Mantan Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Metro Kebayoran Lama ini sekarang sudah menjadi Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri). Pria kelahiran Pemalang, Jawa Tengan, 30 September 1950 ini adalah lulusan terbaik Akabri Kepolisian tahun 1973, satu angkatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga merupakan lulusan terbaik Akabri Angkatan Darat.
Begitu lulus dari Magelang, Sutanto malang melintang di berbagai pelosok nusantara guna menjalani tugas kedinasannya. Ia dikirim ke Sumenep untuk ditugaskan sebagai Kepala Polisi Resor (Kapolres) Sumenep, Jawa Timur. Selama tahun 1992 hingga 1994, Sutanto mengemban amanah sebagai Kapolres Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam perkembangan selanjutnya, karier Sutanto mulai benderang.
Pada tahun 1999, ia memangku jabatan sebagai Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Metro Jaya. Gemblengan singkat sebagai Wakapolda ini memantapkan langkah karier Sutanto selanjutnya. Secara berturut-turut, suami Henny ini memimpin Polda Sumatra Utara (Sumut) selama setahun dan Jawa Timur (Jatim) selama dua tahun.
Selain karena pertemanan dengan presiden, selama kariernya di kepolisian, Sutanto juga dinilai bersih. Dia juga dikenal konsisten dan dekat dengan bawahan. Ayah dari empat anak ini dikenal jujur, bersih, dan punya komitmen tinggi memberantas kejahatan. Saat menjabat Kapolda Sumut (2000), dia berupaya secara gigih memerangi perjudian, premanisme, dan peredaran narkoba di provinsi itu.
Mantan ajudan Presiden Soeharto ini menghadapi segala bentuk risiko, baik dari para bandar judi dan internal Polri sendiri. Kalangan yang tidak senang dengan pemberantasan judi diberantas di daerah itu tidak mau Sutanto bertugas di Medan dalam waktu yang panjang. Entah apa yang terjadi, tanggung jawab sebagai Kapolda Sumut ini hanya dijalaninya dalam kurun tujuh bulan.
Dia dipindah menjadi Kapolda Jawa Timur. Di wilayah ini, Sutanto langsung menyatakan perang terhadap terhadap illegal logging, praktik BBM oplosan, judi, dan narkoba. Salah satu gebrakannya adalah menangkap dan menahan Sundono alias Jhonson Limuel Lim, bos kayu ilegal nomor satu di Jatim yang sebelumnya tak tersentuh hukum. Dia juga mengusir dan menampik utusan Sundono yang hendak menyuapnya Rp 2 miliar agar Sundono bisa ditahan luar. Dia tetap bergeming dengan keputusannya. Sundono tetap menjalani kurungan hingga kasusnya dilimpahkan ke kejaksaan.
Setelah menuntaskan tugasnya sebagai Kapolda Jatim, ia dimutasi menjadi Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri dalam kurun waktu 2002 - 2005. Setelah SBY jadi presiden, nama Sutanto kembali bersinar. SBY mengangkatnya menjadi kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (Kalakhar BNN) pada awal Maret 2005. Dia pun naik pangkat dari Irjen menjadi Komjen Pol.
“Jenis narkoba yang menjadi prioritas dalam penanganan adalah ganja, ekstasi, heroin berikut sabu. Mengapa ganja, ya karena ternyata jenis narkoba inilah yang terbanyak dipakai, yaitu menurut survei kita, 71 persen pengguna narkoba di Indonesia memakai ganja,” tutur Sutanto.
Ia menyadari, kasus ini melibatkan bandar kakap yang bermain dengan modal yang besar. Namun, nyaris tidak ada rasa gentar di hatinya. “Terus kenapa? Kenapa lantas enggak berani? Judi dan narkoba ini kan menjadikan anak bangsa sebagai korban,” katanya, dengan penuh semangat. Sutanto berharap bangsa ini secepatnya bangkit dan melakukan perlawanan terhadap judi dan narkoba.
“Ya kita harus bangkit. Tolong sampaikan kepada publik agar jangan terus terlena dengan keadaan ini,” ucapnya tegas. Kendati sebentar di BNN, dia telah melakukan gebrakan besar dalam menangkap anggota sindikat peredaran narkoba internasional. Selain itu, ia berhasil menggerebek dan menemukan sejumlah pabrik narkoba besar di sekitar Jakarta.
Hingga saat ini, penegakan hukum serta berbagai hal yang terkait narkoba juga menjadi prioritas utama kebijakannya. “Narkoba sekarang sudah merambah ke mana-mana. Jadi saya berharap supaya daerah-daerah serius menangani masalah ini. Tentu tidak bisa Polri sendiri yang mengatasi, tetapi juga aparat hukum yang lain. Ini penting, agar terhadap tersangka yang kita tangani diberikan sanksi yang seberat-beratnya,” katanya.
Untuk mengantisipasi gencarnya peredaran narkoba, kita terus berupaya melakukan sinergi dengan seluruh jajaran terkait. “Untuk ekstasi, kita terus cari pabrik-pabrik gelapnya. Termasuk tempat peredarannya di diskotek-diskotek. Saya akan memerintahkan agar diskotek terus dirazia, terutama untuk yang disinyalir di dalamnya ada peredaran ekstasi,” katanya.
Demikian pula dengan ladang ganja yang bisa ditemui di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Berdasarkan survei di kepolisian, ada belasan titik pembudidayaan ganja di NAD. Untuk itu, Sutanto terus berupaya agar tidak ada lagi tanaman ganja di sana. “Jadi kita tidak hanya mencari atau mengoperasi ganja yang didistribusikan ke Jawa, misalnya. Ya kita harus basmi sejak dari ladangnya, harus di Aceh-lah,” tuturnya.
Sedangkan untuk heroin, lanjut Sutanto, pihak akan memperketat jalur-jalur masuknya, melalui udara maupun laut dengan mengintensifkan kerja sama tukar-menukar informasi dengan negara-negara produsen narkoba. Ia berkata, “Kita tidak hanya menunggu kemungkinan narkoba yang datang ke sini. Kalau hanya menunggu, yang kita tangkap paling ”hanya” sepuluh kilogram.”
Saban hari, pria berkumis tipis ini terus berkuat dengan tantangan dan tanggung jawab yang tidak ringan. Namun, bukan berarti ia tidak lagi memiliki waktu luang untuk mengendurkan urat saraf. Selain lari pagi, hobinya adalah adalah memelihara burung. Di rumah yang ditempatinya sejak 1997 itu terlihat beberapa burung dalam sangkar yang digantung di berbagai tempat. Kicau burung kakatua, beo, dan nuri terus terdengar sepanjang waktu. Seakan-akan menjadi penyambut setiap tamu yang berkunjung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar