Jumat, Agustus 22, 2008

Menbudpar Jero Wacik, Tak Bisa Jalan Sendiri

Sejak ditunjuk menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik melakukan reorientasi dengan lebih banyak memperhatikan sektor kebudayaan. Kebijakan-kebijakan pemerintah lebih banyak terarah di sektor budaya, dibanding sektor pariwisata. Di samping memberikan apresiasi yang lebih pada para budayawan, sejumlah program kebudayaan menjadi tradisi baru Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar). Pertunjukan seni dan budaya, misalnya, marak diselenggarakan daerah secara bergantian.

Meski demikian, pemerintah juga mengembangkan obyek-obyek wisata baru sambil mengoptimalkan pendapatannya. Semua program ini terangkum dalam satu visi, merajut kebanggaan anak bangsa terhadap budaya dan keindahan alam nusantara. Berikut petikan wawancara dengan Qusyaini Hasan dari MO:

Industri perfilman nasional mulai berdenyut kembali. Ada kebijakan khusus di bidang ini?

Film merupakah salah satu elemen kebudayaan yang penting. Saya sentuh dengan mengadakan FFI, dua bulan sejak saya dilantik. Sejak itu, atmosfernya langsung berubah. Mereka merasakan adanya optimisme baru dalam pemerintahan ini. Ya, ini merupakan bukti bahwa pemerintah memiliki perhatian yang besar terhadap kebudayaan. Saya akan terus mendorong perfilman nasional.

Apakah Anda menjamin kebebasan berkreasi terus berlangsung?

Sekarang kan tak boleh melarang-larang. Mereka yang berkreasi, pemerintah hanya mengakomodasi. Kalau mereka ada yang kesulitan dana, kita bantu pendanaan sedikit. Mereka ingin menyelenggarakan pertunjukan musik, dalam atau luar negeri, kita bantu sebagian dari anggaran yang kita punya, walaupun masih terbatas. Saya minta televisi juga membuat acara kebudayaan, walaupun tidak dibayar. Dengan imbauan ini, hasilnya cukup besar. Banyak televisi yang menyiarkan acara kebudayaan atau pariwisata tanpa saya bayar.

Apa jaminan kebudayaan kita akan terus berkembang?

Waktu saya mengikuti pertemuan antarmenteri kebudayaan sedunia, saya katakan, Indonesia menggaransi bahwa budaya Indonesia akan terus berkembang. Asumsinya adalah, di mana ada kultur yang dilandasi oleh religius, maka kultur itu akan sulit dihapus. Contoh, Tari Saman dari Aceh, kalimat-kalimatnya kan dari Alquran. Di Bali, tarian itu sudah menyatu menjadi alat persembahan. Kalau upacara di pura tidak ada tarian ini itu, jadi tidak sah. Jadi, kalau tarian-tarian itu didasari oleh nilai agama, maka tak bisa hilang. Jadi, tarian sudah menjadi perlengkapan. Sepanjang itu masih ada, berhubungan dengan kepercayaan, maka kultur itu tidak akan hilang.

Kalau kebudayaan diasumsikan bisa berkembang secara alami, lalu di mana peran pemerintah?

Untuk itu, pemerintah memberikan fasilitas. Pelestari-pelestari budaya, anak-anak, didorong. Jaminan lestarinya kesenian karena adanya bapak-bapak dan ibu-ibu, para pelestari seni. Banyak orang tua yang gigih memperjuangkan kesenian. Tugas pemerintah adalah membawa, mendorong, dan memfasilitasi mereka ke ke panggung atau forum terhormat. Indonesia selama ini di mata dunia dikenal dengan keanekaragaman khasanah budayanya. Namun karena jarang dipertunjukkan, masyarakat jadi kurang mengenal sepenuhnya kekayaan budaya tersebut.

Atas dasar itukah tahun ini dicanangkan sebagai Tahun Festival Seni dan Budaya?

Ya, biar seni dan budaya lebih hidup lagi. Tahun festival seni budaya ini harus diikuti dengan menyelenggarakan event dimana-mana dengan mendorong daerah untuk menyelenggarakan festival. Sekarang ada belasan rencana penyelenggaraan festival di daerah-daerah. Ada festival Sriwijaya, Minangkabau, Melayu, Nusa Dua, pesta kesenian Bali, pesta Toraja, Festival Bengawan Solo, dan sebagainya. Ini sudah mulai hidup.

Bagaimana dengan pengiriman misi-misi budaya ke luar negeri?

Kami akan terus mengirimkan misi-misi kebudayaan ke luar negeri. Ini yang kita dorong, dengan mengirimkan delegasi. Ada misi kesenian, musik ke Eropa, Jepang, Yunani, Spanyol. Ini untuk mengangkat seni budaya kita di luar negeri. Akhirnya seni dan budaya ini membuat kita bangga di dunia internasional.

Dalam pertemuan antarmenteri kebudayaan se-Asia-Eropa tempo hari, ada gejala untuk menseragamkan kebudayaan dunia. Apa reaksi Anda?

Memang ada gejala seperti itu. Namun, kita dari beberapa negara tidak sepakat. Saya keras menentangnya. Culture itu keindahannya terletak justru terletak pada keanekaragamannya. Kami di Indonesia punya sekitar 300 macam kebudayaan. Etnis-etnis kita ini ratusan. Dan itu hidup semua, ini indah. Justru betapa membosankannya dunia ini kalau kita seragam.

Dunia ini indah karena berwarna-warni dan beraneka ragam. Jadi, saya tidak setuju. Indonesia tidak akan pernah setuju gagasan ini. Saya akan pasang badan. Kita biarkan keanekaragaman ini. Kita akan melindungi bahkan akan mempromosikannya. Akhirnya, hampir semua negara setuju bahwa menjamin keanekaragaman kebudayaan harus dijaga.

Di sektor pariwisata, apa kendala yang Anda hadapi?

Untuk mengejar wisatawan asing maupun mancanegara, ada beberapa hambatan. Pertama visa, sekarang sudah kita terobos. Mulai 1 Agustus 2005 kita sudah bisa menggunakan visa on arrival buat Cina, India, dan Timur Tengah. Kita berikan kemudahan masuk. Kedua, penerbangan. Ini sedang kita garap. Bagaimana penerbangan dari ketiga negara ini bisa datang ke Indonesia. Ini belum sukses, sedang kita garap.

Bagaimana dengan pengembangan promosi maupun pemasaran?

Kita tak punya uang. Promosi kita lemah. Sistem sudah ada, branding sudah punya. Namun, branding kita, Ultimate in Diversity, belum beken, karena iklannya kurang. Sekarang sedang berusaha menambah biaya iklan. Hambatan lainnya, hubungan antardepartemen. Hubungan dengan departemen lain tak semudah yang dikira. Bagaimana menjamin keamanan, dan sebagainya.

Anda ingin mengatakan, Depbudpar tak bisa bergerak sendirian?

Agar berkembang sesuai harapan masyarakat, budaya dan pariwisata tidak bisa jalan bila hanya mengandalkan Depbudpar semata. Mesti melibatkan instansi lintas sektoral yang harus mendukungnya. Saya melihat Depbudpar akan sukses kalau bisa berhubungan atau berkoordinasi dengan 17 departemen lain. Seperti Polri, BIN, Dephub, dan departemen lainnya. Program ini menjadi program nasional. Menteri-menteri terkait harus membantu. Kita ingin menunjukkan bahwa pemerintah sangat concern pada kebudayaan dan pariwisata.*

Tidak ada komentar: