Sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, waktu itu, alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1972, ini dinilai sangat menguasai lapangan tugasnya. Ia tiga kali menjabat Kapolres, yakni Kapolres Blora (1987), Kapolres Boyolali (1989) dan Kapolres Klaten (1990). Kemudian menjadi Sesdit Serse Polda Jatim (1992) dan Kapoltabes Ujungpandang (1993).
Setelah mengikuti Sesko ABRI, ia dipercaya memegang jabatan sebagai Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Polri pada 1998. Sejak itu, kariernya terus melejit. Tak sampai satu tahun menjabat Kadispen Polri, ia diangkat menjabat Dankorserse Mabes Polri. Jabatan Kapolda Jawa Timur pun disandangnya pada tahun 2000.
Setahun kemudian, secara berturut-turut ia dipercayakan menjabat Gubernur Akpol dan Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (Kalakhar BNN), menggantikan Komjen Pol. Nurfaizi. Ia mengemban tugas yang tak ringan, yaitu menangkal semakin merajalelanya sindikat narkotika internasional beroperasi di Indonesia. Tidak hanya memantau, lembaga yang dipimpinnya ini juga bertugas memberantas peredaran dan penggunaan narkotika di seluruh Indonesia.
Selama setahun menjadi Kalakhar BNN, kinerja pria kelahiran Indramayu, 25 Januari 1950 ini, cukup inovatif dengan sejumlah terobosan. Terobosannya antara lain, kampanye keluarga antinarkoba sejak dini, penyebaran brosur antinarkoba, dan pembuatan buku mengulas tentang seputar bahaya narkoba kelas nasional dan internasional. Ada juga berbagai aktivitas terkait kampanye narkoba, seperti seminar, diskusi, sampai strategi pengadangan benda haram itu di peredaran.
Jabatan di BNN sebelumnya sempat dinilai bukan posisi jabatan idola oleh petinggi Polri. Bahkan sempat dicap sebagai tempat "buangan" karena tugasnya hanya biasa-biasa saja yakni, terkesan teoritis, tidak strategis. Namun, berdasarkan fakta yang ada, justru di lembaga BNN itulah, para petinggi polri itu menunjukkan kualitasnya.
Perjalanan karier Da’i membuktikan bahwa BNN diibaratkan sebagai kawah candradimuka menuju Trunojoyo I. Ia dipilih oleh Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai calon tunggal Kapolri. Namun, apa yang tampak di depan mata belum tentu mudah diraih. Da'i pun tidak serta merta menjadi Kapolri. Ia harus melewati ujian dari kalangan DPR yang terbelah dalam berbagai suara pro dan kontra.
Salah satunya, Da’i dianggap turut bertanggung jawab dalam kasus bentrokan berdarah di Bondowoso Jawa Timur, November 2000, yang menelan sejumlah korban tewas. Ketika itu Da'i menjabat Kapolda JawaTimur. Bahkan, Fraksi Kebangkitan Bangsa getol menolaknya. Partai Bulan Bintang mengkritik kinerjanya.
Beberapa aktivis yang menamakan diri Pro Demokrasi, menolak sosok Da'i karena mereka anggap pernah melakukan kebohongan publik di era Soeharto dan prestasinya dianggap tidak terlalu menonjol baik ketika menjabat Kapolda Jatim maupun Kalakhar BNN.
Namun, sebagian besar fraksi di DPR justru welcome dengan sosoknya. Akhirnya, pada Rapat Paripurna DPR ke-20, Kamis, 29 November 2001, DPR secara aklamasi menyetujui usulan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mengangkat Komjen Pol Da’i Bachtiar menjadi Kapolri. Pelantikan dilakukan pada sore harinya. Pangkatnya pun naik menjadi jenderal penuh.
Tugas besar telah menghadang. Seperti diamanatkan DPR melalui komisi gabungan—yang membahas pengangkatan Da’i—masalah penuntasan perjudian, kasus 27 Juli, narkoba, dan pengeboman menjadi prioritasnya. Selain itu, sebagai Kapolri, ia dituntut memiliki komitmen meningkatkan profesionalisme Polri.
Da’i menepis semua tudingan dan keraguan itu dengan kinerjanya setelah menjabat Kapolri. Secara jujur harus diakui bahwa ia menunjukkan prestasi yang mampu mengangkat harkat dan citra Kepolisian Republik Indonesia di mata dunia. Keberhasilannya mengungkap kasus ledakan bom di Bali memperlihatkan bahwa ia seorang Kapolri yang patut diacungi jempol.
Berbagai prestasi lain yang dibukukan oleh Da’i adalah pembangunan internal yang hasilnya baik dan telah dirasakan manfaatnya oleh semua kalangan. Contohnya, pembangunan sarana dan prasarana, peningkatan profesionalitas, peningkatan kemampuan dan kesiagaan Polri untuk bertugas setiap saat di seluruh wilayah tanah air. Di samping itu, kerja sama internasional dalam rangka penanganan kejahatan trans nasional, pemberantasan terorisme, serta penindakan terhadap penyalahgunaan maupun kejahatan narkoba juga berjalan dengan baik dengan sejumlah prestasi.
Pada Juli 2005, ia merampungkan tugasnya, dan digantikan oleh Jenderal Polisi Sutanto. Namun, jiwa pengabdian Da’i tak berhenti sampai di sini. Ia membidani lahirkan Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) dan menjabat sebagai ketua presidium. Melalui lembaga ini, ia mengajak seluruh komponen bangsa untuk ikut berperan aktif dalam pencegahan dan kepedulian terhadap hak-hak anak agar tidak muncul tindak kekerasan terhadap anak-anak.
"Kita ingin ada suatu gerakan atau apalah namanya yang harus mengalir komunikatif sehingga masing-masing komponen bangsa ikut berpartisipasi dalam menyosialisasikan hak-hak anak," katanya. Menurutnya, kekerasan terhadap anak saat ini masih banyak terjadi di kalangan masyarakat level bawah dengan berbagai alasan diantaranya alasan ekonomi. Oleh karena itu, lanjutnya, sudah saat seluruh masyarakat peduli, turut mencegah, dan memberikan kontribusi positif terhadap persoalan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar