Kegelisahan ini pula yang menuntunnya untuk melakukan pengembaraan ke
Pada 1957, Fatwa mulai memperlihatkan keberpihakannya terhadap kepentingan dan pendidikan publik setelah terpilih menjadi Sekretaris Umum lalu Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Sumbawa merangkap Ketua Umum PII Wilayah Nusa Tenggara. Aktivitasnya pun mulai bersinggungan dengan birokrasi dan petinggi tentara.
Ia mulai berkenalan dengan dunia tahanan sejak masih di SLTP. Sebagai Ketua Umum PII Cabang Sumbawa merangkap Wilayah Nusa Tenggara, ia diinterogasi CPM dan diteror oleh Komandan Pembantu Penguasa Perang (PEPEKUPER), sejenis Kodim sekarang, setelah pulang dari Konferensi Besar PII di Madiun, Jawa Timur. Rupanya Komandan Pepekuper itu terusik oleh suara lantangnya dalam mengkritik aksi-aksi PKI dalam rapat-rapat Badan Kerja Sama Pemuda Militer (BKSPM). Ia memang aktif sebagai anggota Dewan Pertimbangan BKSPM di daerah itu. Kelak, Komandan Pepekuper itu kemudian terbukti terlibat Peristiwa G30S/PKI.
Sejak saat itu, ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh agama maupun politik. Pada 1959, ia bahkan telah hadir sebagai peserta termuda pada Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta mewakili
Di Mataram, Fatwa tinggal di asrama PAM (Panti Asuhan Muhammadiyah). Selama di Mataram, ia dikenal sebagai sosok yang supel dan pandai bergaul. Bahkan, ia tergolong anak yang baik, ramah, dan hampir tidak pernah terdengar ia bersikap tidak harmonis dengan lingkungan dan teman-temannya.
Ia pun aktif di kepengurusan Muhammadiyah setempat. Selanjutnya, ia diminta menjadi salah seorang Pengurus Cabang Muhammadiyah Lombok Barat dan mendapat tugas sebagai Sekretaris Majelis PKU (Pembina Kesejahteraan Umum) sekaligus sebagai pengasuh Panti Asuhan Muhammadiyah (PAM) Mataram.
Kendati memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat untuk ukuran seusianya, ia tidak pernah berkeluh kesah. Penderitaan dan kesulitan yang dihadapinya selama masa bersekolah, maupun ketika ia harus berhadapan dengan tanggung jawab sosial tidak membuat semangat dan cita-citanya surut.
Obsesi menjadi seorang politisi atau anggota parlemen mulai mengakar dalam jiwanya. Setelah menamatkan pendidikan atasnya, ia melanjutkan sekolahnya di IAIN
Pada 1961, selaku Pengurus HMI Komisariat IAIN Jakarta, bersama Mar’ie Muhammad selaku Pengurus HMI Komisariat Fakultas Ekonomi UI, memimpin demonstrasi di Jalan Cilacap No. 4 Jakarta yang menuntut di-retool-nya Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK) Prof. Prijono karena kebijakannya banyak berpihak kepada PKI. Akibatnya, ia dikejar-kejar aparat intelejen. Ia bersembunyi di sebuah pondok kecil milik Prawoto Mangkusasmito di daerah Kebayoran Lama.
Saat menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta dan juga ketua I HMI Cabang Ciputat pada 1963, ia dituduh terlibat dalam peristiwa IAIN, yaitu unjuk rasa mahasiswa IAIN pada 10 Oktober di Yogyakarta dan 17 Oktober 1963 di Jakarta menentang kebijakan pemerintah sehingga dianggap merongrong kewibawaan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, menghambat jalannya revolusi, dan mensabotase Ganefo. Ia bersama tokoh-tokoh mahasiswa serta beberapa dosen senior yang dianggap terlibat demonstrasi ditangkap dan ditahan di Polres Tangerang, dipindah ke Mabak (Markas Besar Angkatan Kepolisian) Kebayoran, dan selanjutnya dipindah ke Sekolah Kepolisian di Sukabumi, Jawa Barat, untuk diinterogasi secara khusus selama sebulan.
Dalam pemeriksaan itulah Fatwa mulai mengalami teror. Kumisnya disulut rokok oleh seorang Komisaris Polisi, karena dianggap mempersulit pemeriksaan. Dalam waktu yang sama, beberapa ulama dan tokoh politik senior seperti Buya Hamka, Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Yusuf Wibisono, Ghazali Syahlan, dan lain-lain, juga ditahan secara terpisah.
Dari Sukabumi, Fatwa dan tahanan lainnya dibawa ke Jawa Tengah. Mereka disebar di beberapa
Ketika kuliah di IAIN Jakarta, ia mendapat beasiswa dari Angkatan Laut sebagai Pelajar Calon Perwira AL untuk Jurusan Imam Tentara (1960-1963), menjadi Ketua Korps Pelajar Calon Perwira AL Komisariat Jakarta, yang kemudian dalam kongresnya di Malang (1961) ia terpilih sebagai Ketua Senat Korps Pelajar Calon Perwira AL Se-Indonesia menggantikan Tarmizi Taher (terakhir berpangkat Laksamana Muda) dari Universitas Airlangga. Karena ada peraturan di
Dunia pergerakan dijadikannya sebagai sarana aktualisasi sekaligus pendewasaan berpikir dan berpolitik. Tidak semua yang dilakukan Fatwa sesuai benar dengan apa yang dipikirkan banyak orang. Tapi, tindakannya yang dilakukan atas dasar keyakinan yang teguh, membuatnya disukai banyak orang. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar