Senin, April 14, 2008

Sepeda Motor, Kendaraan Idola Masa Kini

Benar kata orang-orang, sekarang memang eranya sepeda motor. Tidak mengada-ada, kendaraan roda dua ini telah menjadi transportasi idola di masyarakat, baik di perkotaan maupun pedesaan. Lebih dari itu, motor telah menjadi moda transportasi favorit masa kini. Ia menjelma menjadi teman sepetualangan yang senantiasa setia menemani ke mana pun tuannya berkelana. Ke pasar, kantor, kondangan, keluyuran, mudik, hingga menjemput istri atau pacar.

Situasi Kota Jakarta, memberikan konfirmasi bahwa sepeda motor menjadi sarana transportasi yang begitu strategis. Banyak jalanan yang sempit dan berlubang, sehingga banyak menyebabkan kemacetan. Sarana angkutan umum pun hingga sekarang belum bisa mendukung mobilisasi masyarakat Jakarta. Dengan mobilisasi yang tinggi, namun diwarnai dengan jalanan yang sempit, kendaraan yang banyak, dan angkutan umum yang mahal serta tidak memadai membuat sebagian masyarakat Jakarta memerlukan alat yang dapat mendukung mobilisasi mereka. Dan alat transportasi itu adalah sepeda motor. Selain bisa mendukung mobilisasi, sepeda motor juga murah dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat Jakarta. Bahkan masyarakat golongan menengah bawah pun mampu mempunyai satu atau dua motor sekaligus.

Sepeda motor awalnya dipilih warga Jakarta karena irit, luwes, serta mampu menorobos di antara deretan mobil yang stagnan dalam kemacetan. Di jalanan sempit dan macet Jakarta, motor ibarat air di padang pasir bagi masyarakat Jakarta, baik yang bekerja maupun sekolah. Dengan motor, mereka tidak akan terlambat ke kantor, ke sekolah, atau ke kampus. Dengan uang Rp 10.000, motor dapat mengantarkan kita keliling Jakarta. Lebih dari itu, kendaraan roda dua ini bahkan setia mengantarkan ke mana pun kita pergi.

Jika mau berfilosofis, motor dapat menjadi simbol kemenangan kaum miskin atas kaum kaya kota. Di jalanan, motor bisa “mengalahkan” mobil-mobil gres kaum kaya. Di antara sela-sela mobil-mobil gres yang terjebak kemacetan, motor-motor dengan dengan enak terus melaju, meski perlahan. Tetapi jika dibandingkan dengan mobil-mobil yang tidak bisa bergerak sama sekali karena macet, hal itu sudah sangat baik. Dengan demikian, motor akan lebih cepat sampai tujuan jika jalanan macet.

Yang besar mengalah sama yang kecil. Itulah pikiran yang ada di benak para pengendara motor. Sebuah kemenangan! Kemenangan yang hanya dijumpai di jalan raya. Namun tidak demikian di tempat kerja, bos-bos mereka yang menggunakan mobil-mobil gres kembali berkuasa, dan pengendara motor kembali tertindas. Sebab, pengendara motor sebagian besar golongan menengah bawah yang memang selalu tertindas oleh kaum kapitalis ibukota.

Pada mulanya adalah naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang mengakibatkan naiknya semua kebutuhan pokok berikut ongkos perjalanan. Belum lagi kemacetan lalu lintas yang mendera setiap saat. Sepeda motor pun menjadi alat transportasi sehari-hari masyarakat yang paling favorit. Pengguna sepeda motor di tanah air terutama di kota besar seperti Jakarta, terus meningkat. Salah satu faktor yang mendorong semakin banyaknya pemakai sepeda motor adalah karena kendaraan ini irit, murah, dan lincah bergerak di tengah kemacetan.

Lembaga-lembaga leasing menyumbang peran pada populasi itu. Mereka membuat fasilitas uang muka yang ringan atau bahkan berani membebaskan uang muka untuk kredit sepeda motor dengan cicilan separuh upah minimum provinsi. Demikian mudahnya memiliki sepeda motor. Beberapa cerita kerap terdengar, dan mungkin ada benarnya: Banyak orang memanfaatkan fasilitas uang muka ringan untuk membeli sepeda motor, lalu menjadikannya sebagai ojek untuk membayar cicilan. Kalau gagal bayar, sepeda motor mereka biarkan disita, lalu mereka mencari fasilitas kredit di tempat lain atau dengan nama pemohon lain.

Saya pun sebetulnya tak pernah membayangkan akan memiliki sebuah sepeda motor. Harga selangit pasca krisis moneter membuat saya berpikir ulang untuk membelinya. Namun, seiring perjalanan waktu, kemudahan untuk memiliki sepeda motor secara kredit dengan uang muka dan angsurang yang ringan menarik perhatian saya. Akhirnya, saya dan keluarga pun dapat menikmati fasilitas kendaraan bermotor.

Saya tentu tidak sendiri. Banyak orang yang juga merasakan manfaat dari sepeda motor. Buktinya, menurut Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), penjualan sepeda motor dari berbagai merek selama lima tahun terakhir mengalami pertumbuhan hampir 40 persen. Di Jakarta, jumlah sepeda motor bertambah 1.035 buah per hari atau hampir lima kali lipat dari pertumbuhan mobil. Konon, sampai sekarang, jumlah sepeda motor yang beredar di Jakarta mencapai 2,5 juta buah. Jika angka itu benar, berarti dari setiap empat warga DKI, salah seorang di antaranya punya sepeda motor. Artinya pula, kalau dirata-ratakan, setiap rumah tangga memiliki kendaraan ini.

Maka, mulailah jalan-jalan dipenuhi oleh padatnya sepeda motor. Para penglaju yang biasanya bersepeda pun kini ikut-ikutan naik sepeda motor. Sepeda motor juga dijadikan sebagai reward dari orang tua atas keberhasilan anak-anaknya. “Nak, nanti kalau kamu bisa diterima di sekolah favorit, nanti dibelikan motor.” Begitulah ucapan yang sering terdengar. Dan, celakanya, bukan cuma dari kalangan yang mampu beli motor, sawah pun dijual untuk membelikan motor buat sang anak.

Risiko Tinggi
Seperti halnya kebanyakan orang, saya pun paham akan risiko tinggi dalam mengendarai motor. Berbagai kecelakaan bermotor yang terjadi di jalanan membuat pengendara motor seperti saya untuk meningkatkan kewaspadaan selama berkendara. Sepeda motor yang terbuka dan tanpa pelindung seperti halnya kendaraan roda empat memungkinkan terjadinya kontak fisik maupun benturan pada tubuh sang pengendara.

Oleh sebab itu, penerapan prinsip keselamatan dan keamanan dalam berkendara (safety riding) senantiasa mutlak dilakukan. Pemahaman akan pentingnya safety riding bisa dimulai dari diri sendiri sehingga bisa menjadi sebuah kebutuhan ketika berkendara. Perlengkapan seperti helm, kaus tangan, sepatu, spion, dan sebagainya hendaknya menjadi instrumen standar dalam rangka meningkatkan keamanan dan kenyamanan dalam berkendara, apalagi dengan membawa beban dan boncengan di belakang.

Yang perlu ditekankan pula, keselamatan berkendara tidak hanya menyangkut perlengkapan saat berkendara, melainkan juga perlunya penerapakan kedisiplinan dan etika berlalu lintas di jalan. Masalah etika di jalan ini masih perlu disosialisasikan supaya kita tidak mendengar lagi kasus orang meninggal dunia karena kecerobohan-kecerobohan kecil. Sikap saling menghargai kepada sesama pengguna jalan hendaknya tetap dikedepankan.

Sepeda motor memang jauh berisiko dibandingkan dengan moda transportasi lainnya. Namun, saya tak pernah membayangkan bagaimana saya melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keberadaan roda dua ini. Dengan sepeda motor, saya dapat merasakan fasilitas kendaraan pribadi, seperti halnya kalangan berpunya yang memiliki mobil.

Oleh karena itu, meskipun risiko kecelakaan sepeda motor masih tinggi, kendaraan roda dua ini tetap menjadi idola bagi saya dan sebagian masyarakat. Tradisi mudik dengan menggunakan sepeda motor, misalnya, tetap menjadi pemandangan rutin yang kita jumpai setiap tahun. Selain biayanya murah, juga tidak terpengaruh dengan jam keberangkatan. Bahkan, banyak keceriaan dan keasyikan tersendiri saat mudik menggunakan kendaraan roda ini, meskipun potensi kecelakaan sangatlah besar.

Sepeda motor senantiasa mendominasi jalur mudik, baik di jalur Pantai Utara (Pantura) maupun Jalur Selatan. Sepeda motor masih menjadi pilihan para pemudik dari Jakarta dan kota-kota besar di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dikatakan lebih hemat, karena biaya untuk membeli bahan bakar lebih sedikit dibandingkan jika menggunakan mobil pribadi. Bahkan jika dibanding ongkos angkutan umum, sepeda motor tetap lebih hemat. Meski idealnya membawa dua orang saja, pemudik biasanya memaksakan sepeda motornya mengangkut empat orang: dua orang dewasa dan dua anak. Satu anak biasanya diletakkan di depan pengemudi, sedangkan satu lagi bisa diapit di antara pengemudi dan pemboceng dewasa.

Demi keselamatan di jalanan, pengendara sepeda motor seperti saya seharusnya betul-betul memahami bagaimana mengendarai sepeda motor yang aman dan nyaman. Keamanan dan kenyamanan ini mensyaratkan adanya etika berlalu lintas, perlengkapan berkendara, serta pengecekan kendaraan. Tak ketinggalan pula, panduan singkat dalam mengendarai sepeda, teknik mengendarai sepeda motor, serta kiat membonceng anak harus dikuasai secara menyeluruh.
Raja Jalanan
Sebagai pengendara sepeda motor, seringkali saya mendengar stigma yang tak sedap mengenai kendaraan dua ini. “Raja Jalanan”, “Biang Kemacetan”, serta label-label negatif lainnya memosisikan para pengemudi motor seperti tertuduh. Padahal, persoalan ini tidak bisa semata dilihat secara hitam-putih. Memang betul bahwa kemudahan bagi setiap orang untuk memiliki sepeda motor membuat kendaraan ini membanjiri jalanan. Namun, jika dikatakan bahwa sepeda motor adalah biang keladi kesemrawutan dan kemacetan, sepertinya tudingan ini patut dikaji ulang.

Setidaknya ada beberapa poin penting yang patut dibahas. Pertama, adalah masalah tata letak atau desain kota yang kurang tepat sehingga mengakibatkan pola pikir yang salah. Kedua, belum optimalnya pemanfaatan moda transportasi yang tersedia. Sebenarnya kita tak perlu menyalahkan siapa yang musti bertanggung jawab mengenai kemacetan di kota kita. Awalnya, mungkin para desainer kita dulu memprediksikan atau luput dalam prediksinya bahwa kendaraan akan berlimpah ruah seperti sekarang ini.

Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 11 % per tahun dengan total jumlah perjalanan 17 juta perjalanan. Sementara, ruas jalan hanya 1 % per tahun. Di sinilah letak kausal kemacetan itu terjadi. Jumlah yang mengejutkan lagi adalah mengenai jumlah kendaraan yang diproduksi per harinya. Di Indonesia angka pertumbuhan motor sejumlah 1.035, sedangkan mobil hanya 269 per hari.

Bagaimana dengan kendaraan roda dua yang diproduksi Honda? Tak hanya menjadi raja jalanan, Honda juga menjadi penguasa di bidang penjualan kendaraan roda dua. Menurut catatan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), dalam berbagai kesempatan, ternyata produsen motor PT Astra Honda Motor (AHM) dengan produk sepeda motor Honda menempati posisinya sebagai penjual sepeda motor terbesar di tanah air.

Namun, yang mengembirakan, keberhasilan Honda di tingkat pemasaran ini juga diikuti dengan adanya komitmen untuk menerapkan fungsi tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility-CSR) kepada masyarakat luas, terutama pada para konsumennya. PT Astra Honda Motor (AHM) selalu produsen sepeda motor bermerek Honda sadar, sebagai perusahaan terkemuka, ia tetap memiliki tanggung jawab sosial untuk senantiasa mengingatkan para konsumennya dalam menerapkan prinsip keamanan dan keselamatan saat berkendara.

Fasilitas purna jual dan layanan servis yang dimilikinya juga patut diacungi jempol. Dealer, perbengkelan, maupun pusat-pusat spare part Honda dapat dijumpai dengan mudah di seluruh pelosok tanah air. Lebih dari itu, Honda menunjukkan kepedulian sosialnya dalam program kampanye dan pelatihan tentang cara berkendara yang aman bagi para konsumennya tanpa terkecuali.

Sebagai pemimpin pasar motor nasional, AHM senantiasa meningkatkan loyalitas konsumennya. Salah satunya dengan memberikan edukasi mengenai produk Honda Genuine Parts (HGP) dan Honda Value Line (HVL) yang merupakan parts genuine sepeda motor Honda. Manfaat lainnya yakni pengenalan jaringan dan HondaCustomer Care Centre (HC3), serta safety riding.

Tanpa Diskriminasi
Yang membuat kenyamanan saya, tentu para pengendara motor lainnya, terusik adalah munculnya wacana untuk membatasi ruang gerak sepeda motor beberapa waktu lalu, antara lain dilarang masuk jalan protokol. Kendaraan roda dua itu dituding jadi biang macet jalanan, sehingga membuat Ibukota tidak nyaman. Gubernur DKI Jakarta, waktu itu, Sutiyoso, selaku pemilik gagasan, berharap bahwa pembatasan gerak sepeda motor itu dapat memecahkan problem lalu lintas Jakarta, tanpa merugikan para pengendara motor.

Namun, wacana ini tentu memicu reaksi dari para pengendara motor, baik secara pribadi maupun kelompok yang tergabung dalam klub atau komunitas pengendara motor. Selain dinilai tidak masuk akal, pelarangan penggunaan sepeda motor di jalan protokol seperti Jalan MH Thamrin-Jenderal Sudirman adalah bentuk pelanggaran hak masyarakat yang memprihatinkan. Mestinya cukup dilakukan pengaturan, misalnya dengan pembuatan jalur khusus sepeda motor atau pembatasan jam. Memang, kalau dibiarkan, semua juga bisa tidak nyaman. Tapi, kebijakan harus dibuat secara komprehensif, jangan sepotong-potong. Lihat juga regulasi tentang penjualan sepeda motor.

Inisiatif warga, termasuk saya, untuk membeli sepeda motor sebetulnya merupakan bagian lain dari bentuk reaksi masyarakat terhadap ketidakmampuan pemerintah menyediakan sarana transportasi yang mudah, murah, cepat, dan aman. Justru kalau mau jujur, yang mengambil ruang jalan lebih besar adalah mobil. Pengaturan pengguna mobil semestinya juga lebih ketat, jangan fokus pada sepeda motor saja.

Wacana ini juga mendapat tentangan dari banyak pihak. Dilarangnya motor melintasi jalan protokol dianggap tidak adil. Harusnya aturan tidak boleh mengorbankan pihak yang lebih besar. Selain diskriminatif, larangan ini adalah bentuk dari upaya terstruktur dalam memiskinkan masyarakat. Pasalnya, jika larangan tersebut benar-benar dilaksanakan, diprediksikan aktivitas perekonomian masyarakat terjadi penurunan.

Solusi yang lebih baik, seharusnya pemerintah daerah Jakarta membuat peraturan yang berpihak pada masyarakat. Agar masyarakat mematuhinya, buat sanksi yang mengikat dan tegas. Gagasan akan tersedianya jalur khusus bagi sepeda motor sepanjang jalan protocol juga patut dipertimbangkan. Untuk lebih tertib, sebaiknya sepeda motor diberi satu jalur khusus sehingga tidak saling mengganggu. Tidak ada senggol-menyenggol antara bus, kendaraan pribadi dan sepeda motor dan sebaliknya. Bahkan, raanya lebih indah dan adil kalau sepeda motor diberi jalur sendiri, bus umum jalur sendiri, kendaraan pribadi jalur sendiri dan busway pun dengan jalurnya sendiri sehingga tidak terjadi saling serobot.

Sepeda motor dapat diibaratkan lambang kemerdekaan masyarakat miskin di jalanan. Dengan motor, mereka dapat merasakan bagaimana punya kendaraan bermotor pribadi. Pengendara motor memiliki hak yang sama sebagaimana pengguna lalu lintas lainnya. Masih banyak cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi kemacetan, seperti menambah dan memperbaiki angkutan umum, memberi jalur khusus kepada motor, menegakan aturan lalu lintas, serta memberikan pajak mahal kepada mobil-mobil mewah. Yang paling penting, membumikan disiplin berlalu lintas bagi pengendara motor.

Bagaimana pun, sepeda motor telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat ekonomi bawah, termasuk saya. Menjadi sahabat sejati ke mana pun saya pergi dan beraktivitas. Sungguh tak terbayangkan rasanya bila tidak ada kendaraan roda dua ini. Terima kasih Honda, yang telah mempersembahkan sebuah kendaraan yang betul-betul mengerti selera konsumennya.

Tidak ada komentar: