Maksud hati mengurai benang kusut dan membersihkan diri dari noda, apa daya air bacin terciprat ke muka sendiri. Begitulah ungkapan mengenai gagalnya peran dan fungsi komunikasi korporat yang belakangan kita jumpai di Indonesia. Salah satu yang teranyar, adalah kasus perseteruan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional dengan pasiennya, Prita Mulyasari.
Upaya RS Omni Internasional untuk menjaga reputasinya dengan menuntut Prita Mulyasari, yang dianggap telah mencemarkan nama baik rumah sakit, ternyata malah berbalik arah. Alih-alih tuntutan itu dikabulkan oleh pengadilan, yang terjadi justru rumah sakit tersebut mesti menghadapi serangan bertubi-tubi dari berbagai pihak, para blogger yang merasa “satu suku” dengan Prita, pengurus Ikatan Dokter Indonesia yang berusaha menegakkan kehormatan profesi, para politikus yang berusaha merebut simpati publik, maupun pihak-pihak lain.
RS Omni Internasional akhirnya tersudut di pojok ring pertarungan, sedangkan Prita dibebaskan oleh majelis hakim. Dalam situasi keberpihakan publik dan pihak-pihak lain yang “mencuri” keuntungan dari perselisihan ini, benar dan salah dalam pertikaian ini menjadi kabur.
Kasus seperti ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, baik di perusahaan bertaraf modern hingga yang baru berdiri. Termasuk di perusahaan Anda atau tempat Anda bekerja sekalipun. Karena itu, pendekatan komunikasi melalui peran dan fungsi public relations menjadi elemen penting dalam agenda membangunkan kerja sama dan kesepahaman antara perusahaan dengan publik.
Praktisi Public Relations senior, Ahmad Fuad Afdhal mengasosiasikan kasus ini tak ubahnya sebuah konflik dalam rumah tangga. “Secara kasar, sebelum kita keluar, rumah tangga kita bereskan dulu. Bagaimana bicara banyak di luar, tapi di dalam tidak didukung. Kalau sudah ke luar, persoalan jadi lebih kompleks” katanya kepada Inspire. Komunikasi di dalam, lanjutnya, harus lancar, berkesinambungan, dan melibatkan banyak pihak, mulai level teratas sampai ke level kepala seksi di pabrik dengan anak buahnya, baik menyangkut pekerjaan termasuk di luar pekerjaan.
Antar Venus, Dosen Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, yang juga pakar komunikasi publik menambahkan, inilah urgensinya perusahaan memiliki kepekaan terhadap perkembangan situasi. Ketika situasi berubah, maka pendekatan juga berubah. Dalam kondisi di mana masalah yang dihadapi menjadi isyu publik dan korban mendapat dukungan publi, lanjutnya, seharusnya langkah yang dilakukan adalah dengan berdialog dan menyamakan persepsi tentang masalah yang terjadi guna mencari jalan terbaik dan kekeluargaan.
“Ini adalah cara komunikasi. Cara paling murah tapi jarang disadari sebagai cara yang murah tapi powerful dalam mencari titik temu,” katanya. Bila cara yang ditempuh adalah dengan berhadap-hadapan atau menggunakan pendekatan hukum, tuturnya, maka risikonya akan sangat besar dan mahal. Efeknya bahkan dapat mempengaruhi keberlangsungan perusahaan.
Tak jauh berbeda dengan Antar Venus, praktisi public relations yang juga CEO Hotline Advertising, Subiakto Priosoedarsono mengemukakan, konflik juga berawal dari isyu yang tak dikelola dengan baik, sehingga membenturkan kelompok yang pro maupun kontra. “Konflik hanya akan terjadi apabila ada salah satu pihak dari dua pihak yang memiliki interaksi dan ketergantungan yang tinggi, merasa dihalang-halangi atau dirugikan oleh pihak lain,” katanya.
Efek yang lebih jauh, lanjut Subiakto, apabila konflik tidak di-manange dengan ‘non zero sum’ game atau win-win solution, maka akan terjadi krisis. Krisis adalah keadaan yang tidak stabil, mengandung perubahan yang mendasar menuju keadaan yang lebih baik atau lebih buruk, dan mengakibatkan keadaan yang tak menentu atau chaos.
Kerusakan bisa saja sudah terjadi, apalagi berbagai pihak merasa punya kepentingan yang sama. Kendati demikian, bukan berarti jalan keluar telah buntu. “Duduklah berembuk dengan baik dan kepala dingin, cari titik temu. Seperti halnya penyakit, persoalan pasti ada obat atau jalan keluarnya,” kata Fuad.
Diskusi mengenai kasus ini tidak dimaksudkan untuk menganalisis, apa lagi menyimpulkan, pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Tinjauan studi kasus ini lebih diarahkan pada bagaimana perusahaan seharusnya menangani (handling with) isyu yang dianggap merugikan perusahaan.
***
Antar Venus
Ketua Jurusan Manajemen Komunikasi UNPAD
“Peka Dengan Perubahan”
Menurut saya, perusahaan seharusnya peka pada perkembangan situasi. Lakukan fact finding, untuk menemukan atau mengidentifikasi masalah sebenarnya, termasuk konstelasi masalah yang dihadapi. Ketika situasi berubah maka pendekatan juga berubah. Menggunakkan pendekatan komunikasi lebih efektif dalam memperbaiki dan meluruskan masalah dan memperbaiki persepsi publik yang diasumsikan negatif.
Seandainya ketika situasi belum menjadi krisis komunikasi, sebenarnya kasus lebih mudah di-handel karena hanya melibatkan satu sumber penyebar informasi. Dalam kaitan tersebut, sumber bisa diajak dialog, guna meluruskan masalah dan akhirnya mungkin secara sukarela sumber akan membuat surat perbaikan yang akan dia tembuskan juga kepada teman-temanya.
Petakan pihak-pihak yang menyudutkan. Sampaikan penjelasan tertulis dan kalau perlu diundang perwakilan mereka untuk membicarakan aspek ini secara tatap muka. Yang terjadi sekarang adalah komunikasi yang bertambah keruh karena melalui media massa, dan pelibatan berpagai pihak. Keterlibatan mereka tidak membuat suasana menjadi sejuk, malah lebih panas.
Tiap orang memang punya kepentingan dengan berbagai isyu yang berkembangan. Kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional, misalnya, melibatkan isyu dominasi dan ketidakadilan dan perlakuan tidak sewenang-wenang. Kasus semacam ini bila muncul akan memiliki daya tarik dan daya libat yang tinggi. Berbagai orang dengan kepentingan masing-masing ingin terlibat. Biasanya mereka lebih cenderung membeli yang lemah, karena simpati seperti ini yang layak mendapat pujian publik.
Jadi perusahaan harus menggunakan pendekatan dan informatisasi pada pihak-pihak yang terlibat tentang fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi. Pada konteks ini harus didentifikasi siapa saja yang penting terlibat, dan jenis informasi apa yang dibutuhkan mereka. Pendekatan harus menggukan cara yang personal, bisa dengan mengundang mereka berdialog atau setidaknya melakukan kunjungan ke tempat pihak-pihak yang terlibat.
Cara komunikasi adalah cara yang terbaik. Setiap kasus, bila didekati dengan pendekatan komunikasi yang terbuka disertai semangat mencari titik temu, maka berbagai masalah sebenarnya bisa diatasi. Cara komunikasi ini banyak jalurnya, mulai dengan cara mediasi hingga negosiasi. Dengan berkomunikasi, kita juga sebenarnya melakukan ‘lokalisasi masalah’ sehingga kasusnya tidak akan berkembang luas. Dengan demikian, langkah hukum adalah langkah yang ditempatkan paling terakhir.
Opini publik tercipta karena miskomunikasi yang terjadi. Maka lakukan informatisasi masyarakat melalui berbagai saluran yang selama ini membentuk opini publik tersebut. Susun dan sampaikan segala data yang ada. Gunakan media massa, dan berbagai saluran lainnya agar fakta tersosialisasi. Kalau kita yakin benar, maka pihak yang berseberangan bisa diajak berdialog untuk secara bersama mencari penyelesaian. Kebenaran tetap harus dikemukakan kepada berbagai pihak yang berkepentingan.
Ini artinya kita berusaha asertif, menyampikan kebenaran tanpa perlu ada yang tersingung atau terancam. Bila masyarakat telah memiliki data atau informasi yang valid tentang apa yang terjadi, maka mereka akan bersikap rasional. Opini publik sendiri relatif bersifat cair, masih mudah direkayasa.
Perlu komunikasi dialogis yang bersifat ‘melibatkan’, dua arah, menyampaikan beberapa fakta seputar peristiwa, berotrientasi pada pemecahan masalah. Pelibatan dalam hal ini mencakup semua pihak yang yang telah terjun secara langsung dalam kasus ini. Komunikasi dua arah berarti kita berusaha untuk memahami sudut pandang orang lain tentang kasus tersebut.
Menyampaikan fakta berarti upaya melakukan informatisasi terhadap konsumen. Termasuk mungkin bila terjadi kesalahan treatment terhadap pasien, atau prosedur. Tentu saja pengakuan ini harus ditangani secara hati-hati dan menggukan pendekan positif+negarti+positif. Sampikan bahwa reputasi perusahaan selama ini baik (+), tapi misalnya tidak terlepas dari kesalahan sebagai manusia biasa (-), tapi kami berupaya melakukan perbaikan terus menerus untuk memastikan standar pelayan yang prima (+) .
Jadi, mengakui terjadi kekeliruan (bila benar) adalah cara yang baik untuk menghindari masalah menjadi bencana yang lebih besar. Misalnya tentang ‘maksud’ melapor kepada aparat hukum, jelaskan bahwa maksudnya seberanya bukan untuk menghukum, tapi melapor pada pihak yang berwenang semata. Orang selalu siap menerima fakta yang masuk akal. Dan akan menaruh hormat karena kejujujan kita itu. Itulah sebenarnya harga yang harus dibayar untuk mengembalikan reputasi.
Saya yakin, cara komunikasi dapat menyelesaikan berbagai masalah. Namun demikian, pada situasi tertentu di mana persoalan sudah tidak terkendali, maka menempuh cara hukum adalah alternatif yang dapat dilakukan bila kita dalam posisi benar. Tapi ini pun sebenarnya hanya untuk membawa orang kembali ke meja dialog atau perundingan.
Subiakto Priosoedarsono
Chief Executive Officer Hotline Advertising
”Keluar dari Jalur Hukum”
Sebelumnya, saya ingin memberikan dasar pemikiran yang benar tentang isyu. Isyu itu adalah berita apa saja; good news atau bad news, yang dilempar ke publik melalui media. Berita mana akan membelah publik menjadi dua kelompok. Kelompok yang pro dan kontra.
Kalau isyu ini tidak di-manage dengan baik, dan kelompok yang kontra melakukan perlawanan maka akan terjadi konflik. Konflik hanya akan terjadi apabila ada salah satu pihak dari dua pihak yang memiliki interaksi dan ketergantungan yang tinggi, merasa dihalang-halangi atau dirugikan oleh pihak lain. Misalnya, dalam konflik rumah tangga sering terjadi karena suami atau istri sama-sama memiliki interaksi dan interdependensi yang tinggi.
Apabila konflik tidak di-manange dengan ‘non zero sum’ game atau win-win solution, maka akan terjadi krisis. Krisis adalah keadaan yang tidak stabil, mengandung perubahan yang mendasar menuju keadaan yang lebih baik atau lebih buruk.
Apabila krisis tidak di-manage dengan dua tawaran; berubah kelakuan atau berubah status, maka krisis akan berkembang menjadi chaos. Chaos adalah keadaan yang tidak menentu, tidak ada hukum yang berlaku. Satu-satunya hukum yang berlaku adalah pihak yang tampil dengan kekuatan besar, seperti teroris menggunakan bom untuk menciptakan keadaan chaos.
Dalam hal persoalan antara RS Omni Internasional dengan Prita Mulyasari sebagai contoh kasus, buruknya pelayanan RS Omni Internasional kepada Prita Mulyasari awalnya merupakan insiden antara rumah sakit dengan pasiennya. Dan ini merupakan hal-hal yang biasa terjadi dan biasanya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Ketika isyu tersebut dilempar oleh Prita melalui email ke beberapa temannya, ternyata berkembang menjadi isyu yang membentuk opini yang pro terhadap Prita dan kontra terhadap Omni.
Karena Prita sebagai pasien dan Omni sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan dalam posisi sedang berinteraksi dan ketergantungan yang tinggi satu sama lain, maka terpenuhilah syarat terjadinya konflik. Namun, pihak Omni tidak menawarkan ‘non zero sum’ atau mudahnya win-win solution. Atau istilahnya, gue menang dikit, lo menang dikit. Tapi, malahan menawarkan ‘zero sum’ (gue menang, lo kalah) dengan melakukan gugatan hukum atas pencemaran nama baik, yang mengakibatkan Prita dimasukkan tahanan dan menjadi pihak yang teraniaya. Langkah fatal yang dilakukan pihak Omni adalah menggeser kasus Prita dari ranah opini ke ranah hukum.
Ketika isyu tentang penahanan Prita oleh beberapa temannya dimasukkan ke dunia maya, ternyata berkembang menjadi isyu yang membentuk perlawanan terhadap Omni. Pada titik ini seharusnya pihak Omni merubah kelakuan dengan menawarkan ‘non zero sum’ kepada pihak Prita sebelum terjadi ‘blocking stake holders’.
‘Blocking stake holders’ telah terjadi. Opini telah terbentuk. Simpati telah berpihak kepada satu sumber. Keadaan jadi semakin rumit untuk di-manage. Seharusnya, perusahaan harus membatalkan tuntutan hukum dan kembali ke ranah pembentukan opini.
Jika situasi telanjur bertambah merugikan perusahaan, maka perusahaan harus keluar dari ranah hukum dan menyelesaikan kasus di luar pengadilan untuk pembentukan citra di mata publik.
Sekalipun yakin benar, yang dilakukan perusahaan bila kemudian opini publik berpihak kepada pihak yang berseberangan adalah melakukan pendekatan ‘the truth well told’ melalui media. Selain itu, strategi dan peran public relations di sini menjadi penting diterapkan agar agar reputasi perusahaan tidak justru menjadi buruk. Misalnya, dengan melakukan program Corporate Social Responsibility (CSR), dengan memberikan layanan gratis bagi kaum miskin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar