Sebuah kota industri yang kental citarasa seni dan budaya. Ia juga dikenal memiliki kawasan belanja sekaligus tempat wisata mempesona. Dalam bilangan tahun, kota ini melesat jadi sentra ekonomi yang diperhitungkan dunia. Jangan lewatkan pula sapaan genit wanita malam di sana.
Gelap mulai menelungkupi langit Shanghai. Hawa dingin kian menusuk-nusuk kulit. Bila sudah demikian, hangatnya berendam di bath up menjadi pilihan yang mengasyikkan. Tak cuma menghalau godaan musim dingin, rasa lelah di badan setelah tujuh jam terombang-ambing di udara bisa sirna perlahan-lahan.
Sejam lalu, setelah burung besi yang saya tumpangi mendarat di Bandara HongQiao, saya langsung meminta sopir untuk melecut kendaraannya ke Regal Shanghai East Asia Hotel. Hotel bintang lima ini tergolong memiliki arsitektur yang unik, persis stadion. Bundar dan berkilauan di malam hari. Pelayanannya berkelas internasional pula.
Belum juga tenaga pulih, saya dikejutkan oleh dering telepon. “Siap-siap. Kita segera berangkat,” kata Indira, rekan sepetualangan, di seberang. Menjelang keberangkatan ke salah satu kota penting China ini, kami memang berencana menggerayangi Shanghai, kota industri berpenduduk 20 juta jiwa itu.
Kendati menjadi sentra ekonomi yang cukup diperhitungkan, bukan berarti Shanghai enggan mendandani diri. Sebagai kota megapolitan, ia telah melengkapi dirinya dengan pelbagai tempat rekreasi, pusat belanja, hingga museum seni dan budaya. Termasuk tempat-tempat hiburan malam yang bertaburan di sana.
Untuk menikmati kemegahan kota ini, saya memulai petualangan ini dari The Bund. Kawasan bersejarah ini menjadi salah satu tujuan utama para wisatawan, baik asing maupun domestik. Terbentang di sepanjang Sungai Huang Pu, The Bund menyuguhkan pemandangan yang begitu menakjubkan.
Di sepanjang Jalan Zhongshan ini berjejer bangunan bersejarah dengan ornamen kuno khas Eropa. Beberapa perusahaan keuangan, investasi, perbankan, hotel, hingga pusat perdagangan berderet dengan anggunnya. “Wall Street ala China,” begitu julukan yang kerap disandangkan pada kawasan ini.
Saat gelap luruh, bangunan-bangunan yang menjadi pusat perkantoran tersebut tampak gemerlap ditaburi aneka lampu warna-warni. Pemerintah Shanghai amat pandai memanfaatkan The Bund sebagai tujuan wisata. Di tepi kawasan itu dibangun taman Huang Pu dan Chen Yi Square, taman luas yang menjadi tempat mengasyikkan untuk melepas lelah.
Gemerlapnya pemandangan The Bund terasa lebih menawan saat kita bisa meluangkan waktu untuk berlayar dengan yacht atau kapal mengarungi Sungai Huang Pu di malam hari. Tak cuma dapat meresapi simbol-simbol metropolitan, kita pun bisa menikmati pameran arsitektur yang memadukan harmoni kemegahan dua benua.
Di sinilah suasana malam Shanghai sesungguhnya dapat dirasakan. Sejak kekalahan China dalam Perang Candu pada rentang 1839-1832, penduduk sekitar menjadikan The Bund sebagai monumen kebangkitan dan kejayaan Shanghai. Ya, bila malam tiba, kota ini bak perawan menggairahkan.
Begitu menariknya, The Bund seringkali memberi inspirasi bagi banyak sutradara untuk melahirkan film yang bercerita tentang latar belakang, sejarah, dan aktivitas mafia yang pernah ada di sana. Salah satu film terkenal yang pernah dibuat di sini adalah film dengan judul yang sama dengan kawasan ini.
Sambil melihat kapal layar bertahtakan lampu hias hilir mudik di sepanjang sungai, saya pun bisa menikmati kemegahan kawasan Pudong di seberang. Kota yang dijejaki gedung pencakar langit itu menampilkan desain arsitektur yang kontras, dengan dominasi kesempurnaan arsitektur modern ala Amerika.
Kawasan sebelah timur Shanghai tersebut kini menjadi kawasan dengan pertumbuhan paling fantastis di dunia. Sejak pemimpin sekaligus inspirator China modern, Deng Xiaoping, datang ke kota ini awal dekade 1990, Deng menyatakan, Shanghai sudah boleh berkembang dengan kecepatan tinggi.
Sejak itu, kota ini, terutama di kawasan Pudong, melesat bagai anak panah yang meluncur dari busurnya. Hasilnya, antara lain, Pudong menjadi satu di antara sentra bisnis terpenting di dunia. Pusat belanja, seni dan budaya, dengan gedung-gedung dan menara tertinggi hadir di sana, semua dengan standar dunia.
Kawasan yang tak kalah menggiurkan adalah Nanjing Road. Dari The Bund, kawasan ini dapat ditempuh melalui sebuah terowongan yang berfungsi sebagai jalan pintas. Di sana, bertebaran kafe, resto, pub, hingga tempat-tempat belanja.
Udara malam makin tak bersahabat. Jaket kulit hitam yang saya pakai tampaknya tak tahan dengan gempuran hawa dingin. Ditemani tiga rekan dari Indonesia, saya memutuskan untuk memesan sepoci teh China dan makanan ringan di salah satu restoran megah di kawasan pedestrian beken ini.
Seperminuman teh, acara pesiar saya terus berlanjut. Kami menyusuri Nanjing Road. Jalan sepanjang kira-kira dua kilo meter itu bak surga bagi para pejalan kaki. Tak perlu khawatir bakal ditabrak atau mencium asap knalpot. Kawasan ini memang bebas dari angkutan atau kendaraan bermotor lainnya. Jika pun ada, itu pun hanya trem kecil yang dipakai untuk mengangkut orang tua atau wisatawan yang berkeliling di daerah itu dengan tarif satu Yuan (kurang lebih Rp1.000).
Di ruas selebar kira-kira 40 meter itu berjejer pusat-pusat belanja. Dari produk busana, suvenir, perhiasan, buku, obat-obatan, barang antik, hingga benda-benda elektronik. Semuanya dengan harga obral. Tak aneh bila kota pelabuhan utama di China ini dikenal pula sebagai surga buat para gila belanja.
Sayang, hasrat cuci mata di mall mesti dipendam dulu, malam itu. Pasalnya, jam telah menunjukkan pukul 23.30. Sementara, pusat belanja sudah tutup sejak pukul 21.00. Berbeda dengan akhir pekan, mereka bisa menggelar dagangan hingga pukul 22.00. Begitulah aturannya.
Keesokan hari adalah waktu yang tak boleh disia-siakan. Setelah sarapan di hotel, saya, Indira, Teguh, dan Rihad kembali menjelajahi penjuru kota. Shanghai di siang hari ibarat daratan yang dibanjiri gedung-gedung bertingkat. Di sana-sini tampak bangunan yang menjulang ke angkasa.
Kendati memiliki kepadatan penduduk, Shanghai rajin mendandani diri. Di antara belantara gedung, pemerintah setempat masih menyisakan space buat ruang publik tempat warganya bisa menghibur diri. Di tengah hingar-bingarnya lalu lintas, pengambil kebijakan masih menyediakan jalur khusus buat pejalan kaki maupun pengguna sepeda pancal.
Dari pelosok hingga pusat kota, pemandangan seperti ini menjadi menu yang mengesankan. Pejalan kaki, penggendara sepeda, maupun pengguna mobil mewah diperlakukan sama mulianya. Mereka bisa berjalan akur tanpa perasaan risih dan rendah diri. Tanpa polusi.
Sebagian besar penduduknya cenderung mengikuti tren maupun mode busana terbaru. Hal ini tampak dari pakaian mereka yang modis-modis. Banyak ditemui para pejalan kaki dengan dandanan yang fashionable. Agaknya, mengikuti tren mode telah menjadi kebutuhan para penduduknya.
Sore merambat pelan. Kami memutuskan untuk kembali menjelajahi Nanjing Road. Hari itu, kawasan pedestrian ini benar-benar menjadi lautan manusia. Tak pelak, saya harus rela bersesak-sesak ria, bersenggolan, dan merasakan aroma manusia yang beraneka ragam itu. Tidak apa-apa, yang penting bisa keluar masuk toko sambil memburu kebutuhan.
Daerah ini menjadi trendsetter dan daerah belanja elite Shanghai. Kawasan ini dapat disejajarkan dengan Fifth Avenue dan Times Square di New York, Oxford Circus di London, Champ Elyses di Paris, atau Postdamer Platz di Berlin. Keluarga bangsawan, pejabat tinggi, kalangan pebisnis papan atas, dan wisatawan kaya belanja, acapkali nongkrong atau berkantor di sini.
Saat lelah mulai menghantui, kami bisa menjuntaikan kaki sambil makan camilan di taman penuh bunga di sepanjang jalan. Tak cuma itu. Sembari melepas penat, kami pun bisa melihat-lihat majalah bergambar seronok yang terpajang kios maupun toko di lajur tengah sepanjang Nanjing Road.
Namun, setidaknya Anda harus menyediakan uang receh bila bertandang ke sini. Pasalnya, sejumlah pengemis dan peminta-minta menjadi teman seperjalanan yang menjemukan. Tanpa canggung, mereka menengadahkan tangannya pada setiap orang yang lalu lalang.
Begitu pula yang saya alami. Saat menebarkan pandangan ke sisi kiri dan kanan jalan, seorang wanita yang sedang menggendong anaknya mencegat langkah saya. “Money, money,” katanya dengan bahasa Inggris terbata-bata. Ketika saya merogoh kocek, dengan cekatan si wanita meraih tangan anaknya untuk ditengadahkan. Begitu kepingan Yuan saya berpindah tangan, mulut si bocah dengan fasihnya bilang, “Papa, papa.”
Di pusat belanja ini, bahasa bukanlah halangan berarti. Sekali pun tak bisa berbahasa China, bukan berarti kita tak bisa memuaskan hasrat berbelanja. Dengan kata lain, meski bahasa yang digunakan pembeli dan penjual tidak nyambung, transaksi terus saja berlangsung.
Rihad, teman seperjalanan yang berasal dari Tegal, Jawa Tengah, dengan tenang meladeni tawaran penjual dengan bahasa Jawanya yang kental. Sementara, para penjual menggunakan bahasa China dengan kalkulator di tangan. Dengan saling memencet sejumlah angka, tawar-menawar pun lancar. Murah-murah lagi.
Hanya saja, kegigihan dalam mencari barang sesuai keinginan tetap diperlukan. Selain jeli membedakan antara barang asli atau tiruan, pembeli harus mampu menawar semurah mungkin, kendati harga yang dipatok tinggi-tinggi. Bila pandai menawar, barang mewah pun bisa didapat dengan ketengan Yuan. Seorang teman mendapat celana golf seharga 30 Yuan. Saya pun bisa menenteng jas bermerek dengan 90 Yuan.
Meski dikenal sebagai surga belanja, bukan berarti kota ini tak menyuguhkan sensasi yang lain. Klub, bar, dan diskotek bertaburan bak cendawan di musim hujan. Plus, godaan genit wanita-wanita malamnya. Untuk yang satu ini, Shanghai rupanya tak mau ketinggalan dari sektor-sektor lainnya.
Shanghai memang terus berlari. Tatkala pesawat take off dari Bandara Pudhong, esok harinya, Shanghai masing dibekap sang malam. Bukan berarti, ia sedang terlelap tidur. Dari pesawat, lampu yang menyaput di seluruh permukaan kota masih tampak berkilauan, garang menantang fajar. Megapolis yang kian gemerlap itu telah membuat hati saya terjerat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar