Begitulah Hermes Thamrin. Apa yang menjadi keyakinan pria kelahiran Tanjung Balai, Sumatera Utara, 30 Januari 1948 seringkali membuahkan hasil yang menakjubkan. Keuletan dan ketekunannya dalam usaha telah mengantarkannya sebagai “raja bisnis” ponsel Indonesia. Bisnis ritel spesialis telepon seluler (ponsel) yang dia geluti mampu membawanya menjadi pengusaha ponsel terbesar di Indonesia saat ini.
Ketika ia memulai bisnis secara spesialisasi di bidang ponsel pada tahun 1997 silam, di bawah bendera PT Bimasakti Usindo Persada, banyak orang yang menertawakannya. Maklum, krisis moneter yang mendera negeri sempat membuat nyali publik ciut, utamanya dalam melakoni dunia usaha. Bisnis spesialisasi penjualan ponsel pun dianggap tak mungkin menguntungkan. Tetapi dasar ‘orang Medan’ ia punya prinsip sekali maju, pantang bersurut langkah.
Maka, lihatlah usaha yang ditekuninya sekarang. Selain sukses mendirikan Graha Nokia dan outlet Nokia Profesional Center (NPC) pertama di Asia, ia juga membuka Global Teleshop. Dalam kurun waktu empat tahun, ia memiliki ratusan outlet (toko) penjualan handset dari berbagai merek ponsel yang tersebar di berbagai kota besar di seluruh Indonesia.
Kesuksesan yang diraih Hermes Thamrin dalam membangun jaringan bisnis ponsel di Indonesia melalui jalan panjang dan berliku. Naluri seorang pekerja keras dan entrepreneur mulai terlihat sejak kecil. Pada umur 7 tahun, ia telah membantu orang tuanya berdagang pisang goring, ketan, dan kelapa parut. Umur 12 tahun, anak ke-11 dari 12 bersaudara ini telah memiliki usaha pengepresan ampas kelapa untuk makanan ternak dengan 20 orang karyawan.
Tentang ide usaha ini, menurut Hermes, panggilan kecilnya, ia peroleh setelah melihat ampas kelapa sisa produksi yang jumlahnya cukup banyak, tetapi dibuang begitu saja. Di benaknya muncil ide, bagaimana kalau ampas yang dibuang itu dijadikan pakan ternak. Ternyata idenya membuahkan hasil. Pakan ternak buatan Hermes disukai banyak orang. Tetapi, usaha yang mulai tumbuh terpaksa ditinggalkan, karena harus sekolah ke Medan.
Lebih mengembangkan naluri bisnisnya yang memang kuat, kuliahnya pun terbengkalai. Dunia kerja ia masuki sebagai tenaga pemasaran pada perusahaan kosmetik merek Max Factor, selama dua tahun. Tahun 1973, ia bergabung dengan Welcome Foundation Ltd, sebuah perusahaan farmasi multinasional dari Inggris. Dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan, Hermes diangkat jadi penyedia produk Welcome se-Sumatera.
Pada perusahaan tersebut, ia memelopori model pemasaran Hazeline Snow dengan sales promotion girl (SPG), tanpa sepengetahuan pimpinannya di Jakarta. Bukannya dimarahi, ia justru ditarik ke Jakarta dan menjadi Kepala Divisi Pemasaran Welcome ketika model pemasaran yang diterapkannya ini diketahui pimpinannya di Jakarta. ”Di perusahaan ini, terus terang saya mendapat banyak pengalaman tentang pemasaran, karena saya sering diberikan training, baik di dalam maupun luar negeri,” ungkapnya.
10 tahun menjadi manajer marketing, hidupnya sebagai orang kantoran sudah terjamin. Gaji besar, fasilitas lengkap seperti mobil dan rumah telah tersedia. Namun, bukan Hermes namanya jika hanya berpuas diri pada karier maupun fasilitas mapan. “Ingin kaya atau ingin sejahtera adalah kita yang tentukan, bukan takdir. Tapi kalau kita terlahir menjadi perempuan atau laki-laki itu memang takdir. Itu tidak bisa dilawan,” katanya.
Pada 1982 ia berhenti menjadi seorang profesional dan banting setir menjadi seorang entrepreneur. “Be my own boss,” katanya sambil tersenyum. Menjadi entrepreneur tidak hanya dalam pengertian pengusaha atau pemilik sebuah usaha, tapi juga orang yang berani menciptakan sesuatu yang baru dengan penuh perhitungan. Satu hal yang diyakininya, “Orang akan berhasil kalau orang itu sehat secara fisik, mental dan spiritual. Dengan sehat tadi kita dapat bekerja dan berpikir dengan sehat.”
Selama menjadi seorang wirausahawan, ia membidani lahirnya berbagai perusahaan, seperti PT Progisa Utama, perusahaan distribusi pembalut wanita, PT Sindo Prima Diwisesa, distributor cat untuk keperluan industri, serta PT Komiku Mediatama, perusahaan pemegang lisensi dan merchandise aneka film kartun. Bahkan, jauh hari sebelum ia gemilang sebagai “raja ponsel”, Hermes sempat mendirikan PT Dwidaya Adisakti dan PT Cipta Multi Usaha Perkasa, masing-masing perusahaan distributor ponsel Ericsson dan perusahaan layanan serta distribusi kartu Satelindo.
Dalam berusaha, Hermes berprinsip, kerja sekeras apapun tidak akan memperoleh hasil maksimal tanpa adanya kebulatan visi, misi, dan filosofi. Ia pun meyakini, kunci sukses lainnya dalam bisnis apapun adalah ketekunan dan tekad untuk menerapkan nilai-nilai profesionalisme. ”Kiat bisnis saya sebenarnya sederhana. Perlu diingat, di bidang bisnis apapun, kalau kita mengerjakannya dengan penuh komitmen, dan digeluti secara serius dan profesional, bisnis yang dijalankan pasti akan berjalan baik,” katanya.
Demikian pula dalam menjalankan bisnisnya di bidang selular. ”Visi kami, ingin menjadi perusahaan penyedia jasa telekomunikasi kelas dunia yang siap menghadapi tantangan terhadap perkembangan teknologi yang serba canggih,” tuturnya. Ia pun memiliki misi ingin menjadi perusahaan yang memiliki jaringan distribusi terluas di Indonesia, dengan merangkul seluruh operator maupun prinsipal telepon selular dan memberikan servis yang prima pada setiap pelanggan melalui dukungan yang diberikan dan orang-orang yang memiliki motivasi tinggi dalam pengoperasiannya ke sebuah jaringan organisasi yang profesional.
Mengenai filosofi yang mendasari langkah bisnis ponselnya, President Director PT Cipta Multi Usaha Perkasa ini mengaku menerapkan filosofi yang diistilahkannya dengan enam bintang, antara lain lokasi strategis, ragam pilihan produk, jaminan produk, harga bersaing, langsung aktif, dan pelayanan profesional.
Menurutnya, tidak mudah mencapai predikat sebagai perusahaan yang memiliki jaringan distribusi telepon selular terluas di Indonesia. Namun, dengan komitmen pelayanan terpadu, ia mencoba tidak sekadar menjual handset, aksesoris. atau produk telepon selular lainnya. „Selain punya keteguhan hati dan pantang menyerah, service kepada customer dan tahu bagaimana meyakinkan customer dengan product knowledge yang dimiliki adalah kunci sukses lainnya,” katanya.
Menomorsatukan orang yang memiliki integritas dan loyalitas, serta menempatkannya sesuai dengan kemampuan bidangnya merupakan kiat Hermes bertahan menghadapi persaingan bisnis. “Di selular, komitmen saya sudah kuat dan mantap. Saya sekarang bisa mendelegasikan tugas dan tanggung jawab ke tim manajemen,” katanya.
Komitmennya yang besar terhadap bisnis selular, tidak saja ia wujudkan dalam bentuk outlet yang kini tersebar di 14 provinsi, tetapi juga lewat majalah Selular, sebuah majalah bulanan yang khusus membahas berbagai masalah berkaitan dengan ponsel. Majalah bulanan, yang diterbitkan pertama kali, bulan April 2000 ini oplahnya terus meningkat dan mendapat sambutan positif di masyarakat.
Pengakuan masyarakat sebagai pengusaha properti yang patut disegani juga telah dimiliki Hermes yang sejak tahun 2000 lalu mendirikan perusahaan properti, Global Realty Internasional berpusat di Sydney, Australia. Boleh jadi, properti merupakan lahan lainnya yang ia gunakan untuk mempekerjakan uang dan kekayaannya agar terus berkembang biak. Ruko, apartemen, gedung perkantoran, hotel, hingga resort menjadi instrumen properti yang dia galakkan.
Berangkat dari hobi membaca semua bidang untuk memperluas wawasan, lulusan SMA ini banyak tahu tentang regulasi, kultur, alam, dan iklim investasi. “Saya tertarik properti karena merupakan investasi paling solid, meski return tidak tinggi. Sebab, kendati terjadi resesi, kebutuhan terhadap properti tetap ada,” jelasnya mantap.
Guna melebarkan sayap bisnisnya di bidang properti, ia pun melirik Aceh. Langkah ini tentu saja menggoyahkan stigma Aceh sebagai kawasan investasi yang tidak aman dan rawan konflik. Memang sempat muncul pertanyaan sinis, “Apa tidak ada tempat investasi lain?” Namun, Hermes tetap berpegang teguh pada keyakinannya sendiri, “Kalau saya bangun hotel di tempat lain, saya bisa dibilang orang bodoh. Untuk apa saya bersaing di hutan belantara yang memang sudah padat kalau istilahnya “seperti anjing berebutan tulang”. Tapi sekarang konflik horizontal sudah mulai tidak ada. Saat ini sangat luar biasa berinvestasi di sana.”
Dengan mantap dan optimistis, ia pun membangun Swiss Bell Hotel. Hotel jaringan internasional asal Eropa, ini ibarat mainan baru bagi Hermes. Yang unik, tempat penginapan yang menyediakan 159 kamar yang dikelola Hermes juga direncanakan memiliki fasilitas sekolah pariwisata. “Saya pikir tadinya mau buat yang kecil-kecil saja. Dalam perjalanan banyak masukan-masukan,” katanya, prihal bisnis propertinya ini.
Naluri bisnis Hermes tak berhenti sampai di sini. Kawasan agrobisnis “Sentul Paradiso” yang berlokasi di Desa Cijayanti, Sentul Selatan, makin menguatkan eksistensi Hermes sebagai pengusaha properti yang patut diperhitungkan. Seperti saat berbicara tentang industri ponsel dengan nada berapi-api, ia pun dengan penuh semangat bercerita tentang rencana bisnisnya ini.
Ia menyebut kawasan agrobisnis ini sebagai resort yang terintegrasi. Ia berencana kawasan ini tak hanya menyediakan fasilitas resort, tapi juga ada perkebunan coklat. Hermes mengakui, ide ini muncul setelah ia melihat-lihat satu perkampungan dari Niss (Perancis) ke Montecarlo. Di tengah jalanan yang berliku, terdapat sebuah pabrik parfum (concentrate-nya) yang menyuguhkan pengalaman baru tentang proses pembuatan parfum, dari berupa batangan pohon sampai jadi parfum.
Kebun coklat dipilih Hermes, karena coklat digemari orang dari berbagai lapisan, dari anak kecil sampai tua. Sayangnya, mayoritas orang tidak tahu, pohon cokelat, bentuk biji, proses pembuatan itu bentuknya seperti apa. Inilah yang merangsang instink bisnis Hermes, untuk menjadikan kawasan ini sebagai resort terpadu. Kawasan ini dimaksudkan sebagai tempat pembelajaran keluarga di akhir pekan, lengkap dengan tempat penginapannya.
Di lahan seluas 13 hektar ini tadinya direncanakan akan dibangun perumahan ini, Hermes mendadar mimpinya yang baru. “Saya punya mini plan mengenai process chocolate plann-nya. Itu nantinya ada mini plan, ada mixer, ada wholeemile sampai ke depositor sampai jadi, ada proses produksinya seperti pabrik cokelat mini,” katanya sambil menunjukkan gambar yang dimaksud.
Obsesi mengembangkan kawasan agrobisnis ini tampaknya berawal dari hobinya berkebun. Lihat saja pekarangan rumahnya yang seluas 6500 meter di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Tempat tinggal eksekutif yang biasa bangun jam 05.30 WIB ini terlihat sangat asri dengan 15 pohon Rambutan, 15 pohon Mangga, 12 pohon Kelapa, pohon Alpukat, pohon Duren, dua pohon Sawo, dua pohon Belimbing, Jeruk Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar