Sabtu, September 06, 2008

Global Warning Bagi Pangan Kita

Semula, kita beranggapan bahwa pemanasan global hanyalah persoalan di dunia antah berantah. Di Kutub Utara, nun jauh di sana. Dampaknya pun akan terasakan beberapa puluh tahun mendatang dan menimpa cucu atau cicit kita kelak. Namun, pandangan ini kini tidak relevan lagi. Pemanasan global telah di depan mata. Fenomena yang menyebabkan perubahan iklim ini menjelma menjadi persoalan nyata yang dapat mengancam kehidupan kita.


Cuaca yang tidak menentu, curah hujan yang tinggi, ombak besar, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan berbagai bencana alam silih berganti menghantui kita. Intensitas bencana maupun frekuensinya pun semakin meningkat dari tahun ke tahun, memperkuat dugaan bahwa pemanasan global (global warming) yang dapat menyebabkan perubahan iklim (climate change) secara ekstrem telah tiba dan menjadi momok kehidupan global. Kejadian-kejadian ini telah menyadarkan masyarakat bahwa dampak pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim mulai terjadi di tengah-tengah kita.


Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, intensitas maupun frekuensi bencana mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), periode tahun 2003-2005, mencatat sekitar 1.429 kejadian bencana di Tanah Air, 53,3 persen di antaranya berkaitan dengan bencana iklim hidrologi, seperti banjir, longsor, kekeringan, dan angin topan. "Jika dibandingkan dengan kejadian-kejadian bencana pada tahun 1950-1960-an, peningkatannya sekitar empat kali lipat," tutur Rizaldi Boer, Kepala Laboratorium Klimatologi Geomet-Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagaimana dikutip Harian Kompas.


Adalah gas rumah kaca (greenhouse gas), golongan gas yang menghasilkan efek rumah kaca, dituding sebagai biang keladinya. Bumi seakan berada di dalam rumah kaca yang panas menyengat. Sifat gas ini menyerap dan memantulkan radiasi dari permukaan bumi, serta menyerap dan meneruskan radiasi matahari. Bumi pun seakan mendapatkan pemansan dua kali sehingga dengan adanya gas rumah kaca, bumi semakin panas untuk dihuni.


Di samping itu, pada lapisan troposfer (lapisan pertama atmosfer bumi), kondisi ozon lebih banyak mengalami perubahan. Hal ini dimungkinkan karena beberapa faktor. Faktor pertama adalah aktivitas manusia, seperti industri, transportasi, rumah tangga, dan pertanian yang merupakan sumber polusi udara. Lapisan troposfer lebih dekat dan langsung bersentuhan dengan aktivitas di bumi.


Faktor kedua adalah proses pembentukan dan perusakan ozon di troposfer berlangsung secara terus-menerus dan berulang akibat konsentrasi gas rumah kaca yang berlebihan. Sedangkan aktivitas alam seperti letusan gunung api dan gempa tektonik akan banyak melepaskan aerosol yang diyakini berpengaruh pada konsentrasi molekul ozon. Karbon dioksida juga memberi kontribusi terbesar pemanasan global, yaitu 50 persen.


PERINGKAT EMPAT: Dampak pemanasan global pun mulai menyiksa kita. Kenaikan permukaan laut, perubahan iklim, kerusakan pada organisme dan ekosistem, dan pengaruh terhadap ketersediaan air dan pertanian. Naiknya suhu rata-rata bumi adalah salah satu bukti telah terjadi perubahan iklim. Menurut laporan IPCC (Intergovernmental on Panel Climate Change), suhu global rata-rata akan meningkat dengan laju 0,3 derajat Celsius per dasawarsa. Suhu global rata-rata tahun 1890 adalah 14,5 derajat Celsius, dan naik menjadi 15,2 derajat Celcius pada tahun 1980. Diperkirakan suhu global rata-rata mengalami kenaikan antara 1,50 sampai 4,5 derajat Celcius pada tahun 2050.


Kenaikan suhu ini mengakibatkan gletser pada kutub-kutub bumi mencair. Es bumi yang melebur akan menjadi air laut dan menambah tinggi permukaan air laut. Dampak kerusakan lingkungan akan berantai dan tidak pernah putus selama belum ada tindakan untuk mengantisipasinya. Kenaikan permukaan air laut akan berdampak langsung pada garis pantai, menenggelamkan beberapa daerah dataran rendah dan pulau, banjir pada pulau-pulau kecil atau kawasan kota yang rata dengan pantai, hingga rusaknya hutan mangrove. Penenggelaman ini pun akan menimbulkan berbagai masalah baru bagi lingkungan global, kekurangan lahan permukiman, dan kekurangan lahan untuk sumber pangan.

Kepala Ekonomi dan Penasihat Pemerintah Inggris untuk Urusan Efek Ekonomi Perubahan Iklim dan Pembangunan Sir Nicholas Stern mengatakan, ada empat penyebab emisi gas rumah kaca, yaitu aktivitas dan pemakaian energi, pertanian, kehutanan, dan limbah. Emisi yang terbuang dari kebakaran hutan di Indonesia, menurutnya, lima kali lebih besar dari emisi yang terbuang di luar nonkehutanan. Karena itu, jika berdasarkan pada indikator konversi lahan dan perusakan hutan, posisi Indonesia sebagai ”aktor”penyebab pemanasan global berada pada posisi ketiga.

Namun, dalam kategori pembuang emisi gas rumah kaca di dunia, Indonesia menempati peringkat keempat di bawah Amerika Serikat, Cina, dan Uni Eropa. ”Indonesia masih terbesar sebagai emitters gas rumah kaca,” kata Stern dalam seminar bertajuk ”The Economics of Climate Change” di Gedung Perwakilan Bank Dunia, di Jakarta, Maret 2007 lalu. Sementara di bawah Indonesia, ada Brasil, Rusia, dan terakhir India.

PALING TERPUKUL: Jauh-jauh hari, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), mengeluarkan peringatan bahwa pemanasan global akan menurunkan produksi pangan dan menimbulkan kelaparan di berbagai belahan bumi. Pemanasan global juga akan mengakibatkan menurunnya luas lahan pertanian dan meningkatkan berbagai hama serta penyakit. “Perubahan iklim tak hanya berdampak pada ketahanan pangan, tetapi juga meningkatkan penyakit hewan dan hama tanaman,” kata Ketua Pokja Antardepartemen tentang Perubahan Iklim Organisasi Pangan dan Pertanian, Wulf Killmann, seperti dikutip Kompas.


Khusus ketahanan pangan, FAO menyebutkan, areal pertanian terus berkurang di negara berkembang. Akibatnya, produksi pangan menurun sehingga ketergantungan pada pangan impor sangat tinggi. "Berbagai lembaga dunia juga menyatakan hal yang sama. Semua terkait dengan masalah air. Saya melihat, terkait dengan Indonesia, yang paling penting adalah masalah penurunan kualitas lahan dan produktivitas yang mandek. Antisipasinya dalam jangka pendek harus dilakukan dengan pengelolaan air dan meningkatkan kualitas lahan," kata pengamat ekonomi pertanian M. Husein Sawit.

Indonesia juga tak terlepas dari dampak langsung perubahan iklim ini. Sebagai negara pertanian, kata Stern, perubahan iklim berdampak buruk bagi Indonesia, sebab dengannya kerap terjadi perubahan cuaca secara mendadak, termasuk hujan lebat yang sulit diprediksi. Perubahan iklim yang berlangsung selama ini terbukti telah berpengaruh langsung pada sektor pertanian. Produksi beras nasional, misalnya, antara tahun 1980-1990 rata-rata turun sekitar 100.000 ton per tahun. Adapun kurun waktu 1990-2000 turun rata-rata 300.000 ton per tahun.

Penurunan produksi ini berpengaruh langsung pada tingkat kesejahteraan petani. Sebagai contoh, ketika terjadi El-Nino tahun 2002- 2003, seperti yang dilansir dari hasil penelitian di sentra produksi beras Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, jumlah keluarga prasejahtera langsung naik sekitar 14 persen. "Ini disebabkan petani yang gagal panen tidak lagi memiliki pendapatan," kata Rizaldi Boer.


Perubahan iklim diperkirakan akan semakin parah pada masa-masa mendatang. Karena itu, pemerintah harus segera menyusun kebijakan yang adaptif terhadap perubahan iklim. Misalnya, musim tanam tidak lagi bisa berpatokan pada anggapan dulu, yakni musim hujan setiap Oktober-Maret dan musim kemarau setiap April-September. "Sektor pertanian memang perlu mendapat perhatian serius karena sangat rentan terhadap perubahan iklim," kata Prof. Dr. Ir. Irsal Las, Kepala Balai Besar Sumberdaya lahan Pertanina, Departemen Pertanian (Deptan).

Memang benar. Pertanian menjadi sektor yang paling terpukul oleh pemanasan global. Kerentanan ini dipicu oleh tiga faktor, yaitu peningkatan suhu udara, terjadinya iklim ekstrem, dan naiknya permukaan air laut. "Peningkatan suhu udara akan berdampak terhadap penurunan produktivitas tanaman, terutama tanaman semusim. Selain itu juga akan meningkatkan populasi beberapa jenis hama penyakit tanaman," ujar Irsal. Adapun iklim ekstrem akan menyebabkan kegagalan panen dan luas panen. Sementara naiknya permukaan laut akan menyebabkan menciutnya lahan pertanian pantai dan peningkatan salinitas tanah di sekitar pantai.

Saat ini saja, menurut Dr Heru Santoso, Koordinator untuk Asia, Proyek Hutan Tropis dan Adaptasi Perubahan Iklim, Center for Internationl Forestry Research (CIFOR) yang berkedudukan di Bogor, rata-rata tahunan curah hujan di beberapa wilayah mengalami penurunan, sementara di wilayah lain justru mengalami peningkatan. Selain itu, masa musim hujan dan musim kemarau juga mengalami pergeseran. “Akibatnya, sumber daya air akan menjadi masalah. Akan terjadi defisit air di sejumlah wilayah yang rata-rata curah hujannya menurun,” kata Heru.

Kondisi ini menjadi ironi di tengah tuntutan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi makanan. Sebagai basis persediaan makanan serta komoditas yang kapasitas produksinya sangat tergantung pada 'kebaikan dan kecocokan' temperatur, iklim cuaca dan kelembaban tanah, pertanian harus bersiap menerima kenyataan ketidakpastian iklim dan jatuhnya waktu cuaca yang semakin tak menentu, di samping harus 'melawan' ledakan penduduk yang belum terkendali.

Kenyataan di atas dikhawatirkan akan makin memburuk dengan makin terwujudnya perdagangan bebas. Perdagangan bebas sering dilihat sebagai hal yang menciptakan ruang berkembang bagi proses akumulasi gas-gas rumah kaca. Ini terjadi lewat dorongan terhadap peningkatan produksi dan konsumsi yang pesat, yang tidak disertai dengan teknologi produksi yang ramah lingkungan (environmental friendly technology).

KAJI ULANG: Berbagai inovasi budidaya tanaman padi guna meningkatkan produksi dan kualitas padi terus dilakukan. Namun, pemanasan global yang menggejala belakangan ini membuat kita harus mengaki ulang pertanian padi sawah yang selama ini telah menjadi tradisi dari generasi ke generasi. Hal ini diingatkan oleh Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bayu Krisnamurti dalam Kongres Nasional Perhimpunan Ekonomi Pertanian (Perhepi) XIV, Agustus 2007 lalu, di Solo, Jawa Tengah. Sebab, lanjutnya, pemanasan global akan berpengaruh terhadap produktivitas tanaman pangan dan ketersediaan air.

Pengaruh pemanasan global terhadap sektor pertanian, khususnya budidaya padi, juga telah menjadi perhatian banyak pihak. Konferensi Pemanasan Global yang dilaksanakan di Bangkok, Thailand, beberapa waktu lalu, kembali mengingatkan perlunya pengkajian budidaya padi untuk mengurangi produksi gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global itu.


Seperti diberitakan Environmental News Network, budidaya padi merupakan satu di antara beberapa penyebab utama peningkatan emisi metana, salah satu gas rumah kaca yang 21 kali lebih berpotensi menyebabkan efek rumah kaca dibanding karbon dioksida, sehingga turut andil dalam membuat kerusakan ozon dan kenaikan suhu. Dalam pertemuan itu muncul draf perubahan budidaya padi serta perbaikan usaha peternakan yang diharapkan dapat menurunkan emisi metana di sektor pertanian.


Penurunan produksi gas metana itu diharapkan mencapai sekitar 56 persen dibanding produksi gas metana saat ini apabila perbaikan budidaya padi dilakukan. “Tidak ada budidaya tanaman yang menyumbang emisi metana terbesar (selain padi),” kata Koordinator Konsorsium Padi dan Perubahan Iklim, Reiner Wassman, dari International Rice Research Institute (IRRI) Filipina, seperti dikutip Kompas.


Ia mengatakan, emisi gas dalam produksi padi cukup unik. Selain memproduksi gas metana yang berasal dari peruraian bahan organik usaha tani padi, juga memproduksi karbon dioksida yang dihasilkan dari pembakaran sisa tanaman padi. Usaha tani padi juga memproduksi nitrogen dioksida dari peruraian pupuk. Semua gas itu merupakan penyebab efek rumah kaca.


Oleh sebab itu, iika warga Asia ingin mengurangi produksi gas rumah kaca, mereka harus memulai dari tata cara dalam memproduksi padi. Reiner mengatakan, pertanian padi memang bukanlah produsen gas metana terbesar. Namun, menurutnya, usaha tani padi di Asia tidak bisa diabaikan terkait masalah produksi gas metana itu.


Karena itulah, beberapa negara telah berupaya untuk mengurangi produksi gas metana itu. Studi tentang penurunan emisi metana dalam produksi padi telah dipraktikkan oleh Aslam Khalil dan Martha Searer dari Universitas Portland, Amerika Serikat, pada tahun 2005. keduanya mencoba melakukan perubahan usaha tani untuk menstabilkan emisi gas metana ke udara. Dari penelitian mereka diketahui pengairan sawah secara berlebihan akan mendorong emisi gas metana.


Tahun 2007 kemarin, IRRI membentuk Konsorsium Padi dan Perubahan Iklim guna mendeteksi efek langsung maupun tidak langsung perubahan iklim terhadap produksi padi. Konsorsium ini, seperti dikutip Rice Today, juga mengembangkan strategi dan teknologi produksi padi yang mengadaptasi perubahan iklim. Melalui intensifikasi, mereka juga mencari pola baru yang bisa mereduksi emisi gas. Pada tahap awal IRRI memfokuskan pada perbaikan varietas padi yang tahan terhadap panas.


Sementara itu, Thailand sudah menyosialisasikan berbagai kemungkinan pengurangan pemanasan global yang bisa dilakukan para petani. Pemerintah Thailand menjelaskan, dampak pembakaran sisa tanaman akan menghasilkan karbon dioksida. Pengairan sawah yang berlebihan juga akan menghasilkan gas metana. Gas-gas inilah yang menimbulkan efek rumah kaca.


Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Direktur Pengairan Deptan, Gatot Irianto, seperti disampaikan kepada Kompas, Indonesia sebenarnya tidak termasuk negara yang berkewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca. Emisi gas rumah kaca Indonesia masih tergolong kecil. Selama ini sumber gas rumah kaca terbesar berasal dari industri yang berada di negara-negara maju.


Meski demikian, lanjut Gatot, pihaknya mengaku telah menerapkan Pengelolaan Tanah dan Tanaman Terpadu maupun Sistem Intensifikasi Padi yang menurunkan pasokan air ke sawah sehingga produksi gas metana berkurang. “Kemungkinan mereduksi gas rumah kaca adalah dengan sistem irigasi macak-macak,” kata Gatot. Sistem dengan pengairan yang tidak berlebihan itu diyakini akan mengurangi produksi gas metana.


TANGGUNG JAWAB BERSAMA: Menyikapi fenomena ini, Deptan telah menyusun tiga strategi atau pendekatan. Pertama, pendekatan strategis dengan melakukan identifikasi lahan-lahan yang terkena, rawan, atau sensitif terhadap perubahan hidrologi atau sumber daya air, serta menyiapkan varietas-varietas tanaman yang adaptif terhadap salinitas dan kekeringan. Langkah kedua, melakukan pendekatan taktis dengan mengembangkan sistem pengamatan dan pemantauan perubahan iklim diikuti dengan sistem informasi. Adapun langkah ketiga lebih bersifat operasional, yakni menyesuaikan pola tanam dengan mendorong diversifikasi tanaman.


“Badan Litbang Deptan sedang menyiapkan sistem kalender tanaman yang bersifat dinamis, yakni bisa mengikuti perubahan dan anomali iklim,” kata Irsal. Sungguh perencanaan yang bagus. Namun, tetap saja perencanaan ini akan efektif jika diterapkan dengan baik sehingga bisa menekan kerugian petani akibat perubahan iklim.

Selain itu, antisipasi pemanasan global juga mesti dilakukan secara terintegrasi dan melibatkan semua kalangan. Bahkan, masalah ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan harus menjadi isu sekaligus tanggung jawab bersama. “Terjadinya pemanasan global, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan itu ada kaitannya dengan budaya dan perilaku manusia. Oleh karena itu, diperlukan sikap kesadaran manusia untuk melakukan konstruksi/perbaikan," kata Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin, sebagaimana dikutip Antara.

Sementara itu, pakar lingkungan dari Universitas Gajah Mada (UGM) yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Lingkungan Hidup (LHH) PP Muhammadiyah, Prof Dr Muhjidin Mawardi, mengatakan, saatnya kita menerapkan sanksi hukum yang tegas terhadap pihak yang melanggar Protokol Kyoto. “Jangan hanya diberikan pada nuklir saja, namun juga kepada pelanggar Protokol Kyoto, seperti, Amerika Serikat (AS) yang menolak meratifikasi protokol tersebut,” katanya.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk berpartisipasi dalam menyelamatkan bumi ini, di antaranya hemat energi, tidak membuang sampah sembarangan yang dapat menghasilkan gas metan, dan mengolah sampah menjadi kompos. Selain itu, diversifikasi energi dari bahan bakar yang dapat diperbaharui (bahan bakar nabati), melakukan penghijauan di sekitar rumah, dan menggunakan teknologi yang tepat guna dan ramah lingkungan. Memang, sudah saatnya bumi dan segala isinya ini diselamatkan agar bisa dihuni lebih lama dan nyaman.

Boks 1

Masih Ada Terang di Balik Gelap

Di balik malapetaka, kerapkali tersimpan sebuah tantangan dan peluang. Pemanasan global yang kini mengancam pangan, pertanian, serta kehidupan pada umumnya telah membukakan mata dan pikiran kita untuk segera mengantisipasinya melalui berbagai cara. Jika tidak, pemanasan global benar-benar menjadi momok bagi ketahanan pangan yang sedang didengung-dengungkan.

Guna mengantisipasi pangan dari dampak buruk pemanasan global, Menteri Pertanian Anton Apriyantono pun turun tangan. Menurutnya, pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim dunia saat ini mengharuskan diversifikasi pangan di dalam negeri ditangani secara serius karena ketersediaan pangan di pasar dunia semakin menurun.

"Banyak negara tidak lagi mengekspor pangan karena bahan pangan seperti jagung, singkong, dan tebu digunakan untuk bahan baku sumber energi," katanya di hadapan para Penerima Penghargaan Ketahanan Pangan 2007 di Gedung Departemen Pertanian, November 2007 lalu.

Anton mengatakan, perubahan iklim yang terjadi saat ini, seperti munculnya musim kemarau ataupun musim hujan yang panjang sulit diprediksi sehingga berdampak pada sektor pertanian.
Ia memang menyinggung soal kondisi tahun ini dengan musim hujan yang panjang dan kemarau basah yang memberikan keuntungan bagi sektor pertanian sehingga produksi pangan meningkat. Namun, belum tentu kondisi ini akan stabil di masa mendatang. Bahkan, bisa saja terjadi sebaliknya sehingga produksi beras akan menurun.


Saat ini, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sebagai makanan pokok masih sangat tinggi sementara ketersediaannya semakin terbatas. "Oleh karena itu, diversifikasi pangan harus dilakukan mulai sekarang, kalau tidak kita akan kesulitan," katanya. Program ini sejatinya sempat diperkenalkan dengan membudidayakan komoditas pangan lokal nonberas, seperti ubi, singkong dan jagung sebagai makanan pokok menggantikan beras.


Program diverisifikasi pangan ini memang belum menunjukkan hasil yang diharapkan, karena tingkat konsumsi beras di Indonesia masih tinggi. Penilaian masyarakat Indonesia terhadap komoditas pangan non beras yang keliru mennyebakan program diversifikasi pangan sulit berkembang.Sebaliknya masyarakat yang sebelumnya memanfaatkan umbi-umbian sebagai makanan pokok justru beralih ke beras. Ia berujar, "Orang masih memandang kalau tidak makan beras itu belum makan."

Diversifikasi pangan ini tidak hanya soal perilaku, tapi juga paradigma. Oleh sebab itu, paradigma ini harus direaktualisasikan seiring dengan fenomena global yang mengancam komoditas padi dan pangan kita secara keseluruhan. Alam kita yang kaya dengan tumbuhan dan pangan yang beraneka ragam dapat menjadi jalan keluar. Dengan kata lain, kita tak perlu lagi menggantungkan pemenuhan gizi dari nasi semata, tapi juga dari singkong, jagung, umbi-umbian dan aneka ragam pangan lainnya.

Selain diversifikasi pangan, pemanasan global juga diantisipasi melalui beberapa strategi yang dicetuskan oleh Kepala Balai Besar Sumberdaya lahan Pertanian, Deptan, Prof Dr Ir Irsal Las. Ia menyatakan, ada tiga strategi besar menghadapi dampak pemanasan global terhadap pertanian. Pertama, antisipasi, yaitu bagaimana melakukan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman sesuai perubahan musim.


Kedua, mitigasi, yaitu memperlambat pola perubahan itu atau laju peningkatan konsentrasi gas rumah kaca tersebut. Sedangkan strategi ketiga adalah adaptasi, yaitu bagaimana menyesuaikan dengan pergeseran musim atau iklim, yaitu menyesuaikan pola tanam melalui kalender tanam. ''Antara lain teknologi apa yang dapat dilakukan, jenis varietas apa yang paling cocok, dan lainnya,'' ujar Irsal. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan kalender tanam.


Kalender tanam ini dapat dirancang dengan pijakan yang yang berhubungan dengan sumberdaya lahan, sumberdaya iklim, sumberdaya air, dan lingkungan pertanian. Misalnya, kalau tanah basah, sawah ditanami padi dengan meningkatkan daya tahan bibit padi terhadap kegaraman. Kalau tanah kering, areal sawah juga dapat ditanami kacang-kacangan dan jagung yang umurnya pendek. ''Untuk itu, saya meminta petani agar rajin-rajin memperhatikan iklim, jangan memaksakan kebiasaan semaunya, karena telah ada teknologi yang bisa memperbaiki pertanian,” tandas Irsal.

Boks 2

Ragam Cara Menyelamatkan Pangan

Deptan bekerja sama dengan International Rice Research Institute, Filipina, kini tengah melakukan uji coba lima varietas padi di 20 lokasi berbeda. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Pangan, Suryanto Hardjo Suwirjo, sebagaimana dikutip Tempo, mengatakan, apabila hasil yang didapatkan selama beberapa musim panen cukup stabil, bibit-bibit padi ini akan diluncurkan dan disebarluaskan kepada para petani di tanah air. Lima varietas yang sedang diuji coba tersebut antara lain:

a. Padi tahan kering

Varietas ini dimaksudkan untuk menghadapi musim kemarau panjang dan ketersediaan air bersih yang terbatas.

b. Padi tahan rendaman

Padi ini mampu bertahan dalam rendaman air/ banjir selama dua pekan.

c. Padi tahan salinitas

Varietas ini mampu menghadapi permukaan air laut yang meningkat akibat es di Kutub Utara mencair.

d. Padi umur pendek

Padi jenis ini dapat dipanen dalam waktu cepat sehingga tidak terganggu oleh musim hujan yang tak lagi bisa diprediksi.

e. Padi aerobik

Jenis ini mampu hidup di tanah yang tidak digenangi air. Varietas ini biasa digunakan oleh para petani Amerika Serikat dan Jepang.

Tidak ada komentar: