Senin, Februari 22, 2010

Mengurai Jiwa Sang Pemimpin

Apa yang mendasari seorang pemimpin menjadi peragu, cepat bertindak, atau bahkan otoriter?

Kepemimpinan tak melulu soal seni dalam mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, ternyata. Ia juga melibatkan banyak hal, termasuk bakat bawaan, kompetensi, dan keterampilan untuk memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan. Bahkan, kemampuan memotivasi tak jarang menjadi kunci keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain sehingga tujuan tercapai.

Namun, soal keberhasilan, semua itu bermuara pada muatan psikologi, karakter, maupun perilaku sang pemimpin. Mau bukti? Dalam berbagai kesempatan, berbagai pengamat sempat memberikan penilaian bahwa pemimpin nasional kita cenderung peragu dan lamban dalam memutuskan sebuah kebijakan.

Benarkah demikian? Hamdi Muluk, dosen yang juga Koordinator Program Master dan Doktoral pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia memiliki jawabannya. Menurutnya, karakter ini dapat dilihat dari motif sosial atau afiliasi yang dimiliki sang pemimpin. “Motif atau keinginan berafiliasi, seperti hubungan personal atau pertemanan, mempengaruhi segala tindakan dan keputusan pemimpin,” katanya. Keinginan berafiliasi inilah yang membuat seorang pemimpin ingin diterima dan disenangi semua kalangan.

Memiliki motif afiliasi ini memang tak bisa disalahkan. Bahkan, seperti motif sosial lainnya, misalnya keinginan berprestasi atau berkuasa, lanjut Hamdi, keinginan ini penting dimiliki seorang pemimpin agar publik mengetahui apa yang menjadi nilai-nilai dasar dari seorang pemimpin itu. “Apakah menjadi pemimpin hanya didasari untuk berkuasa semata, ataukah lewat kekuasaan ia ingin menorehkan ssuatu prestasi dalam hidupnya, atau hanya untuk menyenang-nyenangkan orang sekeliling dia,” katanya. Dengan mengetahui motif dasar dan pandangan hidup dia yang mendasar, tuturnya, publik setidaknya tahu ia mau dibawa ke mana.

Secara umum, lanjut Hamdi, kepribadian seseorang terbentuk secara dinamis, tergantung pada faktor bawaan atau genetik maupun pola asuh dari lingkungan, khususnya lingkungan keluarga. Faktor inilah yang menentukan karakter, temperamen, kecerdasan dasar seseorang. “Kepribadian ini akan berkembang terus sepajang umur, mulai dari kecil sampai dewasa,” tutur Hamdi.

Doktor bidang psikologi ini melanjutkan, karakter-kakarakter dasar atau sifat-sifat dasar (traits) pada umumnya terbentuk karena interaksi faktor genetik dan lingkungan pada awal-awal tahun kehidupan, dan mulai stabil setelah masa remaja. Jadi, kepribadian seorang anak mulai terbentuk dan sukar berubah kalau ia sudah mendekati usia dewasa.

“Nah, dasar pembentukan kepribadian seorang pemimpin pun sama saja dengan kebanyakan orang,” ujarnya. Selanjutnya, pemahaman mengenai kepemimpinan yang dikembangkan tergantung pada paradigma teori yang lebih mereka percayai. Soal leadership, lanjutnya, ada yang menganggapnya sebagai sifat yang sudah ada dari kecil, namun ada juga yang mengatakan sebagai skill atau keterampilan yang bisa dilatih.

Konvergensi di antara pelbagai macam teori itu, menurut Hamdi, lebih menyetujui bahwa leadership mungkin saja didominasi oleh faktor bakat dari kecil, tapi juga lebih banyak ditentukan oleh faktor situasi. Menurutnya, “Apakah lingkungan mengasah dia untuk menjadi pemimpin. Belakangan juga banyak sekolah kader kepemimpinan yang intinya lebih percaya bahwa kepemimpinan adalah sebuah skill (kterampilan) yang dapat dipelajari.”

Segendang sepenarian dengan Hamdi, psikolog A. Kasandra Putranto menyatakan, pada prinsipnya teori terkini tentang leadership sejalan dengan teori terkini tentang karakter manusia. “Sebagian adalah nature genetik, sebagian adalah lingkungan belajar, sebagian lain karena mekanisme diri dalam mengambil keputusan untuk mengadopsi karakter seperti apa atau menjadi apa,” katanya.

Yang pasti, baik Hamdi maupun Kasandra juga sepakat bahwa gambaran seorang pemimpin ideal senantiasa mensyaratkan banyak hal. “Visi, kemampuan komunikasi, mengelola konflik, negosiasi dan bargaining mutlak diperlukan seorang pemimpin, Demikian juga dengan kecerdasan emosi dan sosial,” kata Hamdi. Visi, lanjutnya, justru menjadi roh utama seaorang pemimpin untuk membedakan dengan orang yang hanya jadi follower.

Seorang pemimpin tidak perlu memiliki kecerdasan akademis seperti seorang profesor atau filosof. Namun, tutur Hamdi, seorang pemimpin tidak boleh bodoh, tapi secara konseptual maupun kompleksitas intelektual memiliki kemampuan di atas rata-rata. Walaupun tidak semutlak seperti soal visi, lanjutnya, kemampun memperhitungkan risiko dan mengamibil keputusan yang tepat, kemampuan mengelola konflik dan kemampuan persuasi, negosiasi, dan diplomasi juga harus dimiliki seorang pemimpin.

Di samping kemampuan intelektual, Hamdi juga mensyaratkan perlunya kecerdasan emosional bagi seorang pemimpin. Semakin cerdas ia secara emosional, semakin stabil jalan pikiran, ucapan, dan tidakan-tindakan dia. “Sehingga keputusan-keputusan bisa lebih matang dan bijak. Dan yang terpeting ia lebih mampu menguasai diri kalau dalam keadaan tertekan,” katanya.

Kasandra memberikan pendapat yang menjadi pelengkap menyangkut syarat ideal yang harus dimiliki pemimpin. Menurutnya, leadership skill yang diperlukan jauh lebih luas dari sekadar apa yang tertera di atas. “Perlu juga melibatkan soal intuisi, kreativitas, visi, ambisi, coaching, negosiasi, management, dan sebagainya,” kata pemilik PT Kasandra Persona Prawacana ini.

Secara rinci Hamdi menyebutkan, dalam konteks perusahaan, misalnya dalam posisi manajer, kepemimpinan lebih diarahkan kepada penguasaan teknikal, plus majaerial, konseptual dan atau kemampuan teknokratik, serta sedikit visi dan kemampuan mengimplementasikan misi tertentu. “Untuk posisi direktur utama atau pemilik perusahaan, yang diutamakan kemampuan visioner jauh ke depan, kemampuan menanggung risiko, dan kemampuan untuk menyakinkan orang akan mimpi-mimpi atau visi yang ia bagun itu,” tuturnya.

Di samping itu, menurutnya, insting dan kepekaaan dalam dunia bisnis (sense of businees) juga diperlukan bagi seorang pemimpin. Hal ini justru sangat penting dalam konteks bisnis, kepekaan, instik dan intuisi, tahu kapan harus membuat keputusan di saat yang tepat, memperhitungkan risiko dengan cermat, dan berani mengambil keputusan. Ia menambahkan, keputusan yang cermat, tepat dan juga cepat sangat dibtuhkan seorang pemimpin dalam konteks bisnis.

Sama halnya dengan posisi pemimpin politik, misalnya pemimpin eksekutif atau legislative, ujar Hamdi, juga diperlukan kemampuan visioner dan kemampuan mengkomunikasikan visinya dan mempengaruhi orang untuk mengikuti "mimpi"nya tadi menjadi ruh dari pemimpin politik. “Namun, berbeda dari dari lingkungan perusahaan yang lebih terstruktur, seorang pemimpin politik dituntut punya political skills, yaitu kemampuan mengelola konflik, negosiasi, dan diplomasi,” katanya.

Biasanya, Hamdi menambahkan, perpaduan visi, kemampuan komunikasi politik, serta keterampilan bernegosiasi dan diplomasi akan berbuah kepada karisma politik. Paling tidak, tingkat penerimaan sosial di lapisan rakyat meningkat. “Inilah yang kerap juga diterjemahkan sebagai popularitas politik,” ucapnya, “Kepemimpinan ini makin efektif jika pemimpin menerjemahkan visinya ke dalam misi dan program. Setelah itu ia bisa memonitor guna memastikan program itu jalan.”

Gaya kepemimpinan seperti apa yang cocok dalam mengendalikan bisnis seperti sekarang ini? Hamdi menjawab, semua tergantung pada bisnisnya. “Sekarang dalam konteks reformasi birokrasi, orang berbicara pentingya services atau servant leadership,” katanya. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus punya kemampuan melayani dan menangkap aspirasi masyarakat.

Soal otoriter atau demokratis ini, lanjut Hamdi, lebih terletak kepada gaya atau style bagaimana sebuah keputusan diambil. Misalnya, apakah lebih bersifat top-down, lebih otoriter, ataukah dengan melibatkan parisipatisi dari kolega atau bawahan juga sehingga bernuansa lebih demokratis. “Dalam beberapa hal keduanya kadang-kadang dimainkan tergantung situasi oleh seorang pemimpin,” katanya.

Namun, lanjutnya, ada juga hampir dalam setiap situasi seorang pemimpin memiliki kecenderungan untuk berindak otoriter atau demokratis. Kalau sudah seperti itu, Hamdi berujar, berarti otoriter atau demokratis bukan lagi soal gaya, tapi sudah menjadi trait (sifat) kepribadian dasar orang itu.

Kasandra juga berpandangan, hal ini bukan semata-mata menyangkut gaya kepemimpinan, tetapi skill. “Gaya otoriter, permisif saja sudah lama ditinggalkan karena tidak efektif,” katanya. Walaupun demikian, Hamdi memprediksikan, gaya yang lebih directif dan sedikit otoriter terasa memungkinkan dijalankan untuk industri manufaktur.

Karena itu, keduanya bersepaham bahwa gaya apapun yang diterapkan seorang pemimpin, kontrol maupun pengawaan terhadap perusahaan maupun lembaga politik tetap perlu, tergantung aturan main yang dipakai. Jika tidak, kepemimpinan diyakini akan bebas kendali dan mengarah pada kesewenang-wenangan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

The online casino site that brings you all of the - LuckyClub
If you can't believe that there are many online casino sites catering luckyclub to you, then you will not be able to find the best one.