Selasa, Agustus 12, 2008

Sang Pemberani dari Bone (1)

Anak kecil itu tak seperti seorang bocah sebagaimana lazimnya. Aktif, enerjik, dan memiliki daya motorik yang kuat. Paduan antara kenakalan masa kecil dan kecerdasan di atas rata-rata teman sebaya menjadi karakteristik yang khas. Tak jarang, kenakalannya menyiratkan sebuah pemberontakan.

Watak seorang pemberani dan pejuang sejati bersemai dalam diri A.M. Fatwa, bocah itu. Dilahirkan di Dese Cege, Kecamatan Mare, Bone, Sulawesi Selatan, pada 12 Februari 1939, ia sejatinya merupakan seorang remaja yang cerdas, pemberani, dan berpendirian kuat. Anak bungsu pasangan Andi Mappeasse Petta Wawa dan Andi Mina Petta Pajja ini tumbuh dan dibesarkan di tengah keluarga petani dan pedagang kecil yang sederhana, meskipun memiliki garis keturunan keluarga Kerajaan Bone.

Kehidupan masyarakat Desa Cege, sekitar 250 km dari Ujung Pandang, masih memegang teguh adat dan tradisi nenek moyang yang kuat. Memang, di lingkungan tempat tinggalnya waktu itu berkembang tradisi warisan leluhur, seperti penghormatan terhadap arwah, persembahan sesajen, serta perilaku yang berbau takhayul, bid’ah, dan khurafat,

Aktivitas keagamaan masyarakat setempat ini mengusik nalarnya dan akal sehatnya. Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Fatwa mulai berkenalan dengan pola pikir maupun pandangan modern yang mencerahkan jiwanya. Ia pun menggemari buku-buku karya Hamka (Muhammadiyah) dan Isa Anshari (Persis). Di antaranya buku yang menjadi bacaannya waktu itu adalah Tasawuf Modern karya Hamka.

Dari sinilah mulai terjadi konflik dalam dirinya. Pemberontakannya terhadap tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam sebuah peristiwa, ia mengencingi dan merobohkan sebuah rumah kecil di perbukitan yang biasa digunapan penduduk setempat untuk memberi sesajen pada arwah leluhur. Tak pelak, perbuatannya yang dianggap “nakal” ini pun mengundang kemarahan warga sekampung.

Perlawanannya terhadap segala kekangan dan berbau irrasionalitas tak hanya ditampakkannya pada masyarakat sekitar, tapi juga kepada orang tuanya sendiri. Ia kerap berseberangan pendapat dalam hal pikiran keagamaan dengan orang tuanya yang rajin beribadah tapi dengan cara-cara tradisional. “Saya kira, dialog saya dengan orang tua lebih banyak pada perbedaan paham tradisionalisme dengan paham saya yang sudah banyak terbimbing melalui buku-buku modernisme,” tuturnya.

Suatu ketika, ia pernah menampakkan perlawanannya dengan “membakar” rumah-rumahan berkelambu yang biasa digunakan orang tuanya untuk menghormati arwah nenek moyang. “Kayunya saya ambil dan dicampur dengan kayu bakar untuk memasak sehari-hari,” kenangnya sembari tersenyum.

Sikap kritis, analitis, dan inovatif senantiasa dikembangkannya dalam mengarungi hidup. Hal inilah yang memicu lahirnya berbagai tantangan sekaligus menjadi proses pembelajaran. Ia mengakui perjalanan hidupnya penuh dengan tantangan. Saat menjadi seorang pelajar di kampung halaman, tantangan dan cobaan hidup terus menderanya. Fasilitas hidup yang enak dan pendidikan yang layak merupakan hal yang sulit didapat. “Justru hal itulah yang membuat saya terlatih menghadapi tantangan,” ujarnya.

Saat itu, Kecamatan Mare dikenal sebagai pabrik guru. Profesi seorang pendidik menjadi impian dan kebanggaan banyak orang. Namun, profesi ini tak menarik minat seorang Fatwa. “Saya tidak ingin jadi guru,” katanya tegas. Oleh sebab itu, dalam satu peristiwa, ia lari meninggalkan sekolah.

Terkait dengan pembaruan pemikiran, ia pun aktif di berbagai organisasi pemuda Islam, seperti Pandu Islam serta GPII. Ia pun mulai melanglang buana sambil mengasah kompetensi dirinya. Pria yang sudah aktif dalam kegiatan kampanye Partai Masyumi pada Pemilu 1955 ini pun bermimpi untuk mencari sekolah di lingkungan yang berbeda.

Ia pun meninggalkan kampung halamannya ketika pemberontakan DI/TII bergolak di sana. Ketika itu, keadaan kampung halamannya porak poranda. Akibat pemberontakan itu banyak orang-orang Bone merantau ke Sumatra, Kalimantan, hingga Malaysia.

Begitulah A.M. Fatwa. Sejak remaja, ia sudah menampakkan kegelisahannya terhadap berbagai praktik kehidupan yang menyimpang dari akal sehat. Kegelisahan ini pula yang menuntunnya untuk melakukan pengembaraan ke Makassar, Surabaya, Sumbawa, Lombok, hingga Jakarta. Selama bertualang, tak lupa menempa diri di berbagai pendidikan formal sembari aktif di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan maupun organisasi kepemudaan.

Sejak berkelana, ia menambahkan nama Fatwa di belakang namanya sebagai akronim dari gelar ayahnya, Petta Wawa. Fatwa dipilihnya karena memiliki kemasan yang bernuansa agama dan nasional sekaligus menetralisir nuansa kedaerahan yang terlalu kental. Sedangkan gelarnya secara adapt, Petta Lewa, hanya dipakai di lingkungan keluarga dan kampung halamannya. (Bersambung)

Tidak ada komentar: