Jumat, Agustus 22, 2008

Sonia Wibisono, The Flying Doctor

Dari keluarga kecil yang bersahaja, kau tumbuh menjadi perempuan yang didamba. Sosok wanita pengabdi yang tak lagi memedulikan diri sendiri. Putik bungamu memancarkan aroma semerbak, meneguhkan kesejatian seorang pemberi. Tetaplah seperti dirimu, Sonia! Walau angin musim bertiup ke mana...

A Formed Baby

Bahkan buah pun acap enggan jatuh jauh dari pohonnya. Begitu pun dirimu yang sedari kecil memang dididik untuk menjadi seorang dokter kelak. “Biasanya profesi dokter itu turun temurun. Kalau bapaknya dokter, anaknya juga bisa jadi dokter,” tuturmu, seperti ingin meneguhkan tradisi ini.

Lalu, kau panjang lebar berkisah tentang perhatian kedua orang tuamu yang sama bergelar dokter. Bagaimana keduanya menanamkan pentingnya hidup sehat sejak kau belia. Cuci tangan, jangan buang sampah sembarang, hingga petuah yang mengarah pada kebersihan lingkungan dan dirimu sendiri, menjadi dogma keluarga yang mengalir dalam darahmu.

Tapi, tahukah kau, Sonia, terdapat jutaan gelar dan mata pencaharian lain yang bertaburan selain dokter. Kau juga dikenalkan dengan aneka profesi lain yang bakal mewarnai hari depanmu. Namun, gelar ini kadung membelitmu. Menjerat angganmu hingga kau tak mengelak lagi.

Tentu, pilihanmu itu bukan semata value of life dalam keluarga ataupun sekadar melanjutkan tradisi yang sedang bergulir. Segudang alasan lain menguatkanmu untuk mengabdi di dunia kesehatan. Kau teguhkan keraguanku, bahwa profesi dokter ibarat sang penyelamat memiliki sisi positifnya bagi manusia. Lewat bidang ini pula kau bisa menjamah yang papa secara langsung.

A Dedicated Girl

Kini, tak ada lagi hambatan bagimu untuk terus membagi kehidupanmu sendiri pada sesama. Selain sebagai dokter, tak pernah jemu kau memberikan penyuluhan kesehatan di pelbagai seminar atau diskusi soal kesehatan. Ranah media pun kau jamah di jari lentikmu. Menulis dan mengasuh rubrik konsultasi kesehatan di beberapa majalah.

Pun, kutemukan wajah manismu di mana-mana,. Di kedai kopi, atau di warung jamu di pelbagai sudut kota di tanah air. Satu saat, episode hidup menempatkanmu sebagai duta produk dengan menjadi bintang iklan sebuah produk jamu ternama di tanah air. Katamu, “Kalau saya meng-endorse satu produk, pasti sekalian mengedukasi masyarakat bahwa produk ini pantas dikonsumsi masyarakat.”

Tak jarang pula kau muncul di layar kaca sebagai bintang tamu atau presenter. Bukan semata perona tabung kaca. Bagimu, keterlibatanmu dalam dunia layar kaca, tak lepas dari misi dan keinginan untuk mencoba memasukkan unsur-unsur pendidikan kesehatan kepada segala lapisan masyarakat, terutama masyarakat bawah. Tak heran kalau kau pun menerima peran dokter tamu pada sebuah acara hiburan di sebuah stasiun televisi swasta. Itulah bagian peranmu untuk mengedukasi publik. “Yang penting pesannya sampai ke masyarakat,” tuturmu.

Lalu, jadilah kamu sosok flying doctor yang tak melulu terpenjara di ruang praktik. Bahkan, kegiatanmu belakangan lebih banyak berseliweran dari satu acara televisi ke acara televisi, dan dari seminar ke seminar. Bukan semata demi misi pendidikanmu itu. Malah, dari kecil pun, kau tak suka jadi gadis pendiam. Katamu, kalau di ruang praktik terus, stres bakal menjeratmu.

Dalam dirimu, memang kutemukan sosok aktif. Main sandiwara atau operet, menjadi pasukan pengibar bendera, dan seabrek kegiatan ekstrakurikuler, menjadi memori terindah di masa sekolah menengahmu. Saat di bangku kuliah, kau sibukkan diri di organisasi maupun acara-acara kemahasiswaan. “Saya memang suka melakukan banyak hal,” katamu lagi. Tak terbayang rasanya kalau aura indahmu hanya bisa dinikmati oleh satu dua pasien di ruang praktik.

Lebih dari itu, kegemaranmu bertemu banyak orang telah terlampiaskan, kini. Menjadi pembicara publik di seminar, tak hanya memberi ruang untuk terus berbagi. Justru dari situ pula kau bisa menimba selaksa pengalaman dan pengetahuan baru. Impas. Walau di jiwamu sendiri tak pernah ada hitungan-hitungan untung rugi.

A Selfless Doctor

Ya, sekali lagi, tak ada kata pamrih dalam kamus hidupmu. Jauh hari, kau buktikan hal itu. Ingatkah kau, Sonia, ketika dengan ringannya kau menutup biaya berobat pasien yang kurang mampu saat magang dulu? Kau tegaskan bahwa hubungan dokter-pasien tak bisa semata hubungan bisnis. Lebih dari itu, kau yakinkan aku bahwa masih ada dokter idealis sepertimu di era materialisme ini.

Lagi-lagi kau sungkan jumawa. Kau bisikkan padaku bahwa itulah buah dari didikan orang tuamu agar tak mencari uang di profesi dokter. Memang tak wajar rasanya jika seorang penjaga kesehatan justru mengharap orang lain jatuh sakit. Artinya, ucapmu, jangan kita mencari penghasilan dari orang sakit. “Jangan pula kita mengharapkan orang untuk sakit,” tegasmu.

Aku sepenuhnya setuju akan hal itu. Tapi, seperti yang kau yakini pula, bukankah telah terjalin simbiosis mutualisme antara pasien-dokter sejak lama? Apa yang keliru dari traksaksi bisnis keduanya? Salahkah jika rekan seprofesimu berkehidupan mapan karena kerelaannya berbagi dengan sesama?

Jawabanmu kembali mencengangkanku. “Orang sakit itu jangan dicari-cari. Jangan pula saya berharap agar makin banyak orang sakit datang ke saya.” Misimu untuk mengajarkan gaya hidup sehat pada publik, justru kian terbukti tatkala mereka tetap hidup sehat dan justru tak ada yang sakit lagi. “Kalau mau cari uang, dari tempat yang lain saja. Misalnya, bikin bisnis atau sesuatu yang bisa berguna bagi masarayakat,” tegasmu, lagi.

Karena itulah kau mencoba mengasah bakatmu yang lain di jalur kewirausahaan. Tersiar kabar, kau pun membuka usaha bersama teman-temanmu. Antara lain, restoran Sup Sip, restoran yang mengkhususkan diri di masakan Thailand. Restoran ini kau sebut menawarkan makanan sehat dan hanya dimasak dengan bumbu-bumbu alami.

Kau juga menggelar butik bernama Shanghai Tang di sebuah pertokoan elite di ibukota. Matamu berbinar-binar ketika bicara mengenai butikmu yang menawarkan pakaian bercorak China dan Tibet, ini. “Itu sampingan saja. Saya pasif dan sekadar bantu. Teman-teman yang menjalankannya,” katamu, tak kalah sumringah. Kau pun tengah merancang sebuah usaha lain yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan.

A Fashionable Lady

Bersidepan denganmu, rasanya aku tengah berhadapan dengan seorang ‘dokter spesialis fashion’. Betul juga. Kehidupanmu tak melulu bersinggungan dengan medis, tapi juga dengan urusan mode. Kau pun fasih berbicara soal tren busana di samping dunia kedokteran.

Terbukti, kesadaranmu atas penampilan dapat dibilang luar biasa. Kau pun begitu memperhatikan penampilan dan perawatan diri. “Buat saya, penampilan itu sangat penting. Termasuk juga dengan kebersihan diri,” ujarmu, seakan ingin menjawab rekaanku. Bahkan, kerapihan, kebersihan, dan tubuh yang wangi, kau bukukan sebagai kriteria penunjang kesuksesan.

Seberapa penting seorang dokter sepertimu untuk tampil fashionable? Tanyaku. “Kalau dokter enggak harus fashionable. Yang penting bersih, rapi, dan pakai pakaian yang pantas dengan dirinya,” jawabmu, lugas. Karenanya pula, kau lebih suka memburu dan mengoleksi busana yang unik, ketimbang mengedepankan merek.

Seabrek koleksi pakaian, dari yang resmi sampai kasual menyesaki lemarimu. Ada pakaian formal untuk praktik atau seminar, ada juga yang kasual untuk bersantai dengan keluarga. “Saya kan masih muda. Mumpung masih muda, ya, saya juga ingin menikmati masa muda,” katamu tergelak.

Kau pun fasih bercerita soal koleksi di butikmu. Ada kemeja yang dikenakan artis seksi Angelina Jolie. Kemeja sutra biru itu dikenakannya saat bermain dalam film Tomb Raider II. Demikian pula tas bayi yang sering digadang-gadang aktris Jennifer Aniston dalam serial televisi Friends.

Di luar itu semua, kutemukan dalam dirimu seorang yang mengutamakan keseimbangan hidup. Di tengah kesibukan yang ada, kau masih punya banyak waktu luang sehingga bisa memanjakan diri sendiri, menonton film favorit, traveling, berenang, hingga bertandang ke gym.

A Dreamer Woman

Walau telah bergelimang prestasi, kau pastikan masih banyak cerita anganmu yang belum terangkai nyata. Banyak pula mimpi-mimpi indah yang berpijak di tanganmu yang lembut. Bagimu, ketidaksempurnaan adalah satu hal yang membuat kita terus dipenuhi ambisi-ambisi. “Saya akan terus mengembangkan diri saya,” ucapmu, setengah berbisik, namun kudengar begitu tegas.

Lebih jauh lagi, kau pertegas komitmen untuk terus berbagi dan berbagi. “Kebetulan, secara pribadi, alhamdulillah sudah cukup,” katamu. Apalagidunia pengobatan memang tak berdiri dengan sendirinya. Ia selalu mengintai setiap kehendak dan laju masyarakat.

Kau juga kan yang mengatakan pengobatan itu memuat unsur seni tersendiri. Peningkatan kemampuan dalam pengobatan, hanya dimungkinkan lewat pengalaman. Prinsip itu yang juga yang kau pegang teguh. Selebihnya, kau ingin sibuki diri dengan membaca dan mempelajari perkembangan-perkembangan baru dunia kesehatan.

Kelak, ranah dedikasi dan pengabdianmu bisa berkembang sesuai pengalamanmu. Mengajar di kampus dan berbagi pengetahuan dengan generasi di bawahmu, menjadi impian berikutnya. “Hanya dengan edukasi yang terus-menerus, masyarakat kita akan lebih tahu manfaat gaya hidup sehat,” ujarmu.

Rasanya, seperti dedikasimu pada profesi, tak jua ada kata bosan saat berbincang denganmu. Memberi dan berbagilah, Sonia, selama itu menjadi sahara kebahagiaan untukmu. Aku percaya, apa yang kau lakukan saat ini, sejatinya untuk bekal di hari nanti. Kau berharap jalurmu tetap kau lakoni hingga masa yang kau sendiri tak tahu entah sampai kapan.

SONIAGRAFI

Nama lengkap dr. Sonia Grania Wibisono lahir Jakarta, 11 Oktober 1977 Pendidikan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia (FKUI) Profesi Dokter, konsultan kesehatan, moderator, serta pembicara di pelbagai seminar kesehatan, model iklan sejumlah produk kesehatan Hobi Menari, menonton, membaca, dan designing Prestasi Finalis Cover Model Majalah Anita (1992), Juara II Look’s Agency Model (1994), Finalis Abang None Jakarta Selatan (2000), serta lulus dengan mendapat penghargaan dari FKUI (2001)

Tidak ada komentar: