Jumat, September 05, 2008

S. Evi Julianti, Pelopor Beras Berlabel

Praktik pencampuran varietas beras tertentu dengan varietas lainnya di kalangan pedagang kini sampai pada tahap yang memprihatinkan. Konsumen pun dibuat resah karenanya. Di samping membuat rasa khasnya hilang, kualitas beras campuran ini pun tidak terjaga lagi. Dampak lebih buruknya, beras campuran ini dapat menyebabkan kualitas kesehatan menurun apabila konsumen tidak cermat dalam memilihnya.

Salah satu varietas yang seringkali dijadikan sasaran pencampuran adalah Pandan Wangi, sebuah varietas unggulan yang hampir punah. Untuk itu, Departemen Pertanian (Deptan) mengambil langkah penting dan strategis dengan mencetuskan Program Beras Berlabel. Selain sebagai langkah pemuliaan terhadap varietas Pandan Wangi, program ini dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga kepentingan konsumen.

Momentum ini ditangkap Sintikhe Evi Julianti sebagai peluang baru dalam mengembangkan dan membudiyakan beras berlabel di masyarakat. Sarjana Ekonomi lulusan Univesitas Surabaya, Jawa Timur, ini sebelumnya dikenal sebagai importir beras berkualitas, Taj Mahal, yang keberadaannya banyak menyita perhatian publik. Varietas ini dikenal sebagai beras herbal yang mampu menyembuhkan penyakit diabetes militus, hipertensi, dan berbagai macam penyakit lainnya.

Kini, tidak hanya dikenal sebagai importir beras berkualitas, Evi, panggilan kecilnya, juga memiliki perhatian besar terhadap perkembangan beras berlabel di Indonesia. Dari tangannya, lahir varietas unggulan dengan kualitas yang kompetitif. Direktur Utama CV Quasindo, ini pun mengambil peranan strategis sebagai salah satu pemrakarsa terbentuknya kemitraan antara Quasindo, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan para petani yang tergabung dalam kelompok tani (Gapoktan) Citra Sawargi, Cianjur, Jawa Barat.

Tanpa henti menyebarluaskan penggunaan beras berkualitas ini dengan menjajakannya di pasaran tanpa kenal batas dan kelas. Tidak berlebihan jika ia disebut-sebut sebagai pelopor beras berlabel, khususnya di kalangan pengusaha. “Inilah kesempatan kita untuk mempersiapkan diri memasuki era pasar bebas,” katanya kepada Qusyaini Hasan yang diutus PADI untuk mewawancarainya. Berikut petikannya:

Bisa diceritakan awal mula Anda berkecimpung di sektor perberasan?

Basic pendidikan saya sebenarnya manajemen. Setelah lulus sarjana, saya melanjutkan sekolah ke Malaysia, tepatnya di Legend International School, UK, jurusan seni. Hobi saya memasak. Cita-citanya dulu ingin punya restoran, he-he-he. Tapi, ketika saya bekerja di Sari Pan Pasific, Kuala Lumpur, mulailah saya berkenalan dengan kalangan Bernas, Bulog-nya Malaysia. Saya mulai belajar beras dari sana.

Dalam proses belajar sekitar tahun 1999-2000, varietas yang saya kenal pertama kali adalah beras Taj Mahal, dari India. Saya diberi tahu soal kualitas dan keunggulan beras ini. Saya tidak percaya. Sewaktu saya coba sendiri, berasnya memang mekar, 2 kali lebih banyak daripada beras biasa. Akhirnya, saya mulai menjajaki untuk menjadi distributor di Indonesia.

Apa yang menarik dari beras ini, sehingga membuat Anda jatuh hati?

Beras ini memang unik sekali. Taj Mahal merupakan varietas Mani Chamba yang hanya bisa ditanam di daerah India Selatan ini. Khasiatnya banyak, seperti mencegah tulang keropos, kegemukan, kanker usus, dan penuaan dini. Beras tersebut memiliki kadar gula dan lemak rendah tidak berkanji, kaya mineral, kalsium, phosporus, zinc, protein, berkabohidrat complex serta fiber soluble (serat larut) untuk mencegah kanker usus. Beras ini juga cocok bagi orang yang melakukan program diet.

Lalu, kapan Anda mulai bergerak sebagai importir?

Pada tahun 2001 saya langsung menandatangani kontrak untuk menjadi distributornya di Indonesia. Sejak itu, saya mulai melakukan impor. Saya coba di Semarang, Jawa Tengah, karena asal saya dari sana. Waktu itu, saya coba selama setahun, langsung ada dampaknya. Perlahan tapi naik. Tahun berikutnya, saya ekspansi di Pulau Jawa, seluruh outlet, dari pasar tradisional hingga pasar modern. Bahkan, langsung ada permintaan dari luar Jawa. Sekarang, distribusinya dapat dikatakan dapat mewakili seluruh kota di Indonesia. Mulai dari Kalimantan, Sumatra, Maluku, Sulawesi, bahkan sampai Leukseumawe, yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Dari awal Anda langsung memakai bendera Quasindo?

Ya. Quasindo kepanjangannya Quality Sehat Indonesia. Saya concern dengan misi saya untuk mempersembahkan produk-produk berkualitas sekaligus sehat. Ternyata, produk ini diterima masyarakat luas. Beras Taj Mahal ini sekarang bisa dijumpai di berbagai pasar swalayan, apotek, dan toko buah dalam kemasan plastik seberat lima kilogram. Beras ini akan selalu diusahakan ada mengingat keberadaanya tidak lepas dari upaya untuk menyehatkan masyarakat.


Apa benar, impor varietas ini sempat terkendala dalam aspek legalitasnya?

Departemen Pertanian menyatakan Taj Mahal tidak melanggar ketentuan karena segmen pasarnya khusus penderita diabetes dan hipertensi. Persetujuan impor itu tidak hanya memberi angin segar bagi saya sebagai pengusaha, tapi juga pada konsumen penderita kedua penyakit tersebut. Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian dalam pernyataannya tanggal 19 Oktober 2004 mengatakan izin impor beras itu diberikan dengan alasan penggunaannya berbeda dari beras biasa.


Terkait dengan itu, dikeluarkan rekomendasi impor yang ditujukan kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri, tanggal 30 September 2004. Kemudian Menperindag pada 11 Oktober 2004 memberi persetujuan kepada Quasindo untuk melakukan impor dan memasarkan beras itu. Dengan demikian, tidak betul telah terjadi pelanggaran atas larangan impor beras yang dikeluarkan oleh pemerintah.


Anda yakin, komoditas ini tidak akan mengganggu atau merusak pasar beras dalam negeri?

Pemberian izin impor beras ini sebetulnya menjadi bukti kuat akan hal tersebut. Penggunaannya berbeda dari beras biasa yang kita konsumsi sehari-hari. Klasifikasi beras untuk membantu penyembuhan penyakit diabetes dan hipertensi ini sudah diketahui oleh Badan POM. Harganya pun cukup mahal, sekitar Rp 17.188 per kilogram, sehingga tidak akan mendistorsi pasar beras dalam negeri. Pengajuan importasinya pun sangat kecil dan tidak mengganggu suplai beras nasional. Selain itu, beras Taj Mahal memang tidak dapat diproduksi di Indonesia, sehingga ketersediaannya sangat bergantung pada impor.

Sempat pula dipertanyakan, mengapa beras tersebut beredar di pasaran. Padahal, dalam lampiran dokumen permintaan rekomendasi hanya terdapat surat permintaan beras dari lembaga masyarakat seperti klinik, rumah sakit dan toko obat.
Yang jelas dalam SK Menperindag tidak ada batasan tempat penjualan. Di Jawa Tengah, beras ini hanya beredar di rumah sakit dan klinik. Namun, khusus untuk Jakarta, beras ini juga dijual di supermarket seperti Hero dan Carrefour.
Hal ini semata-mata agar konsumen mudah mendapatkannya.

****

Setelah sukses mengukuhkan diri sebagai importir, penggemar musik klasik akustik ini menjajaki usaha beras berlabel. Dari beberapa varietas beras yang diperkenalkan Deptan, ia tertarik dengan Pandan Wangi. “Saya pikir Pandan Wangi ini satu-satunya varietas unggulan di Indonesia. Namun, keberadaannya hampir punah,” katanya.

Maka, ia pun bergerak cepat dengan menggalang kemitraan dengan IPB dan Gapoktan Citra Sawargi. Kontrak jual beli antara perusahaannya dengan Gapoktan Citra Sawargi pun dilakukan. sistem kerja sama yang dilaksanakan adalah sistem kontrak harga, sehingga tidak ada fluktuasi harga. Pada tahap awal, kelompok tani itu diharuskan memasok beras jenis pandan wangi sebanyak 60 ton per bulan.”Kami harap, kerja sama ini akan menguntungkan kedua pihak,” kata Evi.

Sejak Juni 2007 lalu, ia mendistribusikan beras berlabel itu ke sejumlah supermarket dan hotel di daerah Jabodetabek. Xiang Mi, nama labelnya, yang berarti beras harum. Nama itu, tutur Evi, diambil karena pertimbangan market. Beras yang keaslian Pandan Wanginya dijamin Deptan, itu pun dipasarkan ke berbagai pasar tradisional hingga modern di tanah air. "Kami juga berencana akan mengekpornya ke Negara-negara di Asia, seperti Thailand, Vietnam, atau Cina," ucapnya dengan penuh optimis.

****

Seperti apa pola kemitraan yang Anda kembangkan?

Kita sistemnya kontrak setiap satu periode tanam, dengan sekali panen selama enam bulan. Kontrak harganya juga enam bulan. Kami mulai dari yang kecil, yang penting terus berkembang. Dari awalnya petani yang hanya 99 keluarga, bergerak mencapai 185 keluarga, sekarang 550 keluarga. Hasil tanamnya meningkat menjadi 20 ton. Dari lahan yang kecil, bisa meningkat biasanya lebih langgeng, daripada yang langsung besar dari awal, tapi pasarnya tidak jelas mau ke mana.

Apa kesan yang Anda dapatkan dari kemitraan ini?

Terus terang, setelah saya turun langsung ke sawah bersama petani, ternyata memang tidak mudah yang saya pikirkan sebelumnya dengan membeli langsung dari petani. Karena hubungannya tidak saja secara bisnis, tapi juga secara batin, spiritual, dan kekeluargaan. Setelah mengenal betul kehidupan petani yang susah, muncul simpati dari saya. Problem mereka kebanyakan disebabkan oleh tekanan dari tengkulak. Selain itu, mereka tidak tahu pasarnya untuk menjual. Makanya, harusnya Deptan juga membantu bagaimana cara memasarkan, supaya mereka tidak tertekan oleh tengkulak.

Kedua, yang jelas, kita tidak bisa menghindar dari perkembangan zaman. Era pasar bebas sudah dekat. Bayangkan, tidak hanya petani, kita pun harusnya khawatir. Kalau Asian Free Trade Area (AFTA) dimulai, seluruh produk asing boleh masuk dengan kualitas yang tidak bisa kita saingi dengan harga yang lebih murah. Sementara harga kita lebih mahal dari mereka dengan kualitas yang lebih rendah. Itu pasti akan menjadi masalah besar.

Apa betul ada semacam hambatan sewaktu kemitraan ini dilakukan?

Awalnya, kita ngumpul, sosialisasi sistem produksi, dan sebagainya. Tapi, itu saja tidak cukup. Ada yang membeli harga lebih mahal. Tapi jangan salah dimengerti, itu hanya pancingan dari para tengkulak yang jahat. Sekarang beli harga mahal, bulan depan sudah tidak mau beli lagi. Mereka hanya mau merusak suasana yang kami bangun.

Saya katakan pada para petani, silakan jika di antara Bapak-Bapak mau menjual dengan harga mahal. Tapi, ingat, kita ini harus memikirkan jangka panjang. Jangan sampai bulan ketiga atau empat mereka membeli dengan harga murah, akhirnya mereka mau merusak program yang kita jalankan ini. Jadi, kami melakukan komunikasi dan pendekatan secara kekeluargaan.

Apakah Anda juga melakukan pendekatan dari sisi manajemen?

Dari sisi pendekatan manajemen, staf akunting saya juga diturunkan suapaya membenahi sistem kerja mereka. Selama ini masalah mereka disitu. Mereka tidak melakukan pembukuan secara rapi. Yang tadinya menulis di atas daun saat negosiasi, sekarang sudah bisa di buku tulis.

Anda berharap kemitraan ini bersifat jangka panjang. Maksudnya?

Itu sebabnya, apa yang saya lakukan ini bisa berlaku jangka panjang. Kita jualan terus dengan adanya satu merek. Kita harus sadari, orang beli produk karena dia percaya pada merek. Orang sudah mulai percaya pada Quasindo. Produknya bagus, harganya kompetitif, didukung oleh Deptan dengan jaminan varietas dan kita kasih jaminan lagi uang kembali jika konsumen mendapatkan produk kami tidak berkualitas.

Tapi, kok mahal, ya?

Mahal atau murah itu bergantung pada pengaruh pasar sekarang ini, karena pemain beras kebanyakan mereka minta harga sesuai kehendak mereka. Kalau Pandan Wangi harganya Rp 5000, petani terpaksa menjual seharga itu dengan cara dicampur. Di pasaran, kita terbiasa menemukan Pandan Wangi dengan harga murah, dan terkejut melihat harga Xiang Mi yang mahal. Tapi, lambat laun dengan edukasi yang berjalan, konsumen akan memahami bahwa beras kalau betul-betul asli varietasnya, pasti jauh lebih mahal.

Lalu, bagaimana nasib produk ini di pasaran?

Di pasaran, kami juga bergerak pelan sambil mengenalkan produk ini. Orang masih pro dan kontra, masih trial and error, ya atau enggak. Tapi, kami terus mengenalkan beras ini secara baik.

Dari sistem produksi, apakah ada pola atau paradigma baru yang diadopsi?

Dari sistem produksi, kami dipantau oleh Deptan dan IPB. Jadi, ada tim audit, mereka mengaudit lahan, kelompok tani, jumlah petani, waktu tanam juga. Dari penangkarnya, dipilih bibit yang paling bagus. Sampai hasil akhirnya, kualitas proses juga lebih bagus. Lantas, dari produksi ini dikeluarkan bandrol, ada serinya di setiap packaging untuk mengantisipasi pemalsuan, pencampuran, dan tindakan merugikan lainnya. Quality control diterapkan dari setiap proses, mulai dari produksi hingga distribusi. Hasilnya sekarang sudah cukup bagus.

Kerja sama dengan Hero, bagaimana?

Kalau dengan Hero kami mengikuti sistem trading term. Jadi, kami harus memenuhi kondisi dagang discount term yang diberikan. Saya melihat sambil jalan, karena belum ada yang belum terlihat. Dari segi promosi, Hero menyerahkan ke kita. Yang kita harapkan dari Hero itu display dan penempatan yang lebih merata. Mereka tidak menerapkan sistem bagi hasil. Mereka langsung menghitung, dengan beberapa potongan.

Adakah kepuasan atau kebanggaan tersendiri yang Anda dapatkan melalui usaha ini?

Dengan adanya beras ini, terus terang saya senang dan bangga bisa mewakili dan membawa satu varietas unggulan di Indonesia di pasaran dalam dan luar negeri. Apalagi, produksinya sekarang 10 ton tiap bulan dan ada tren peningkatan. Pesanan dari berbagai daerah yang tidak pernah diduga sebelumnya terus terjadi, seperti Medan atau Makassar. Cuma problemnya di transport, beras kan mahal. Jadi biar sedikit beda, saya coba tekan keuntugan dikurangi, supaya harga merata.

Lalu, apa kontribusi nyata Anda dalam mendukung program ketahanan pangan?

Saya rasa pasti dengan sendirinya akan mendukung, dari sisi ketersediaan secara otomatis. Apalagi didukung dengan packaging atau merek. Dengan adanya beras berlabel ini saya harap rekan-rekan perhotelan, restoran, individu yang menginginkan beras berkualitas dan enak dapat mengkonsumsinya. Mulai dari sekarang kita harusnya juga bangga dengan produk beras berlabel unggulan ini.

Ada rencana meluncurkan varietas baru?

Ada satu packaging baru yang telah disiapkan. Cuma berasnya kita pilih beras sarinah, Garut. Karakternya panjang (IR), cuma lebih pulen. Soal nama, nanti tunggu tanggal mainnya, ha-ha-ha.

Tidak ada komentar: