Jumat, September 05, 2008

Kembalinya Kekuasaan Bulog

Bisnis dan layanan publik. Dua orientasi sekaligus fungsi Bulog yang mengundang kontroversi. Karena itu, khalayak menuntut perlunya kajian lebih mendalam agar lembaga perberasan nasional ini benar-benar terasa manfaatnya bagi masyarakat. Berbagai strategi juga harus dirumuskan terkait dengan kerangka perberasaan nasional sebagaimana tugas yang diberikan pemerintah. Apa hasilnya?

Masalah pangan selalu menjadi bahasan menarik, terlebih dengan berbagai ironi yang menyertainya. Pemerintah bahkan tampak kewalahan menjaga harga-harga kebutuhan pokok. Karenanya, pemerintah mencoba mengurai persoalan yang terjadi di wilayah pangan, salah satunya dengan memberikan peran yang lebih besar pada Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) sebagai penjaga stabilitas harga beras.


Pemerintah melalui Surat Menko Perekonomian tanggal 31 Agustus 2007 tentang Kebijakan Stabilisasi Bahan Pangan Pokok Beras, Gula, dan Minyak Goreng memberi kewenangan penuh kepada Bulog untuk menstabilkan harga beras. Di sini timbul pertanyaan, apakah Bulog akan memberi porsi ”fungsi sosial” lebih dominan dari pada “fungsi bisnis’”?

Sebuah peran baru kembali dilakonkan Bulog. Bila kemarin setiap tindakan yang dilakukan Bulog harus melalui alur atau instruksi dari pemerintah, kini berbagai kreativitas dapat dimainkan oleh Bulog yang bermuara pada kestabilan harga pokok. Namun, menurut Agus Suman, PhD, akademisi dari Universitas Brawijaya, Malang, sebagaimana dikutip Seputar Indonesia, status hukum Bulog sebagai perusahaan umum kerap menjadi benturan

“Di sisi lain Bulog harus berorientasi bisnis alias profit oriented. Tetapi Bulog juga punya peran lain, yaitu fungsi sosial,” katanya. Peran ganda ini diyakini banyak kalangan sulit beriringan. Bahkan, beberapa peran mulia seringkali ditelikung dengan menjadikan peran untuk rakyat dibingkai dengan bisnis. Menyandingkan peran sosial dan komersial pada waktu yang lalu sulit dilakukan, untuk tidak menyebut gagal.

Perum Bulog yang lahir atas dasar Peraturan Pemerintah (PP) 7/2003 itu ditugaskan untuk memperkokoh ketahanan pangan melalui pengelolaan pangan strategis, yakni beras, gula, jagung, dan kedelai. Sayangnya, selama masa reformasi, keberadaan BUMN tersebut terkesan masih belum dioptimalkan. Di era reformasi, Bulog hanya menangani beras. Sementara itu komoditas pangan lainnya diserahkan seluruhnya ke mekanisme pasar.

Fakta menunjukkan, sejak lembaga dana moneter internasinal (IMF/International Monetery Fund) ikut serta ”membantu” pemulihan krisis perekonomian Indonesia, eksistensi Bulog mengalami pengurangan peran. Dulu, sebagai state trading enterprise (STE) yang dinotifikasi di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Bulog memiliki previlage dengan menjadi pemegang monopoli atas kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako). Tapi sejak lembaga keuangan dunia itu ikut campur, kewenangan Bulog terpangkas habis. Bahkan, setelah Letter of Intent (LoI) antara IMF dengan Pemerintah Indonesia (1998) ditandatangani status STE Bulog dihapus. Kewenangannya atas sembako dipreteli hingga tinggal beras saja.

Sementara itu posisi Bulog sebagai stabilisator harga pasar menjadi hanya sebagai penjaga harga dasar pembelian pemerintah (HDPP), yang kemudian diubah lagi menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Pasar tetap (captive market) Bulog sebagai penyalur bahan pokok (beras) bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan TNI-Polri dihilangkan. Kredit lunak dari Bank Indonesia (KLBI) juga tidak lagi dikucurkan.

Dalam nota kesepahaman (LoI) yang ditandatangani 20 Januari 2000 mendudukkan Bulog dalam keadaan dilematis. Dalam LoI tersebut ditegaskan, Bulog harus berubah, yakni melepas beras dan gula. Semua boleh impor beras dan gula dengan bea masuk 5 persen. Akibatnya, suplai tak bisa dikendalikan, sehingga sulit mengetahui secara pasti jumlah beras yang beredar di masyarakat.

Sesuai dengan yang diamanatkan Undang-Undang (UU) 7/1996 tentang Pangan, Bulog berperan sebagai satu-satunya BUMN yang menjalankan tugas pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran beras. Bulog juga ditugaskan untuk memperkokoh ketahanan pangan (food security), khususnya dalam pengamanan untuk gabah dan beras.

Selain itu, Bulog diberi tugas menyalurkan beras untuk keluarga miskin (raskin), penumpukan stok nasional, dan mengamankan harga pangan pokok bila terjadi ketidakstabilan harga di pasaran melalui Operasi Pasar (OP). BUMN itu juga ditugasi untuk menyediakan beras guna membantu Dinas Sosial jika terjadi bencana alam, konflik sosial, dan keadaan darurat lainnya.

Ironisnya, sampai sekarang pun dukungan pemerintah dalam hal kebijakan dan dana masih minim dibandingkan dengan beban yang harus dipikul Bulog. Fungsi dan peran Bulog bahkan terkesan cuma dimanfaatkan pada situasi darurat atau hanya sebagai ”pemadam kebakaran”, bukan sebagai salah satu pelaku penyeimbang dalam pembangunan pangan (terutama beras, gula, jagung, dan kedelai) nasional.

REVITALITASI PERAN: Karena itu, tak mengherankan jika peranan Bulog mendapat gugatan dari banyak pihak. Ketua DPR Agung Laksono sebagaimana dikutip Tempo, menyarankan agar pemerintah merestrukturisasi peran dan fungsi Perum Bulog terkait kebijakan stabilisasi harga beras. Pemerintah harus melakukan langkah yang tidak biasa, bila perlu secara revolusioner dalam mencapai swasembada beras.


Penegasan itu disampaikan Agung juga dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pembina Dewan Beras Nasional (DBN). Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Umum Eksekutif DBN Lumban Gaol menambahkan, perubahan peran dan fungsi yang diinginkan adalah bagaimana agar Bulog bisa kembali ke semangat semula sebagai stabilisator harga. "Sekarang ini liberal, kalau ada potensi keuntungan Bulog akan mengambil peran. Tapi, kalau tidak untung tidak diambil. Lalu, siapa yang harus bertanggungjawab terhadap stabilisasi harga beras di tanah air ini," kata Lumban

Tegasnya, fungsi dan peran Bulog sebagai stabilisator harga harus dikembalikan. Apalagi dalam berbagai rapat dengar pendapat antara Perum Bulog dengan Komisi IV DPR RI dinyatakan, Bulog harus berperan dalam stabilisasi harga komoditas pangan nonberas lainnya, seperti minyak goreng, gula, terigu, dan kedelai. Pengembalian fungsi dan peran dari perusahaan ”pelat merah” itu harus dilakukan untuk mengantisipasi harga pangan yang cenderung naik.

Fungsi dan peranan Bulog sebagai lembaga yang memonopoli pengadaan beras bagi kepentingan masyarakat, ternyata masih dibenarkan undang-undang. Hal itu terlihat dalam UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 50 menyebutkan antara lain, "Yang dikecualikan dari undang-undang ini adalah perbuatan dan atau perjanjian dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku."


Pasal 51 menyebutkan, "Monopoli dan atau pemusatan kekuatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah."


Di negara maju lembaga atau badan semacam Bulog masih banyak diterapkan dalam kebijakan pro rakyatnya. Seperti di AS, Jepang, dan Eropa Barat, yang masih membernarkan praktik monopoli melalui badan khusus yang ditunjuk atau dibentuk negara. Di Jepang, badan ini khusus mengenai beras. Negara membeli beras petani untuk menjamin tersedianya keperluan pangan, dan juga untuk menjamin pemasaran produksi hasil tani rakyatnya demi meningkatkan daya beli petani, agar kemakmuran dan kesejahteraan petani dapat terjamin.

Sehaluan dengan aspirasi banyak pihak, Perum Bulog pun merevitalisasi peran dan fungsinya. Bulog berkomitmen untuk tetap mengoptimalkan public service obligation (PSO) dalam pengamanan beras dan melakukan upaya bisnis tetapi tidak fokus pada beras. "Supaya tidak ada ketimpangan, kalau mau berbisnis ya jangan beras lah, bisa pangan lain seperti perikanan misalnya," kata Anggota Dewan Pengawas Bulog Bayu Krisnamurti, seperti dikutip Tempo.

Tugas PSO Bulog ini dioptimalkan untuk menjaga cadangan stok beras. Cadangan ini akan digunakan untuk operasi pasar dan bencana, mengamankan harga di tingkat petani dan menyalurkan beras miskin. "Jadi ke depan peran bisnis dalam pengadaan beras di Bulog harus dilepaskan," katanya. Bisnis itu harus diversifikasi ke bahan pangan yang lain, tidak hanya beras.

Bayu mengatakan, direksi melakukan optimalisasi agar kran impor tidak terlalu terbuka lebar. Caranya dengan meyimpan stok beras yang cukup saat panen raya. Bulog juga memainkan peran otimal dalam melindungi HPP gabah dan beras untuk petani terutama saat panen raya. HPP gabah juga akan disesuaikan dengan kebutuhan stok beras yang aman sesuai dengan instruksi presiden tahun ini yaitu sebesar dua juta ton.

Komisi IV DPR juga mendesak pemerintah segera mengembalikan mengembalikan peran Bulog bagi stabilitas ketersediaan (stok) dan harga kebutuhan pokok rakyat. Bagi Komisi IV DPR, kenaikan harga pangan yang tak terkendali akhir-akhir ini sebagai akibat kesalahan kebijakan pemerintah yang tidak menempatkan Bulog pada posisi sebenarnya. Komisi IV DPR menegaskan, untuk mengatasi lonjakan harga pangan, tidak ada jalan lain kecuali pemerintah harus mengembalikan fungsi Bulog pada fungsi awalnya, sebagai pengendali dan penyeimbang kebutuhan pokok rakyat. Bulog pun harus menjadi lembaga yang bersifat nonprofit.

"Kalau tidak, para tengkulak akan terus memainkan harga dan menimbun sembako. Akibatnya, rakyat sengsara oleh kenaikan harga yang tidak bisa dibendung ini. Bila pemerintah tetap mengandalkan mekanisme pasar untuk menstabilkan harga, jangan menyesal jika terjadi gejolak sosial di tengah masyarakat," kata anggota Komisi IV DPR dari FPG Azwar Chesputera, sebagaimana dikutip Suara Karya. Dengan difungsikannya kembali Bulog seperti semula, kata Azwar, rakyat tidak akan mengalami kenaikan harga yang semakin lama semakin tak terkendali.

LPND LAGI?: Saat Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih dijabat Sugiharto, revitalisasi tugas, fungsi, dan peranan Bulog tampaknya diarahkan untuk menjadi salah satu “Indonesian Trading Company” yang bermanfaat dalam memasok logistik. "Perum Bulog nantinya akan mengacu kepada konsep Sogo Sosha yang sukses diterapkan di Jepang," katanya seperti dikutip Antara.

Selain itu, Perum Bulog diharapkan mampu mengendalikan risiko dan menciptakan economics of scale yang tinggi serta meningkatkan efisiensi dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki. Berkaca pada fungsi dan peranan yang strategis ini, Meneg BUMN selaku pemegang saham merasa perlu untuk melakukan leadership reform di jajaran dewan pengawas dan direksi Perum Bulog.

Wacana publik tentang perlu tidaknya Perum Bulog kembali menjadi lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) pun bergulir. Kenaikan harga kedelai impor di awal tahun seakan-akan menjadi entry point baru untuk membuka kembali diskusi publik tentang topik ini. Namun, menurut ahli ekonomi pertanian, Bustanul Arifin, pengalaman sebagai LPND ternyata lebih banyak distorsi yang ditimbulkannya. “Terlalu naif untuk menggunakan krisis kedelai saat ini untuk menggiring wacana kembali ke LPND,” katanya seperti dikutip Media Indonesia.

Memasuki tahun kelima masa transisi dari LPND menjadi Perum, menurut Bustanul, masyarakat mungkin belum banyak melihat perubahan kinerja Bulog sebagai salah satu pelaksana amanat kebijakan negara. Perubahan paling mendasar dari status sebagai perusahaan umum adalah bahwa Bulog bukan lagi sebagai policy maker, tapi sebagai policy executing entity. Kebijakan yang harus dijalankan Bulog adalah pengelolaan logistik pangan pokok dan strategis, berdasarkan amanat tugas pelayanan publik dan diperkenankan mengambil keuntungan ekonomi dari usaha lain di bidang pangan untuk membiayai aktivitas internal perusahaan.

Selama kepemimpinan Dr Mustafa Abubakar di Bulog, lanjut Bustanul, sebenarnya tanda-tanda konsistensi untuk melaksanakan amanat kebijakan pangan pangan di Indonesia mulai terlihat. Ujian, tantangan, dan godaan pasti sangat beragam yang muncul dari atas, dari bawah, depan, samping, dan dari belakang. “Lembaga strategis seperti Bulog memang perlu memiliki identitas yang lebih tegas dan lebih berwibawa. Jajaran direksi baru Bulog memiliki tugas besar untuk mewujudkannya, tanpa harus terombang-ambing kepentingan politik sesaat yang kadang menyesatkan,” katanya.

Lembaga pangan ini, lanjutnya, juga memiliki pengalaman sering diperalat oleh vested interests dan para pemburu rente sehingga sering mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Kini sebagian besar dari lembaga pangan tersebut telah melakukan reformasi baik internal maupun eksternal. Bahkan beberapa di antaranya semakin memfokuskan diri menjadi entitas perdagangan negara yang siap merambah pasar pangan dunia.

“Singkatnya, Indonesia tentu tidak ingin melakukan langkah mundur 20 tahun ke belakang dengan kembali mengubah status Bulog menjadi LPND,” katanya. Roda kehidupan harus berputar ke depan jika tidak ingin melanggar ketentuan alam (sunnatullah) menuju tingkat yang lebih baik. Menurutnya, kebijakan panganlah yang harus disempurnakan ke depan dengan menunjukkan filosofi mengatasnamakan kepentingan domestik dan mewujudkannya dengan langkah pemihakan kepada petani dan konsumen miskin. Yang tak kalah penting, langkah reformasi di dalam internal tubuh Bulog harus terus ditegakkan dengan mengubah kultur birokrasi yang tertutup menjadi kultur korporat yang lebih terbuka.

BOKS 1

BULOG, DULU DAN KINI

Menelusuri keberadaan Bulog tentu tak lepas dari sejarah lembaga pangan di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan sampai pemerintahan sekarang ini. Secara umum, peran lembaga pangan tak banyak mengalami perubahan, yaitu menyediakan pangan bagi masyarakat di seluruh daerah dengan harga yang terjangkau. Lembaga ini juga berperan untuk mengendalikan harga pangan di tingkat produsen dan konsumen. Instrumen untuk mencapai tujuan tersebut dapat berubah sesuai kondisi yang berkembang.

Campur tangan pemerintah dalam komoditas beras diawali sejak zaman pemerintahan Belanda pada tahun 1933. Hal ini dipicu oleh terjadinya fluktuasi harga beras yang cukup tajam sepanjang tahun 1919-1920, dan bahkan sempat merosot tajam pada tahun 1930, sehingga petani mengalami kesulitan untuk membayar pajak. Saat itulah, untuk pertama kalinya pemerintah Belanda mengatur kebijakan perberasan, yaitu dengan menghapus impor beras secara bebas dan membatasi impor melalui sistem lisensi.

Menjelang pecahnya Perang Dunia II, pemerintah Belanda memandang perlu untuk secara resmi dan permanen mendirikan suatu lembaga pangan. Maka, pada 25 April 1939, lahirlah suatu lembaga pangan yang disebut Voeding Middelen Fonds (VMF). Lembaga pangan ini banyak mengalami perubahan nama maupun fungsi, antara lain membeli, menjual, dan mengadakan persediaan bahan makanan.

Perkembangan selanjutnya, lembaga ini mengalami dinamika seiring dengan pendudukan Jepang, masa peralihan kekuasaan, hingga kemerdekaan. Secara berturut-turut, VMF mengalami gonta-ganti nama dan fungsi. Mulai dari Sangyobu Nanyo Kohatsu Kaisha (1942-1945), Jawatan Pengawasan Makanan Rakyat (PMR, 1945-1950), Yayasan Bahan Makanan (BAMA, 1950-1952), Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM, 1952-1958), Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP, 1958-1964), Badan Pelaksana Urusan Pangan (BPUP, 1964-1966), hingga Komando Logistik Nasional (Kolognas, 1966-1967).

Selanjutnya, Kolognas berganti wajah menjadi Bulog sesuai dengan Keppres No. 114/KEP, 1967. Lembaga ini pun dinyatakan sebagai "Single Purchasing Agency" dan Bank Indonesia ditunjuk sebagai Single Financing Agency (Inpres No. 1/1968). Pada Januari 1969, berdasarkan Keppres 11/ 1969, struktur organisasi bulog kembali mengalami perubahan. Tugasnya antara lain membantu pemerintah untuk menstabilkan harga pangan khususnya sembilan bahan pokok. Tahun 1969 mulailah dibangun beberapa konsep dasar kebijaksanaan pangan yang erat kaitannya dengan pola pembangunan ekonomi nasional, seperti konsep floor dan ceiling price; konsep bufferstock; dan Sistem serta tatacara pengadaan, pengangkutan, serta penyimpanan dan penyaluran.

Tugas Bulog terus bertambah. Komoditi yang dikelola bertambah menjadi gula pasir (1971), terigu (1971), daging (1974), jagung (1978), kedelai (1977), kacang tanah (1979), kacang hijau (1979), telur dan daging ayam pada Hari Raya, Natal/Tahun Baru. Kebijaksanaan Stabilisasi Harga Beras yang berorientasi pada operasi bufferstock dimulai tahun 1970.


Sesuai Keppres No. 39/1978, organisasi Bulog kembali mengalami perubahan, dengan tugas membantu persediaan dalam rangka menjaga kestabilan harga bagi kepentingan petani maupun konsumen sesuai kebijaksanaan umum Pemerintah. Penyempurnaan organisasi terus dilakukan. Melalui Keppres RI No. 50/1995, Bulog ditugaskan mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, tepung terigu, kedelai, pakan, dan bahan pangan lainnya. Namun, seiring dengan perkembangan ekonomi global, tugas pokok Bulog dipersempit melalui Keppres No. 45/1997, yaitu hanya mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras dan gula. Semenjak Januari 1998, Bulog hanya memonopoli beras saja.

Tugas pokok Bulog diperbaharui kembali melalui Keppres No. 29/2000, yaitu melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang manajemen logistik melalui pengelolaan persediaan, distribusi, pengendalian harga beras, dan usaha jasa logistik. Akhirnya, Keppres No. 103/2001 mengatur kembali tugas dan fungsi Bulog untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen logistik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan kedudukan sebagai lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Sejak 2003, Bulog bukan lagi Lembaga Pemerintah Nondepartemen (LMND), melainkan merupakan Badan Usaha Milik Negara yang berstatus Perusahaan Umum (Perum). Dalam PP No 7/2003 disebutkan, Bulog memiliki kemampuan yang memadai untuk dapat memperoleh kemandirian, otonomi, dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengelola usaha logistik pangan pokok secara nasional baik yang bersifat pelayanan masyarakat maupun bersifat komersial. Bulog juga diharapkan dapat berperan sebagai alat perekonomian negara yang efisien dan akuntabel sehingga mampu memperkuat perekonomian nasional.

BOKS 2

PELAJARAN DARI SEBERANG

Sejatinya, komoditas pangan yang ada di pasar internasional merupakan sisa dari kebutuhan pangan di negara-negara produsen yang sedang mengalami surplus. Jika negara-negara produsen pangan mengalami penurunan produksi atau paceklik, komoditas pangan akan susah dicari atau menghilang dari pasar global. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi semua negara yang ingin terlepas dari bayang-bayang krisis pangan, maka negara tersebut harus dapat mewujudkan kedaulatan pangan.

Berbagai negara di Asia telah membuktikannya. Di sejumlah negara tetangga, pemerintah mereka mengambil kebijakan melindungi kebutuhan pangan rakyat, melalui perlindungan produksi petani. Vietnam, misalnya. Negara sosialis itu kini menjadi eksportir beras utama di dunia. Hal ini tak lepas dari kebijakan pemerintahnya yang membagi Vietnam menjadi dua wilayah pembangunan, selatan menjadi daerah industri dan perdaganan, sedangkan utara difokuskan sebagai daerah pertanian.

Selain itu, Vietnam mempunyai kebijakan mengenai kepemilikan tanah yang tegas. Di negara tersebut ada batas minimum kepemilikan tanah yang diawasi oleh pemerintah. Mereka juga sangat menjaga alih fungsi lahan pertanian, terutama sawah yang beririgasi. Keseriusan pemerintah di sektor pertanian juga dapat dilihat dari bentuk kewajiban perusahan milik negara, Vietnam Northern Food Corporation (Vinafood, Bulognya Vietnam, Red.) untuk membeli hasil panen petani melalui Tigifood (Vinafood tingkat regional). Vinafood bahkan memiliki kemampuan membeli pada petani hingga 80%.

Lembaga pangan pemerintah, seperti Public Warehouse Organization (PWO) di Thailand, memberlakukan berbagai kebijakan guna melindungi produsen, konsumen, ataupun keduanya secara simultan baik melalui fungsi penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), penyediaan stok, ataupun penyaluran/distribusi pangan dalam rangka menjamin stabilisasi harga konsumen.

PWO secara tegas menyebutkan hak dan kewajiban yang diberikan operator dari pemerintah yang menugaskan. Di samping itu, lembaga ini juga mempunyai hak dan tanggung jawab termasuk dengan segala beban biaya karena penugasan sebagai penanggung jawab pangan. Intervensi yang dilakukan pun dapat mewujudkan ketahanan pangan, sehingga kerawanan pangan dapat dicegah dengan baik.

India, yang dari aspek ekonomi dan demografi memiliki banyak kesamaan dengan negara-negara di Asia, juga melakukan intervensi yang cukup intensif terhadap kebijakan pangannya, termasuk pada industri gulanya. Salah satu landasan hukum kebijakan pergulaan di India adalah dimasukannya gula pada Essential Commodities Acts of 1955. Dengan demikian, berbagai kebijakan pergulaan di India mempunyai landasan hukum yang cukup memadai. Kebijakan ini ditekankan pada aspek produksi, harga, dan distribusi.

Pemerintah India juga melakukan intervensi yang cukup signifikan pada sisi distribusi melalui kombinasi antara kebijakan distribusi dan diferensiasi harga atau partial price control. Pengolah (prosesor) diwajibkan mengalokasikan produksi gulanya antara 30%-60% untuk ‘dijual’ ke Food Corporation of India (FCI), sejenis lembaga seperti Bulog di Indonesia.

Apa yang dilakukan China National Cereals, Oils and Foodstuffs Import & Export Corporation (Cofco), yang memegang otoritas pangan dan minyak goreng di Cina, juga patut diacungi jempol. Sebagai pemain global, Cofco tidak hanya mampu berkompetisi dengan perusahaan otoritas pangan di negara lain, tapi juga berfungsi sebagai korporasi yang membeli komoditas dari petani lokal, kemudian mengemas dan menyimpan produk sehingga komoditas yang ada memiliki nilai jual lebih tinggi.

Selain itu, Cofco juga mampu mengendalikan risiko dan menciptakan skala ekonomi yang tinggi serta meningkatkan efisiensi dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki. Program revitalisasi yang dilakukan pun dapat memainkan fungsi dan peranan yang strategis sebagai key player dalam ketahanan pangan di negaranya.

Lebih jauh, melihat apa yang telah dirintis Bernas, lembaga distribusi beras milik Malaysia, menciptakan iklim kompetitif pada lembaga distribusi beras sebenarnya bukanlah hal yang mustahil. Sebagai perusahaan milik pemerintah diraja Malaysia, Bernas dapat melaksanakan fungsinya dalam menjamin ketahanan pangan. Tak hanya itu, lembaga ini mampu mengembangkan berbagai bisnis dengan mempertahankan beras sebagai core business. Bernas juga telah membangun brand image dan segmentasi pasar pada produk berasnya dalam rangka bersaing dengan pesaing bisnisnya. Sedikitnya 50 macam merek beras kemasan dari berbagai varietas diciptakan Bernas untuk penetrasi pasar.

Secara umum, tidak ada perbedaan fungsi antara Bernas, Cofco, Vinafood, FCI, PWO, dan Bulog. Sejumlah lembaga ini sejatinya sama-sama menjalankan fungsi publik dan fungsi komersial. Namun, di tataran perusahaan maupun bisnis, lembaga pemegang otoritas pangan di negara tetangga mempunyai visi dan misi yang lebih berorientasi pasar dan mengembangkan prinsip-prinsip penciptaan keunggulan kompetitif. Karena itu, kalau dulu negara seperti Malaysia belajar dari kita, untuk sesuatu yang baik, tidak seharusnya kita merasa malu untuk berkaca kepada mereka.

Tidak ada komentar: