Bukan sekadar politisi berdedikasi, ia adalah simbol perlawanan dan sikap kritis terhadap segala kesewenang-wenangan dan kezaliman. Begitu juga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karenanya, ia pun kenyang dengan asam garamnya kehidupan di balik terali besi.
Tanyakan pada Andi Mappetahang Fatwa bagaimana rasanya hidup di hotel prodeo yang pengap dan penuh kekang. Tentu, tidak mengenakkan. Apalagi, ia harus menjalani kehidupan tanpa kehadiran orang-orang tercinta di sekitar. Namun, apakah seorang Fatwa harus meratap dan menyesali diri? Tidak. Penjara turut andil dalam mematangkan semangat, jiwa, dan perjuangannya. Lebih dari itu, penjara tidak lantas membuat naluri seorang pejuang luntur dalam raganya.
Watak seorang pemberani dan pejuang sejati memang bersemai dalam dirinya sejak kecil. Lahir di Bone, 12 Februari 1939, ia sejatinya merupakan seorang pemuda yang cerdas, pemberani, dan teguh pendirian. Anak bungsu pasangan Andi Mappeasse Petta Wawa dan Andi Mina Petta Pajja ini tumbuh dan dibesarkan di tengah keluarga petani dan pedagang kecil yang sederhana, meskipun memiliki garis keturunan keluarga Kerajaan Bone.
Perlawanannya terhadap segala kekangan dan berbau irrasionalitas muncul di kala muda. Penggemar buku-buku Hamka (Muhammadiyah) dan Isa Anshari (Persis) ini kerap berseberangan pendapat dalam hal pikiran keagamaan dengan orang tuanya yang rajin beribadah tapi dengan cara-cara tradisional. Memang, di lingkungan tempat tinggalnya waktu itu berkembang tradisi warisan leluhur, seperti penghormatan terhadap arwah, persembahan sesajen, serta perilaku yang berbau takhayul, bid’ah, dan khurafat.
Dalam sebuah peristiwa, ia pernah menampakkan perlawanannya dengan “membakar” rumah-rumahan berkelambu yang biasa digunakan orang tuanya untuk menghormati arwah nenek moyang. “Kayunya saya ambil dan dicampur dengan kayu bakar untuk memasak,” kenangnya sembari tersenyum. Perbuatannya yang dianggap “nakal” dan mengundang kemarahan warga sekampung juga terlihat saat ia mengencingi dan merobohkan sebuah rumah kecil di perbukitan yang dijadikan sebagai tempat pemberian sesajen.
Begitulah A.M. Fatwa. Sejak remaja, ia sudah menampakkan kegelisahannya terhadap berbagai praktik kehidupan yang menyimpang dari akal sehat. Kegelisahan ini pula yang menuntunnya untuk melakukan pengembaraan ke Makassar, Surabaya, Sumbawa, Lombok, hingga Jakarta. Selama bertualang, tak lupa menempa diri di berbagai pendidikan formal sembari aktif di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan maupun organisasi kepemudaan. Sejak saat itu, ia menambahkan nama Fatwa di belakang namanya sebagai akronim dari gelar ayahnya, Petta Wawa, dengan kemasan yang bernuansa agama dan nasional sekaligus menetralisir nuansa kedaerahan yang terlalu kental. Sedangkan gelarnya secara adat Petta Lewa, hanya dipakai di lingkungan keluarga dan kampung halamannya.
Pada 1957, Fatwa mulai memperlihatkan keberpihakannya terhadap kepentingan dan pendidikan publik setelah terpilih menjadi Sekretaris Umum lalu Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Sumbawa merangkap Ketua Umum PII Wilayah Nusa Tenggara. Aktivitasnya pun mulai bersinggungan dengan birokrasi dan petinggi tentara. Bahkan, ia sempat diinterogasi dalam berbagai bentuk teror oleh Pelaksana Penguasa Perang (Pepekuper), sejenis Kodim sekarang, karena suara lantangnya mengkritik aksi-aksi PKI dalam rapat-rapat Badan Kerja Sama Pemuda Militer (BKSPM). Komandan Pepekuper itu kemudian terbukti terlibat Peristiwa G30S/PKI.
Sejak saat itu, ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh agama maupun politik. Aktivis Pandu Islam, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), serta Front Nasional Pembebasan Irian Barat ini pun menjadi delegasi di Konferensi Besar PII di Madiun, 1958. Pada 1959, ia bahkan telah hadir sebagai peserta termuda pada Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta mewakili Sumbawa. Ketika pindah dari PGAP Sumbawa ke PGAA Mataram, Fatwa menjadi Sekretaris Majelis PKU Muhammadiyah sekaligus pengasuh Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah di Mataram. Obsesi menjadi seorang politisi atau anggota parlemen mulai mengakar dalam jiwanya.
Untuk mewujudkan mimpinya, ia hijrah ke Jakarta pada 1960. Kiprahnya di organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan meluas setelah merintis berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di IAIN Jakarta, selain aktif di Senat Mahasiswa. Sebagai aktivis HMI ia turut serta dalam berbagai kegiatan, seperti BKSPM Pusat, Front Pemuda, Front Nasional, dan menjadi Sekretaris Perserikatan Organisasi-organisasi Pemuda Islam seluruh Indonesia (PORPISI) mewakili HMI, saat ketuanya dijabat oleh Khalid Mawardi dari GP Anshor.
Selain terlibat dalam berbagai organisasi, pada 1961 ia pun kembali dikejar-kejar aparat intelijen setelah bersama Mar’ie Muhammad memimpin demonstrasi mahasiswa menuntut Menteri P&K Prof. Priyono dipecat karena kebijakannya yang selalu menguntungkan PKI. Dalam kurun 1963-1964, ia pernah ditahan selama enam bulan secara berpindah-pindah, mulai dari Tangerang, Mabes Polri, Sukabumi, Solo, Karang Anyar, hingga Tawangmangu, dengan tuduhan melanggar UU Anti-Subversi (PNPS XI/ 1963).
Selanjutnya, ia turut dalam aksi-aksi pertama mengganyang PKI sejak 4 Oktober 1965, hingga demonstrasi besar-besar di depan istana, di mana Arif Rahman Hakim gugur. Partisipasinya dalam aksi-aksi ini sempat terhenti karena ia mendapat panggilan untuk mengikuti Sekolah Dasar Perwira Komando KKO-AL/ Marinir di Surabaya. Ia lalu menjadi imam tentara, dengan jabatan terakhir Wakil Kepala Dinas Rohani Islam Komando Wilayah Timur (Kowiltim) KKO-AL. Mulai Januari 1970, Komandan Pusat KKO-AL Mayjen Moh. Anwar menugaskannya untuk membantu Gubernur Ali Sadikin dalam bidang agama dan politik.
Pada 1978, dia kembali ditahan oleh Laksusda Jaya bersama tokoh-tokoh mahasiswa selama sembilan bulan di Markas Kodam Jaya, Batalyon 201 Bekasi (“Kampung Kuning”), Kejaksaan Budi Utomo, serta RTM Guntur, dengan tuduhan Anti-Subversi. Saat itu ia menjabat sebagai Sekretaris MUI DKI Jakarta dan anggota MUI Pusat, memimpin Apel Akbar Umat Islam di Senayan menentang dimasukkannya aliran kepercayaan serta KNPI ke dalam GBHN. Bersama tokoh mahasiswa ia juga menentang kebijakan pemerintah Orde Baru membubarkan dewan-dewan mahasiswa dan memberlakukan NKK/BKK. Kelak pada 1999 KNPI memberikan award sebagai Pegawai Negeri dan Politisi Berkepribadian.
Khutbahnya di Lapangan Pacuan Kuda, Pulo Mas, Jakarta pada 1979 mengantarkannya kembali ke terali besi selama sebulan. Menurut Laksusda Jaya, khutbahnya banyak mengkritik para pemimpin dan menyerukan agar beristighfar serta melakukan tobat nasional. Di samping itu, ia juga mengkritik manuver politik Ali Murtopo dengan Operasi Khusus (Opsus)-nya serta kegagalan indoktrinasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Atas tindakannya ini, Mendagri Amirmachmud memecatnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Kelak, 20 tahun kemudian, Mendagri Syarwan Hamid merehabilitasinya kembali sehingga mendapatkan status pensiunan PNS di Pemda DKI.
Tidak hanya kenyang dengan pengalaman hidup di penjara, Fatwa pun kerap mendapat perlakukan tidak mengenakkan lainnya. Dalam fase hidupnya, ia bahkan pernah menjadi korban penculikan dan penyiksaan oknum-oknum intelijen hingga mengalami gegar otak dan dirawat selama tiga minggu di RS Islam Jakarta. Pada peristiwa lainnya, ia dicelurit pada bagian wajah sebagai percobaan pembunuhan hingga dirawat di RS AL Mintoharjo.
Sepanjang tahun 80-an, Sekretaris Pokja Petisi 50 ini kembali menjadi bulan-bulanan aparat. Setelah Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, dia ditahan dan diadili dengan tuntutan penjara seumur hidup, namun divonis 18 tahun penjara. Ia dipenjara secara berpindah-pindah, mulai dari Polres Jakarta Pusat, RTM Guntur, RTM Cimanggis, Rutan Salemba, LP Cipinang, LP Cirebon, LP Sukamiskin, LP Bogor, hingga ke LP Cipinang lagi. Pada 1993, ia bebas sementara setelah membacakan “skripsi” pembebasan berjudul “Saya menghayati dan mengamalkan Pancasila justru saya seorang Muslim” di hadapan para pejabat sipil dan militer pusat dan daerah. Ia baru diyatakan bebas secara penuh melalui amnesti Presiden Habibie sekaligus mendapatkan rehabilitasi politik pada 1998.
Dalam perkembangan, gerakan reformasi melanda negeri. Fatwa pun terlibat aktif mendampingi Amien Rais mendorong gerakan reformasi. Bersama Amien pula ia memelopori berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN)—nama yang diusulkan Fatwa, sedangkan Amien Rais semula mencanangkan nama Partai Amanat Bangsa (PAB). Fatwa pun mewujudkan impian lamanya menjadi anggota parlemen, bahkan menjadi Wakil Ketua DPR RI periode 1999-2004. Pemilu 2004 lalu mengantarkannya kembali ke Senayan dan menjabat Wakil Ketua MPR RI periode 2004-2009.
Siklus kehidupan A.M. Fatwa meneguhkan kita pada pepatah: “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Sakit tak terperikan akibat tekanan, siksaan, bahkan hidup dalam keterasingan di penjara sudah ia rasakan. Ia, sebagaimana dikatakan Anwar Ibrahim, AM Fatwa merupakan tahanan politik terlama di Asia Tenggara. Namun, berbagai ujian dan cobaan itu makin meneguhkan komitmen dan dedikasinya demi kehidupan masyarakat yang lebih baik di masa mendatang. penjara adalah pendidikan (politik) tertinggi di dunia, begitu kata Jawaharlal Nehru, mantan perdana menteri India, yang juga pernah dipenjara.
Perjalanan panjang dan pahit yang dialami bapak lima anak ini kini membuahkan hasil. Walaupun demikian, jabatan sebagai wakil rakyat yang diembannya merupakan amanah dan tanggung jawab yang harus dijalani dengan penuh totalitas. “Jabatan ini adalah amanah. Selama ini jabatan yang saya peroleh di partai, DPR, dan MPR semuanya saya peroleh dengan normal saja dan tanpa money politic,” ujarnya. Oleh karena itu, ia pun menjalani peran, tanggung jawab, sekaligus perjuangan barunya dengan happy sebagai pengabdian yang disukainya, sehingga ia dikenal sebagai politisi yang bekerja keras tanpa kenal lelah. Selain terbiasa pulang larut malam, ia adalah wakil rakyat yang paling banyak mengunjungi pelosok tanah air dari Sabang hingga Merauke.
Menurut pria yang produktif dalam menulis buku ini, dunia politik merupakan sebuah panggilan jiwa dan pengabdian. Ranah ini merupakan wahana untuk mengabdikan tenaga dan pikiran demi memperjuangkan apa yang diyakini benar untuk kepentingan rakyat. Inilah yang membuat jiwanya senantiasa dinamis, semangat, dan penuh daya juang. “Motto saya adalah hidup itu berjuang,” tegasnya. Dengan motto itu, lanjut Fatwa, hidupnya pun terasa ringan dan tanpa beban. Tidak mengherankan jika ia tampak lebih muda dari usianya.
Senin, April 14, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar