Hari-hari Subardja Midjaja kembali dirundung nestapa tak berkesudahan. Semua institusi hukum seakan tak rela Subarda beristirahat dengan tenang di hari tuanya, setelah ia ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penggelapan dana milik PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Padahal, seharusnya kasus yang melibatkan namanya ini otomatis terhenti setelah Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri) telah mengeluarkan Surat Keterangan Penghentian Penyidikan (SKPP) pada 2004 lalu.
Kasus penggelapan dana asuransi di bawah naungan Departemen Pertahanan (Dephan) ini melibatkan dana sebesar Rp 410 miliar deposito Badan Pengelola Kesejahteraan Perumahan Prajurit (BPKPP)/Asabri di Bank BNI yang melibatkan pengusaha Henry Leo. Penyelewengan ini terjadi sewaktu Mayjend (Purn) Subarda Midjaya menjabat sebagai Dirut Asabri dalam kurun 1994-1997 melakukan kerja sama investasi dengan Hendry pada 1995.
“Begitu penyimpangan terdeteksi, Menhankam Edy Sudrajat memerintahkan agar dana Rp410 itu dijadikan pinjaman dan Henry Leo menandatangani surat pengakuan hutang beserta kesiapannya membayar,” kata Subarda, seperti dikutip kuasa hukumnya, Dr. Andi M Asrun SH MH. Karena itu, pihaknya tidak merugikan keuangan negara karena meskipun ada penyimpangan dana Rp410 miliar oleh pengusaha Henry Leo, hal itu sudah diakui sebagai pinjaman oleh yang bersangkutan.
Dalam penyidikan yang dilakukan pihak kepolisian, dinyatakan bahwa Subarda terbukti tidak terlibat dalam kasus tersebut. Karena itu, pada 20 Juli 2004 lalu, Mabes Polri mengeluarkan SKPP yang mengatakan kasus Asabri tak cukup bukti menjadikan Subarda berstatus tersangka dalam kasus BPKPP.
Setelah dikeluarkannya SKPP, Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) kala itu, Letjend. Farid Zainuddin, kemudian mencabut laporannya ke polisi. Dephan pun mengalihkan penanganan kasus itu menjadi perkara keperdataan, yakni utang-piutang antara Dephan sebagai pemilik Asabri dan pengusaha Henry Leo. Oleh Dephan, Subarda diminta menandatangani surat kuasa yang isinya “menguasakan kepada Sekjen Dephankam Sugeng Subroto untuk meminjamkan dana sebesar Rp410 miliar kepada Henry Leo”.
Dua Supandji Satu Kasus: Namun, perkara ini tidak berhenti sampai di sini. Sejak pertengahan tahun lalu, Dephan justru menyerahkan kasus ini pada Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat (Puspom TNI-AD) di bawah komando Mayjend. Hendardji Supandji untuk kembali memeriksa kasus ini. Subarda pun dipanggil untuk diperiksa Puspom TNI-AD, padahal Puspom tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa Subarda yang saat menjabat Dirut Asabri sudah menjadi warga sipil karena telah pensiun dari dinas militer.
Namun, karena Subarda beritikad baik untuk membantu penyelesaian kasus ini, pria berkumis itu secara sukarela memberikan keterangan kepada Puspom TNI. Oleh karena ada kesalahan teknis prosedural hukum yang salah, dan Subarda bisa membuktikan tidak korupsi, pemeriksaan oleh Puspom mentok.
Anehnya, oleh Puspom, berkas pemeriksaan yang prematur itu diserahkan kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang tak lain adalah kakak kandung Danpuspom Hendardji Supandji. ”Kami memiliki data dan informasi bahwa penyelidikan oleh Kejaksaan berasal dari Puspom TNI,” kata Asrun. Mulailah dua Supandji ini bahu membahu menyidik dugaan korupsi kasus Asabri.
Rabu, 13 Jun 2007 lalu, Kejaksaan Agung (Kejagung), menetapkan dua tersangka, masing-masing mantan Dirut Asabri, Subarda Midjaya dan pengusaha sekaligus rekanan Asabri Henry Leo. Penetapan Subarda sebagai tersangka ini kontan saja membuat wajah penegakan hukum di negeri ini makin centang perenang.
Polri dan Kejagung tampaknya berbeda pendapat dalam perkara korupsi di tubuh Asabri. Lebih dari itu, Subarda pun menjadi bulan-bulan penegakan hukum yang dilakukan aparat. Polisi sudah, Puspom sudah, kini Kejaksaan. Yang lebih membingungkan, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung M. Salim justru menyatakan tak tahu-menahu soal SKPP yang diterima Subarda.
Rencana pemeriksaan ulang terhadap Subarda oleh Kejaksaan sekalipun Polri telah mengeluarkan SKPP menunjukkan bukti tidak adanya koordinasi yang jelas antara aparat maupun lembaga penegakan hukum kita. “Seharusnya ada koordinasi antara Polri dengan Kejaksaan dimana Polri mencabut terlebih dahulu SKPP tersebut,” kata Asrun, yang juga Ketua Judicial Watch. Lagipula, semua orang tahu bahwa dalam hukum dikenal asas nebis in idem, di mana seseorang tidak boleh diadili untuk perkara yang sama.
Penetapan Subarda sebagai tersangka kasus Asabri jelas mencoreng citra dan wibawa Polri selaku lembaga penegak hukum yang memberikan SKPP pada 2004 lalu. ”Tidak mengherankan jika Polri merasa kewenangan maupun harga diri dilangkahi dan dikebiri dalam kasus tersebut,” kata Anindyo Darmanto, SH, anggota tim kuasa hukum Subarda yang lain. Ketua Tim Advokasi Hukum Badan Pemenangan Pemilu Daerah (Bappiluda) Jawa Barat itu melanjutkan, ”Kejaksaan Agung telah menggagahi Polri.”
Untuk itu, Polri meminta Kejaksaan mempraperadilankan SKPP untuk melanjutkan kasus dugaan korupsi Asabri dengan tersangka Subarda. “SKPP memiliki kekuatan hukum yang bisa dikalahkan, antara lain dengan praperadilan,” kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjend. Sisno Adiwinoto, sebagaimana dikutip Koran Tempo.
Tuntutan agar Kejagung mempraperadilankan SKPP Mabes Polri juga disampaikan Anindyo. “Kejaksaan harus memberikan alasan hukum yang kuat melalui fatwa Mahkamah Agung atau mempraperadilankan SKPP Mabes Polri sebelum memanggil klien kami,” kata Anindyo.
Anindyo menambahkan, kliennya belum bisa memenuhi panggilan pertama Kejagung, pada 6 Agustus 2007 lalu. SKPP Mabes Polri itu masih berlaku dan berkekuatan hukum tetap serta hingga kini. "Jika Kejaksaan bisa memberikan alasan yang kuat, kami akan menghargai panggilan Kejaksaan. Untuk mencari keadilan dan kebenaran, jangankan ke Kejagung, ke ujung dunia pun saya akan datang," Anindyo menegaskan.
Nyatanya, Kejagung menolak permintaan untuk menjelaskan alasan penyidikan ini. Bahkan, JAM Pidsus, Kemas Yahya Rahman, menyatakan, SKPP yang dikeluarkan Mabes Polri lain dengan pemeriksaan Kejagung. “SKPP dari kepolisian itu kasus lain, kasus penggelapan. Sekarang yang kita periksa itu kan korupsi. Itu beda, jadi tidak ada kaitannya,” tegasnya, seperti dikutip Media Indonesia.
Subarda melalui kuasa hukumnya pun tetap berteguh hati dengan keputusannya. Bila Kejagung tetap memanggil paksa Subarda dalam pemeriksaan tanpa mengkaji SKPP Mabes Polri tersebut, Anindyo berjanji akan melakukan perlawanan. “Kita akan praperadilankan Kejagung,” ujarnya.
Anindyo menegaskan, sikap perlawanan maupun keengganan kliennya dalam melayani panggilan Kejaksaan bukanlah bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum. Subarda ingin memberikan contoh pada banyak pihak bahwa orang tidak bisa begitu saja ditumbalkan oleh aparat penegakan hukum. ”Kalau jenderal saja bisa dipelonco seperti Subarda, apalagi terhadap orang awam seperti sampeyan,” kata Anindyo kepada wartawan Ekbis.
Sudah Lelah: Subarda Midjaja akhirnya memenuhi panggilan Kejagung untuk memberikan keterangan, pada 13 Agustus lalu. Ia mengaku sudah teramat lelah dengan proses hukum yang berkepanjangan ini. ”Saya akan membayar jika bisa dibuktikan menerima uang haram dari Henry Leo,” katanya. Ia menambahkan, dirinya tidak merugikan keuangan negara.
Laporan adanya transfer Henry Leo ke rekening atas namanya sebesar Rp30 miliar, bisa dia pertanggungjawabkan. Dana itu ia gunakan untuk kepentingan Asabri dan prajurit. ”Saya akan bicara sejujur-jujurnya. Saya akan jelaskan aliran dana itu. Uang Rp30 miliar yang sudah dalam bentuk aset-aset itu dan ditambah aset-aset hasil penyelamatan lain, sudah diserahkan kepada Dephankam. Jumlahnya mencapai Rp60,95 miliar,” katanya.
Ia menjelaskan dirinya memiliki dokumen penyerahan surat-surat aset dan sertifikat Henry Leo yang diserahkan kepada Dephankam melalui Kepala Biro Pengamanan Dephankam (Karo PAM) waktu itu. Begitu juga daftar saham yang dimiliki Henry Leo di luar negeri, seperti di Hong Kong dan Singapura, sudah diserahkan ke pada Karo PAM. ”Jadi, saya bisa buktikan saya tidak korupsi,” katanya.
Kendati demikian, ia tetap memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus yang menimpa lembaga yang dipimpinnya saat itu. Bahkan sejumlah aset pribadi milik Subarda juga telah diserahkan kepada Dephankam sebagai sebagai jaminan aset penyelesaian kasus tersebut. “Itu bukan berarti saya mengaku bersalah, tapi sebagai bentuk tanggungjawab kepada prajurit. Saya ini sudah bangkotan hidup sebagai prajurit. Saya tidak akan mengkhianati prajurit,” ungkap Subarda.
Ia pun meminta pihak yang terkait dalam kasus ini untuk bicara jujur seperti dirinya. ”Jangan ada rekayasa dan fitnah yang keji, karena Allah tidak akan bisa dimanipulasi oleh siapapun juga,” ujarnya. Oleh karena kasusnya sudah berlangsung 10 tahun, Subarda khawatir banyak bukti otentik yang tercerai berai bahkan raib di makan usia. Sejumlah saksi kunci bahkan sudah meninggal dunia, termasuk Kabag. Keuangan Asabri Letkol. Sunarjo yang diduga berkolusi dengan Henry Leo dan Bank BNI Cabang Kota.
Sementara itu, Anindyo Darmanto, SH, mengatakan kliennya ingin masalah Asabri ini cepat selesai, karena sudah capek selama 10 tahun terombang-ambing. Penanganan kasus Asabri oleh Tim Khusus Dephankam yang tidak profesional mengakibatkan carut marutnya penyelamatan dana prajurit TNI-Polri sejak saat Subarda dicopot dari jabatannya sebagai Dirut Asabri 1997. Subarda dipecat secara otoriter dan non prosedural tanpa dimintai keterangan sebab musabab permasalahannya.
Anindyo juga meminta agar Panglima TNI dan Presiden ikut turun serta memantau permasalahan hukum yang menyangkut Asabri, karena selain akan berakibat terjadinya benturan dalam stabilitas disintegrasi antar korps. TNI dan Purnawirawan, juga terhadap institusi penegak hukum. Hal ini bisa berdampak buruk pada stabilitas ketahanan hukum nasional, akibat aksi lempar batu sembunyi tangan yang dilakukan oleh Dephan.
Hingga, drama yang berlangsung di Kejaksaan, 13 Agustus lalu, memutuskan Subarda untuk sementara ditahan oleh tim penyidik Kejaksaan di Rutan Salemba. Inilah yang kembali mengundang kekecewaan Subarda maupun penasehat hukumnya. ”Kami kecewa atas penahanan ini. Klien kami datang dengan itikad baik dan penuh kooperatif, namun ditahan tanpa alasan yang jelas,” kata Anindyo, tandas. Karena itu, penasehat hukum Subarda berniat mengajukan penangguhan penahanan langsung ke JAM Pidsus.
Sebuah Gugatan Balik: Mengenai statusnya yang kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Kejaksaan, Subarda mengaku sangat risih. “Tapi, biarlah, semoga saya mendapat hikmah dari derita ini. Yang jelas Allah SWT pasti adilnya dan saya tambah dekat denganNya. Bahwa manusia itu tidak lepas dari salah dan dosa, tapi dalam kasus ini, Insya Allah, saya tidak bersalah,” katanya bijak.
Meskipun dilanda badai, Subarda tetap beraktivitas seperti sedia kala. Ia berkiprah di Bappilu Partai Demokrat Jawa Barat dan Forum Masyarakat Demokrat (Formade). Bahkan Formade akan menggelar Seminar Budaya Bangsa di Gedung Merdeka Bandung, 20 Agustus 2007, yang akan diikuti oleh 300 peserta dari seluruh Indonesia.
Kuasa hukum Subarda Andi M Asrun haqqul yakin kliennya tidak bersalah. Asrun menilai, Subarda adalah korban ketidakprofesionalan penanganan kasus Asabri dan harus membayar mahal konsekuensinya dengan cap stigma koruptor sampai mati meski telah dinyatakan tidak terbukti. ”Banyak korban lain selain Subarda akibat ketidakprofesional aparat hukum. Mereka dijadikan tersangka, diperiksa, ditahan, tapi kemudian dibebaskan karena tidak terbukti,” kata Asrun pada peluncuran dan bedah buku ”Subarda Bicara Kasus Asabri” di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Asrun mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri pada 4 Juni 2007 lalu mengingatkan agar aparat hukum, seperti Polri dan Kejagung, untuk memulai tertib aturan dan kejelasan dalam perkara korupsi. Jangan didasari target dan kecepatan yang akhirnya hanya menuduh. Aparat penegak hukum harus berani melihat terlebih dulu kepentingan dan kegunaan dari sebuah kebijakan yang diambilnya.
Kasus yang berkepanjangan ini pun menjadi perhatian DPR RI. Anggota Komisi I DPR Boy W Saul menilai, penyelesaian kasus hukum penyelewengan dana milik Asabri tidak profesional karena tidak pernah menemui penyelesaian akhir. Bahkan, Boy dengan tegas menyatakan bawah kasus Asabri ini seperti dagelan politik dan hukum, karena hanya untuk menyenangkan masyarakat saja. “Seakan-akan terlihat bahwa Dephan dan Puspom ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka peduli atas masalah Asabri, tetapi tidak ada penyelesaiannya,” kata politisi dari Partai Demokrat itu.
Sadar dirinya menjadi korban ekstrayudisial dan fitnah yang terus meluas, Subarda yang selama ini lebih memilih diam mulai menampakkan sebuah perlawanan. Ketegaran hatinya yang selama ini ia jaga telah terusik. Ia kini tidak bisa bertahan dengan kebesaran hatinya seorang diri. Ia pun mulai menyusun strategi dan kekuatan.
Atas nama pribadi dan selaku bagian dari TNI, Subarda mengaku akan mengambil langkah hukum ke pengadilan untuk menggugat Rp2 triliun kepada pihak-pihak, oknum, instansi, dan pihak-pihak yang telah menyebarkan kebencian dan fitnah terhadap dirinya selama ini. Bagi seorang Subarda, boleh jadi, langkah ini merupakan salah satu cara untuk mengembalikan ketenangan batin, sehingga kembali dapat mereguk kebahagiaan di hari-hari tuanya.
Boks
Sub judul : Dirut Asabri yang Berprestasi
Begitu dilantik menjadi Dirut Asabri pada 1994, Subarda dengan cepat mempelajari tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Asabri. Selanjutnya, ia menyusun program, target, dan strategi pencapaiannya. Ia putar otak bagaimana membesarkan jumlah uang Asabri demi digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan prajurit. Ia bertekad untuk membangun 10 ribu rumah prajurit per tahun.
“Saya juga bertekad untuk mendirikan kantor-kantor cabang di berbagai daerah supaya pelayanan Asabri bisa ditingkatkan,” kata Subarda. Selain itu, Subarda berusaha mempermudah pelayanan dan memangkas birokrasi Asabri. Salah satu legacy atau warisan Subarda di Asabri adalah penerapan komputerisasi pelayanan dan melakukan penertiban administrasi untuk pertama kalinya.
Selama memimpin Asabri, Subarda menerapkan sistem kepemimpinan yang menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. kesuksesan Subarda yang lain dalam meningkatkan pelayanan adalah memasang pesawat televisi besar 29 inchi di setiap lantai gedung Asabri. Orang-orang yang datang ke Asabri itu kebanyakan sudah tua, kakek-kakek dan nenek-nenek yang mengurus hak pensiun dan membutuhkan kemudahan.
“Bapak Subarda minta bagaimana caranya supaya kakek-kakek dan nenek-nenek itu merasa nyaman. Akhirnya setiap lantai kita pasang TV besar yang digantung dan bisa dilihat orang banyak. Itu semua untuk hiburan kakek-kakek dan nenek-nenek yang menunggu giliran untuk dipanggil,” kata Hadison, seorang karyawan Asabri .
Selain TV besar, disiapkan pula kursi, meja, dan fasilitas lain yang nyaman. Ruang tunggu dilengkapi mesin pendingin. Subarda tahu betul bahwa orang yang datang itu bukan orang yang sehat dan kuat serta bisa menunggu lama. “Kalaupun harus menunggu, janganlah mereka sampai tersiksa. Itulah yang diperintahkan Dirut Asabri untuk melayani customer-nya,” kata Hadison lagi.
Selama empat tahun di bawah kepemimpinan Subarda, Asabri bisa membangun 40.000 unit rumah untuk prajurit dan purnawirawan, mendirikan 10 cabang kantor Asabri di berbagai daerah di Tanah Air, dan memberangkatkan ratusan karyawan berhaji gratis. ”Inilah amal ibadah saya,” kata Subarda, tanpa bermaksud membanggakan diri.
Dana untuk memberangkatkan haji gratis bagi karyawan dan kaum dhuafa itu diperoleh dari hasil usaha di luar deposito Asabri. Yang lebih membanggakan, Subarda juga berhasil menaikkan bonus bagi para karyawan Asabri yang biasanya hanya Rp100 ribu menjadi Rp3 juta per orang. Hal ini terjadi karena hasil usaha Asabri pada saat itu berkembang dengan baik.
Selain itu, Asabri telah berhasil meningkatkan pelayanan kepada para keluarga pensiunan yang meninggal dunia, dengan memberikan santunan kematian. Biasanya dana santunan tersebut sebesar Rp350 ribu dengan waktu pengurusan minimal enam bulan. Sejak kepemimpinan Subarda, santunan diberikan sebesar Rp500 ribu dengan waktu pengurusan maksimal 24 jam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar