Jumat, September 05, 2008

Jepang Yang Mendunia

Tak ada sumber daya alam yang dapat diandalkan. Namun, Jepang tidak menjadikan keadaan geografis yang kurang menguntungkan sebagai alasan tidak bisa maju. Hasil pertaniannya merupakan yang tertinggi di dunia. Meski terkenal sebagai negara industri maju, pertanian tetap menjadi sektor utama. Kini, banyak negara di Asia yang menjadikan keberhasilan Jepang sebagai sumber inspirasi baru.

Berbeda dengan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, Jepang justru bergantung pada sumber-sumber dari negara lain. Negara tersebut tidak hanya mengimpor minyak bumi, biji besi, batu arang, kayu, dan sebagainya. Bahkan, hampir 85 persen sumber tenaganya berasal dari negara lain. Selain itu, Jepang juga mengimpor 30 persen bahan makanan dan negara lain untuk memenuhi konsumsi makanan penduduknya. Namun, di Jepang, pertanian tetap menjadi sektor utama meskipun telah menjadi negara maju.

Keadaan negara yang sedemikian rupa mendorong bangsa Jepang untuk menggunakan sumber yang sedikit untuk mendapatkan hasil yang banyak. Persaingan penggunaan tanah di Jepang sangat tinggi dan ketat. Karena permukaan yang bergunung gunung para petani harus memaksimalkan penggunaan tanah untuk menghasilkan makanan secara produktif. Mereka memanfaatkan waktu dan sumber daya alam sebaik-baiknya. Semuanya digunakan secara maksimal dengan tahapan yang maksimal pula. Coba bayangkan mereka menanam padi di halaman rumah mereka dan tidak menyia-nyiakan sejengkal tanah pun tanpa menghasilkan sesuatu.

Bangsa ini pun berhasil membuktikan diri dapat menciptakan keajaiban dalam bidang ekonomi dalam keadaan yang serba kekurangan dan dengan sumber daya alam terbatas. Akan tetapi, keajaiban dalam bidang ekonomi itu tidak muncul tiba-tiba dan diperoleh dalam sekejap. Keajaiban itu datang dari hasil kerja keras dan komitmen penduduknya selama beratus-ratus tahun. Tanpa kesungguhan dan keyakinan, mustahil negara ini dapat membangun kembali negaranya yang hancur akibat Perang Dunia II dan mampu berada dalam posisi seperti saat ini.

Begitulah Jepang. Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat Negeri Sakura ini kehilangan tradisi dan budayanya. Sebagai negara maju, Jepang tetap menganggap pertanian sebagai tradisi leluhur dan aset penting bagi negara. Pertanian yang merupakan sektor ekonomi yang kecil mempunyai subsidi yang tinggi dan menjadi satu sektor yang dilindungi. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian.

Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada pertanian yang melibatkan beras. Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah setempat untuk melindungi para petaninya. Petani padi di Jepang amat dimanjakan pemerintahnya. Proteksi impor dengan pengetatan standar dan tarif dilakukan. Beras yang diimpor dikenakan pajak sebanyak 490 % dan pemerintahan hanya membolehkan kuota sebanyak 30 % jumlah beras yang ada di pasaran beras.

Hasil utama pertanian Jepang memang bahan pangan, meliputi padi, kentang, jagung, gandum, kacang, kedelai, teh, susu, peternakan babi, ayam, dan telur. Sayur-sayurannya berupa lobak, kol, ketimun, tomat, wortel, bayam, dan selada. Sedangkan buah-buahan yang banyak ditanam adalah jeruk dan apel. Walaupun hanya 16 % dari luas daratan yang dipergunakan untuk pertanian, namun hasilnya termasuk memuaskan. Besarnya hasil pertanian ini didukung oleh kesuburan lahan pertaniannya karena tanahnya mengandung abu vulkanis. Di samping itu, penggarapan lahan pertanian dilakukan secara intensif dengan didukung teknologi yang maju.

TANAMAN YANG COCOK: Di antara tanaman pangan lainnya, padi dinilai paling cocok ditanam dalam kondisi cuaca Jepang, dan mendapat tempat istimewa sebagai bahan makanan suci bagi rakyat setempat. Dengan tradisinya yang panjang, budidaya padi bukanlah sekadar kegiatan pertanian lazimnya, melainkan menjadi kegiatan budaya daengan beragam corak keagamaan.

Menurut mitos yang diyakini masyarakat Jepang, padi dianugerahkan kepada rakyat Jepang oleh dewi nenek-moyang bangsa Jepang, Amaterasu Omikami. Kaisar Jepang, Tenno, yang merupakan tokoh kepala simbolis bagi Jepang, juga melakukan kegiatan menanam padi dengan tangannya sendiri di kebun istana Fukiage dan mempersembahkan hasil panennya kepada Dewi Amaterasu serta dewa-dewi lainnya. Pada upacara naik tahta Kaisar, diadakan serangkaian ritual Daijosai. Untuk itu dipilih dua petak sawah -disebut Yukiden dan Sukiden- dari dua lokasi di Jepang. Berbagai upacara dan ritual itu merupakan perwujudan agama asli Jepang, Shinto.


Di masa lalu, Jepang dinamai Toyoashihara no Mizhuho no Kuni atau "Negeri Untaian Makmur Padi pada Dataran yang Kaya akan Tanaman Padi”. Dengan nama demikian, tersirat bahwa beras atau padi melambangkan karakter esensial negeri Jepang. Orang Jepang percaya bahwa budidaya padi merupakan sebuah kegiatan suci yang diberikan kepada mereka oleh para dewa.

Hingga kini pun di berbagai daerah orang masih menyelenggarakan berbagai festival (berupa tarian, musik, dan lain-lain yang dilakukan secara beramai-ramai) yang terkait dengan budidaya padi, pemujaan kepada dewi padi, serta permohonan akan panen yang melimpah dan syukuran atas panen yan berhasil. Sistem keluarga besar orang jepang di masa lampau mencerminkan keterkaitannya dengan budidaya padi yang memerlukan banyak tenaga, pembinaan sistem irigasi, serta kerjasama komunal.

Dewasa ini jumlah orang Jepang yang berkecimpung dalam budidaya padi khususnya, dan pertanian pada umumnya, telah banyak berkurang. Sementara itu, pengelolaan sawah telah mengalami mekanisasi sejak tahun 1960-an. Berbagai aktivitas pertanian mulai dari penanaman hingga penyosohan padi dilakukan dengan mesin sehingga tercapai efisiensi tinggi.

Penelitian juga banyak dilakukan oleh para ahli untuk mendapatkan jenis padi yang unggul, tahan terhadap penyakit, produktivitas tinggi, masa tanam lebih singkat, rasa yang lebih enak dan lain-lain. Upaya penanaman padi Jepang, seperti juga di berbagai tempat lainnya di dunia, juga menghadapi berbagai gangguan seperti serangan hama dan penyakit, gangguan angin topan, dan lain-lain. Untuk penanggulangannya telah dilakukan berbagai usaha dan penelitian.


Konsumsi beras di Jepang telah merosot secara dramatis sejak awal tahun 1960-an. Sebagai gantinya terjadi peningkatan konsumsi roti dan produk pangan hewani lainnya. Meskipun lahan persawahan makin berkurang, Jepang masih mengalami kelebihan produski beras.
Dengan luas daratan 378.000 km2, menurut data Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, pada tahun 1996 Jepang menghasilkan 10.344.000 ton beras, sedangkan konsumsi berasnya 10.189.000.


Di Jepang, beras tak hanya diolah menjadi makanan, tapi juga menjadi berbagai penganan, bahkan minuman, seperti arak beras sake, cuka beras, dan arak untuk masak (mirin). Ditambah dengan zat ragi koji, beras dapat dibuat menjadi minuman fermentasi yang manis rasanya (amazake) yang juga dapat dipakai untuk acar. Adonan tepung beras dapat dibuat menjadi kripik o-sembei (dipanggang dan dilumuri kecap asin). Kripik arare dibuat dari irisan adonan mochi yang dibuat dari nasi ketan putih yang ditumbuk. Kue mochi adalah salah satu penganan pokok untuk tahun baru. Dango adalah kue yang juga terbuat dari tepung beras.

TERUS BERINOVASI: Meski memiliki lahan terbatas, pemerintah Jepang sempat membuat kebijakan untuk mengurangi areal tanaman padi beberapa waktu lalu. Kementerian Pertanian Jepang memutuskan untuk mengurangi areal tanaman padi dalam tahun fiskal 2003 karena menurunnya permintaan beras. Sejak tahun 1971, pemerintah Jepang memang mengontrol produksi padi dan secara bertahap terus mengurangi areal tanaman padinya dalam upaya mengurangi kelebihan suplai dan mencegah anjloknya harga beras akibat menurunnya permintaan.

Kendati demikian, Jepang tak pernah berhenti untuk melakukan inovasi dalam mengembangkan pertaniannya. Dalam catatan sejarah, Jepang sempat menjadi trendsetter di bidang pertanian organic (nature farming). Adalah International Nature Farming Research Center (INFRC) di Atami, Jepang, yang menjadi motornya. Program mereka terus berlanjut dengan riset-riset dan promo pertanian organik, yang kemudian lebih dikenal sebagai Kyusei Nature Farming.



Nature farming ini sejatinya dirintis sejak sejak 1985 oleh INFRC sebagai lembaga yang diresmikan pemerintah Jepang untuk meneliti dan mengembangkan pertanian organik. Komoditas pertanian yang diaplikasikan antara antara lain padi, palawija, buah-buahan dan teh. Makin meluasnya gema pertanian organik ke seluruh dunia sebagai bukti bahwa teknologi berbasis organik sukses diterapkan di setiap lini kehidupan umat manusia.


Jepang juga menerapkan teknologi dalam mengelola pertaniannya sejak lama. Pada tahun 1948, misalnya, negara ini telah mengadopsi teknologi informasi untuk mengembangkan difusi inovasi teknologi yang diperoleh dari Lembaga Penelitian Pertanian untuk diteruskan kepada para petani agar mengadopsi dan mengadaptasikannya pada kondisi usaha tani pada wilayah-wilayah pengembangan pertanian. Tujuan penyuluhan terfokus pada penerapan inovasi teknologi guna meningkatkan ketersediaan pangan dalam
jangka panjang. Kini kegiatan penyuluhan lebih diperluas, mencakup subsektor pendukungnya berupa teknologi maju, pengelolaan kesuburan tanah, pemenuhan kebutuhan finansial usaha tani, dan lainnya.


Berkaitan dengan keterbatasan personalia Penyuluh Pertanian dan keterbatasan
finansial pemerintah pusat dan wilayah, maka kini komunikasi bertumpu pada penggunaan komputer dan teknologi informasi yang lebih efektif dan efisien. Materi informasinya bukan hanya inovasi teknologi, tetapi juga inovasi kelembagaan, metode penyelenggaraan peenyuluhan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya. Pemeran utama dalam hal ini justru bukan semata dari kelembagaan Pemerintah Jepang, melainkan juga dari organisasi swasta dan nirlaba.

Dengan perangkat teknologi informasi, para Pemandu Penyuluhan petanian dapat
dengan cepat mempertukarkan informasi spesfik lokasi ke wilayah pengembangan
lainnya.
Perangkat yang digunakan berkembang seiring waktu. Jika pada tahun 1975
sebagai, awal penerapannya menggunakan “Surat Berantai” (Snail Letter), maka pada
tahun 1985 beralih dengan menggalakkan penggunaan faksimili.

Pada tahun 1990 diramaikan dengan penggunaan jaringan komunikasi personal yang diberi nama Nilai Tambah Jaringan Kerja Penyuluhan (Fukyu/Extemion Value Added). Jaringan komunikasi yang paling populer diterapkan pada tahun 2000 sampai saat ini, sistem diberi nama Jaringan Kerja Informasi Penyuluhan (Extension Information Network) atau disingkat El-Net, dipadukan dengan internet, home page, dan dioperasikan oleh Pusat Teknologi Informasi Jepang.

Selain lembaga tersebut diatas, dijumpai pula Jaringan Kerja Lokal yang bersifat
tertutup, dioperasikan oleh pemerintah wilayah dan Pusat Penyuluhan Petanian
dengan sasaran utama para petani. Hal ini melibatkan lembaga pemerintahan wilayah, pusat penyuluhan, lembaga penelitian pertanian wilayah, koperasi pertanian, serta petani, dengan ruang lingkupnya wilayah.

Informasi terbaru, sebagai reaksi atas pemanasan global, Jepang mulai mengembangkan pertanian padi yang yang dapat bertahan terhadap panas dan berkurangnya air. Kementerian terkait juga berencana mengungkap upaya untuk mengatasi dampak dari pemanasan global, termasuk padi jenis baru, serta upaya untuk produksi buah dan sayuran.

Jepang senantiasa terus berbenah. Mereka tak terbiasa menunggu peluang datang, tetapi mencari dan menciptakan sendiri peluang tersebut. Mereka tidak mudah tunduk pada kekalahan dan kegagalan. Mereka juga tidak mudah putus asa dan menyerah begitu saja. Bagi bangsa Jepang, kalah dan gagal setelah berjuang lebih mulia daripada mati sebelum berperang atau mencoba. Tidak ada keberhasilan yang diperoleh tanpa curahan keringat dan pengorbanan. Dengan kesungguhan, disiplin, kerja keras, dan semangat Bushido yang diwarisi secara turun-temurun, akhirnya Jepang menjadi salah satu penguasa perekonomian dunia.

Tidak ada komentar: