Namun, sepotong hari yang kulalui kali ini memang bukan sembarang. Sebuah senja di keheningan Siam Square, Cilandak Town Square, Jakarta, yang menguraikan helai demi helai hikayat seorang anak manusia tanpa penat.
Di senja yang sama, aku bertukar ucap, merenda kata. Laksana sahabat yang lama tak bersua dengannya. Pertanyaan dan jawaban menggericau, silih berganti merangkai sebuah cerita. Hari itu adalah hari di mana Gaby Aquariesta, nama gadis itu, kembali meneguhkan diri untuk merajut kehidupan yang penuh makna. Berjanji menebarkan kegembiraan hati tak terperi. Di hadapanku.
“Hidup memang tak selalu menyenangkan. Tapi, aku bersyukur dengan apa yang kumiliki sekarang,“ tuturmu, sebelum menyeruput Thai ice tea. Ya, siapa yang tak beruntung dengan limpahan cinta kasih, perhatian, dan penghargaan dari orang-orang terdekatmu. Siapa yang merugi dengan status sebagai anak yang paling disanjung itu. Jika pun suatu hari kau menemukan senyum tak lagi bersisa, cukuplah kasih sayang yang paripurna itu menjadi pelipur laramu.
Tentu saja masih ada yang mengganjal di semenanjung batinmu. Obsesimu menjadi seorang pegolf profesional, menjadi seorang dokter bedah plastik yang mengabdikan diri pada sebanyak mungkin orang. Bahkan, rasa haru seketika meretih di sanubarimu tatkala ingatan kita tertuju pada kaum papa. Pada mereka yang tak berupa sempurna. Kau pun meneguhkan janji, Jika tidak jadi dokter, kau ingin mendirikan rumah sakit buat orang tak mampu.
Permainan golf memang tak asing lagi bagimu. Kau yang dibesarkan dalam keluarga yang begitu mencintai permainan ini, telah mengenalnya sejak usiamu baru beberapa warsa. Adalah paksaan sang papa ketika menemaninya ke driving range, yang meronta keingintahuanmu. “Setiap kali latihan, aku harus memukul 500 bola. Capek, kan?” katamu, setengah memelas. Untuk gadis sebelia dirimu, tentu permainan itu begitu melelahkan. Juga membosankan. Aku memahami ketika kau akhirnya terkelempai pasrah.“Aku belum merasakan nikmatnya permainan ini,” begitu alasanmu, waktu itu.
Nyatanya, tak berselang lama, hasrat menjadi pegolf merembih sendiri dari bilik-bilik anganmu. Kini, tak usah ditanya lagi soal gairah dan kesenanganmu saat mengayunkan stik. Panas yang terik, rinai hujan yang mencambuk, dan peluh yang berburaian ibarat menu pemanis yang kau hadapi di turnamen satu ke turnamen lainnya. Di berbagai turnamen, kau yang kini memegang handicap 18 sebagai pegolf yunior itu bahkan telah membukukan prestasi yang berkerencang di sanubari. Ada rasa bangga menyeruak, kala duta bangsa kau sandang jua. Di negeri jiran, kau berjibaku tanpa kelah lelah. Mencari jati diri, merajut eksistensi.
“Aku merasa, pergaulan di golf itu beda. Ada gengsinya juga, karena rata-rata pemainnya berpendidikan,” katamu, soal golf yang telah menjerat hatimu. Kau pun mengakui, telah merasakan kenikmatan tersendiri saat berada di lapangan. Sambil mengaduk-aduk casava, makanan ringan khas Thailand, kau melanjutkan, “Olahraga ini benar-benar butuh ketekunan, keseriusan, dan kesabaran. Aku merasa olahraga ini cocok dengan karakterku yang keras.”
****
Pondok Indah Golf Club, di sebuah akhir pekan yang sembab. Ini kali kedua kita bersua. Saat itu, kulihat kau tak lagi gemulai seperti hari yang telah lewat. Kesan tomboi begitu melekat di balik busana sporty dan aksesori golf yang kau kenakan. “Aku bisa kelihatan tomboi. Kadang juga terlihat feminin. Tergantung situasi,” ucapmu. Ego diri keinginan untuk menang sendiri memang wajar untuk gadis 17 tahun sepertimu.
Namun, karakter keras bukanlah penghalang bagimu dalam menjalin sebuah persahabatan. Maklum saja, sifatmu yang begitu aktif, baik di rumah maupun di lingkungan sekolah, mempermudah dirimu untuk mendapatkan seorang sahabat yang diinginkan. “Jangan suruh aku diam. Aku tak bisa melakukannya,” tuturmu, dengan seringai jenaka. Aku tak heran jika memasak, berenang, berbelanja, traveling, hingga mengoleksi sepatu, tas, dan boneka barbie menjadi kegemaranmu selain bermain golf.
Kau yang peranakan Cina-Palembang, itu merasa nyaman dan percaya diri dalam bergaul. Gebot, Geboy, atau Encim, adalah panggilan khasmu orang-orang dekatmu di lingkungan rumah dan di sekolah. “Sahabat yang baik selalu ada saat aku membutuhkannya. Kalau lagi susah, dia bisa mengerti aku, terbuka, dan saling percaya. Aku pun merasa tenang di sampingnya,” begitu kau artikan seorang sahabat sejati.
Begitukah senarai kriteriamu soal pasangan dambaan? Lelaki yang pintar dan berpendidikan, berkepribadian baik, dan memiliki sense of humor merupakan tipikal pendamping yang menjadi prioritas dalam anganmu. “Aku orangnya periang. Jadi, dia harus bisa membuatku selalu gembira. Dia juga mesti nyambung kalau diajak bicara,” lanjutmu, “Secara fisik, aku suka cowok putih dan tinggi. ”
Namun, sadarkah kau, Gaby, bahwa hari esok bukanlah milik kita? Bukan pula milik sepasang orang tua yang kau teladani itu. Pun lelaki pejantan yang menggelimuni perigi kalbumu. Tapi, tak ada yang salah dengan kepingan-kepingan rencana yang selalu menghidupkanmu itu. “Hidupku masih panjang. Jadi, masih ada waktu dan kesempatan untuk mewujudkan apa yang kuinginkan,” katamu, dengan tatapan penuh harap.
“Jangan bilang “tidak” kalau belum mencobanya.” Seperti rangkaian kata yang kau pegang teguh, memang tak ada yang tak mungkin dalam hidup ini. Tak ada yang tak bisa diwujudkan, apalagi bagi gadis sepertimu yang selalu optimistis dan bergelora. Maka, teruskan langkahmu, menempuh hari-hari yang menyisakan tanya. Melewati masa yang menyajikan kelumit demi kelumit jawaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar