Pembangunan industri pertahanan dan keamanan (hankam) bagi negara manapun kini merupakan sebuah keniscayaan. Bidang ini menjadi penting karena industri hankam menyediakan sumber daya yang dibutuhkan bagi pertahanan dan keamanan. Hal inilah yang menyebabkan di mana pun industri hankam menjadi strategis dan memberikan ruang yang besar bagi negara untuk melakukan intervensi. Sehingga setiap negara berusaha untuk mengembangkan industri hankamnya sendiri agar mandiri.
Sebagai produsen alutsista, PT Perindustrian Angkatan Darat (Pindad) memang tergolong unik. Pindad membuat produk hanya diperuntukkan semata buat satu konsumen, yakni Tentara Nasional Indonesia (TNI). “Kami tak bisa disamakan dengan industri otomotif lainnya. Tapi, kami tetap perlu strategi bagaimana bisa berkembang,” kata Direktur Utama PT Pindad, Adik Avianto Soedarsono.
Pihaknya memang bisa saja mengekspor produk untuk kebutuhan negara lain. Namun, lanjut Adik, biasanya negara pengimpor tanya, apakah negara sendiri menggunakan produk dimaksud. Karena itu, jika ada peluang baginya untuk menjual produk keluar, tuturnya, dasarnya harus dibangun dulu oleh TNI. Lebih dari itu, pihaknya juga harus memproduksi peralatan sesuai kebutuhan.
26 tahun beroperasi merupakan waktu yang tergolong cukup untuk membangun kemampuan sendiri, khususnya dalam memproduksi amunisi maupun alutsista. Karena itu, selalu up to date dengan perkembangan di luar senantiasa mutlak dilakukan. “Intinya, bagaimana semangat ini dibangun agar kita tak bergantung dari luar. Dengan semangat itu kita berusaha untuk punya kemampuan sendiri,” kata Adik.
Ketergantungan yang tinggi pada pihak asing terhadap peralatan dan produk hankam, selain menguras devisa juga akan mengandung kerawanan bagi kedaulatan dan pertahanan negara yang bersangkutan. Dalam perang teluk kemarin, ternyata sebagian peralatan militer Amerika tergantung pada komponen industri sipil buatan Jepang.
Untuk Indonesia, embargo terhadap peralatan dan jasa di bidang pertahanan dari Pemerintah Amerika Serikat cukup mengganggu kinerja sistem hankam kita. “Jadi, mau tidak mau Indonesia harus terus-menerus berusaha mengembangkan industri dan teknologi hankamnya sendiri secara mandiri,” tutur Adik.
INOVASI PRODUK & PEMBIAYAAN: Sebagai contoh, saat ini Pindad tengah menyelesaikan produk panser jenis Armored Personnel Carrier (APC) 6x6 pesanan Departemen Pertahanan (Dephan), yang diperkirakan selesai tahun ini. Penyerahan panser ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan jumlah unit yang telah diproduksi. Meskipun buatan dalam negeri, dari sisi kualitas panser produksi terbaru Pindad tidak kalah dibandingkan panser buatan luar negeri seperti Perancis.
Terobosan ini mendapat apresiasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyaksikan pelaksanaan serah terima 40 panser dari 154 panser antara Dephan dan Pindad, beberapa waktu lalu. Usai pidato dan peninjauan, SBY langsung menaiki Panser tersebut. Ia berdiri, melambaikan tangan, dan memberi acungan jempol untuk kendaraan tempur buatan dalam negeri itu.
Presiden SBY mengatakan, panser buatan Pindad tersebut merupakan prestasi gemilang putra dan putri bangsa. “Inovasi ini tidak kalah dari negara lain,” katanya. Keinginan agar TNI menggunakan produk dalam negeri sudah ia ungkapkan sejak 2005. Menurut SBY, jika industri strategis di dalam negeri bisa memproduksi, wajib menggunakannya, asalkan kualitasnya kompetitif dibanding impor. “Malu, jika kita harus mengimpor senapan atau sepatu dari luar negeri,” kata SBY.
Sedangkan untuk alat utama sistem senjata (alutsista) canggih yang belum bisa diproduksi, seperti pesawat tempur dan kapal selam, bisa dibeli dari negara lain. “Itu pun tidak boleh ada kondisionalitas,” katanya. SBY mengatakan, pembelian Alutsista harus didasarkan pada skala prioritas. “Jangan tiba-tiba beli,” kata SBY. Karena ini juga terkait bisnis, SBY juga meminta audit dilaksanakan agar sesuai standar.
Sampai saat ini Pindad terus berupaya meningkatkan diri untuk melengkapi berbagai kebutuhan logistik bagi TNI maupun Polri. Bahkan, menurut rencana, tidak lama lagi Pindad akan melakukan inovasi dengan membuat roket propelan dan ranjau pintar dasar laut dengan kemampuan daya ledak di atas TNT untuk TNI AL.
”Inovasi terus terus kami kembangkan dan tingkatkan. Ke depan kami akan mencoba meraih teknologi roket propelan, karena sekarang eranya roket,” kata adik. Namun demikian, kata dia, selama ini untuk memasok kebutuhan bahan dasar, baik senjata, amunisi maupun peralatan tempur lain, beberapa komponen harus didatangkan dari beberapa pabrik di luar negeri seperti Korea, Thailand, dan Belgia. Pihaknya juga bekerja sama dengan beberapa negara untuk pengadaan bahan baku tersebut agar tidak ada ketergantungan terhadap satu negara.
Menurut Adik, panser buatan Pindad memiliki spesifikasi yang sama dengan produksi luar negeri, baik dari bahan baku maupun kemampuan di medan tempur. Namun, dari sisi harga, panser buatan dalam negeri jauh lebih murah. Sebagai gambaran, panser buatan luar negeri harganya bisa mencapai Rp13 miliar per unit, sedangkan produksi dalam negeri harganya hanya Rp6 miliar hingga Rp7 miliar per unit. “Jadi, ada penghematan dana yang cukup besar," katanya.
Yang membanggakan, inovasi Pindad di bidang persenjataan beberapa kali menyita perhatian publik internasional. SS-2 (Senapan Serbu-2) beberapa kali menang dalam ajang pertandingan Internasional. Di Brunei Darussalam anggota TNI yang memakai SS2-V4 berhasil mengalahkan angkatan bersenjata Brunei, Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina, dan negara ASEAN lainnya yang memakai senapan serbu jenis M16 buatan Amerika dan AK buatan Rusia.
LINGKUNGAN INOVATIF: Dengan inovasi, Pindad mampu memproduksi dan mengembangkan produk alutsista sesuai keperluan. “Untuk survive, kita harus inovatif, baik produk maupun proses. Kemampuan karyawan harus terus berkembang,” kata Adik. Sebab, lanjutnya, fasilitas yang baik dan SDM yang berdedikasi tinggi dengan inovasi-inovasi yang dilakukan secara terus menerus, akan menghasilkan produk-produk prasarana yang inovatif dan kompetitif.
Untuk itu, lanjutnya, peran pemimpin dalam mengembangkan kultur inovatif sangat vital. Kemampuan terobosan, menjalankan bisnis as usual, atau menghasilkan temuan-temuan baru bergantung pada top management. Menurut Adik, “Dia harus capable, baik secara teknologi maupun network. Karena bisnis ini tidak sendiri, tentu dia tak bisa jalan sendiri.”
Beberapa perusahaan tertentu sering kali susah mengalami inovasi. Pindad juga sempat mengalami hal serupa, karena kemampuan penguasaan teknologi yang terbatas. Karena itu, Adik segera meminta dukungan dari institusi terkait. “Waktu bikin panser yang tak kuat nanjak, saya ke Perancis dan Jerman, minta dukungan. Masalah harga masih bersaing dengan industri alutsista dunia,” katanya.
Hambatan lainnya dalam berinovasi, menurut Adik, adalah tidak adanya kepercayaan. “Orang tidak percaya kalau kita mampu. Padahal, kalau memang diberi kesempatan, saya bisa mengusahakan,” katanya. Karena itu, pihaknya tidak memiliki kesempatan untuk melakukan eksperimen maupun mengasah kemampuan.
"Negara lain kalau mau bikin alat, ditanya kesanggupannya seperti apa, bisa diusahakan tidak. Sementara di Indoneia tidak. Kalau tidak bisa, beli sama dari luar atau impor,” tutur Adik mencontohkan. Padahal, lanjutnya, jika kesempatan dan dana diberikan padanya, ia yakin bisa. Memang blm bisa mencapai angka 100%, “tapi learning curve saya akan menuju ke sana. Saya mau bikin banyak inovasi produk, sehingga market saya di TNI tambah besar,” ujar Adik, menambahkan.
Untuk merebut kepercayaan tersebut, Adik lantas memotivasi dan menggerakkan anak buahnya dan memberikan kesempatan lebih banyak pada mereka untuk melakukan percobaa-percobaan sehingga mampu menghasilkan inovasi handal. “Kita harus buktikan kalau mampu. Kapabilitas teknologi, kemampuan akademis, lembaga riset pemerintahannya, memberikan dana untuk pelatihan, itu yang harus dibangun,” katanya.
Membangun lingkungan yang senantiasa membuka lebar-lebar terhadap tumbuh kembangnya budaya inovasi, menurut Adik, juga seharusnya dipacu oleh pemerintah. “Kalau pemerintahnya kuat, penguasaan teknologi bisa dilakukan dengan pemberian fasilitas, penguatan riset dan pengembangan, hingga pemberian beasiswa,” katanya. Kelak, lanjutnya, kemampuan dan kepintaran yang dimiliki bisa diaplikasikan di dunia persenjataan.
Inovasi sebagai kultur dan budaya kerja, menurut Adik, senantiasa terus dikembangkan. Usaha yang dilakukan adalah senantiasa melakukan eksperimentasi terhadap produk, melakukan riset dan pengembangan, dan tentunya kesempatan. Apalagi, pembelajaran teknologi ternyata merupakan proses besar yang dinamis, butuh waktu, biaya, dan tidak terjadi secara otomatis.
Karena itu, ia berharap, pemerintah tidak lagi memandang Pindad sebagai perusahaan pemasok senjata. “Tapi memandang kita sebagai bagian dari sistem yang harus dibina,” katanya. Untuk perang, perlu peluru, dan pelurunya harus ada yang membuatkan. Dan, membuat senjata seperti yang diinginkan, lanjutnya, perlu waktu dan tidak bisa dibuat secara mendadak.
Selain mengharapkan adanya keberpihakan dengan cara memberikan kesempatan, Adik juga memerlukan sinergi antara instansi pemerintah. Sebab, lanjutnya, energi yang diperlukan untuk mengurusi birokrasi kadang lebih berat. Jika tidak, pilihannya hanya ada dua, mau berkembang dengan inovasi atau tetap tertinggal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar