Dunia politik, bagi sebagian orang, menjadi wahana mengasah keberpihakan terhadap ekonomi rakyat. Hal ini pula yang menjadi semangat dan gerak juang Olly Dondokambey selaku wakil rakyat di Senayan. Terbukti, pria kelahiran Manado, 18 November 1961 ini menjadi salah seorang pelopor pemekaran wilayah sekaligus turut berjuang untuk memperbaiki infrastruktur di daerahnya.
Memberikan harapan yang lebih baik bagi masyarakat yang tertinggal, khususnya di kawasan timur, begitulah cita-cita besar Olly, panggilan akrab anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Utara, ini. Sebagai pimpinan Komisi XI yang membidangi masalah keuangan, posisinya begitu strategis dalam rangka meneruskan semangat dan perjuangannya dalam meningkatkan dana alokasi umum untuk daerahnya.
Tidak hanya berkutat dengan kepentingan daerahnya, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) ini pun bertekad untuk membangun dan memberdayakan ekonomi rakyat. Aktivitasnya di Komunitas Tumbuh Kembang (KTB), sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pengembangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, memperkuat kiprahnya dalam membangun pondasi ekonomi rakyat, khususnya dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Adalah amanah Kongres II 2005 di Bali, yang mengukuhkannya sebagai pioner KTB. Program pemerintah di bidang pembangunan ekonomi menjadi perhatian utamanya. “Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar target pertumbuhan, justru menimbulkan pemusatan ekonomi terhadap segelintir orang dan meminggirkan partisipasi masyarakat banyak dalam kegiatan ekonomi,” katanya, kepada Qusyaini Hasan dari PADI. Berikut wawacara lengkapnya:
Bisa diceritakan latar belakang terbentuknya KTB ini?
Pendirian KTB ini sebetulnya dipicu oleh beberapa hal. Pertama, adalah marjinalisasi ekonomi rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang didengung-dengungkan pemerintah ternyata tidak selalu berkorelasi lurus dengan penciptaan kemakmuran rakyat. Kedua, adalah krisis ekonomi yang menerpa Indonesia tahun 1997 lalu, dikatakan bahwa ekonomi rakyat memiliki kemampuan untuk menghadapi keadaann perekonomian yang tengah shock. Buktinya, saat investasi di sektor formal no persen, ekonomi rakyat masih mampu tumbuh 2-3 persen.
Apakah kesenjangan ekonomi yang terjadi juga turut andil melahirkan komunitas ini?
Harus diakui bahwa konglomerasi yang terjadi tak hanya menjadi langkah efisien secara ekonomi maupun politik, tapi juga mendorong munculnya mafia ekonomi dan monopoli alamiah. Untuk melawan itu, jawabannya hanya satu, mengembangkan ekonomi kerakyatan di mana asset ekonomi dimiliki oleh sebanyak-banyaknya rakyat sehingga tidak satu pun kekuatan modal yang mampu mengendalikan pasar.
Bagaimana dengan faktor kemiskinan maupun ketergantungan ekonomi yang terjadi?
Pemberdayaan ekonomi kerakyatan dengan melibatkan partisipasi banyak orang tentu akan berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan adanya peningkatan pendapatan, maka penurunan angka kemiskinan akan terwujud.
Soal ketergantungan ekonomi, selama ini Indonesia telah masuk pada jebakan utang luar negeri. Padahal utang luar negeri menjadi scenario klasik yang diterapkan oleh kapitalisme global dalam rangka menguasai asset ekonomi di negara berkembang. Kasus Argentina, Brasil, maupun Irak menjadi bukti scenario negara besar mencengkeram negara-negara besar. Ini sengaja dilakukan hingga suatu ketika saat negara itu mengalami krisis ekonomi yang parah, maka kapitalis global melakukan penjajahan ekonomi terhadap negara berkembang. Ini tentu sangat mengerikan.
Sebetulnya apa target yang ingin dicapai komunitas ini?
KTB diprakarsai oleh kalangan dari beragam profesi yang memiliki keahlian yang juga beragam. Kami tergerak untuk melakukan pemberdayaan terhadap 47 juta Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang menyerap ratusan juta tenaga kerja. Tujuannya untuk memperkuat sektor UMKM di seluruh dalam kontribusinya pada pembangunan ekonomi nasional.
Apa langkah awal yang Anda lakukan?
Langkah pertama yang ditempuh adalah pembentukan lembaga taktis, yaitu Badang Pelatihan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (BP2ER). Badan ini telah melakukan serangkaian program kegiatan untuk membangun bidang ekonomi yang berlandaskan semangat kegotong-royongan, keberagaman, dan kemanusiaan.
Pelatihan dan pemberdayaan, kata Anda. Apakah komunitas ini juga menyiapkan tenaga kerja handal?
Tidak hanya tenaga kerja, lembaga ini merupakan kawah candradimuka untuk menyiapkan wirausahawan tangguh, membangun jaringan kerja, mengkaji dan mengembangkan model ekonomi kerakyatan baik di bidang produksi, perdagangan, maupun keuangan. Jadi, sasaran pelatihan itu beragam, seperti wirausaha sederhana untuk sektor pangan, baik pembuatan roti basah, roti goreng, bakso, serta jajanan pasar.
Hasilnya?
Sampai Desember 2007, kami telah melakukan 41 kali kegiatan pelatihan baik untuk peserta umum, struktur partai, aktivitas gereja, komunitas pesantren, dan sebagainya. Dari kegiatan tersebut, KTB telah berhasil mencetak sekitar 4.000 alumni penggerak ekonomi kerakyatan, dari Sabang sampai Merauke.
Terobosan apalagi yang Anda tempuh agar program pemberdayaan ini lebih optimal?
Selain merangsang sikap pro aktif dari berbagai elemen masyarakat, diperlukan pula dukungan kebijakan dari lembaga legislatif dan eksekutif. Terkait dengan hal tersebut, saya mengajak mitra kerja, seperti jajaran Direksi Bank Indonesia (BI) agar melakukan serangkaian terobosan yang kian memperkukuh stabilitas perekonomian makro maupun mendorong pertumbuhan ekonomi mikro.
Soal kemudahan kredit dari perbankan, bagaimana?
Saya berharap BI mengeluarkan peraturan baru terkait dengan kemudahan persyaratan dalam pengucuran kredit perbankan, termasuk ke sektor UMKM. Dengan demikian, peraturan tersebut dapat menjadi panduan bagi perbankan nasional untuk menjalankan fungsi sinergis yaitu menyerap dana sekaligus menyalurkannya kepada masyarakat, khususnya bagi pelaku usaha dan sektor UMKM.
Lalu, apakah pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang Anda galakkan juga menyentuh sektor pertanian?
Memang sasaran pertama kita sekarang dititikberatkan pada swasembada pangan, di bidang pertanian, khususnya padi. Kita melakukan pelatihan serta pemurnian bibit kembali, yang memang saat ini belum didaftarkan di deptan. Bibit kita MSP, bibit ini sudah dicoba di beberapa tempat, dan terbukti sangat berhasil.
Yang sekarang kita kembangkan di mana-mana adalah membagi-bagikan bibit ini. Terakhir waktu kita panen di Cariu, kita panen 15 ton GKP per hektar. Tapi, kata tenaga ahli yang kita pakai, maksimal bisa sampai 17 ton, tapi sekarang belum. Kami akan mencoba lagi di beberapa daerah. Kalau sudah maksimal dan merata di Indonesia., kita akan launching. Itulah kira-kira kita akan mendorong sistem pertanian untuk swasembada pangan.
Di KTB sendiri, target jangka panjangnya di bidang ketahanan pangan, atau pemberdayaan petani?
Target kita sebenarnya adalah swasembada pangan, karena ternyata masih ada orang Indonesia, produk lokal yang bisa sama dengan produk luar. Sebenarnya pemerintah yang terlebih dulu memfasilitasi dalam rangka penyebaran benih ini. Kebetulan memang para peneliti ini dekat dengan kita, ya kita dorong. Mungkin mereka merasa selama ini tidak diperhatikan, maka KTB bekerja sama dengan peneliti ini, dan terbukti berhasil. Kalau berhasil panen, saya rasa pantas kita daftarkan sebagai varietas murni produk bangsa Indonesia.
***
Secara umum, Olly menilai bahwa kita memiliki potensi pertanian yang terbilang kaya. “Kita pernah membuktikan bahwa kita bisa swasembada pangan. Dulu, musim krisis moneter, tidak ada impor beras, tapi masih bisa jalan. Jadi, kita ambil dari situ sudah jelas,” katanya, panjang lebar. Namun, potensi ini bisa saja lenyap jika kebijakan pemerintah tak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pertanian maupun petani.
“Negara maju seperti Amerika saja masih memproteksi produk pertaniannya, Jepang apalagi, Cina terutama. Kita negara begini besarnya kok enggak jalan,” katanya, dengan raut penyesalan. Untuk itu, ia berharap agar pemerintah melirik kembali sektor pertanian yang sebelumnya terlupakan.
Wacana agar pemerintah meneruskan kebijakan peninggalan Soeharto, ketika berhasil mewujudkan swasembada pangan pada tahun 1984 lalu, menurutnya tidak ada salahnya. “Ya, kita tingkatkan produktivitas, distribusi pupuk kita jaga. Irigasi bangun kembali. Sekarang mana ada pemerintah mau memikirkan infrastuktur pertanian seperti ini lagi.” Dari pembenahan ini, lanjutnya, baru kita layak berpikir untuk berkompetisi dengan negara lain.
***
Apakah KTB juga melakukan pembinaan terhadap kelompok tani?
Ya, para petani kita didik cara memakai bibit unggul, supaya tidak salah dalam menggunakan. Sehingga produk yang sudah baik ini tidak salah sasaran. Bisa saja kegagalannya karena faktor alam, dan sebagainya. Tapi, kita minimalkan kegagalan karena faktor teknis itu repot. Makanya kita bikin pelatihan. Kita monitor terus, kelompok mana saja yang telah menerima bibit unggul ini. Februari lalu kita banyak panen, karena sejak Oktober 2007 lalu kita bagi-bagi bibit.
Tingkat penyebarannya sejauh mana?
Kalau ambil sampel seluruh Indonesia, bisa saja dikatakan demikian. Karena sudah merata di Indonesia, baik bagian timur, tengah, dan barat. Mulai dari Jawa, Sulawesi, hingga Lampung. Ini mewakili random percobaan yang kita lakukan. Memang kita kerjasama dengan kelompok tani dalam hal pengelolaan bibit unggul lokal ini.
Ini murni swadaya?
Ya, swadaya. Tidak ada campur tangan pemerintah. Jadi kita mencoba sejauh mana tingkat partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam rangka. Kesadaran dari masyarakat ini penting, karena program apapun dari pemerintah kalau tanpa diiringi dengan tingkat kesadaran dari masyrakat, kan repot.
Selain pembagian bibit, apa ada bantuan kredit atau penyaluran pupuk?
Kita tidak seperti itu. Kita tidak akan melakukan program seperti yang dilakukan pemerintah. Kalau pemerintah kan pakai APBN. Tapi, memang dalam program-program seperti itu juga kita lakaukan dalam kebijakan dengan pemerintah. Kalau di komisi saya ada dana penyertaan modal kepada perusahaan pembenihan, dana pendamping, itu juga yang kita dorong dalam rangka menunjang program ketahanan pangan.
Apakah sudah dipikirkan kemasan maupun pemasarannya?
Kalau untuk produk bibit ini kan tidak susah. Masyarakat akan melihat sendiri. Ini kan bibit lokal, turunannya juga menjadi bibit langsung di situ, karena bukan hybrid. Memang ada saat-saat tertentu setelah tiga kali tanam, dia harus balik lagi ke kita, sehingga petani mendapatkan produk unggul lagi. Ini tujuannya, pemberdayaan masyarakat.
Adakah kendala yang Anda temui?
Banyak. Sejauh ini pola bercocok tanam dan lingkungan di mana petani tinggal. Karena alam dan situasi daerah tertentu, petani ada yang bisa bertani sekali atau dua kali dalam setahun. Petani tidak mau rugi dan ambil risiko, sehingga agak ragu melakukan pembaharuan. Kita harus sadari itu, karena sekali dia gagal, maka dia tidak akan makan selama tiga bulan.
Jadi kita harus mencari terobosan dalam hal ini. Berapa penghasilannya sekali panen, kita ganti. Bukan subsidi, kita bayar dulu. Nanti hasil panen kita ambil. Setelah berhasil, dia lihat sendiri. Karena memang kendalanya untuk penyebaran varietas baru, banyak sekali. Petani kita miskin, jadi sekali gagal panen, dia tiga bulan tidak makan. Jadi kita tidak memberikan risiko itu kepada petani.
Dari sisi pendanaan, ada masalah?
Tidak ada masalah. Kita kan kalau menanam bibit satu hektar bisa dapat 10 ton, dan bisa dijadikan bibit kembali. Padi ini kita tanam, satu hektar 10 kilo. Berarti, kalau kita tanam satu hektar bibit, kita bisa tanam 1000 hektar, dengan hasil 100 ton. Dari sisi ini tidak ada soal. Karena modal kita paling satu hektar saja. Setiap daerah percontohan kita, hanya satu hektar.
Wacana bank pertanian, bagaimana?
Dulu waktu pemerintahan Bu Mega, ada usulan Bank Padi namanya. Sempat program ini masuk di koperasi. Dalam satu unit usaha, di situ sudah lengkap unit usaha produksi, produksi pertanian, produksi pasca panen, dan permodalan untuk menyerap kembali minimal 100 hektar hasil panen di lokasi tersebut. Di sinilah Bank Padi menjadi lumbung atau penyangga. Sehingga dasar waktu panen itu, koperasi bayar dulu. Biasanya waktu panen harga turun. Setelah dua bulan panen, harga naik. Waktu jual kembali, hasilnya dibagi dua dengan yang punya. Untungnya diambil sebagian, si petani pun mendapat hasil keuntungan dari kenaikan harga itu. Itulah konsepnya.
Bank Padi ini juga dalam rangka memperkuat posisi petani?
Betul. Persoalan ini kan pasca panen semua. Kalau tidak dikelola dengan benar, yang rugi petani. Posisi petani sangat lemah. Dulu Bank Padi ini sempat jalan, dikelola oleh Departemen Koperasi. Di Banyuwangi, Jawa Timur, kalau tidak salah. Saya tidak tahu sekarang masih jalan atau tidak.
Soal bank tani atau bank agro, bagaimana kemungkinannya?
Bank sekarang kan sangat professional. BRI saja yang kita dorong terus untuk bela petani sudah mulai masuk pembiayaan kredit korporat. Jadi, sudah enggak jelas lagi sekarang. Padahal dulu kan BRI khusus untuk melayani para petani. Ada bank lain yang mengurusi kredit komersil maupun kredit lainnya. BTN untuk mengurusi para peminjam kredit perumahan. Sekarang sudah tidak jelas keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. semuanya berorientasi profit. Harusnya pemerintah yang mengatur semua itu, karena pemegang saham BUMN ini adalah pemerintah.
BRI sekarang memberikan kredit jalan tol, padahal yang dibawa-bawa adalah uang petani. Mestinya, kredit kembali ke sana. Karena memang penyaluran kredit kepada kelompok masyarakat ini kan jadi pusing, karena yang menerimanya kan ribuan orang, walaupun duitnya sedikit. Kalau kredit kepada korporat kan sebaliknya, diberikan kepada satu orang, tapi duitnya berjubel-jubel.
Biodata:
Nama: Olly Dondokambey Tempat, tanggal lahir: Manado, 18 November 1961 Jabatan: Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Periode 2004-2009 dari daerah pemilihan Sulut, Wakil Ketua Komisi XI Riwayat Pendidikan: SMAN Manado (Lulus 1982), Akademi Akuntansi Jayabaya (1982-1984), Akademi Akuntansi Manado (1984-1987), STIE Tri Dharma Widya (1995-1997) Riwayat Jabatan: Manajer WIKA-PP JO Tmn Rasuna Apartemen Jakarta (1994-1995), Manajer PT. Pembangunan Perumahan, Direktur PT. Bintang Rezeki Abadi Makmur, Direktur Pusat Koperasi Mega Gotong Royong Pengalaman Organisasi: Anggota BPM Jayabaya Jakarta (1982-1984), Ketua KOMEGORO Sulut, Wakil Bendahara DPC PDIP Kota Manado (1999), Wakil Bendahara DPD PDIP Sulut (2000-2003), Ketua Alumando Jakarta (2003).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar