Kamis, Januari 22, 2009

Mafia Pupuk, Bagai Ulat di Musim Tanam

Jelang musim tanam, pupuk langka di mana-mana. Yang biasanya ada, malah raib entah ke mana. Inilah peristiwa yang rutin diderita petani. Persoalannya, konon, terletak pada jalur distribusi dan permainan para mafia. Benarkah?


Wajah Kasman tak bisa menutupi keresahannya. Sudah berputar-putar ke sejumlah kecamatan tetangga, pupuk yang dicarinya tak juga didapatkan. Petani asal Cilamaya, Karawang, Jawa Barat ini pun makin gundah. Padahal, ia begitu membutuhkannya guna menghidupi tanaman padinya yang masih berumur hitungan hari. Jika pun stok di kios ada, katanya, para pemilik kios menaikkan harganya.


Kasman tak sendiri. Para petani di sejumlah daerah lagi-lagi mengeluhkan raibnya pupuk di pasaran. Kelangkaan pupuk kembali terjadi pada musim tanam beberapa waktu lalu. Persediaan pupuk di kios-kios, terutama di wilayah perdesaan yang jauh dari distributor, tak dijumpai sama sekali. Kalaupun ada, jumlahnya sangat terbatas dan para petani harus rela membelinya dengn harga yang jauh tinggi dari harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Harga pupuk bersubsidi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp105.000 per kuintal. Tapi nyatanya di kios yang tersedia harganya mencapai Rp108.000 hingga Rp111.000 per kuintal.

Di lumbung padi di daerah Karawang, Subang, maupun Indramayu, Jawa Barat, para petani pun bernasib sama. Sejumlah kios di wilayah Kecamatan Cilamaya Wetan dan Kulon, Karawang dan Kecamatan Pabuaran, Subang, sepanjang Desember lalu, memperlihatkan umumnya kios-kios tak memiliki persediaan yang mencukupi. Padahal, para petani sudah membutuhkannya untuk pemupukan tahap awal saat tanaman padi masih berumur 20 harian.


Kelangkaan pupuk di Karawang juga terjadi di Kecamatan Lemahabang, Jatisari dan Tempuran, terutama di lokasi-lokasi areal persawahan yang kini masuk musim tanam rendeng golongan IV dan V. Sedangkan di wilayah Kabupaten Subang, selain di Pabuaran, kelangkaan juga terjadi di Kecamatan Patok Beusi, Purwadadi, Kalijati dan Pantai Utara Sukamandi, Ciasem, dan Pamanukan.

Seperti dilaporkan Tempo, di kios pupuk milik Ingkan di Cilamaya Kulon, misalnya, pupuk urea produksi PT.Pupuk Kujang berlabel pupuk bersubsidi dijual dengan harga Rp111.400 per kuintalnya. “Saya belinya dari distributor Rp.108.000 per kuintal,” kata Ingkan. Sementara di kios Roes Pabuaran, Subang, pupuk yang sama dijual seharga Rp 115.000 per kuintalnya. Padahal sesuai harga eceran tertinggi pemerintah, pupuk bersubsidi di tingkat petani hanya boleh dijual seharga Rp.105.000 per kuintalnya.


Kebingunan para petani dengan keberadaan pupuk bersubsidi yang hilang di pasaran juga dirasakan di daerah lainnya. Di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, petani terpaksa harus menyisir dari satu kecamatan ke kecamatan lain untuk memenuhi kebutuhan. Itu pun kalau berhasil mendapatkan barang, harganya sudah melambung mencapai tiga kali lipat. Di Kecamatan Bonang, misalnya, harga pupuk bersubsidi telah menembus Rp190 ribu per-zak, padahal harga eceran tertinggi (HET) sekarang hanya Rp60 ribu.


Menurut pantauan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Demak, Hery Sugiartono, sebagaimana dilaporkan Kedaulatan Rakyat, menghilangnya pupuk di pasaran mengakibatkan para petani tidak dapat melakukan pemupukan karena pupuk tidak tersedia di pengecer. Jika pun ada, persediaan pupuk kurang hingga harganya menjadi tak terkendali.


KERJA MAKSIMAL?: Anehnya, pemerintah maupun para produsen pupuk merasa telah melakukan tugas dengan baik. Pihak PT Pupuk Sriwijaya Sumatra Barat (Sumbar), misalnya, mengakui, seluruh kebutuhan pupuk urea di Sumbar telah didrop ke 55 distributor pupuk. Dari data PT Pusri setiap bulan, seperti dikutip Jurnal Nasional, delivery order telah disalurkan mencapai 5.160 ton dengan kebutuhan Sumbar yang 5.400 ton. Dengan demikian, tak perlu terjadi kelangkaan parah yang dibarengi dengan harga pupuk menjunjung tinggi seperti sekarang ini.


Dalam pertemuan di Pemkab Boyolali, PT Pusri selaku distributor menjamin pasokan pupuk di tingkat pengecer masih aman. PT Pusri, yang diwakili Ferizal, bidang pemasaran wilayah Jateng mengatakan, kelangkaan yang terjadi selama ini diduga lantaran pengecer nakal dan para petani menggunakan pupuk berlebihan.

Untuk mencegah kelangkaan pupuk, Pusri, seperti dikutip Radar Solo, menyediakan resep, yakni pupuk di seluruh gudang di kabupaten harus cukup. Lalu diperlukan realokasi penyerapan pupuk rendah ke daerah yang penyerapannya tinggi agar tetap merata distribusinya. ”Hal ini harus ada aturan seperti SK Gubernur. Lalu langkah yang lebih manjur adalah pemkab melakukan operasi pasar,” terang Ferizal.

Sejumlah produsen pupuk lainnya bahkan mengaku telah memiliki jalur dan sistem distribusi sendiri yang diklaim mampu mencegah berbagai praktik penyimpangan dan menjamin pupuk bersubsidi sampai ke petani. Nyatanya, pupuk tetap saja langka jika dibutuhkan. Kelangkaan dan harga pupuk yang tinggi tetap menjadi persoalan yang belum teratasi dan membuat masyarakat petani menjerit.


Pemerintah sendiri juga merasa telah menggelontorkan dan berusaha mencukupi barang kebutuhan petani tersebut.
Oleh pemerintah, subsidi pupuk intinya bertujuan agar petani mendapatkan harga pupuk dengan harga terjangkau. Lengkap dengan embel-embel meningkatkan produktivitas dan produksi komoditas pertanian yang ujung-ujungnya ketahanan pangan nasional.


Supaya tidak terjadi penyimpangan dalam penyaluran dan menjamin pengadaan pupuk bersubsidi, Pemerintah melalui Menteri Perdagangan bahkan berkali-kali mengatur distribusi pupuk bersubsidi, dengan memperbaiki sistem pengawasan dan perubahan wilayah tanggung jawab produsen (rayonisasi).

Untuk mencegah kebocoran pupuk bersubsidi, produsen diwajibkan untuk menyampaikan daftar distributor dan pengecer di wilayahnya, kemudian pengecer tersebut hanya boleh menebus pupuk dari satu distributor saja. Di samping itu, pemerintah juga mencoba sistem rayonisasi hingga sampai ke pengecer sehingga pengecer ikut bertanggung jawab kepada wilayah desa yang berada di bawah pengawasannya.

Dalam sebuah kesempatan, Menteri Perdagangan, Mari E. Pangestu, juga menegaskan, pemerintah akan memberikan sanksi berat kepada pengecer jika melakukan penyelewengan dalam menyalurkan pupuk bersubsidi. Pengecer yang melanggar akan dicabut izinnya. Pemerintah memperketat pengawasan ini sebagai program jangka menengah sehubungan ketimpangan sistem distribusi. Ketimpangan ini menyebabkan program membantu petani dengan pupuk subsidi tidak maksimal. Dalam jangka menengah, juga akan dibenahi sistem pada hulu industri pupuk.

Selain itu, produsen, distributor, dan pengecer akan menandatangani kesepakatan memperketat pengawasan sampai dengan tingkat desa dan pengecer. Rancangan mengenai kesepakatan ini sudah dibahas, dan para distributor dan pengecer sudah menyatakan komitmennya untuk melakukan pengawasan di masing-masing wilayah.

Hanya saja, niat baik pemerintah itu pun sebatas di angan-angan para petani. Buktinya, sampai kini petani tidak menikmati harga pupuk bersubsidi secara nyata dan petani masih kesulitan mengakses dengan mudah. Petani malah mendapatkan harga pupuk bersubsidi dengan harga tinggi akibat ulah para pengecer nakal yang sulit dikendalikan.


ULAH MAFIA?: Menyusul terjadinya kelangkaan pupuk ini, sejumlah pihak mempertanyakan kinerja jajaran pengawas pupuk di lapangan. “Kami menyesalkan bagaimana bisa pupuk menjadi langka. Itu kebutuhan urgen petani, sehingga berapapun harganya petani tetap akan membeli. Tetapi tolong mereka jangan dipermainkan. Kami minta pihak berwenang bertindak tegas, jika nanti ditemukan adanya mafia pupuk,” kata Yusak Munir, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Petani, Demak, seperti dikutip Kedaulatan Rakyat.


Pernyataan bahwa adanya praktik tangan-tangan kotor mafia di balik kelangkaan pupuk memang berhembus setiap pupuk raib di pasaran. Jaringan mafia pupuk ini bahkan diduga telah mengakar di berbagai daerah jauh sebelum program pupuk bersubsidi digulirkan.


Motifnya, apalagi kalau bukan mencari keuntungan pribadi. Mereka bisa saja menyelundupkan pupuk bersubsidi ke luar negeri karena adanya disparitas harga yang tinggi antara harga jual domestik atau Harga Eceran Tertinggi (HET) dan harga ekspor. Sekadar informasi, harga pupuk di luar negerii bisa mencapai 250 dolar AS/ton, sedangkan HET hanya sekitar 100 dolar AS/ton.

Guna melempangkan niat bulusnya, disinyalir bahwa peristiwa ini juga melibatkan distributor pupuk yang dibantu aparat terkait. "Kita sudah teliti dan tinjau ke lapangan, ternyata ditemukan adanya indikasi permainan distributor," kata anggota Komisi VI DPR, Refrizal, seperti dikutip Antara News.


Menurut dia, diduga kelangkaan pupuk bersubsidi tersebut terjadi karena adanya penyimpangan yang dilakukan pihak distributor dengan dibantu oknum aparat. ”Kami sudah minta pihak Pusri untuk segera menyelesaikan persoalan ini. Jika dibiarkan berlarut-larut, akan merugikan petani dan pemerintah,” katanya.

Kelangkaan pupuk yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia belakangan ini diduga disebabkan oleh distribusi yang tidak beres. Bahkan, anggota FPDIP, Aria Bima, mengatakan, justru ada upaya pembiaran dari pemerintah terkait masalah kelangkaan pupuk belakangan ini. ”Kita harus ada suatu sikap untuk segera melakukan fungsi pengawasan. Harus ada rapat khusus mengenai hal ini," tegas Aria seperti dikutip detikNews.

Sementara itu anggota FPKS, Suswono, mengaku telah melakukan kunjungan ke gudang-gudang produsen di beberapa daerah dan menemukan kejanggalan terkait pendistribusian pupuk nasional. ”Saya menemukan di penyalur resmi, pupuk tidak ada. Malahan di penyalur tidak resmi pupuk menumpuk. Bahkan harganya dua kali lipat. Berarti ada yang tak beres,” beber Suswono.


PERLU DIATASI: Bagaimanapun, kelangkaan pupuk ini tetap perlu diatasi. Sebab, menghilangnya pupuk di pasar dan kios pengecer, begitu menyulitkan bagi petani. Berbagai hal akan muncul sebagai akibatnya, terutama menyangkut faktor produksi. Biaya yang semakin tinggi, sedikit banyak akan mempengaruhi pendapatan hasil panen petani.


Pemerintah dan aparat terkait tetap memiliki tanggung jawab untuk menjamin ketersediaan pupuk bagi para petani, menyusul kelangkaan pupuk bersubsidi yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Desakan ini disampaikan oleh berbagai kalangan mengingat kondisi para petani di beberapa daerah yang makin kesulitan mendapatkan pupuk setiap musim tanam tiba.


Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Advokasi, Syarif Bastaman, mengungkapkan, pemerintah terkesan lamban dalam mengantisipasi kelangkaan pupuk yang dialami oleh para petani. ”Diharapkan kepada pemerintah untuk memperhatikan betul derita para petani di berbagai penjuru tanah air. Tibanya musim tanam, ternyata tidak diimbangi dengan langkah sigap pemerintah. Kami ingin menegaskan, petani adalah ujung terdepan dalam penyediaan pangan,” tutur Syarif Bastaman seperti dikutip Kompas.


Hal senada juga disampaikan oleh Sekjen Pakar Pangan Jackson Kumaat. Menurutnya, jangan sampai para petani dibuat terus menerus mengeluh dengan nasibnya yang seakan harus menjadi bagian terdepan terkena imbas atas krisis ekonomi sekarang ini. Menjamin keberadaan pupuk, kata Jackson, tentu menjadi keharusan pemerintah.


Di samping itu, lanjutnya, Polri juga perlu mengantisipasi indikasi penyelundupan pupuk ke luar negeri. Sementara, Menteri Pertanian harus melakukan operasi pasar guna mengantisipasi kelangkaan pupuk ini. Keresahan para petani mengenai kelangkaan pupuk di saat memasuki musim penghujan saat ini, perlu dilakukan tindakan yang terkoordinasi dan bersinergi.


Syarif Bastaman menambahkan, bukan menjadi alasan bila pemerintah mengatakan kelangkaan pupuk menjadi sebuah rutinitas yang dialami oleh para petani. Yang dituntut petani, tegas Syarif, adalah keberpihakan kebijakan untuk meneruskan kelangsungan hidup para petani di semua daerah di Indonesia.

"Tindakan pemerintah haruslah nyata, bukan hanya pepesan kosong belaka. Sudah tentu, kelangkaan pupuk sekarang ini harus segera dihentikan. Jangan sampai, hal ini malah mengganggu para petani yang sedang mengalami musim tanam," tandas Syarif.


Jackson mempertegas, salah satu langkah lain yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan tindakan tegas kepada siapapun yang terbukti melakukan penyelundupan pupuk ke luar negeri. Menurutnya, operasi pasar yang akan dan sedang dilakukan oleh Departemen Pertanian, perlu didukung dengan tindakan hukum. ”Oleh karena itu, segera tangkap mafia pupuk yang meresahkan petani. Jangan sampai pemerintah dinyatakan gagal oleh para petaninya sendiri,” jelas Jackson.


***


Boks 1

Mengungkap Mampetnya Distribusi Pupuk


Pola distribusi pupuk sejatinya ditengarai rawan kecurangan sejak lama. Jangankan tepat sasaran, pola distribusi pupuk bersubsidi pun lebih banyak menimbulkan kecurangan dan kekurangan. Selain praktek yang dapat menimbulkan monopoli perdagangan, pola distribusi pupuk, mulai dari distributor hingga ke pengecer, dari pengecer ke kios, dan dari kios ke petani, lebih banyak menimbulkan kecurangan.


Alur distribusi pupuk saat ini, terdiri dari: Lini I (pabrik) – Lini II (UPP) – Lini III (Gudang Produsen – Distributor) – Lini IV (Pengecer Resmi) – Kelompok Tani/Petani. Kendaraan pengangkut, pengecer, dan distributor harus teregistrasi. Sedangkan pengecer hanya boleh melepas pupuk kepada petani yang sudah terdaftar di wilayahnya.


Berdasarkan kajian yang dilakukan Dewan Tani Indonesia, terdapat beberapa rangkaian situasi yang menyebabkan kasus kelangkaan pupuk masih terjadi. Anggawira, Direktur Eksekutif API (Agriculture Policy Institut)menyebutkan, kebijakan makro pemerintah dan distribusi pasar pasar yang kacau merupakan pemicu kelangkaan pupuk beberapa waktu lalu. Selain disebabkan produksi terbatas, pendistribusiannya juga kurang baik sehingga menyebabkan penyelewengan-penyelewengan di lapangan.


Bahkan, kebijakan distribusi pupuk bersubsidi semitertutup dengan sistem Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) untuk mengurangi penyimpangan dinilai membingungkan para petani. Di Indramayu, seperti dipantau Pikiran Rakyat, sejumlah petani mengeluh karena tidak termasuk dalam RDKK dan merasa kesulitan untuk mendapatkan pupuk. Sementara itu, adanya kebijakan pengiriman pupuk ke tingkat kios/pengecer yang pelaksanaannya disesuaikan dengan jadwal pemupukan membuat petani kesulitan memperoleh pupuk untuk kebutuhan pemupukan benih.


Seperti diungkapkan para petani di Kecamatan Jatibarang dan Sindang, meskipun distribusi pupuk sistem RDKK dimaksudkan agar petani mendapat kepastian memperoleh alokasi pupuk bersubsidi, pada prakteknya malah membingungkan. ”Buktinya saat ini kita malah sulit mendapat pupuk untuk sekadar kebutuhan pemupukan benih,” kata Amin, petani Desa Kenanga, seperti diutarakan pada Pikiran Rakyat.


Di samping itu, pola distribusi yang selama ini diterapkan masih membuka peluang maraknya penyelundupan pupuk ke luar negeri oleh para mafia perpupukan. Penyebab penyelundupan tersebut adalah akibat adanya disparitas harga yang tinggi antara harga jual domestik (HET) dan harga ekspor. Disparitas harga yang diperoleh para mafia ini pun memang menggiurkan, sekitar 100 dolar AS/ton.


Dari pola distribusi ini terlihat bahwa di balik kasus kelangkaan pupuk ternyata menyimpan masalah yang cukup rumit. Kasus kelangkaan pupuk ini tidak bisa ditangani secara parsial, tapi ditangani secara konprehensif dari berbagai sisi. Pemerintah dan produsen diminta untuk segera mengambil langkah-langkah intervensi.

Yang lebih penting, produsen tidak memonopoli distribusi pupuk ke pengecer guna mengurangi risiko penyelewengan. Sebab, ”Untuk distribusi jelas ada masalah monopoli karena produsen memberikan pada pengecer tertentu. Soal pemberian pupuk secara rayonitas tidak masalah, asal efektif," kata anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Benny Pasaribu, seperti dikutip Antara.

Dia mengatakan, pembagian pupuk secara rayonitas membuat petani tidak memiliki pilihan. Masalah akan timbul jika pupuk dari produsen yang telah ditentukan terganggu akibat masalah produksi, petani akan panik. ”Masalah kelangkaan pupuk memang tidak bisa dilihat sebagian saja. Rencana pemberlakuan RDKK oleh Deptan cukup baik dengan memberikan langsung ke petani, tapi masalahnya kita tidak punya data base yang bagus,” ujar dia.


Menurut anggota DPRD Jawa Tengah, Fatria Rahmadi, program jangka pendek yang perlu ditempuh adalah operasi pasar, khususnya di daerah yang mengalami kelangkaan sangat kritis. Selain itu, perlu peningkatan kualitas pengawasan. Kalau perlu,distributor melakukan mekanisme pengawasan internal, dengan menempatkan petugas khusus yang mengawal pupuk dari gudang ke tangan petani.

”Untuk jangka panjang perlu dipersiapkan skema distribusi alternatif. Pola penyaluran paling cocok seperti penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin). Pemerintah dan produsen langsung mengambil alih operasional distribusi,” katanya seperti dikutip Suara Merdeka. Dengan begitu, lanjutnya, penyaluran pupuk diharapkan akan tepat sasaran, tepat harga, tepat waktu dan tepat kuota. Dari aspek pertanggungjawaban, pengawasan dan koordinasi akan lebih trasnparan dan jelas.


***


Boks 2

Banyak Jalan Berantas Mafia


Sudah jadi pemahaman publik, kelangkaan pupuk di sejumlah daerah penyebabnya diduga dilakukan oleh jaringan mafia pupuk. Kondisi demikian bahkan sudah berlangsung lama. Oleh karenanya, bila pemerintah serius memperhatikan nasib petani, seharusnya aparat terkait berani mempersempit ruang gerak bahkan memberantas mafia pupuk ini.


Menurut sejumlah pengamat, jaringan mafia ini bahkan diduga melibatkan oknum pejabat BUMN pupuk. Karena itu, tak aneh jika sejumlah pihak meneriakkan penggantian direksi BUMN pupuk guna memberantas mafia. ”Salah satu cara untuk memberantas mafia pupuk yakni mengganti direksi BUMN pupuk yang terbukti terlibat mafia pupuk,” tegas Ketua BUMN Watch Naldy Nazar Haroen, seperti dikutip Sinar Harapan.


Tuntutan senada juga disampaikan Ketua Umum Ikatan Pengusaha Muslim Indonesia (IPMI) HM Syaiful Anwar. Menurutnya, pemerintah harus mengganti jajaran direksi BUMN yang memproduksi pupuk jika dalam waktu dua bulan ke depan tidak mampu mengatasi kelangkaan pupuk bagi petani dan industri perkebunan di dalam negeri. ”Kelangkaan pupuk ini telah mengakibatkan petani dan industri perkebunan tersiksa,” katanya, seperti dilansir Antara.


Dia berharap, ketiga BUMN bidang pupuk yakni PT Pusri Palembang, PT Pupuk Kujang Purwakarta dan PT Pupuk Kaltim agar meningkatkan produksi pupuk dan melancarkan distribusi pupuk kepada petani, sehingga dalam musim tanam dua bulan mendatang, petani dan pengusaha perkebunan tidak mengalami kesulitan mendapatkan pupuk. Bahkan, jika perlu, lanjutnya, pemerintah melakukan impor pupuk untuk memenuhi kebutuhan petani dan pengusaha perkebunan.


Pencabutan SK No 70/MPP/Kep/2/2003, tentang pengadaan dan peyaluran pupuk bersubsidi utuk sektor pertanian, yang sering merugikan petani, juga sempat diwacanakan sejumlah pihak. Selanjutnya, pemerintah memberikan tanggung jawab pendistribusian pupuk kepada BUMN khusus yang menangani distribusinya. Pasalnya, muara dari hilangnya pupuk di pasaran adalah pola distribusi yang monopolistik dan rawan penyelewengan.


Cara lain yang dapat ditempuh adalah menerapkan subsidi hasil panen (output) daripada menekankan subsidi pada sarana produksi, seperti pupuk, benih, maupun alat dan mesin pertanian (input). Menurut Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) M. Nur Gaybita, pemberian model subsidi input ini sudak terbukti seringkali diselewengkan. ”Dengan subsidi output, rakyat dapat merasakan langsung karena pemerintah menjamin harga hasil panen tidak jatuh,” katanya.


Solusi yang lebih bijak adalah bagaimana agar para petani kita bisa memutus kebergantungannya kepada pupuk kimia, dengan beralih kepada pengembangan pertanian organik (organic farming). Pertanian organik adalah sistem pertanian yang mirip dengan keseimbangan yang terjadi di hutan. Dalam sistem itu, kesuburan tanah berasal dari pelapukan bahan organik yang terjadi secara alamiah. Siklus tersebut bisa diadopsi dengan menggunakan pupuk kompos alami dari sampah organik. Dengan demikian, petani pun tak perlu menjerit lagi jika pupuk urea bersubsidi dipermainan para mafia di pasaran.




Tidak ada komentar: