Jumat, Agustus 22, 2008

Martha Suherman, Young & Mature Lady

Dalam dunia industri yang penuh seteru, kau tunjukkan diri sebagai pelaju. Pelaju sejati di ranah industri. Tak ada lagi waktu selain bermimpi dan meraciknya hingga mewujud nyata. Kabarkan pada semua, apakah gerangan yang telah membuatmu terus meregang, dengan gairah dan optimisme yang berapi-api?

Wild Child

Terlahir dengan shio monyet, beginilah jadinya dirimu. Memanjat pepohonan menjadi kegemaran yang memercikkan riang di hati. Kau pilih binatang piaraan sebagai karib daripada boneka imut seperti bocah seumuranmu. Anak ayam atau anjing kesayangan, menjadi teman menghabiskan waktu di hari-hari beliamu. Tak mengherankan jika akhirnya karakter tomboy begitu melekat daripada kesan feminis di dirimu. “Aku juga lebih sering bermain dengan kakak lelaki di rumah,” tuturmu tersipu. Perangaimu pun menampakkan seorang pendiam, namun pemberani juga nekat.

Wajahmu bersemu merah tatkala kukuakkan setangkup memori di bangku sekolah. Kau pun tersenyum geli saat dipanggil guru BP karena kedapatan bersitegang dengan perempuan kakak kelasmu selepas upacara bendera. “Dia menjambak rambutku. Upacara bubar, kujambak juga dia,” kilahmu, cepat. Gelakmu pun memecah.

Impian menjadi pendidik sempat melintas perigi benakmu. Tapi, cita itu sirna juga ditelan waktu. Tak suka anak kecil, begitu dalihmu sebelum akhirnya meneruskan kegemaran lama, menggambar. Apalagi bila melihat perkembangan anak di zaman internet begini, “Tak mungkin rasanya aku mengajari mereka,” ucapmu, selirih bayu.

Artistic Madness

Naluri seorang seniman mulai bermekaran di bilik-bilik hati. Kutahu, itu adalah titisan dari sang buyut yang memang seorang seniman berdarah asli Tiongkok, nun jauh di seberang. Lantas, kau pun melaju di jalan untuk menjadi seorang desain artistik sejati.

Malang melintang berkarier di perusahaan orang, hasratmu berkelana berlabuh juga di bisnis milik keluarga. Dari pekerja menjadi pemilik, dari pelakon seni menjadi penggerak industri, tentu sempat menempatkanmu dalam posisi transisi yang memeras daya pikir, kekuatan imaji. “Adaptasinya lama juga,” ujarmu, pelan.

Setiap waktu dan ruang yang kau miliki selalu dijejali dengan urusan kerja. Bahkan di rumah atau di saat berlibur sekalipun, suara tempaan sang aya atau bunyi keluhan di pesawat telepon kerap berdendangan di indera pendengaranmu. “Kalau kerja sama orang tua, bete-nya kadang juga dibawa ke rumah,” akumu tanpa tedeng aling-aling.

Keteguhan diri untuk menyatakan tiada henti dalam belajar jualah yang membuat kau mulai menikmati profesi barumu. Semester lewat kau tersadar, industri yang kau geluti juga mensyaratkan jiwa-jiwa yang menyanjung seni. Seperti yang kau akui sendiri, produk-produknya juga mengaplikasikan seni tersendiri. Inspirasimu soal tren pewarnaan mengalir sedia kala.

Independent Girl

Bagi sebagian kaummu, apalah guna kerja keras jika kemapanan secara ekonomi telah menenangkan batin. Tak ada waktu yang tepat dan berharga selain mengumbar keriaan sembari memamerkan kejayaan. Macam-macam sarananya, di club, kafe, atau diskotek. Seperti laiknya anak muda sebayamu kini.

Tapi, kau yakinkan aku bahwa itu semua bukan bagian dari dirimu. Dari belia pun kau telah belajar banyak soal kemandirian, walaupun kau hidup di tengah gelimang ekonomi lebih dari cukup. Seperti halnya diriku, bukankah tak setiap pintamu dituruti orang tua?

Karenanya, sambil kuliah kau telah mencium aroma keringatmu sendiri, aroma kesenangan yang kau dapatkan sendiri. Kau pun belajar menghadapi persoalan hidup seusiamu dan memecahkannya sendiri. Bahkan, kau pun mulai menyimpan rahasia sendiri. “Memang ada jatah uang jajan, tapi kalau mau lebih, ya, cari sendiri,” ucapmu soal didikan orang tua.

Sebagai puteri satu-satunya, kupahami bila kau digadang-gadang sebagai ratu bisnis keluarga selanjutnya. Dari sang bapak, kau pun belajar banyak soal profesionalisme, tentang bagaimana melanjutkan kejayaan dan mempertaruhkan nama baik keluarga. Hal terpenting yang kau pegang erat, positive thinking, walau seburuk apapun keadaan.

Young Leader

Mengomandani puluhan jajaran pemasar, kau bergerak ritmis. Seperti usiamu yang penuh dinamika. Adakalanya jiwa mudamu mendominasi, tak jarang juga aura ketegasan seorang pemimpin menyemburat. Jika kau tengah bersidepan dengan bawahan melampaui usiamu, wibawamu memancar. “Tapi, kalau di depan sebaya, ngomongnya bisa lu-gua,” katamu dengan selarik senyum tipis itu.

Tidakkah posisi ini membuatmu dewasa sebelum waktunya? Kau mengangguk pelan, pertanda setuju. Walaupun kau tak merasa masa mudamu terbawa pergi percuma. Sebelum terkekeh sendiri, kau bercerita, “Kalau ngobrol dengan teman main suka enggak nyambung. Satu bicara atasannya di kantor, aku malah cerita tentang bawahan.”

Kau pun bertutur soal sikap sekian orang yang meremehkanmu kala didaulat sebagai pemimpin baru di biduk usaha itu. Menjadi generasi penerus perusahaan keluarga kadang tak mengenakkan bagimu. Bukankah kau sering menjadi obyek, menjadi sorotan mata jalang penuh selidik? Pikiranmu acapkali dipenuhi dengan apa dampak yang kau atau orang tua derita bila setitik nila kau cipratkan di belanga.

Dari luar, menjadi pewaris kerajaan bisnis memang melenakan. Tapi, kau pastikan tak akan terbuai oleh gelar atau status. “Aku tak mau mentang-mentang kerja di perusahaan keluarga terus berbuat seenaknya,” ucapmu seperti ingin menyadarkan. Seperti yang kau sadari pula, semua memang ada bersama pasangan masing-masing. Ada tantangan dan peluangnya. Ada problem berikut pemecahannya. Di perusahaan keluarga yang kau bidani sekarang, pun ada dinamikanya. Begitulah memang hukumnya.

Enjoyable Journey

Menjaga keseimbangan antara padatnya pekerjaan di kantor dengan menciptakan suasana santai di rumah, membantu menjadikan hidupmu lebih teratur dan menyenangkan. Banyak belajar cara merawat rumah dari Sang Bunda membuat naluri keibuanmu ada. Tapi, jangan tanya perihal rutinitas puan Hawa yang gemar menghabiskan waktu di meja rias atau bermanja di salon. Ehm, kau bukan tipikal seperti itu, rupanya.

Seperti kepribadianmu yang terkesan simpel, cuek, dan tak mau ribet. Tak seperti perempuan kebanyakan, jarang terlihat peralatan kosmetik di tas. Tak ada bedak, juga lipstik. Setelah kutelisik, “Aku kalau dandan pagi bisa sampai malam. Tak diotak-atik lagi,” tuturmu, tanpa beban.

Kau bertutur soal driving range sebagai wahana pelampiasan amarah dan ketertekanan. Dengan mengayun-ayunkan stik dan memukul golf sebanyak-banyaknya, pikiran baru dan segar seketika kau rasakan. Jika ada aral, mencari suasana yang lebih santai, seperti ke kafe sambil berwisata kuliner, atau melahap Japanese Food kesukaanmu, menjadi kebiasaan di kala senggangmu.

Dengan musik easy listening yang membuai, kau rasakan sebuah hidup yang baru. Kau pun berpantang dating ke klub. “Aku paling enggak bisa di ruangan yang crowded. Gimana bisa bersantai?” dalihmu. Menonton film komedi, drama, dan animasi Jepang, pun menjadi agenda lain di akhir pekanmu.

Great Expectation

Seperti prinsipmu yang tak pernah mengenal kata akhir dalam belajar, begitu jua dalam merenda karier dan masa depan. Kendati kau mengaku bukan orang yang muluk dalam berangan, membesarkan usaha keluarga atau meretas firma sendiri, adalah mimpi pribadi yang menggelayuti hari-harimu.

Dalam berkarya ataupun berkarier, prinsipmu begitu tegasnya. Kemahiran dalam membina rumah tangga menjadi ukuran sukses seseorang dalam mengelola usaha. Bagimu, jika keluarga terkendali dengan harmonis, perusahaan juga bisa terkelola dengan apik. “Kalau saya punya keluarga berantakan, susah bagi perusahaan menjadi bagus nanti,” tuturmu, mantap. Ya, semua memang mesti berjalan seimbang, Martha.

Yang terpenting bagimu saat ini adalah menjalani apa yang ada di hadapanmu. Berharap memiliki kerajaan bisnis hasil jerih payah sendiri bisa saja kau lakukan mulai hari ini. Tapi, pengabdian seorang anak pada keluarga dan orang tua, tampaknya melumerkan hasrat pribadimu, untuk sementara waktu.

Layaknya wanita karier yang memburu prestasi dan prestise, kau teguhkan aku bahwa kau tak akan menyerah pada usia, atau bahkan pada kehidupan sekalipun. “Kalau tiba-tiba merasa puas dan pensiun total, sepertinya tak mungkin. Saya bukan tipe itu,” ucapmu dengan garis bibir tertarik dan senyum mengembang. Ya, seperti orang yang terbiasa dengan kesibukan dan rutinitas, memilih berdiam di rumah kerap mendatang petaka tersendiri.

Penutup:

Dalam dunia usaha yang penuh seteru, kau teguhkan hati untuk terus mengejar mimpi. Seperti tak ada lagi penat, kau berpacu dengan waktu, mengukir diri dalam kanvas kehidupan. Benar katamu, tak ada kata akhir selagi sang pemilik hidup masih rela membagi kasih-Nya.

MARTHAGRAFI

Nama Lengkap Martha Suherman Lahir Bogor, 9 Maret 1980 Tinggi/berat 170 cm/63 kg Pendidikan Desain Komunikasi Visual, Universitas Trisakti, Jakarta Pekerjaan Direktur Marketing PT Murni Cahaya Pratama (produsen Cargloss) Hobi Golf, art, film, Filosofi Hidup Never Stop Learning Penghargaan The 2nd Best Graduated Trisakti (1998)

Tidak ada komentar: