Penyempitan lahan, berkurangnya tenaga kerja usia muda di sektor pertanian, serta permintaan beras yang terus bertambah seiring dengan pertambahan penduduk, memaksa bangsa ini harus memutar otak. Upaya menemukan solusi untuk memenuhi pangan warga bangsa ini menemui titik terang dengan diluncurkannya padi Hibrida. Apa keunggulannya?
Populasi penduduk yang terus bertambah, lahan pertanian yang semakin berkurang, serta minimnya sumber daya manusia di sektor pertanian menjadi momok serius dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Apalagi jika perluasan lahan dan produktivitas benih padi konvensional terseok-seok, sementara tingkat permintaan terus menanjak tinggi.
Ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada acara Panen Raya Padi musim tanam 2005-2006 di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, Maret 2006 lalu, seperti mewakili kegundahan yang ada. Saat itu, Presiden Yudhoyono mengatakan bahwa konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia, pada 2005 mencapai 139 kilogram (kg) per tahun. Artinya setiap penduduk di Indonesia rata-rata mengonsumsi beras sebanyak 139 kg.
Data itu menunjukkan bahwa penduduk Indonesia mengonsumsi beras secara dominan dibandingkan dengan jenis pangan lainnya. Kebutuhan yang besar itu, di satu sisi, begitu menggembirakan para petani karena hasil jerih payah mereka akan laku dijual. Namun, di sisi lain, kebutuhan yang terus meningkat itu, tidak selalu dapat diimbangi oleh para petani mengingat luas lahan untuk bertani sulit untuk bertambah.
Untuk itulah, gagasan mengenai perlunya menerapkan cara-cara bercocok tanam yang efektif dengan menggunakan teknologi pertanian mendapat peneguhan. Di negara lain, produktivitas beras yang dimiliki begitu tinggi, padahal daerah-daerah persawahan yang juga tidak terlalu luas. “Kita harus memadukan lahan yang tersedia, teknologi yang tepat, kemudian cara bercocok tanam yang tepat pula. Itulah pentingnya petugas penyuluh lapangan yang harus bekerja di seluruh Tanah Air. Dengan teknologi yang maju, kita dapat melipatgandakan hasil pertanian tanpa harus menambah lahan,” kata Presiden Yudhoyono, dalam kesempatan yang sama.
Kerisauan itulah yang ditangkap oleh instansi pemerintah maupun pengusaha yang bergerak di sektor pertanian di negeri ini untuk mencari terobosan baru dalam pemuliaan sekaligus pengembangan produksi beras. Di tengah gencarnya upaya swasembada beras, pemerintah juga mulai menggalakkan penggunaan bibit atau benih unggulan. Salah satunya adalah benih hibrida yang didatangkan dari luar negeri.
Kampanye maupun sosialisasi pemakaian benih hibrida terus digalakkan menyusul program dan target pemerintah untuk meningkatkan produksi beras di tanah air. Dalam catatan Badan Penelitian dan Pengembangan (Badan Litbang) Departemen Pertanian (Deptan), perkembangan padi hibrida di Indonesia tergolong kecil jika dibandingkan dengan beberapa negara lain. Itu pun masih terpencar di berbagai daerah. Padahal, apabila ada pertambahan penggunaan benih padi hibrida, produksi bisa meningkat hingga 15%-25% di atas benih biasa (inbrida).
Di Cina, misalnya, hampir 50% areal persawahan yang dimilikinya telah ditanami padi hibrida. Negara Tirai Bambu ini mampu memproduksi sekitar 22 juta ton gabah lebih banyak untuk luas lahan yang sama. Tidak hanya itu, Cina sekaligus dapat menghemat hampir 4 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk keperluan lain, seperti budidaya tanaman alternatif atau kawasan perlindungan alam.
Sementara itu, Filiphina mampu meningkatkan produksi beras sebanyak 15%-25% akibat padi hibrida. Kerjasama strategis antara pemerintah dengan kalangan swasta terjalin secara padu. Swasta menjalankan riset dan usaha, sementara pemerintah menjamin adanya pasar yang kompetitif. Tak mau kalah, Vietnam juga memakai hibrida dalam mendongkrak ekspor berasnya. Negara ini bahkan memiliki Pusat Riset Padi Hibrida dan menargetkan untuk menanam padi hibrida seluas 1 juta ha tahun 2010 kelak.
BISNIS BENIH: Kini, tanpa disadari, perkembangan usaha bisnis padi hibrida mulai menggeliat di Indonesia. Meski bergantung pada impor, permintaan terus meningkat dari waktu ke waktu. Usaha ini memiliki prospek bagus dan diperkirakan terus meroket mengingat benih memiliki posisi vital dan strategis dalam usaha meningkatkan produksi di bidang pertanian.
Kebutuhan benih tidak akan berhenti selama pertanian masih terus dikembangkan. Inilah yang merangsang perusahaan-perusahaan swasta, baik perusahaan lokal maupun asing, untuk mulai menjajaki bisnis benih hibrida. Di pihak lain, pemerintah juga senantiasa melakukan penelitian sekaligus memproduksi benih hibrida secara terus menerus sesuai kebutuhan pasar. Hal ini ditempuh karena diyakini industri benih akan terus bergerak naik.
Lihat saja, pertengahan tahun 2007 lalu, pemerintah melalui Deptan telah melepas 31 varietas unggul padi hibrida yang memiliki daya hasil 10%-25% lebih tinggi dari padi biasa. Ke-31 varietas tersebut terdiri dari enam varietas hasil Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), sedangkan 25 varietas lainnya milik perusahaan benih. "Dari uji coba benih padi hibrida yang dilepas Badan Litbang Pertanian di 13 kabupaten menunjukkan hasil rata-rata padi tersebut yakni 7,35 ton gabah kering giling (GKG) per hektar (ha) atau 16,5% lebih tinggi dari varietas biasa yang hanya 6,31 ton GKG per ha," kata Menteri Pertanian, Anton Apriantono.
Menteri mengatakan, dukungan inovasi teknologi produksi padi tersebut diharapkan mampu mencapai peningkatan produksi beras nasional. Namun demikian, dia mengakui sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan produksi padi di antaranya penurunan kapasitas produksi nasional karena terjadinya alih fungsi lahan pertanian serta degradasi kualitas lahan dan air, selain tidak menentunya iklim di tanah air.
Jika padi hibrida bisa dikembangkan secara bertahap pada lahan seluas 1 juta ha dengan peningkatan produktivitas 1,0 ton per ha, maka secara nasional padi hibrida memberikan kontribusi dalam peningkatan produksi padi sebanyak 1 juta ton. Untuk itu, Badan Litbang Pertanian Deptan, senantiasa terus mengidentifikasi wilayah potensial pengembangan padi hibrida di Jawa dan Bali. Di dua wilayah ini, khususnya di 23 kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur terdapat lebih dari 1,5 juta ha lahan sawah irigasi yang potensial bagi pengembangan padi hibrida. Potensi serupa juga terdapat di puluhan kabupaten lainnya pada musim kemarau.
Guna mengembangkan benih padi hibrida, Deptan melalui Balai Penelitian Padi juga melakukan kerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Cina untuk mengembangkan benih dari hasil persilangan varietas benih dari kedua negara. Benih padi hasil silangan dua varietas tersebut saat ini telah dilakukan uji lapang di kawasan Lampung Tengah.
Saat ini Balai Penelitian Padi sudah menghasilkan padi hibrida dengan produktivitas 12 ton per ha dan tahan penyakit. Pemanfaatan benih hibrida ini ditegaskan sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas padi nasional. Namun demikian, pemerintah tidak akan melakukan secara besar-besaran apalagi dengan melakukan impor benih dari luar.
Dari kebutuhan benih nasional sebanyak 300 ribu ton, menurut Mentan Anton Apriantono, penggunaan benih hibrida hanya diprogramkan 4.000 ton atau 300 ribu ha dari total luas tanaman padi yang mencapai 12 juta ha. "Namun kami tetap akan mendorong penggunaannya karena ke depan padi hibrida produktivitasnya yang diharapkan," katanya.
LEBIH BAIK: Soal kualitas benih, Mentan menegaskan, produktivitas padi hibrida yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian tidak kalah dengan padi introduksi dari Cina yang dilepas di Indonesia. Dia mencontohkan, di Bali, penanaman padi hibrida varietas Maro dan Rokan di lahan petani memberikan hasil 1,7 hingga 2,10 ton per ha atau 29%-34,1% lebih tinggi dari padi jenis IR64. Bahkan, dengan penerapan teknologi yang tepat, hasilnya dapat dioptimalkan lebih dari 9 ton per ha.
Selain itu, benih padi hibrida rakitan BB Padi memiliki keunggulan relatif lebih tahan terhadap hama wereng cokelat, peyakit tungro, dan penyakati hawar daun bakteri. Malahan, beberapa padi hibrida dengan benih asal Cina diyakini dapat tumbuh lebih baik jika ditanam di Indonesia. Iklim tropis Indonesia mendukung optimalisasi padi jenis ini.
Hal ini dinyatakan oleh Prof Zhang Hong Gui, ahli benih padi asal Cina ketika berkunjung ke ke Lampung. ''Iklim tropis memungkinkan padi hibrida yang dikembangkan Cina lebih baik jika ditanam di Indonesia," kata Zhang. Dengan iklim tropis Indonesia, lanjut Zhang, padi hibrida bisa ditanam dua kali dalam setahun. Meski tingkat keasaman tanah yang lebih tinggi dibanding Cina, katanya, padi hibrida dapat tumbuh dengan baik karena termasuk varietas yang tahan terhadap tingkat keasaman tanah tinggi. Kalau demikian adanya, tunggu apa lagi?
****
BOKS 1
Menguak Kawin Silang Hibrida
Apa yang disebut padi hibrida? Itulah pertanyaan yang mengemuka tatkala Cina mengembangkan padi hibrida pertama kali pada tahun 1974 lalu. Dalam perkembangan, masyarakat awam mulai mengenalnya sebagai produk hasil persilangan antara dua tetua padi yang berbeda secara genetik. Apabila tetua-tetua diseleksi secara tepat, maka hibrida turunannya akan memiliki vigor dan daya hasil yang lebih tinggi daripada kedua tetua tersebut.
Penjelasan lainnya, hibrida merupakan salah satu teknologi perbenihan yang memproduksi benih dengan menyilangkan dua inbred - yang secara genetik tetap - varietas dari tanaman tertentu. Hibrida menjadi spesial karena mereka menampilkan yang disebut "heterosis" atau hibrida. Teorinya, bila Anda menyilangkan dua induk yang secara genetik berbeda dari yang lain, maka keturunannya akan menjadi "superior" khususnya dalam hal hasil.
Namun, pengaruh heterosis akan hilang setelah generasi pertama (F1). Hal ini menjadikannya tidak berharga bagi petani untuk menyimpan benih yang dihasilkan dari tanaman hibrida tersebut. Ini membuatnya sangat menguntungkan untuk masuk ke dalam bisnis benih, karena petani perlu membeli benih F1 baru setiap musim untuk selalu mendapatkan pengaruh heterosis (hasil yang tinggi).
Untuk memproduksi benih hibrida, perlu adanya Galur Mandul Jantan (GMJ atau Galur A atau CMS line-Red) – varietas padi tanpa serbuksari yang hidup dan berfungsi sebagai tetua betina dan menerima serbuksari dari tetua jantan untuk menghasilkan benih hibrida. Selain itu, diperlukan pula Galur Pelestari (Galur B atau Maintainer Line-Red) – varietas atau galur yang berfungsi untuk memperbanyak atau melestarikan keberadaan GMJ.
Keberadaan Tetua jantan (Restorer) juga tetap diperlukan. Tetua ini merupakan varietas padi dengan fungsi reproduksi normal yang dianggap sebagai jantan untuk menyediakan serbuksari bagi tetua betina di lahan produksi benih yang sama. Di samping itu, benih padi hibrida juga dapat dihasilkan (diproduksi) dengan cara menyilangkan antara GMJ dengan Restorer yang terpilih secara alami di lapang.
Hingga kini, pemerintah telah mengembangkan puluhan varietas padi hibrida. Beberapa benih yang telah beredar di masyarakat di antaranya Intani I, Intani II, Rokan, Maro, Miki 1, Miki 2, Miki 3, Long Ping Pusaka I, Long Ping Pusaka 2, Hibrindo R-1, Hibrindo R-2, Batang Samo, Hipa 3, Hipa 4, Hipa 5 Ceva, Hipa 6 Jete, PP1, Adirasa, Mapan 4, Manis-5, Bernas Super, dan Bernas Prima.
Padi hibrida dikenal memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan padi biasa. Keunggulannya terletak pada hasil produksi yang diperoleh lebih tinggi daripada padi unggul biasa. Di samping itu, vigor yang dimiliki lebih baik sehingga lebih kompetitif terhadap gulma.
Tentu saja, di balik keunggulan terdapat beberapa kekurangan. Demikian juga dengan padi hibrida. Publik menilai, harga benihnya relatif mahal daripada benih unggulan lainnya. Tak hanya itu, petani juga harus membeli benih baru setiap tanam, karena benih hasil panen sebelumnya tidak dapat dipakai untuk pertanaman berikutnya. Kendati demikian, jaminan produksi yang lebih tinggi membuat publik terlanjur jatuh hati pada benih ini.
****
BOKS 2
Berebut Untung di Bisnis Benih
Prospek investasi yang menggiurkan membuat pertarungan bisnis di bidang perbenihan padi hibrida mulai marak. Kini, kiprah sejumlah perusahaan swasta di Indonesia, mulai menjajaki bisnis di benih tersebut. Awalnya, pada tahun 2004 lalu, ada tiga perusahaan yang menyatakan berminat untuk memproduksi benih padi hibrida, antara lain Syngenta, DuPont, dan PT Karya Beras Mandiri. Sebelumnya, hanya PT Sang Hyang Sri yang memproduksi benih padi hibrida, yaitu varietas Rokan, Maro, SL 8 SHS, dan SL 11 SHS.
Syngenta dan PT Karya Beras Mandiri masing-masing memproduksi dua varietas padi hibrida, yaitu Hipa 3 dan Hipa 4 yang sudah dikeluarkan tahun 2003. Sementara DuPont memproduksi benih padi dengan varietas PP1 yang menghasilkan 10-11 ton padi per ha, atau lebih banyak 20% hingga 25% dibandingkan dengan jenis IR 65.
Varietas PP1 memiliki karakteristik yang berbeda. Malainya panjang, penuh, serrta memiliki bulir padi yang banyak. Selain itu, PP1 juga mengandung keseragaman tanaman yang bagus. Tahun 2006 saja, DuPont memproduksi sekitar 80 ton-100 ton benih.
Industri benih padi hibrida makin riuh tatkala Bayer BioScience
Sadar akan potensi dan prospek industri ini di masa depan, pengusaha Tomy Winata pun turun gelanggang, dengan bendera PT Sumber Alam Sutera (SAS). Perusahaan swasta yang didirikan pada tahun 2003 lantas menjalin kerjasama pengembangan padi hibrida dengan perusahaan pengembang dan produsen perbenihan besar di Cina, Guo Hao Seed Industries, Co. Ltd. Kerjasama ini telah menghasilkan varietas benih baru bernama Bernas Prima dan Bernas Super.
Sampai sekarang, benih-benih yang beredar di masyarakat umumnya merupakan hasil impor maupun introduksi dari luar negeri, seperti Cina, India, dan Filipina. Negara-negara tersebut, termasuk negara maju lainnya telah menggunakan teknologi padi hibrida untuk mengantisipasi masalah kerawanan pangan yang melanda di negaranya.
Dengan semakin banyaknya kalangan yang tertarik menggeluti bidang perbenihan, secara otomatis akan semakin banyak pula pemulia-pemulia tanaman padi di Indonesia. Mereka boleh-boleh saja bersaing dengan strateginya masing-masing dalam meraup pasar. Namun, jangan lupa bahwa mereka sejatinya memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama, yaitu mewujudkan ketahanan pangan dan membangun pertanian nasional yang modern di masa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar