Jumat, Agustus 22, 2008

Merajut Jati Diri Bangsa Melalui Budaya dan Pariwisata

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak hanya menghargai jasa-jasa para pahlawan, tapi juga bangga terhadap bangsanya sendiri. Hal ini pula yang menjadi visi Departemen Kebudayaan dan Pariwasata (Depbudpar) di bawah kepemimpinan Jero Wacik. Menanamkan kebanggaan terhadap bangsa menjadi landasan setiap kebijakan pemerintah di bidang budaya dan pariwisata.

Dua sektor ini merupakan penggerak utama pembangunan nasional. Dalam program selanjutnya, pembangunan kebudayaan dan pariwisata ditujukan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi luhur, mandiri, serta memiliki kualitas sumber daya alam maupun manusia yang berdaya saing.

Kebudayaan berurusan dengan identitas dan jati diri bangsa, sedangkan pariwisata menawarkan berbagai potensi sumber daya alam yang dimiliki bangsa. Di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang kini kembali berbentuk departemen, dua kekuatan ini bersinergi dan menjadi fondasi penting bagi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Dalam upayanya menggerakkan mesin industri jasa pariwisata, Jero Wacik juga berkomitmen tidak akan mengesampingkan kebudayaan dalam program kerjanya. Dia berjanji, bahwa pariwisata dan kebudayaan akan mendapatkan perhatian yang sama. Bahkan, pemerintah meneguhkan komitmennya untuk menempatkan sektor ini pada skala prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pariwisata. Tak heran jika Jero Wacik lebih banyak mengarahkan kebijakan-kebijakannya pada sektor ini. Sebab, sektor ini dipandang memegang kunci yang strategis karena berhubungan dengan kehidupan umat manusia secara langsung.

Dalam menjalankan tugasnya, Jero Wacik menggandeng segenap komponen bangsa, terutama para budayawan dan pelaku pariwisata yang selama ini banyak berkiprah. Dengan demikian, simbiosis mutualisme antara pariwisata dan kebudayaan diharapkan lebih sehat di masa mendatang. Pariwisata berjalan baik, kebudayaan pun berkembang dan lestari. Dengan meningkatnya kunjungan wisatawan diharapkan pasokan dana pada sector kebudayaan terasa lebih maksimal.

Jero Wacik mengakui, memang ada hambatan dalam pelestarian budaya. Di antaranya, masalah kependudukan atau masyarakat yang pluralis. Ia juga menekankan bahwa berpikir positif itu termasuk budaya. Karena itu, budaya berpikir positif hendaknya bisa diimplementasikan dalam segala hal. Sejalan dengan kebijakan ini, Depbudpar melaksanakan program revitalisasi industri perfilman Indonesia guna memajukan industri perfilman nasional serta menjadikannya sebagai tuan rumah di negeri sendiri.

Setelah mati suri selama 12 tahun, Depbudpar menghidupkan kembali Festival Film Indonesia (FFI) sebagai sarana merangsang kreativitas insan perfilman di Tanah Air. Sutradara, produser, maupun pemain film menemukan kembali optimisme yang hilang. Biasanya hanya muncul empat film dalam setahun, kini Depbudpar mencatat sekitar 30 film yang sudah diproduksi.

Pencanangan 2005 sebagai Tahun Festival Seni dan Budaya merupakan bentuk perhatian yang besar dari pemerintah terhadap sektor ini. Sambil menggalakkan pertunjukan seni dan budaya di seluruh pelosok negeri lewat program bertajuk Kemilau Nusantara, apresiasi pemerintah juga diwujudkan dengan pemberian anugerah kebudayaan terhadap karya-karya budaya yang membanggakan.

Jero Wacik berharap, kegiatan itu mampu menggairahkan seniman di daerah untuk berkreasi dan menularkan seni budaya daerah pada generasi penerus. "Indonesia selama ini di mata dunia dikenal dengan keanekaragaman khasanah budayanya. Namun karena jarang dipertunjukkan, masyarakat jadi kurang mengenal sepenuhnya kekayaan budaya tersebut," katanya. Tak hanya dipertontonkan di dalam negeri, pemerintah secara rutin menjalankan misi kebudayaan ke mancanegara.

Di sektor pariwisata, pemerintah bertekad menjaga sektor ini sebagai tambang devisa terbesar kedua setelah migas. Sebelumnya sektor ini mendulang sekitar US$ 5 miliar per tahun. Di tahun ini Depbudpar mentargetkan kunjungan wisatawan sebanyak enam juta wisatawan mancanegara dan 160 juta wisatawan nusantara, dengan perolehan devisa sekitar US$ 6 miliar.

Meski tergolong realistis, target ini bukan berarti tanpa kendala. Infrastruktur di bidang transportasi dan promosi yang minim, diakui menjadi hantu yang menakutkan. Lebih-lebih dengan terbatasnya anggaran yang dimiliki departemen ini. Walau tidak signifikan, Wacik menduga, kenaikan harga BBM dan merosotnya rupiah bisa berpengaruh terhadap “Tapi, saya yakin tahun mendatang akan lebih baik,” tuturnya. Gurat optimisme berpendaran di wajahnya.

Boks

Meretas Bali Kedua

Sebagai seorang putra Bali yang juga pengusaha yang bergerak dalam industri jasa pariwisata, komitmen Jero Wacik untuk meningkatkan kualitas industri pariwisata nasional tergolong tinggi. Menurutnya, pembenahan pariwisata Indonesia akan dimulai dari pengamanan aset-aset wisata. Pemberian rasa aman, katanya, akan merangsang orang pergi pelesiran ke pelosok Nusantara.

Dia pun memulai safari keamanan wisata dari Bali, sebagai ikon pariwisata Indonesia. Setelah Bali, safari dilanjutkan ke Yogyakarta, Sumatera Utara, Makassar (Sulawesi Selatan), serta tempat-tempat wisata lainnya. Setelah urusan keamanan, program berikutnya adalah penyiapan komponen-komponen pariwisata seperti keramah-tamahan (hospitality). Untuk menggairahkan wisatawan nusantara, dicanangkan pula program bertajuk: “Kunjungi Negerimu, Cintai Negerimu”.

Dengan slogan Indonesia, Ultimate in Diversity, Depbudpar mengoptimalkan pasar potensial yang sudah ada sambil merintis pangsa pasar baru, seperti Cina, India, dan Timur Tengah. Beriringan dengan menggencarkan promosi, Depbudpar juga terus mengembangkan destinasi pariwisata, pengembangan pemasaran, serta pengelolaan nilai maupun aset budaya. Pengembangan obyek-obyek wisata lain terus digalakkan lewat program “Bali Beyond”. “Kami akan bangun Bali yang lain,” ucap Jero Wacik.


Jero Wacik:

Merajut Kebanggaan Anak Bangsa

Sebagai putra Bali yang juga pengusaha di bidang pariwisata, sektor budaya dan pariwisata bukanlah mainan baru bagi Jero Wacik. Semenjak ditunjuk membawahi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), Jero Wacik mengubah pola kebijakannya untuk lebih banyak memperhatikan sektor kebudayaan. Di samping memberikan apresiasi yang lebih pada para budayawan, sejumlah program kebudayaan menjadi tradisi baru Depbudpar. Pertunjukan seni dan budaya marak diselenggarakan daerah secara bergantian.

Di sektor pariwisata, pemerintah menargetkan devisa sekitar US$ 6 miliar pertahun, pasokan terbesar kedua setelah migas. Obyek-obyek wisata baru terus dikembangkan sambil mengoptimalkan pendapatannya. Semua program ini terangkum dalam satu visi, merajut kebanggaan anak bangsa terhadap budaya dan keindahan alam nusantara. Berikut petikan wawancara dengan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik:

Apa proyeksi Anda tentang dua sektor yang Anda pimpin ini?

Keduanya sektor strategis. Sektor kebudayaan sangat strategis karena kebudayaan ini menyangkut seluruh kehidupan manusia yang pada hakekatnya akan dilingkupi oleh suatu kebudayaan. Cara makan, ada budaya makan, cara berpakaian ada budaya pakaian, cara berpikir ada budaya berpikir, cara bertindak ada budayanya juga. Semua itu kebudayaan. Termasuk juga tarian, sastra, teater, tradisional, wayang, patung, lukisan, musik, itu semua seni yang bagian dari kebudayaan. Jadi, sektor ini sangat strategis dan menyangkut seluruh kehidupan umat manusia.

Sektor kedua adalah pariwisata. Itulah sektor ekonomi dengan menggunakan daya tarik alam, tradisi, budaya kita untuk dijadikan alat penarik bagi wisatawan, baik asing maupun domestik. Wisatawan asing bisa melihat bagaimana Indonesia, apa yang ada di sini, ada daya tarik tersendiri. Wisatawan domestik juga kita dorong untuk mengunjungi tanah airnya. Karenan memang belum banyak orang Indonesia yang mengenal tanah airnya dengan baik.

Selama ini sektor kebudayaan tak dipandang secara proporsional. Ada kebijakan baru di bawah kepemimpinan Anda?

Di sektor kebudayaan, ini merupakan laporan tahunan Depbudpar pada presiden dan publik. Waktu awal saya menjabat, saya pelajari sektor ini. Paling pertama saya sentuh adalah bicara dengan para budayawan. Saya mendengar, mengajak diskusi, saya undang ke kantor, ke rumah, saya datangi tempat kerja mereka. Dari situ saya mendapat banyak gambaran, para budayawan merasa kurang diperhatikan selama ini. Kurang dukungan, sehingga merasa dianaktirikan. Sehingga di awal kepemimpinan saya, saya agak merubah pola yang ada dan lebih banyak memperhatikan sektor kebudayaan. Kebijakan-kebijakan saya arahkan pada sektor kebudayaan lebih banyak.

Apa maksud di balik pencanangan tahun ini sebagai Tahun Festival Seni dan Budaya?

Ya, biar seni dan budaya lebih hidup lagi. Tahun festival seni budaya ini harus diikuti dengan menyelenggarakan event dimana-mana dengan mendorong daerah untuk menyelenggarakan festival. Sekarang ada belasan rencana penyelenggaraan festival di daerah-daerah. Ada festival Sriwijaya, Minangkabau, Melayu, Nusa Dua, pesta kesenian Bali, pesta Toraja, Festival Bengawan Solo, dan sebagainya. Ini sudah mulai hidup. Di samping itu, kami akan terus mengirimkan misi-misi kebudayaan ke luar negeri.

Dalam pertemuan antarmenteri kebudayaan se-Asia-Eropa tempo hari, ada gejala untuk menseragamkan kebudayaan dunia. Apa reaksi Anda?

Memang ada gejala seperti itu. Namun, kita dari beberapa negara tidak sepakat. Saya keras menentangnya. Culture itu keindahannya terletak justru terletak pada keanekaragamannya. Indonesia punya sekitar 300 macam kebudayaan. Etnis-etnis kita ini ratusan. Dan itu hidup semua, ini indah. Justru betapa membosankannya dunia ini kalau kita seragam. Jadi, saya tidak setuju. Indonesia tidak akan pernah setuju gagasan ini. Kita biarkan keanekaragaman ini. Kita akan melindungi bahkan akan mempromosikannya. Akhirnya, hampir semua negara setuju bahwa menjamin keanekaragaman kebudayaan harus dijaga.

Sektor pariwisata selama ini menjadi andalan. Di sektor ini, apa kendala yang selama ini Anda hadapi?

Untuk mengejar wisatawan asing maupun mancanegara, ada beberapa hambatan. Pertama visa, sekarang sudah kita terobos. Mulai Agustus lalu kita sudah bisa menggunakan visa on arrival buat Cina, India, dan Timur Tengah. Kita berikan kemudahan masuk. Kedua, penerbangan. Ini sedang kita garap. Bagaimana penerbagan dari ketiga negara ini bisa datang ke Indonesia. Ini belum sukses, sedang kita garap.

Kami dengar, salah satu kelemahannya adalah promosi. Apa betul?

Kita tak punya uang. Promosi kita lemah. Sistem sudah ada, branding sudah punya. Namun, branding kita, Ultimate in Diversity, belum beken, karena iklannya kurang. Sekarang sedang berusaha menambah biaya iklan. Hambatan lainnya, hubungan antardepartemen. Hubungan dengan departemen lain tak semudah yang dikira. Bagaimana menjamin keamanan, dan sebagainya.

Lalu, sejauh mana koordinasi dengan departemen-departemen lainnya?

Budaya dan pariwisata tidak bisa jalan bila hanya mengandalkan Depbudpar semata agar berkembang sesuai harapan masyarakat. Mesti melibatkan instansi lintas sektoral yang harus mendukungnya. Saya melihat Depbudpar akan sukses kalau bisa berhubungan atau berkoordinasi dengan 17 departemen lain. Seperti Polri, BIN, Dephub, dan departemen lainnya. Program ini menjadi program nasional. Menteri-menteri terkait harus membantu. Kita ingin menunjukkan bahwa pemerintah sangat concern pada kebudayaan dan pariwisata.

Tidak ada komentar: