Selasa, Agustus 12, 2008

Togar Manatar Sianipar, Lain di Wajah, Lain di Hati

Bicaranya meledak-ledak dan penuh semangat, seperti lazimnya orang Batak. Kelihaiannya dalam berkomunikasi inilah yang mencuatkan namanya, ketika dipercaya memangku jabatan strategis Kepala Dinas Penerangan Polri pada 1998 lalu. Waktu itu, sebagai juru bicara utama Polri, Togar Manatar Sianipar dikenal terbuka serta mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan berbagai macam elemen masyarakat.

Tak pelak, hubungan harmonis itu menjadikan citra Polri terangkat. Salah satunya, disebabkan mudahnya masyarakat, khususnya kalangan media, memperoleh informasi secara jelas, akurat, dan terbuka. Sekitar satu tahun bertugas sebagai Kadispen Polri, pria kelahiran Rantau Prapat, 8 Maret 1948 ini dipercaya pimpinan Polri dan dipromosikan untuk jabatan teritorial sebagai kepala kepolisian daerah (kapolda).

Saat menjadi kapolda, Togar tercatat salah satu perwira tinggi (Pati) Polri, yang pernah dipercaya menjabat kapolda sebanyak tiga kali, di tiga tempat berbeda, antara lain di Bali (1999), Sumatra Selatan (2000), dan Kalimantan Timur (2000). Tugas dan tanggung jawabnya sebagai kapolda dilaluinya dengan mulus. Semuanya berkat ketekunan bekerja sebagai sosok profesional.

Enam bulan menjabat sebagai Ses Deops Kapolri pada 2001, ia mendapat tugas dan dipercaya pimpinan Polri memegang jabatan strategis yang memang sesuai dengan bidang yang ditekuninya, yakni jabatan Waka Lakhar (Wakil Kepala Pelaksana Harian) Badan Narkotika Nasional (BNN). Sejak itu, ketegasan dan keberanian Togar benar-benar mendapat ujian.

“Penyalahgunaan narkoba sudah sampai ke anak-anak, mulai umur 8 - 10 tahun. Daerah sebaran juga tidak hanya di kota-kota, tetapi juga ke desa-desa. Di lingkungan pendidikan tidak terkecuali. Mulai dari SD, SLTP, SLTA. Perguruan tinggi apalagi,” katanya prihatin. Namun, lanjutnya, “Yang paling memedihkan hati saya, ketika saya tahu pejabat, wakil rakyat atau bapak rakyat terlibat kasus narkoba. Seharusnya mereka itu jadi contoh bagi masyarakat.”

Komitmennya dalam memberantas penyalahgunaan narkoba begitu kuat. Terbukti, pada 2002, ia diberi mandat menjadi Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) BNN, setelah Kalakhar Komjen Pol Nurfaizi memasuki pensiun. “Kalau melihat jumlah korban yang meningkat, saya akui, yang kita (BNN) lakukan belum menunjukkan hasil,” katanya, dalam sebuah kesempatan. Namun, ia senantiasa memegang amanah yang dipercayakan padanya.

Dalam melihat kinerja BNN, lanjutnya, orang lebih banyak berorientasi pada hasil. Padahal sebetulnya proses itu penting. “Masyarakat ingin melihat, ada enggak pengurangan, ada nggak sih penurunan kasus-kasus narkoba, baik itu korban jatuh maupun korban penyalahgunaannya. Saya kira itu mungkin indikator yang bisa kita gunakan,” katanya, dengan berapi-api.

Tetapi, Togar menambahkan, “Tolong catat baik-baik bahwa seharusnya kalau bertanya soal pemberantasan narkoba ini tidak mesti kepada pemerintah. Karena pemerintah seharusnya menjadi fasilitator dan paling bertanggung jawab dalam permasalahan ini,” tuturnya, “karena pemerintah yang paling bertanggung jawab. Justru dengan pembentukan BNN ini merupakan petunjuk bahwa pemerintah paling bertanggung jawab. Tetapi, harus kerja sama pemerintah dengan masyarakat.”

Begitulah. Ketegasan dan kejujuran menjadi spirit sekaligus prinsip kerja Togar selama berkarier di kepolisian. Jiwa seorang pengabdi, pendidik, sekaligus pelayan masyarakat begitu terpatri dalam setiap tingkah laku maupun kebijakan yang dibuatnya. Sebagai abdi Negara, ia pun menabuh genderang perang terhadap narkoba.

Namun, siapa sangka, profesi ini ternyata tak pernah ada dalam angan-angannya di waktu kecil. Ia mengaku secara jujur tidak pernah bercita-cita menjadi polisi. Setamat SMA, sebenarnya ia ingin melanjutkan pendidikan ke Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung, karena sejak kecil ia bercita-cita menjadi insinyur. Apalagi, di kampung halamannya, nama ITB telah menjadi simbol prestasi dan kebanggaan diri. Terbukti, cukup banyak teman-teman sekolahnya yang melanjutkan pendidikan ke sana.

Namun, keinginan menjadi insinyur itu serta merta kanda ketika ia kondisi ekonomi keluarga. "Kebetulan di sekolah, saya agak pintar. Dan saya merasa mampu masuk ke ITB. Tetapi saya menyadari karena ayah saya sudah meninggal ketika saya berumur enam bulan, kami bertiga bersaudara hanya dibesarkan oleh ibu," ujarnya.

Suatu malam, ia masuk ke kamar ibunya yang sudah terlelap tidur. Tak terasa, muncul rasa iba dalam sanubarinya. "Waduh, ibu saya sudah berjuang membesarkan kami sejak kecil. Berarti ibulah yang mati-matian. Kalau saya menuntut kuliah di ITB sama juga saya menyulitkan ibu saya,” katanya membatin.

Mulai saat itu, Togar berpikir keras mencari-cari sekolah yang tak memungut biaya atau gratis. Ketika besoknya ke sekolah, ia melihat banyak teman sebayanya yang mendaftar ke Akabri. Kebetulan di kampungnya terdapat seorang taruna AMN yang sudah lulus. Dari seoran taruna inilah Togar mendapatkan kejelasan informasi tentang Akabri. “Nah, dalam batin saya, ini dia sekolah gratis yang saya cari," kata Togar dalam hati.

Togar pun memberanikan diri mendaftar dan mengikuti seleksi di Akabri. Ternyata semua tahapan dapat dilaluinya dengan lancar sehingga dinyatakan lulus. "Saya tidak punya backing. Dari mana saya kenal backing, saya anak seorang janda, kok," ujarnya, dengan senyum bangga. Ia pun dapat menyelesaikan pendidikannya tanpa hambatan berarti.

Di tengah tugas dan tanggung jawab yang tak ringan, Togar dikenal tegas dan memiliki kedisiplinan yang tinggi. Namun, situasi yang bertolak belakang dapat kita jumpai ketika ia melepaskan baju dinasnya. Di rumah, gitar tidak lepas dari tangannya. Talenta bermusik dan menyanyi dibuktikan dengan album rekaman berjudul “Suara Hati” yang diluncurkannya bekerja sama dengan pencipta dan penyanyi terkenal Rinto Harahap. “Tetapi saya tidak mau disebut penyanyi. Sebut saja saya orang yang punya hobi menyanyi,” katanya dengan wajah ceria.

Tidak ada komentar: