Penerapan Good Corporate Governance menjadi tuntutan sebagai perusahaan modern. Kendati demikian, dunia usaha belum merespon secara positif mengenai prinsip tata kelola perusahaan yang baik ini. Benarkah mempraktikkan tata kelola perusahaan yang baik menjadi dilema?
Belakangan ini, jangan coba-coba Anda memberanikan diri untuk main suap, main belakang, patgulipat, atau berbagai praktik tak senonoh lainnya di dunia usaha. Harap maklum, khususnya bagi perusahaan yang telah menerapkan good corporate governance atau GCG, motif atau praktik seperti itu senantiasa diharamkan dalam mengembangkan bisnis. “Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan,” kata Tanri Abeng, Komisaris Utama PT Telkom Tbk.
Memang demikianlah GCG memandu dunia usaha menerapkan praktik bisnis yang sehat. Bagi perusahaan yang secara konsisten menerapkan GCG, kecenderungan perilaku yang di jaman dulu lazim dilakukan kini menjadi terasa aneh. “Hal tersebut karena kita harus melaksanakan prinsip-prinsip utama GCG, semua pedoman perilaku, serta sistem keuangan operasi yang terpadu, seperti yang tercantum dalam Pakta Integritas," kata Direktur Utama PT Bakrie Telecom Tbk. Anindya N. Bakrie.
Sejak September 2006 lalu, Bakrie Telecom memang mencatatkan diri sebagai perusahaan swasta pertama yang menandatangani Pakta Integritas dalam rangka penerapan tata kelola perusahaan yang baik. Pakta Integritas adalah pernyataan atau janji tentang komitmen untuk melaksanakan segala tugas, kewajiban, dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bakrie Telecom melaksanakan tata kelola perusahaan yang bersih, transparan dan profesional, diawali dengan mencatatkan perusahaan di Bursa Efek Jakarta pada awal Februari 2006, dan membentuk komite audit sebagai implementasi pelaksanaan tata kelola tersebut. “Pencatatan di Bursa Efek dan Penandatangan Pakta Integritas menjadi satu upaya terpadu mewujudkan tekad kami membentuk dunia usaha yang etis berlandaskan prinsip bersih, transparan dan profesional,” katanya Anindya.
Dinamika usaha dewasa ini menuntut setiap pelaku bisnis untuk lebih peduli pada moralitas, di samping memiliki perhatian terhadap kondisi masyarakat maupun kondisi global termasuk etika berbisnis. Karena itu, Tanri Abeng menyebut GCG sebagai bagian dari sistem tata kelola secara umum. Jika sebuah badan usaha tidak memasukkan elemen ini, lanjutnya, manajemen dari badan usaha itu tidak punya fondasi yang solid, sebagai acuan untuk bergerak maju.
Lantas, siapakah pendorong sekaligus pelaksana utama penerapan GCG? Chairman Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) Mas Ahmad Daniri merinci tiga pilar utama yang menjadi penentu penerapan GCG, yaitu dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat. Menurutnya, dunia usaha sebagai pelaku bisnis, berkewajiban menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usahanya. “Untuk itu, dunia usaha harus yakin bahwa untuk mencapai kesinambungan usahanya, pelaksanaan bisnis harus didasari oleh etika,” katanya.
Penerapan etika bisnis, lanjutnya, tidak saja bermanfaat bagi perusahaan itu sendiri, tetapi juga dapat mewujudkan iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan. Etika bisnis merupakan landasan GCG, sehingga ketaatan dunia usaha terhadap etika bisnis sangatlah penting. Bisa saja dunia usaha menerapkan prinsip ini tanpa dukungan pihak lain. “Tapi akan banyak kesulitan yang dihadapi. Dunia usaha tetap memerlukan peran negara dan masyarakat agar pelaksanaan GCG menjadi kondusif,” katanya.
Dunia usaha, dalam hal ini termasuk pemilik maupun pemegang saham, menurut Tanri, seharusnya memiliki kepentingan yang besar dengan penerapan GCG ini. Namun, Meuthia Ganie-Rochman, sosiolog sekaligus peneliti yang memiliki perhatian serius terhadap perkembangan GCG, merinci, pemerintah, dunia usaha, perbankan, akademisi, hingga profesional lain seperti organisasi audit, akuntan, konsultan memiliki kontribusi besar terhadap berkembangnya GCG.
Situasi yang kondusif bagi berkembangnya GCG menciptakan dunia usaha berkembang. “Semua pun diuntungkan,” kata Tanri Penerapan GCG, menurut Daniri, juga mampu melindungi hak-hak pemegang saham minoritas terhadap kepentingan sepihak pemegang saham mayoritas. Wajarlah, lantaran semua kebijakan terkait dengan etika moral. Pendeknya, semua pengambilan keputusan manajemen akan berujung pada pertanggungjawaban di Rapat Umum Pemegang Saham. Alhasil, orientasi keputusan selalu bermuara ke kepentingan stakeholder.
Jika pun ada yang merugi, Meuthia menyebut, antara lain masyarakat karena resouces tidak dipergunakan untuk hal yang lebih produktif. “Menafikan GCG akan membuka peluang korupsi dan kerjasama antara politisi dengan dunia usaha, memperkuat ketimpangan karena yang kecil dan baik aksesnya berkurang ke permodalan,” katanya.
Persoalannya, kondisi riil dunia menunjukkan bahwa perkembangan GCG di Indonesia terkesan kurang bergaung. Bahkan di tingkat global, peristiwa kebangkrutan perusahaan raksasa di Amerika Serikat, baru-baru ini seperti antiklimak dari penerapan GCG yang mulai menarik simpati dan minat dunia usaha.
Berbagai kalangan, khususnya dunia usaha, tidak menyanggah begitu besarnya faedah implementasi GCG. Ironisnya, perusahaan yang merespon secara positif terhadap penerapan GCG juga tak seperti yang diharapkan. Boleh jadi, dunia usaha ini memiliki dilema tersendiri karena jika melakukan sesuatu yang benar dikhawatirkan keuntungan maupun laju bisnis malah menurun.
Hal ini sempat diakui Tanri. Implementasi GCG dinilai bagus, namun perusahaan merugi. Jika pun mereguk untung, tapi keuntungannya jauh lebih kecil daripada potensi yang dimiliki. “Ini bisa saja terjadi. This is business, Man. Dan bisnis ini dinamis. Bisa juga terlalu kaku, yang mengakibatkan mobilitas organisasi bisnis tidak sesuai,” katanya.
Jika merujuk pada peristiwa jatuhnya sejumlah imperium bisnis di Amerika, menurut Meuthia, ada hal yang lebih sistematis dan jauh lebih mendasar daripadai persoalan GCG. “Bisa saja dikatakan bahwa dari sudut GCG, bank tidak melakukan pertimbangan masuk akal antara pemberian kredit dengan kekuatan riel pasar dan konsumen,” katanya. Namun, ia melanjutkan, bank melakukan itu karena sistem dan kebijakan negara memperbolehkan sistem penjaminan berlapis lapis, sehingga kebijakan itu terlihat lebih rasional dan aman.
Berkembangnya pasar saham sedemikian rupa, menurut Meuthia, memungkinkan adanya tempat untuk menampung “artificial money” tadi. Sistem risiko yang diadopsi manajemen bank, lanjutnya, didasarkan pada asumsi yang salah tentang risiko. “Mereka menyempitkan risiko sebagai predictability yang didasarkan pada penjaminan berlapis-lapis tersebut,” tuturnya.
Berbeda dengan Meuthia, Tanri Abeng justru melihat fenomena keruntuhan bisnis tersebut dipicu oleh adanya penyimpangan dari GCG. Berarti ada pelanggaran yang terjadi di top level sampai ke bawah. Tanri melanjutkan, pada umumnya penyimpangan yang terjadi karena adanya dominasi dari orang-orang tertentu. Penjelasan ini juga berlaku sebagai jawaban atas kejadian-kejadian yang menimpa dunia usaha di Indonesia. “Bisa saja pemegang saham atau owner memiliki conflict of interest,” ujarnya.
Memang, untuk memastikan besaran dunia usaha yang sudah mengaplikasikan GCG, diperlukan riset lebih lanjut. Namun, Meuthia mengatakan, berbagai cara dapat dilakukan untuk mengukur sejauh mana implementasi prinsip-prinsip GCG bagi lembaga usaha. “Strukturnya ada dan menjadi dasar dari seluruh proses pengambilan keputusan dan aktivitas lembaga usaha tersebut,” katanya. Ukuran lainnya, lanjutnya, transparansi dan sistem akuntabilitas, pertimbangan yang hati-hati, serta memiliki framework tentang productive social justice.
Berbagai kendala maupun hambatan dalam penerapan prinsip GCG ini memang harus diterobos. Mengadopsi suatu model atau contoh yang dapat dipraktikkan juga mesti dipertimbangkan. Dalam hal ini, Meuthia memberikan pertimbangan pada konteks institusional hukum ekonomi dan institusi pasar (market) di mana suatu badan usaha beroperasi. Selain itu, costumer harus menjadi prioritas. “Misalnya, jika ingin melayani UKM, aspek interaksi timbal balik terhadap nasabah akan lebih penting,” katanya. Salah satu konsekuensinya, lebih banyak staf yang mampu memahami interaksi dengan bermacam-macam kelompok masyarakat dan meletakkannnya dalam kerangka akuntabilitas yang sesuai.
Lebih lanjut, Meuthia menambahkan, kesiapan organisasi yang meliputi kematangan organisasi, kestabilan internal, kesiapan sumber daya, kecakapan bagian-bagian dari organisasi tersebut juga patut dipertimbangkan. Dalam menerapkan aspek transparansi, misalnya, pun harus dipertimbangkan kondisi spesifik organisasi. “Sekarang ini banyak orang bicara tranparansi, namun sangat sedikit yang bisa memahami bagaimana menilai kondisi spesifik organisasi untuk menerapkan transparansi yang sesuai,” tuturnya.
Guna merangsang minat dunia usaha dan meningkatkan efektivitas penerapan GCG, Mas Ahmad Daniri mengingatkan bahwa kerjasama tiga pilar GCG yang meliputi penyelenggara negara, swasta, dan masyarakat mutlak diperlukan. “Tidak mungkin dunia usaha berupaya menerapkan GCG secara optimal tanpa dukungan dari penyelenggara negara dan masyarakat sendiri,” jelasnya.
Menurut Daniri, negara dan perangkatnya berperan menciptakan kerangka hukum yang dapat menunjang iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan. Untuk itu, lanjutnya, antarpenyelenggara negara perlu melakukan koordinasi secara efektif dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik dengan memprioritaskan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dunia usaha dan masyarakat.
Masyarakat sebagai pilar ketiga, katanya, mempunyai peranan untuk melakukan kontrol sosial dengan memberikan perhatian dan kepedulian terhadap kualitas pelayanan masyarakat yang dilakukan penyelenggara negara serta terhadap kegiatan dan produk atau jasa yang dihasilkan oleh dunia usaha. “Hal tersebut dapat dilakukan melalui penyampaian pendapat secara objektif dan bertanggung jawab,” katanya.
Kendati demikian, lanjut Daniri, dunia usaha tidak boleh menunggu kedua pilar lain berperan. “Apabila setiap perusahaan melaksanakan etika bisnis dan dapat mengembangkan diri menjadi “pulau integritas” maka dunia usaha akan menjadi “kumpulan pulau integritas”. Bila hal ini dapat terjadi maka dunia usaha juga akan berperan dalam memperbaiki good public governance,” katanya.
Dunia usaha, lanjutnya, harus bersikap dan berperilaku yang memperlihatkan kepatuhan dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan. “Dengan melaksanakan etika bisnis dan peraturan perundang-undangan, dunia usaha juga diharapkan dapat mencegah terjadinya kolusi, korupsi, dan nepotisme,” ujarnya, menambahkan. Betul.
***
Mencari Model untuk Indonesia
Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat dianggap mengadopsi model corporate governance yang berbeda-beda. Model apa yang cocok diterapkan di Indonesia?
Berawal dari ambruknya sejumlah perusahaan besar di Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu, penerapan good corporate governance seperti mendapat momentum kembali. Agar kasus serupa tidak terulang, pada 2002 pemerintah federal AS menerbitkan Sarbanes-Oxley Act (SOA) yang dimaksudkan untuk memperketat kontrol dan audit terhadap perusahaan. Ketentuan SOA, seperti dikutip dari situs BPKP Indonesia, merupakan perangkat perusahaan untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik dan transparan. Ketentuan mengenai aturan kontrol itu menggunakan framework yang disusun oleh Comitte of Sponsoring Treadway Organization Comission (COSO).
Di Indonesia, konsep good corporate governance pun menyeruak di kalangan usaha, terutama pada badan-badan usaha milik pemerintah. Isu korupsi yang menjadi tema negatif selama bertahun-tahun dikhawatirkan bisa mengganggu performa perusahaan-perusahaan negara yang telah go public. Konsep ini pun menjelma menjadi ajimat baru bagi kesehatan dan keberlangsungan perusahaan.
Lihat saja perkembangan Telkom belakangan ini. Menurut Direktur Utama PT. Telkom Indonesia Tbk, Rinaldi Firmansyah, Telkom masih eksis dikarenakan prinsip good corporate governance telah menjadi fondasi perusahaan. ”Itu seperti pembuluh darah,” katanya. Terbukti, di tengah kompetisi industri telekomunikasi yang begitu ketat, Telkom mampu bersaing karena menerapkan kesehatan, transparansi, dan akuntabilitas perusahaan.
Jika dikaitkan dengan struktur kepemilikan dalam perusahaan, menurut H. Sri Sulistyanto, Dosen Fakultas Ekonomi yang juga peneliti dari Universitas Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, penerapan prinsip good corporate governance selalu memunculkan paradoks. Teori menyatakan, untuk mengurangi masalah agensi adalah dengan “mekanisme pemegang saham besar” (large outside shareholder). ”Kenyataan yang terjadi di lapangan justru menunjukkan hal tersebut membuat akses dan kontrol pemegang saham mayoritas terhadap manajemen perusahaan menjadi tak terbatas, yang pada akhirnya hanya merugikan pemegang saham minoritasnya,” katanya.
Contoh lain yang dikemukakan Sulistyanto adalah mekanisme employ stock option program (ESOP) yang sebenarnya didesain agar terjadi kepemilikan manajerial (managerial ownership) dalam perusahaan. Kepemilihan manajerial, lanjutnya, secara konseptual diharapkan membuat terciptanya corporate of ownership. Dalam posisi ini, manajemen tidak lagi hanya sebagai bertindak pengelola perusahaan (agent), namun juga berperan sebagai pemilik perusahaan (principal). Peran ganda ini, kata Sulistyanto, diharapkan dapat membuat menajemen perusahaan mau bekerja lebih baik dan lebih keras karena perusahaan yang dipegangnya bukan lagi milik orang lain, namun juga miliknya sendiri.
Kenyataannya, ia menilai, konsep “mulai” ini ternyata justru dimanfaatkan manajer perusahaan untuk kepentingan pribadinya. Seperti dalam kasus Enron yang terjadi di AS, setelah menerima ESOP, perusahaan memang meningkat kinerjanya. Tapi peningkatan kinerja tersebut ternyata merupakan hasil rekayasa untuk mendongkrak harga pasar saham perusahaan tersebut. Kemudian pada saat harga saham mencapai puncaknya (windows of opportunity), manajemen Enron mengeksekusi saham opsinya.
Namun, Komisaris Utama PT Telkom Tbk. Tanri Abeng, memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, konsep good corporate governance menjadikan sistem sebagai panglima. Semua orang termasuk pemegang saham harus tunduk kepada sistem. ”Karena itu, yang paling berkepentingan dengan tata kelola yang baik itu harusnya datang dari pemegang saham. Sebab, Kalau konsep ini berjalan sempurna, maka pemegang saham tidur saja kan. Jadi, itu suatu yang otomatis,” katanya.
Selama ini, AS menerapkan model one board system dalam membangun tata kelola usahanya. ”Dalam one board system ini, direksi dan komisaris menjadi satu, karena memang mereka bertanggung jawab bersama untuk memformulasikan rencana strategis perusahaan,” katanya. Bahkan, lanjut Tanri, sinergi ini memungkinkan terjadinya share responsibility dan ownership sebagai acuan.
Kalau diinterpretasi secara sempit, Tanri menambahkan, governance mengatur fungsi komisaris dan direksi secara berbeda. “Tapi, kalau saya mengangkat pengertian yang lebih luas, adalah kristalisasi dari jiwa one board system yang berlaku di AS,” katanya. Karena itu, lanjutnya, tugas komisaris tidak hanya menyetujui atau mengawasi, tapi juga bersama direksi melakukan sinergi positif membangun suatu kebersamaan agar badan usaha itu tumbuh dan berkembang.
Sejauh ini, penerapan model corporate governance di berbagai belahan dunia, seperti AS, Jepang, dan Eropa Barat dianggap mengadopsi model yang berbeda-beda. Menurut Sulistyanto, hal ini disebabkan oleh perbedaan tipe pasar modal dan bisnis yang berkembang. Oleh karena itu, lanjutnya, praktik bisnis setempat (practice based approach) juga mesti dijadikan pertimbangan dalam mengadopsi sebuah model. ”Perbedaan budaya, sistem perekonomian, sistem politik dan pemerintahan, dan sebagainya memang membuat business culture Indonesia berbeda dengan negara lain,” tuturnya.
Namun, lanjutnya, Indonesia sejauh ini banyak mengadopsi model dari AS, termasuk perekonomian, bisnis, pasar modal, bahkan akuntansinya. ”Maka lebih tepat jika GCG yang dipakai di Indonesia juga mengadopsi model AS,” kata Sulistyanto, menambahkan. Kendati demikian, ia menegaskan, setiap negara tetap mempunyai keunikan sendiri, yang membuat satu negara berbeda dengan negara lain, baik budaya, sistem perekonomian, sistem politik dan pemerintahan, dan sebagainya.
Perkembangan budaya, sistem perekonomian, maupun sistem politik dan pemerintahan telah mempengaruhi corporate culture perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. ”Mengingat bahwa budaya, sistem perekonomian maupun dinamika bisnis, sistem politik dan pemerintahan antara Indonesia dan AS berbeda, maka bisa dimengerti jika corporate culture dunia usahanya juga berbeda,” ujarnya. Dampaknya, penerapan good corporate governance di Indonesia memerlukan kekhasan dan tidak mungkin sama dengan model yang diterapkan di negara lain.
***
WAWANCARA
TANRI ABENG:
“Sistem Adalah Panglima”
Salah satu persyaratan penting dalam mewujudkan perusahaan modern adalah penerapan good corporate governance atau tata kelola badan usaha yang baik. Inilah yang menjadi basis atau fondasi sebuah korporasi selain soal kepemimpinan. Bahkan, Tanri Abeng, Komisaris Utama PT Telkom Tbk. mengatakan, good corporate governance merupakan bagian dari total management system.
“Jadi, kalau sistem perusahaan tidak memasukkan elemen ini, maka manajemen badan usaha itu tidak punya fondasi yang solid, yang dijadikan suatu acuan aturan untuk kita bergerak,” kata mantan Menteri Negara BUMN di era Presiden BJ Habibie, yang juga meletakkan dasar-dasar penerapan good corporate governance saat menjabat. Menurutnya, good corporate governance mengatur banyak hal, mulai dari struktur organisasi, fungsi, dan peranan komisaris dan direksi, sehingga semua pihak bisa bersinergi dengan peran yang lain.
Tata kelola ini, lanjutnya, menjadi kunci sustainability atau kontinuitas sebuah perusahaan. Makanya, ia merupakan basis fondasi korporasi. “Ini penting, karena punya fondasi saja, belum ada jaminan 100% bisa menghilangkan potensi penyelewengan,” katanya, kepada Tim Inspire
Apa yang menjadi critical point dalam penerapan good corporate governance?
Tata kelola ini diawali oleh struktur, leadership, dan system. That’s it. Oleh karena itu, manajemen dan leadership itu gampang kok. Kenapa mesti dibuat susah. Keinginan untuk menerapkan konsep ini harusnya datang dari pemegang saham, baik BUMN maupun swasta, karena dia yang paling berkepentingan. Kalau good corporate governance berjalan sempurna, maka pemegang saham tidur saja
Lalu, mengapa penerapan tata kelola ini tidak berjalan mulus?
Ada beberapa faktor. Pertama, pemegang saham memiliki conflict of interest. Bisa saja seorang menteri punya kepentingan yang berbeda, apa karena political motivated atau personal motivated. Begitu juga di swasta, bahkan dialami owner. Sesudah go public atau mendapatkan mitra yang lain, dia punya interest yang bergeser. Tidak 100% untuk usaha, tapi ada kepentingan lain. Bisa saja dia punya usaha sendiri yang berbisnis sama ini.
Jadi, ada kepentingan yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan orang, sehingga tidak secara otomatis mengikuti governance yang ada. Kedua, bisa juga karena lag of knowledge. Dia enggak ngerti. Sebagai komisaris, kita harus tahu persis apa yang menjadi tugas kita. Mana yang benar dan salah. Itu
Bagaimana implementasinya di BUMN sendiri?
Saya tak punya data ya. Saya mengatakan, good corporate governance terkait dengan stucturedo you have the right structure? Itu dulu. Kedua, setelah structure, apakah sistem untuk mengimplementasikan semua kegiatan dalam structure ini terbangun atau tidak? Kalau belum terbangun, bagaimana Anda bisa mengatakan bahwa telah berjalan dengan system atau tidak.
Jadi, kalau pertanyaannya, apakah kita sudah menerapkan atau tidak, ini yang harus Anda teliti. Anda lakukan penelitian, apa kriteria good corporate governance yang baik? Apakah sudah dilaksanakan atau tidak? Ini perlu dilakukan, karena tidak bisa kita katakan sudah jalan atau tidak. Kita jangan berandai-andai. Tapi, bagaimanapun juga, untuk bisa mengawali analisis, harus ada penelitian. Kalau tidak, kita bicara di angan-angan saja. Saya belum bisa komentar, kalau saya sendiri belum yakin.
Idealnya, penerapan good corporate governance ini tak harus menunggu krisis dulu bukan?
Ya. Kalau harus menunggu krisis, itu pola pikir transaksional. Anda harus berpikir seperti pemimpin transformasional. Saya bicara di mana-mana, termasuk di Korea. Saya katakan, bagaimana badan usaha masih bisa mempertahankan pertumbuhan dalam keadaan krisis. It’s difficult question, saya bicara di situ. Mungkin juga governance sudah bagus, orang sudah ikut, tapi gara-gara krisis semuanya berantakan. Tapi, apakah kita lalu menyalahkan konsep ini? Kita harus lihat, where we need to change.
Lalu, mengapa perusahaan besar dan menerapkan governance yang baik masih bisa terkena krisis?
Bisa juga karena ada penyimpangan atau pelanggaran. Kalau public company, pasti ada good corporate governance. Tapi, berarti ada penyimpangan yang terjadi di top level sampai ke bawah. Karena tidak mungkin tidak sistematis kalau tidak ada satu mekanisme yang dirancang untuk itu. Kembali di sini, integritas. Makanya, membangun profesionalisme mensyaratkan knowledge, skill, dan integritas. Dengan kejadian ini, sekarang prioritasnya harus dibalik, jadi integrity, knowledge, dan skill.
Apakah penjelasan serupa juga berlaku di Indonesia, misalnya dalam kasus Bank IFI maupun Bank Century?
Pada umumnya penyimpangan yang terjadi karena adanya dominasi dari orang-orang tertentu. Makanya, absolute power itu tidak baik. Karena itu, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perlu ada manajemen yang independen. Tatkala manajemen ada di bawah perintah pemilik, pada saat pemilik mempunyai agenda yang tidak sesuai dengan governance, maka hancurlah. Itulah yang terjadi pada banyak perusahaan. Kekuatan dan power dari orang-orang yang memiliki absolute power.
Benarkah dunia bisnis yang dinamis belum tentu cocok menerapkan good corporate governance?
This is business, Man! Dan bisnis ini dinamis. Bisa juga terlalu kaku, yang mengakibatkan mobilitas organisasi bisnis tidak sesuai. You bisa katakan governance bagus, tapi perusahaan rugi. Atau untung, tapi untungnya jauh lebih kecil dari potensi yang anda miliki. Jadi, bisnis ini memang tidak gampang. Dia gampang kalau pelakunya hanya monopoli. Telkom 10 tahun lalu bisa dikatakan masih monopoli. Bahkan tiga tahun lalu, masih tiga player. Sekarang apa tidak harus merubah paradigmanya, sikapnya, proses manajemennya. Jadi, business is so dynamic. Harus ada aturan, governance.
Dalam tata kelola usaha yang baik, benarkah sistem menjadi panglima?
Saya jadi CEO sudah 30 tahun. Sebagai pimpinan puncak, saya punya kekuasaan yang tak terbatas. Tapi tatkala ada seorang yang ingin masuk melalui keadaan yang tidak governance, saya katakan, yang kuasa bukan Tanri Abeng, tapi aturan dan sistem. Jadi, kalau Kau tak ikut aturan dan sistem, Kau tak bisa masuk ke organisasi saya. Kau tak bisa memperoleh dispensasi atau kemudahan kalau tidak mengikuti sistem.
Itu yang juga saya lakukan di Grup Bakrie. Bayangkan, ini perusahaan keluarga. Saya katakan pada Aburizal Bakrie, yang kuasa sistem ya. Anda tak bisa tanda tangani cek walaupun ini perusahaan Kau. Dan tidak bisa juga dia perintah saya terima orang begitu saja. Saya tak akan menerima tanpa melalui sistem dan prosedur. Bukan absolute Tanri Abeng, tapi sistem yang kuasa. Itu yang saya bawa. Alhamdulillah, saya dipercaya di mana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar