Awal kelahiran Pokja Petisi 50 dan rapat-rapat persiapannya diadakan di Gedung Granadha, Kantor Sekretariat Forum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat (Posko AD) yang sehari-hari dipimpin oleh Mayjen TNI (Purn) Ahmad Sukendro, dengan Sekjennya Letjen TNI (Purn) HR Dharsono. Tetapi, resminya Petisi 50 berpayung pada Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, yang didirikan oleh Bung Hatta, Jend. AH Nasution, dan para tokoh nasional pejuang demokrasi pada tahun 1978.
Sebagai Sekretaris, tentu saja siang malam kesibukan Fatwa tergolong padat. Fatwa harus mempersiapkan segala keperluan, termasuk menjalin koordinasi dengan para anggota. Apalagi dalam perkembangan, Pokja ini mengambil jalan untuk senantiasa bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan politik penguasa Orde Baru, seperti penerapan asas tunggal Pancasila, keberpihakan ABRI terhadap Golkar dalam Pemilu, serta berbagai kebijakan lainnya.
Petisi 50 pun dianggap “musuh utama” pemerintah Soeharto. Sebagai imbasnya, ruang gerak Pokja maupun para tokohnya pun menjalani hidup yang sulit. Setelah dilarang mengadakan rapat-rapat di Granadha (kini Balai Sarbini), maka Bang Ali menyediakan rumah kediamannya di Jalan Borobudur 2 Jakarta Pusat untuk kegiatan rapat Petisi 50, dan juga menyediakan suatu ruangan kantor di gedung Ratu Plaza lantai 30 Jalan Jend. Sudirman Jakarta, yang sehari-hari sekretariatnya dikelola oleh Fatwa bersama Chris Siner Key Timu.
Kesibukan Pokja membuat lalu lintas penggunaan telepon yang sangat padat. Inilah yang memicu intelijen untuk menyadapnya. Maka pesawat telepon di rumah dimatikan oleh Telkom tanpa alasan yang jelas. Bang Ali mengirim
Macam-macam saja ulah para intel ini. Tidak hanya Fatwa dan para aktivis Pokja, pegawai kantor Bang Ali sekaligus Sekretariat Petisi 50 di gedung
Pada Idul Fitri dan Idul Adha 1980, berturut-turut Fatwa ditahan dan disiksa oleh aparat intelijen Laksus Kopkamtibda Jaya hingga mengalami gegar otak. Bang Ali tampil membela dan menyembunyikan Fatwa di rumahnya. Bang Ali juga membawa Fatwa melapor ke rumah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo karena Fatwa diancam akan diculik dari RS Islam, sehingga Dirut RS Islam dr Sugiat pada tengah malam membawa lari Fatwa keluar dari Rumah Sakit.
Bang Ali juga mengirim surat protes kepada Pangkopkamtib Laksamana Soedomo, sehingga Pangkopkamtib melakukan teguran tertulis kepada Pangdam Jaya Letjen Norman Sasono, dan melakukan mutasi dan tindakan administratif kepada beberapa pejabat bawahannya, termasuk Assintelnya, Danramil Setiabudi Letda Sukarman, Perwira Operasi Kodim Jakarta Selatan dan Kapten Thomas Perwira Satgas Intel Laksusda Jaya.
Karena Fatwa melakukan tuntutan perdata kepada Pangkopkamtib, dan Laksamana Soedomo tidak berhasil membujuknya melalui Pak Ali Sadikin dan Adnan Buyung Nasution, maka kembali lagi aparat Kopkamtib di lapangan melakukan percobaan pembunuhan terhadap Fatwa dengan berusaha membacok lehernya dengan clurit. Wajahnya pun coreng-moreng dengan luka berlumuran darah. Syukurlah, dengan operasi jahitan yang baik sehingga tidak merusak wajahnya.
Tak hanya sekali, Bang Ali Sadikin bersama Mayjen Aziz Saleh dan Letjen HR Dharsono kembali tampil sebagai membela Fatwa di Pengadilan setelah semua pengacara-pengacara senior dan profesional yaitu Lukman Wiradinata, Djamaluddin Dt. Singomangkuto, Sukardjo Adidjoyo dan Hotma Sitompul mengundurkan diri karena diteror aparat Kopkamtib dengan cara melempari batu rumahnya sambil mengancam.
Pak Hoegeng, mantan Kapolri yang meminta Kapolda menyelidiki siapa yang melakukan pembacokan tehadap Fatwa, akhirnya melaporkan bahwa sudah diketahui siapa pelakunya, tetapi polisi “tidak bisa” menangkapnya. Bang Ali sebagai senior ALRI pun meminta kepada Panglima Kodamar agar RSAL sebagai Instansi Militer dilakukan pengamanan khusus terhadap pasien yang mengalami ancaman. Intel ALRI yang menjaga Fatwa berhasil menangkap seorang Intel BAIS yang menyusup di kamar perawatannya. Intel yang tertangkap itu pun terpaksa dilepaskan.
Untuk menunjukkan solidaritas pembelaan, Bang Ali bersama Letjen HR Dharsono, sengaja berdua “mengambil alih” tugas perawat mendorong dipan pembaringan Fatwa keluar masuk kamar operasi. Demikian juga waktu keluar dari RSAL, sengaja Banng Ali sendiri yang menyetir mobil menjemput Fatwa, sehingga para Perwira dan Pengawal di RSAL terheran-heran.
Fatwa memang sengaja minta dirawat di RS AL, padahal ia dibacok di depan masjid Agung Al Azhar yang jarakanya lebih dekat dengan RS Pertamina. Hal ini dilakukan karena Kolonel dr Otto Maulana Kepala RS AL adalah senior Fatwa ketika sama-sama mahasiswa Ikatan Dinas ALRI dan Korps Pelajar Calon Perwira AL. Akibat yang lebih jauh pun menimpa Otto. Dia tidak pernah lagi naik pangkat hingga pensiun. Padahal rata-rata teman-temannya pensiun dengan bintang dua.
Ketika hal ini diceritakan Fatwa kepada Bang Ali, dia berkomentar “Apa boleh buat, itu risiko jabatannya. Dan berdasarkan sumpah dokter, musuh sekali pun harus dirawat, apalagi kamu bukan musuh”. Karena itu, Fatwa merasa sedih dan berutang budi karena demikian baiknya merawat dirinya, tetapi berakibat dia harus diinterogasi oleh Laksusda Jaya dan dianggap salah.
Tak hanya jadi bulan-bulanan aparat intelijen, Fatwa juga sempat dikecam para aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tampaknya para aktivis tersebut merasa terancam dengan Petisi itu karena sebagian besar di antara mereka banyak yang menjadi pejabat Orde Baru. Selain HMI, pengikut Masyumi juga mengecam Fatwa karena dianggap menyeret-nyeret Mohammad Natsir ke dalam Petisi 50.
Memang, di awal pembentukan Petisi 50, Fatwa bersama aktivis muda lainnya bergerilya mengumpulkan tanda tangan sejumlah tokoh, termasuk Natsir, untuk mendukung enak butir “Pernyataan Keprihatinan” atas isi pidato Soeharto tentang asas tunggal Pancasila yang menurutnya dirongrong oleh ideologi lain dan partai politik. Natsir pula yang didaulat untuk mewakili 50 penanda tangan guna menyampaikan maksud mereka ketika menyambangi Ketua DPR, Daryatmo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar