Kredit macet. Indeks bursa anjlok. Kenaikan suku bunga. Inflasi. Rush.
Krisis global. Kata-kata ini menghiasi tajuk-tajuk utama media-media
massa maupun elektronik belakangan ini. Dampaknya, orang maupun perusahaan jatuh ke dalam utang. Lembaga pemberi utang pun menangguk untung.
Apa pemicu terjadinya krisis global ini? Kalau kita telisik lebih dalam, pailitnya beberapa lembaga keuangan internasional yang mengelola uang publik dalam jumlah sangat besar merupakan faktor utama penyebab krisis. Banyak orang di dunia pun panik. Lebih jauh lagi, penggerak utama kepanikan yang merontokkan lembaga-lembaga tersebut adalah utang-utang yang tidak terbayar alias macet.
Lembaga-lembaga keuangan internasional ini berstransaksi dengan mengandalkan kontrak-kontrak berbasis utang piutang. Mereka mengumpulkan dana dalam jumlah besar dengan cara berutang kepada publik/masyarakat lalu dana yang terkumpul sebagian besar dibisniskan dengan cara dipiutangkan ke pihak lain, bisa perusahaan bisnis, pemerintah, ataupun rumah tangga. Tujuan penggunaan piutang tersebut oleh pihak lain tadi boleh jadi untuk tujuan komersial/bisnis pula maupun untuk keperluan konsumtif. Tak jarang, sering pula untuk menutup utang lain yang sudah jatuh tempo.
Konsep bisnis seperti ini sudah sangat mendunia. Mayoritas transaksi komersial dilakukan dengan kontrak utang piutang. Orang melakukannya, mulai dari transaksi-transaksi besar yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau pemerintah hingga belanja kebutuhan sehari-hari rumah tangga, dengan melibatkan utang dari lembaga keuangan komersial. Sering kali kita melihat begitu gencarnya lembaga-lembaga keuangan komersial mempromosikan berbagai macam produk transaksi keuangan baik berupa penyimpanan dana di lembaga tersebut maupun fasilitas-fasilitas kredit.
Buy now, pay later. Begitulah konsep yang berkembang dan menggoda hasrat masyarakat untuk membelanjakan uangnya. Tidak heran kalau banyak rumah tangga perkotaan yang anggaran belanjanya dihiasi dengan pengeluaran berbagai cicilan kredit, seperti cicilan KPR, kredit mobil/motor, kredit beli gadget/HP, cicilan kartu kredit atau kartu belanja, plus cicilan arisan.
Memang, di sisi funding (pembiayaan), bank menawarkan berbagai produk yang beragam bagi nasabah. Produk ditawarkan mulai dari kredit untuk kegiatan konsumtif hingga kredit yang ditujukan bagi kegiatan produktif. Bahkan untuk meng-cover kebutuhan nasabah secara perorangan maupun kelembagaan, beberapa kredit bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan, baik konsumtif maupun produktif.
Bagi pebisnis yang tak memiliki cukup dana sendiri untuk memulai atau mengembangkan usaha sudah pasti mencari sumber pendanaan, dari bank salah satunya. Pilihan pertama tentunya bagi bank yang menyediakan kredit khusus bagi usaha produktif skala kecil dan menengah (UKM). Berbagai bank memiliki produk tersebut dengan berbagai nama, namun pada intinya sama. Sebut saja Bank Negara Indonesia (BNI) dengan produk Kredit Wirausaha. Adapula Bank Mandiri dengan kredit bagi usaha mikro dan kredit bagi usaha kecil. Bahkan ada bank yang memberikan kredit khusus bagi peluang bisnis tertentu, seperti waralaba dan sebagainya.
Selain itu, pebisnis juga memiliki pilihan jenis pembiayaan lain, seperti kredit multiguna. Sesuai namanya, bank menawarkan kredit multiguna ini untuk dimanfaatkan oleh nasabah sesuai kepentingannya. Tak terkecuali jika nasabah ingin menggunakannya untuk keperluan bisnis. Fasilitas serupa juga bisa didapatkan melalui produk Kredit Tanpa Agunan (KTA). Bahkan produk ini akan lebih menolong bagi pebisnis yang tidak memiliki atau tidak mau memberikan agunan bagi kredit.
Melihat berbagai manfaat dan peluang kredit atau pinjaman yang ditawarkan lembaga keuangan, tak mengherankan jika kredit perbankan pada 2008 lalu tumbuh 30 persen, lebih pesat dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 22 persen karena pertumbuhan pasar kredit semakin baik, makin turunnya tingkat suku bunga bank, apalagi sektor riil mulai bergerak.
Pada 2009, Bank Indonesia (BI) memperkirakan bahwa pertumbuhan kredit mencapai rata-rata 15,6 persen untuk masing-masing bank. Sebelumnya BI memprediksi pertumbuhan kredit 2009 akan mencapai 18 persen hingga 20 persen. Data itu diambil dari laporan perbankan kepada BI. “Seluruh bank sudah menyampaikan rencana kerja, pertumbuhan kredit angkanya hampir mendekati 16 persen,” kata Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad, beberapa waktu lalu. Menurutnya, kredit tertinggi berasal dari kredit usaha mikro, kecil dan menengah yaitu rata-rata 20 persen. Ini memberikan harapan bagi UMKM sebagai penyangga perekonomian.
Di sisi lain, tren penggunaan kartu kredit di kalangan masyarakat terus meningkat dari waktu ke waktu. Dari data Statistik Perbankan Indonesia pada Januari lalu, sebagaimana dikutip dari situs BI, total kredit yang ditarik lewat aksi gesek menggesek ini tercatat Rp 59,902 triliun. Sementara pada Desember 2008, jumlahnya Rp 59,403 triliun.
Penarikan kredit terbesar, pada bulan itu, terjadi di bank umum sebesar Rp 29,937 triliun. Angka ini relatif lebih tinggi jika dibandingkan sebulan sebelumnya Rp 29,701 triliun. Sementara peringkat kedua adalah bank asing sebesar Rp 13,297 triliun, naik dari posisi sebelumnya Rp 13,287 triliun. Selanjutnya adalah penarikan dari bank umum swasta nasional devisa sebesar Rp 9,203 triliun, turun dari posisi sebelumnya Rp 9,501 triliun.
Tren ini disusul penarikan utang dari bank-bank persero yang mencapai Rp 5,131 triliun, naik dibandingkan posisi akhir tahun 2008 sebesar Rp 4,652 triliun. Sedangkan dari bank campuran dana yang ditarik tercatat Rp 2,304 triliun dari Rp 2,259 triliun dan bank pembangunan daerah dengan jumlah yang stagnan sebesar Rp 3 miliar.
Ironisnya, kendati pertumbuhan kredit menunjukkan angka kenaikan, kredit macet dan permodalan bank menjadi problem utama tahun ini. Bank Indonesia melihat risiko di dunia usaha tahun ini cenderung meningkat. Kondisi ini tercermin dari naiknya kredit bermasalah (non performing loan/NPL), termasuk kredit-kredit macet. Sepanjang Januari 2009, dari data kredit bank umum berdasarkan hubungan dengan bank yang dikutip dari Data Statistik Perbankan Indonesia, jumlah kredit kepada pihak tidak terkait turun dari Rp 1.298,1 triliun menjadi Rp 1.280,5 triliun.
Sebulan berikutnya, tingkat kredit macet (NPL) tercatat naik 0,1 persen menjadi 4,3 persen (gross). Kenaikan kredit macet lebih dikarenakan kondisi perekonomian. “Hampir semua sektor naik karena ini lebih banyak masalah ekonomi daripada sektoral,” ujar Direktur Penelitian dan Perbankan BI, Wimboh Santoso, beberapa waktu lalu. Tak seperti kinerja perbankan, lanjutnya, kredit macet tak mengenal siklus.
Namun, tingkatnya relatif lebih rendah di akhir tahun seiring penghapusan kredit macet oleh perbankan. Wimboh menilai kondisi ini masih aman. “Masih oke, belum berbahaya,” ujarnya. Tapi dia berharap tingkat kredit macet pada Maret lalu dapat turun. Dia mengaku beberapa bank telah meminta restrukturisasi dini terhadap kredit macetnya yang belum masuk kategori macet itu. Namun, Wimboh tak memerinci jumlah perbankan yang telah mengajukan permohonan restrukturisasi. “Tidak ada masalah, silakan saja,” ucapnya.
Yang menarik, selain menjadi media penarikan kredit yang tinggi, transaksi yang dilakukan melalui kartu kredit juga memiliki kredit bermasalah tertinggi. Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad mengemukakan bahwa angka kredit bermasalah (NPL) kartu kredit masih menjadi penyumbang terbesar angka total NPL industri perbankan nasional, yaitu mencapai 10,92 persen. “Sepanjang 2008, rasio NPL gross industri mengalami penurunan 0,96 persen menjadi 6,1 persen,” kata Muliaman, beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan bahwa saat ini memang terjadi tren kenaikan NPL di hampir seluruh sektor industri termasuk industri manufaktur dan pertambangan akibat pengaruh krisis keuangan global. Namun, untuk sektor properti, NPL gross justru turun 0,6 persen menjadi 3 persen seiring megngeliatnya ekonomi dari industri properti.
Mengingat tren kenaikan NPL ini, Direktur Utama Risk Management Center Indonesia (RMCI), Widigdo Sukarman, mengatakan, manajemen risiko dalam perbankan nasional sebaiknya dilaksanakan karena Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi yang cukup dahsyat di 1997. “BI akan menerapkan manajemen risiko guna memenuhi syarat Basel II pada 2010 mendatang, namun sebaiknya penerapan ini segera dilakukan karena kita pernah mengalami krisis pada 1997,” kata Widigdo, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, manajemen risiko di bisnis perbankan mutlak adanya, terutama perlu sumber daya manusia (SDM) yang handal guna mengelola bank untuk mencapai target-target yang direncanakan dan menghadapi risiko yang dihadapinya. Dia juga mengungkapkan bahwa arah penerapan manajemen risiko di lingkungan perbankan masih menjadi satu kendala bagi praktisi perbankan.
Melihat realitas ini, RMCI, yang merupakan yayasan nirlaba yang dibentuk BI, akan selalu mensosialisasikan manajemen risiko dan penerapannya di industri perbankan dan terus berupaya mendorong praktisi perbankan dalam mengatasi berbagai kendala yang dihadapinya. Berbagai kendala dan paparan solusi manajemen risiko di industri perbankan secara komprehensip dan tahap demi tahap juga disebarluaskan. Mulai dari pendekatan perhitungan, pelaksanaan, kebijakan, SOP (standard operation prosedure), metode modelling, pengelolaan data, hingga persiapan sistem informasi.
Di lain pihak, sebaiknya pemilik utang baik perorangan maupun kelembagaan juga perlu memperhitungkan untung rugi sebelum memutuskan untuk meminjam uang lewat produk pilihan di antara berbagai produk tawaran bank. Semakin mudah urusan kredit tanpa disertai jaminan misalnya, biasanya bank akan mematok suku bunga lebih tinggi. Begitu juga semakin panjang masa kredit, maka orang akan membayar bunga semakin besar. Pastikan bahwa produk yang dipilih memang solusi terbaik bagi perkembangan keperluan bisnis maupun kebutuhan Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar