Selasa, Juli 08, 2008

Mengembara di Dunia Pergerakan (2)

Tidak usah panik ketika kita dirundung oleh kegelisahan, karena kegelisahan itu akan mendewasakan kita. Berkaca pada pengalaman hidup A.M. Fatwa, ia senantiasa didera oleh rasa gelisah yang amat mendalam justru di saat teman-teman sebayanya tengah asyik bermain. Kegelisahan tersebut terus mengusiknya, khususnya jika melihat berbagai praktik kehidupan masyarakat di desanya yang menyimpang dari akal sehat.

Kegelisahan ini pula yang menuntunnya untuk melakukan pengembaraan ke Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Konon, prinsip keluarga yang terlampau kokoh memegang adat istiada setempat membuatnya tidak betah dan memutuskan untuk merantau. Ia pun menghabiskan masa mudanya di NTB. Selama itu, ia menyibukkan diri untuk melanjutkan sekolah sembari aktif di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan maupun organisasi kepemudaan.

Pada 1957, Fatwa mulai memperlihatkan keberpihakannya terhadap kepentingan dan pendidikan publik setelah terpilih menjadi Sekretaris Umum lalu Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Sumbawa merangkap Ketua Umum PII Wilayah Nusa Tenggara. Aktivitasnya pun mulai bersinggungan dengan birokrasi dan petinggi tentara.

Ia mulai berkenalan dengan dunia tahanan sejak masih di SLTP. Sebagai Ketua Umum PII Cabang Sumbawa merangkap Wilayah Nusa Tenggara, ia diinterogasi CPM dan diteror oleh Komandan Pembantu Penguasa Perang (PEPEKUPER), sejenis Kodim sekarang, setelah pulang dari Konferensi Besar PII di Madiun, Jawa Timur. Rupanya Komandan Pepekuper itu terusik oleh suara lantangnya dalam mengkritik aksi-aksi PKI dalam rapat-rapat Badan Kerja Sama Pemuda Militer (BKSPM). Ia memang aktif sebagai anggota Dewan Pertimbangan BKSPM di daerah itu. Kelak, Komandan Pepekuper itu kemudian terbukti terlibat Peristiwa G30S/PKI.

Sejak di Sumbawa, ia pun tercatat menjadi anggota Muhammadiyah. Dalam organisasi buruh, ia didaulat menjadi Sekretaris Kring Cakra­negara, kemudian Sekretaris Komisariat Lombok Barat dari Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) pada 1959, pimpinan Mr. Yusuf Wibisono. Ia juga men­jadi anggota Front Anti-Komunis (FAK) pimpian Hassan Aidit dan Isa An­shari, yang terdaftar di Surabaya. Ketika Front Nasional Pembe­basan Irian Barat dibentuk, ia aktif di Bagian Penerangan Daerah Sum­bawa.

Sejak saat itu, ia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh agama maupun politik. Pada 1959, ia bahkan telah hadir sebagai peserta termuda pada Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta mewakili Sumbawa. Aktivitasnya di Muhammadiyah terus berlanjut ketika ia pindah dari PGAP Sumbawa ke PGAA Mataram, NTB.

Di Mataram, Fatwa tinggal di asrama PAM (Panti Asuhan Muhammadiyah). Selama di Mataram, ia dikenal sebagai sosok yang supel dan pandai bergaul. Bahkan, ia tergolong anak yang baik, ramah, dan hampir tidak pernah terdengar ia bersikap tidak harmonis dengan lingkungan dan teman-temannya.

Ia pun aktif di kepengurusan Muhammadiyah setempat. Selanjutnya, ia diminta menjadi salah seorang Pengurus Cabang Muhammadiyah Lombok Barat dan mendapat tugas sebagai Sekretaris Majelis PKU (Pembina Kesejahteraan Umum) sekaligus sebagai pengasuh Panti Asuhan Muhammadiyah (PAM) Mataram.

Kendati memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat untuk ukuran seusianya, ia tidak pernah berkeluh kesah. Penderitaan dan kesulitan yang dihadapinya selama masa bersekolah, maupun ketika ia harus berhadapan dengan tanggung jawab sosial tidak membuat semangat dan cita-citanya surut.

Obsesi menjadi seorang politisi atau anggota parlemen mulai mengakar dalam jiwanya. Setelah menamatkan pendidikan atasnya, ia melanjutkan sekolahnya di IAIN Jakarta, pada 1960, dan bertekad untuk mewujudkan mimpinya. Kiprahnya di organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan meluas setelah merintis berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di IAIN Jakarta, selain aktif di Senat Mahasiswa. Sebagai aktivis HMI ia turut serta dalam berbagai kegiatan, seperti BKSPM Pusat, Front Pemuda, Front Nasional, dan menjadi Sekretaris Perserikatan Organisasi-organisasi Pemuda Islam seluruh Indonesia (PORPISI) mewakili HMI, saat ketuanya dijabat oleh Khalid Mawardi dari GP Anshor.

Pada 1961, selaku Pengurus HMI Komisariat IAIN Jakarta, bersama Mar’ie Muhammad selaku Pengurus HMI Komisariat Fakultas Ekonomi UI, memimpin demonstrasi di Jalan Cilacap No. 4 Jakarta yang menuntut di-retool-nya Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK) Prof. Prijono karena kebijakannya banyak berpihak kepada PKI. Akibatnya, ia dikejar-kejar aparat intelejen. Ia bersembunyi di sebuah pondok kecil milik Prawoto Mangkusasmito di daerah Kebayoran Lama.

Saat menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta dan juga ketua I HMI Cabang Ciputat pada 1963, ia dituduh terlibat dalam peristiwa IAIN, yaitu unjuk rasa mahasiswa IAIN pada 10 Oktober di Yogyakarta dan 17 Oktober 1963 di Jakarta menentang kebijakan pemerintah sehingga dianggap merongrong kewibawaan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, menghambat jalannya revolusi, dan mensabotase Ganefo. Ia bersama tokoh-tokoh mahasiswa serta beberapa dosen senior yang dianggap terlibat demonstrasi ditangkap dan ditahan di Polres Tangerang, dipindah ke Mabak (Markas Besar Angkatan Kepolisian) Kebayoran, dan selanjutnya dipindah ke Sekolah Kepolisian di Sukabumi, Jawa Barat, untuk diinterogasi secara khusus selama sebulan.

Dalam pemeriksaan itulah Fatwa mulai mengalami teror. Kumisnya disulut rokok oleh seorang Komisaris Polisi, karena dianggap mempersulit pemeriksaan. Dalam waktu yang sama, beberapa ulama dan tokoh politik senior seperti Buya Hamka, Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Yusuf Wibisono, Ghazali Syahlan, dan lain-lain, juga ditahan secara terpisah.

Dari Sukabumi, Fatwa dan tahanan lainnya dibawa ke Jawa Tengah. Me­re­ka disebar di beberapa kota kabupaten. Fatwa bersama tiga orang pe­mimpin mahasiswa secara bergantian digilir penahanannya di Solo, Karang­anyer, dan Tawangmangu selama enam bulan. Selanjutnya, ia menjadi tahanan luar di Jakarta setelah pergantian Menteri Pangak/ Panglima Angkatan Kepolisian dari Soekarno Djoyonegoro kepada Soetjipto Yudo­dihardjo yang dianggap dekat dengan Islam. Berkaitan dengan itu, PB HMI membekukan kepengurusan HMI Cabang Ciputat karena dianggap tidak bisa melakukan adaptasi nasional. Peristiwa ini bersamaan dengan kasus HMI Cabang Jember yang dipimpin Asri Harahap yang menuntut dipecatnya Prof. Utrecht dari Universitas Jember, sekaligus dipulangkan ke Belanda.

Ketika kuliah di IAIN Jakarta, ia mendapat beasiswa dari Angkatan Laut sebagai Pelajar Calon Perwira AL untuk Jurusan Imam Tentara (1960-1963), menjadi Ketua Korps Pelajar Calon Perwira AL Komisariat Jakarta, yang kemudian dalam kongresnya di Malang (1961) ia terpilih sebagai Ketua Senat Korps Pelajar Calon Perwira AL Se-Indonesia menggantikan Tarmizi Taher (terakhir berpangkat Laksamana Muda) dari Universitas Airlangga. Karena ada peraturan di ALtituler, sedangkan ia ingin tetap dalam perjanjian militer sukarela (milsuk), ia mengundurkan diri dan masuk di Sekolah Dasar Persiwa Komando (Sedaspako) Marinir. Tapi, kariernya tidak berlanjut sebagai perwira marinir. bahwa menjadi Imam Tentara harus

Dunia pergerakan dijadikannya sebagai sarana aktualisasi sekaligus pendewasaan berpikir dan berpolitik. Tidak semua yang dilakukan Fatwa sesuai benar dengan apa yang dipikirkan banyak orang. Tapi, tindakannya yang dilakukan atas dasar keyakinan yang teguh, membuatnya disukai banyak orang. (Bersambung)

Tidak ada komentar: