperti ekspektasi pelanggan, meningkatnya persaingan, dan kebijakan-kebijakan lain.

Secara garis besar, rebranding itu menyangkut perubahan nilai-nilai (merek) lama menjadi brand value yang baru. Bila dilakukan dengan benar, rebranding memiliki banyak keuntungan, misalnya meningkatkan semangat kerja karyawan, menjadikan kekompakan antar tim di satu perusahaan, membuat produk jadi memiliki nafas baru, peningkatkan nilai produk, perubahan persepsi terhadap produk dan perusahaan, hubungan yang lebih baik dengan stakeholder, dan peningkatkan buying power dari konsumen.

Pekerjaan ini sebetulnya tidak tergolong pelik. Yang jelas tantangannya cukup besar, karena dibutuhkan konsistensi kerja mulai dari tataran strategic hingga detail praktis yang sangat kecil. Mulai dari perubahan nilai merek hingga aplikasi warna dan bentuk di seluruh lini kerja perusahaan.

Energi yang dibutuhkan cukup banyak, dan harus konsisten. Kunci rebranding sebetulnya adalah konsistensi. Konsistensi antara aktualisasi nilai-nilai rebranding, aktivasi di lapangan, dan sinergi program internal dan eksternal untuk pelaksanaan rebranding.

Cara paling efektif melakukan rebranding adalah memahami seutuhnya tentang nilai-nilai merek baru, dan tahu pergeseran antara nilai merek yang lama dengan yang baru. Itulah sebabnya, sangat diperlukan brand audit terlebih dahulu. Tanpa melakukan brand audit, rasanya tidak mungkin untuk melakukan rebranding dengan efektif dan ideal.

Bagi konsumen, banyak sekali yang didaptkan dari rebranding. Pertama adalah spirit perubahan merek. Ini perlu agar konsumen tidak merasa bosan. Juga tidak dianggap jadul oleh lingkungan konsumen. Konsumen juga akan memiliki kebanggaan kalau mereknya mengalami rebranding. Dan yang paling penting, muncul keyakinan bahwa produk yang dibeli pasti memiliki fungsi yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Selain itu, rebranding dapat menjadi alat untuk akuisisi konsumen baru, terutama konsumen yang menganut nilai-nilai yang sama dengan merek baru tersebut.

Kendati demikian, risiko dengan mengganti merek cukup besar, yaitu ditinggalkan pelanggan lama, dan tidak dapat mengakuisisi pelanggan baru. Ini artinya, rebranding seperti bunuh diri terencana.

Kegagalan rebranding juga sering terjadi. Menurut beberapa riset, seperti yang diungkapkan oleh Einwiller, 2002, mengenai pengaruh rebranding pada corporate communication, kegagalan yang sering muncul adalah bagaimana menterjemahkan nilai-nilai merek baru kepada konsumen. Seringkali konsumen menyalahartikan nilai-nilai merek baru; sehingga tujuan rebranding justru tidak tercapai.

Bagaimana mengelolanya sehingga memberikan nilai tambah bagi perusahaan? Konsistensi dan pemahaman yang mendasar tentang nilai-nilai rebranding itu sendiri. Tampaknya sederhana, tapi butuh ketekunan yang mendalam untuk mengelola dua hal tadi. Untuk memastikan bahwa cita-cita rebranding tercapai, harus dilakukan riset pasca rebranding. Biasanya, setiap rebranding juga dibuat beberapa Key Performance Indicator (KPI) yang menunjukkan sukses tidaknya rebranding.

Untuk memacu kinerja brand agar disesuaikan dengan 'benefit' baru yang dijanjikan, kuncinya ada di aktivasi merek-merek baru dengan pola experiential learning, juga kombinasi kegiatan antara online, offline, juga off print and on print. Semuanya harus disinergikan dalam bentuk eksperiential, di mana konsumen bukan hanya melihat, tapi merasakan dan bahkan menyentuh langsung merek baru.

Dina Sutadi

Vice President Corporate Communication Group Head CIMB Niaga

“Perlu Konsistensi”

CIMB Niaga lahir dari proses merger antara Bank Niaga dengan LippoBank sebagai respon atas diberlakukannya Single Presence Policy oleh Bank Indonesia. Policy ini mewajibkan pemegang saham pengendali untuk menyesuaikan kepemilikannya pada bank-bank lain, melalui penjualan kepemilikan saham, pembentukan bank yang menjadi holding company, atau merger atau konsolidasi. Skema ini lebih dianjurkan oleh Arsitektur Perbankan Indonesia (API)

Rebranding ini tentu memiliki tantangan tersendiri. Karena itu, kami membentuk project team yang terdiri dari bagian legal, promosi produk, hingga berhubungan dengan cabang. Perubahaan ini menyangkut legal, brand identity, sampai pernak-pernik lainnya seperti formulir, kop surat, id card, promotion product, dan lain-lain. Hal ini kami lakukan di 654 cabang, yang tersebar di Indonesia.

Rebranding ini belum menjangkaui corporate culture, baru menyentuh tangible asset saja. Rebranding sejauh ini hanya mencakup masalah publication maupun yang berurusan dengan cabang atau hal lain yang ada logonya. Soal pelayanan harusnya juga tidak ada hubungan dengan rebranding juga. Itu masalah product and service. Tapi, soal pelayanan dan servis ini harusnya lebih bagus dari sebelumnya. Ini yang menjadi target manajemen.

Komunikasi pada nasabah dalam bentuk promosi aktivitas maupun kegiatan komunikasi lainnya terus dilakukan. Selain memperkenalkan ke luar, integrasi juga sudah disiapkan. Nasabah Lippobank sekarang bisa mengunjungi cabang CIMB Niaga manapun, karena proses integrasi sudah dilakukan, sehingga sudah bisa online di seluruh cabang.

Setelah menyelesaikan tahapan rebranding di cabang-cabang, baru kita memperkenalkan brand dan repositioning kita yang baru pada publik. Brand positioning penting kita sampaikan pada nasabah bahwa kita memiliki positioning yang beda dengan bank lain. Ini sedang kita siapkan.

Dengan logo, culture, dan visi misi baru bisa menjadi kekuatan kita untuk memberikan sesuatu yang menyegarkan bagi nasabah, apalagi dengan merger dua bank yang sehat dan berkinerja baik sehingga saling memberikan nilai tambah. Ada kesempatan untuk menjual sesuatu yang baru pada nasabah, antara lain produk, servis, dan positioning bank CIMB Niaga sendiri.

Rebranding ini tak ada gunanya jika tidak diimbangi dengan peningkatan performa, servis produk, serta marketing di lapangan. Semua ini akan mengangkat brand. Yang menentukan adalah masyarakat dan nasabah. Kita sebagai bagian dari komunikasi adalah berupaya memberikan komunikasi secara terpadu, akurasi, dan terus menerus. Dengan komunikasi, masayarakat lebih mengetahi kinerja kita.

Citra maupun reputasi baru, saya pikir juga bagian dari cita-cita rebranding. Dengan merger ini, CIMB Niaga telah menjadi bank regional, sesuai dengan visi kita untuk selalu memberikan inovasi secara terus menerus. Dengan meningkatnya menjadi bank regional, CIMB Niaga lebih go international.

Untuk memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan cita-cita rebranding, secara internal, kami memiliki tim khusus yang bertanggung jawab terhadap promosi dan aktivitas terkait dengan hal itu. Hal ini harus dilakukan secara konsisten. Dalam rebranding, yang paling penting adalah konsistensi. Itu tantangan yang harus dilakukan oleh tim, baik dari sisi promosi maupun product.

Jadi, perubahan logo tidak akan ada artinya jika tidak diiringi dengan eksekusi yang tepat. Mungkin saat logo pertama kali keluar, masyarakat menilai logonya jelek. Tapi seiring perjalanan waktu, perusahaan bisa memberikan performa yang baik, terus berinovasi, logo yang jelek tidak ada artinya, karena masyarakat telah menangkap esensi rebranding yang dibangun. Kita harap CIMB Niaga menjadi bank yang memiliki emotional brand dan melekat di hati para nasabah.

Tidak ada komentar: