Serupa sayap elang, segala sisi kehidupan kau pijak. Tak ada kata diam dalam kamusmu. Cakarmu mencengkeram erat. Sayapmu terus mengepak mencari dahan baru tempat berlabuh. Warna-warni kehidupan menjadikanmu tegar di segala ranah, segala musim. Inilah jadinya bila kekuatan jiwa dan keuletan raga berpadu dalam deru napasmu. Semakin kutelusuri, aura kecantikanmu kian menguasai. Hingga tak terperikan lagi.
Unforgettable Moment
Lula Kamal. Entah mengapa kau dipanggil begitu, seperti tertoreh di akta lahirmu yang kini tersimpan rapi di brankas dengan selaksa kombinasi. Terlahir dari harmoni Arab, Sunda, Cina, Betawi, tiga senyawa ini melahirkan guratan wajah bernuansa Timur Tengah yang khas dan berkarakter.
Di luar itu semua, permainan masa kecil dan tempaan keras orang tua menjadikanmu tumbuh dengan karakter yang kuat. Daya juang dan semangat hidupmu bergelora sedari dini. Pantang menyerah, walau sang hidup mengayun-ayun. Pendidikan agama, kebebasan menikmati masa kanak-kanak, dan penghargaan atas ilmu pengetahuan, membuat masa lalumu begitu bermakna.
Aku mengerti bila akhirnya naluri kelelakian, tomboy, dan cenderung ceriwis itu, melumerkan feminisme dan kelembutan layaknya kaummu. Kau bertutur tentang masa lalu yang memang ditempa tak seperti perempuan kebanyakan. Ah, Lula, ingin rasanya aku mengulang kehidupan ini dan menjelma menjadi teman sepermainanmu. Bermain bersama sepanjang hari. Ya, seperti hari-harimu yang telah lalu.
Permainan layang-layang, memanjat pohon adalah penggalan masa kanak-kanak yang terlalu indah bagimu untuk dilupakan. Setiap saat, hikayat ini tersimpan di perigi hatimu. Aku pun tak heran jika bermain boneka, dokter-dokteran, atau petak umpet, tak pernah menjadi penggalan cerita kecilmu. Kau pun tertawa renyah tatkala kuingatkan tentang kegemaran bermain layang-layang di satu siang, hingga tercebur ke selokan kotor saking asyiknya. “Badan hitam-hitam semua. Aku sampai disabet dengan ikat pinggang sama bapak,” kenangmu tersipu.
Naluri seorang petarung itu begitu terlihat kala kau menjejakkan kaki di bangku sekolah menengah. Kala itu, kau bercita-cita jadi seorang teknisi. Lagi-lagi, sikap patuhmu yang kau tunjukkan ketika sang ibu justru menyuruhmu menjadi seorang pelayan medis, seorang penyembuh. Kau sempat menampik dengan alasan tak menyukainya. “Ya, mana mungkin aku suka kalau tak mencobanya,” begitu kilahmu.
Unappeased Pray
Hidup adalah epik panjang yang telah tertoreh pena Sang Pencipta. Lakon yang juga mesti kau jalankan. Peran yang terkadang berakhir manis, semanis madu. Terkadang menyayat, segetir empedu. Kerapkali bahagia terselip, sesekali nestapa menyelinap. Silih berganti bagai musim, bagai siang dan malam.
Menyimak riwayatmu, aku teringat omongan Charlie Chaplin, pesohor lalu. Dalam rentang yang dekat, kehidupan itu ibarat tragedi yang menyemburkan aura kesedihan. Tapi, dari jauh ia ibarat komedi, muara segala gelak dan tawa. Betul juga, bukan? Riang dan gulana, suka dan nestapa itu, setipis kulit bawang. Ayo, jujurlah padaku! Bukahkah kau juga acap sukar membedakannya.
Setiap udara yang kau hela selepas mimpi malammu, makin menebalkan keyakinanmu bahwa esok bukanlah milik manusia. Bahwa kehidupan ini ada yang punya. Maka, selagi Sang Pemilik rela meminjamkannya, adalah sebuah mukjizat tak terperi bagimu. ”Kita enggak tahu umur kita berapa panjang. Makanya, tiap pagi bangun tidur saya panjatkan puja-puji pada-Nya,” tuturmu, setengah berbisik.
Itulah yang membuat hari-harimu tetap saja indah terasa.
Maka catatlah segala pinta yang kau ajukan pada-Nya. Betulkah semuanya telah terbayar tunai, Lula? Memang pintamu tak sekejap terkabulkan. Permohonanmu mensyaratkan ketulusan, kesabaran, dan pengorbanan.
Jika pun ada yang perlu kau sesali, itu karena terbatasnya kesempatanmu untuk berbalas kasih dengan sang adik. Memang, andai setiap orang tahu maut bakal menjemput seseorang yang kita kasihi, bahkan semesta lengkap dengan segala isinya menjadi sesembahan dari mereka yang tertinggal. Andai kau tahu usia adikmu tak lama, kau pasti memberikan yang terbaik untuknya. “Saya sadar, kebaikan saya belum cukup untuknya,” katamu.
Uncounted Talent
Tak terbayang rasanya bila keceriwisan itu bukanlah perangai yang mendarah daging dalam dirimu. Ya, tak hanya aku, siapa yang bisa mengenalimu. Sifatmu yang cerewet dan ceplas-ceplos adalah berkah yang telah kau temukan. Membuka gerbang keberhasilanmu. Membuka mata publik untuk tahu beragam hal darimu.
Tak hanya dikenal sebagai penyeru di bidang kesehatan, kau pun menjelma menjadi idola. Talenta seorang entertainer yang kau asah, melahirkan dirimu bukan semata penghias layar kaca. Kau pun menjadi seorang pembicara, pemandu acara di pelbagai ranah. Mulai dari persoalan kesehatan, narkoba, politik,
Kau memang menyimpan sekian bakat. Keuletanmu dalam memoles bakat itulah yang membuat hidupmu lebih mudah. Pintar saja memang tak cukup, Lula. Seperti halnya dirimu, kecerdasan turut memberi peranan dalam memperkuat daya tahan hidupmu. “Memang ada pekerjaan pokok dan sampingan. Tapi, kadang yang kita pikir yang utama, malah jadi sampingan. Yang jadi sampingan malah jadi yang utama,” ucapmu.
Di bidang presenter, hatimu telah terpaut. Kau merasa bidang ini tepat untukmu. Ragam manfaat telah kau rengkuh, “Buat saya, bidang yang menyenangkan, ketemu banyak orang, bisa belajar banyak hal, juga memperluas networking.”
Walaupun demikian, kau teguhkan hati untuk tetap peduli pada dunia kesehatan. Sebagai dokter, kau tak pernah lupa berbagi. Aku yakin betapa riangnya para pengidap penyakit HIV/ AIDS, dan ketergantungan obat itu, datang ke proyek layanan tes dan pengobatan gratis di sejumlah lembaga pemasyarakatan di tanah air yang segera kau wujudkan.
Unfettered Time
Bahkan, rutinitas pekerjaan pun kau bisa jalani dengan santainya. Selain karena menyenangkan, kau juga menikmati pelbagai aktivitas ini. Kalau ada yang melelahkan bagimu, hanyalah kesemrawutan lalu lintas. Pekerjaanmu memang membutuhkan mobilitas tinggi.
Sebagai perempuan metropolitan, kau begitu mementingkan keseimbangan hidup. Kau benar-benar menikmati waktumu. Traveling, mendengarkan musik, berlatih di gym, nonton film horor di bioskop, adalah agenda pribadimu yang tak boleh terlewatkan. “Sekarang sudah enggak nge-disco lagi,” akumu. Bila memungkinkan, kau tak canggung bersosialisasi di kafe atau resto bersama rekan-rekan. Ya, sekadar menuruti kegemaranmu berpetualang selera. Mengunyah kudapan Italia, Jepang, atau kenikmatan karedok kesukaanmu.
Membaca pelbagai jenis buku adalah caramu mengintip cakrawala dunia. Mulai dari cerita pendek yang berhubungan dengan kehidupan, hingga komik Donald Bebek. Kau mengaku banyak belajar dari cerita bergambar yang biasa dibaca anak-anak ini. “Banyak lho kata-kata bijak di
Sebagai penampil di depan khalayak, kau pun paham akan keserasian berbusana. Kau gemari warna hitam yang bisa menyembunyikan bentuk asli tubuhmu. Pun warna hijau yang mencerahkan. Kau gemari pula warna-warna senada kulitmu. Tak bergantung pada bandrol, koleksi busana kasual hingga setelan resmi menggantung di almari pakaianmu.
Unbreakable Heart
Cinta. Perasaan ini yang membuatmu terlampau pasrah. Tak semata dirimu, rasa inilah yang menggerakkan begitu banyak pujangga dunia, mengabadikannya dalam larik-larik puisi. Mengilhami begitu banyak komposer dan musisi, mengabadikannya dalam simfoni dan lirik-lirik menggugah. Perasaan ini yang mengilhami banyak sineas dan sutradara, mengabadikannya dalam pita seluloid megah.
Makanya, jangan pernah mengecilkan kemampuan hati, Lula. Dalam sekejap, hati mampu menyapa cinta. Cintalah yang memercikkan rasa rindu, bahagia, berbagi tanpa pernah berhitung. Kau pun memaknai rasa ini begitu, “Tak ada hitungan sama sekali. Kalau ada pepatah, kalau kita mencintai hidup, maka kita mencintainya lebih daripada hidup itu sendiri.”
Keluhuran cinta meyakinkan dirimu akan adanya kesejatian rasa ini. Cinta sejati tak hidup di ruang kosong. Ia tak mesti didukung banyak hal. Sampai renta pun ia tak bakal datang sendiri tanpa dijemput, tanpa kerelaan berkorban. “Cinta tak akan hidup semata karena cinta. Cinta itu mesti dijaga, dipelihara.”
Tak heran jika kau bukanlah sosok yang mudah tertaklukkan. Kau yakinkan aku, keelokan fisik maupun desiran darah kala pandangan beradu pertama kali, tak mempan memanahmu sekalipun. “Saya bukan tipe orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama,” tuturmu, tegas. Kesucian cinta mengajarimu tentang kasih yang sebenar, tak bersemai dari raga, apalagi harta. Meneguhkanku bahwa rasa ini akan menyapamu setelah jalan-jalan panjang terlampaui.
Tapi, tahukah engkau akan kekuatan hati yang lain, Lula? Dalam bilangan detik, hati pula yang menggelontorkan cinta itu. Maka bercerminlah dari kegagalan membangun kerajaan cintamu kemarin. Kebeningan hatimulah yang memutuskannya cepat-cepat. Kebenaran itu tak pernah absolut, katamu. Apalagi kebenaran yang berlandaskan emosi, bukan logika. Ya, benar sekarang, belum tentu benar dua bulan mendatang.
Kembali ketegaran menghidupimu. Kau sebut dirimu seorang janda bahagia, yang tak mau termegap-megap dalam linangan kesedihan. Ya, tak perlu duka, apalagi malu itu bersemayam dalam kalbumu. Bukankah kehidupan telah memberikan kebahagian lain dari pintu yang tak kau duga? “Cuma rasanya kesempatan orang untuk menggodaku jadi lebih banyak. Orang mudah beranggapan, saya pasti butuh kasih sayang, sentuhan,” katamu, dengan seringai jenaka, “Orang boleh nyoba, tapi saya
Sampai berapa lama kebutuhan biologis layaknya perempuan dewasa menderamu? Itu yang tak kau sanggah. Keinginanmu akan kasih sayang, perhatian, dan belaian dari pasangan, memang tetap ada. “Mungkin perempuan lebih gampang dibanding laki-laki. Saya tak bisa langsung turn on, libido naik ketika melihat laki-laki, atau dipegang,” ucapmu lirih.
Lebih dari itu, tanggung jawabmu untuk menghidupi keluarga seorang diri lebih kau pentingkan di atas segalanya. Kebiasaan hidup mandiri sejak menikah pun menjadi resep jitu. “Kalaupun satu saat saya mesti sendiri lagi, tak ada masalah. Semua saya biasa tangani sendiri.” Ah, lesung pipi itu.
Unending Hope
Jika pun kau kembali berhasrat untuk memiliki pendamping cepat-cepat, bukan karena kesendirian telah melecutmu. Semata karena si buah hati, tuturmu. Naluri keibuanmu berkata, “Kasihan lihat dia tanpa kehadiran figur bapak.” Kini kau berada di jalan yang tepat, Lula. Jalan untuk menemukan seorang pelindung yang kau harapkan.
Sosok yang cocok dengan anak, itu kriteria utamamu. Cinta sang anak telah meluluhkan egomu, rupanya. Karenanya, kau tempatkan figur yang bisa menerimamu apa adanya di urutan berikutnya. Keterbukaan dalam segala hal, menjadi pelengkap mahligai yang kau dambakan.
Dalam berkarier, kau mengaku berpuas hati dengan apa yang kau toreh di dunia entertaint. Kendati, keinginan untuk memiliki program acara lebih menarik yang kau akui sendiri masih mengganjal di hati. “Saya ingin punya acara talkshow yang jauh lebih bagus lagi,” katamu, dengan kilatan optimisme di matamu.
Kodratmu sebagai pengabdi di dunia medis tak kau tinggalkan sepenuhnya. Di samping menyukseskan proyek pengobatan khusus bagi narapidana di lembaga pemasyarakat, kulihat harapanmu untuk mendirikan sejenis rumah sakit ketergantungan obat. “Saya berharap, segala bentuk pengobatan ada di
Menghadap cakrawala, kau hembuskan semangat yang tak pernah penat. “Hidup ini terlalu indah kalau dilewatkan,” katamu berulang kali. Aku kini tahu apa yang tengah kau cari. Dan kau berdiri, berlari mengejar angan, meniti segara kehidupan yang telah tersurat. Kedua tanganmu terentang, serupa sayap elang.
Lulagrafi
Nama lengkap Lula Kamal LahirTinggi/berat 168 cm/60 kg Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, King’s College, London PekerjaanHobi Travelling, baca, renang, nonton, Prestasi Jakarta, 10 April 1970 Dokter/Presenter/Pembicara seminar/Motivator None Jakarta Pusat (1990), None DKI Jakarta (1990), Putri Kampus (1993), Perempuan Pilihan Matra (2000), Chevening Awards (2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar