Malam yang makin dingin mengusik kulitnya. Beberapa detik berselang, matanya menerawang jauh, merangkai sebuah khayal. Setengah sadar, ia melihat Tuhan tengah memandangnya, tersenyum, dan bertanya, “Mau jadi apa kamu setelah besar nanti?”
Di tengah suasana keprihatinan yang dialami, lelaki yang juga mahasiswa itu menjawab lirih, “Ya Allah, kalau sudah besar nanti saya ingin naik mobil hitam yang ada benderanya. Supirnya pakai baju putih-putih dengan kancing emas di dadanya.”
35 tahun telah lewat. Taufiq Effendi, bekas mahasiswa berperawakan kurus itu, kini merasakan bahwa doa tak sebatas kata demi kata yang mengalir sia-sia. Fasilitas mobil hitam mewah berbendera berplat RI 36, lengkap dengan supir pribadi telah ia nikmati. “Banyak keajaiban yang menimpa saya. Makanya, kadang saya takut untuk meminta atau berdoa pada Tuhan,” katanya, dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca.
Saat menerima tongkat estafet dari pendahulunya sebagai Menteri Pemdayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Taufiq Effendi sadar benar akan tumpukan pekerjaan yang belum terselesaikan. Selain harus segera dituntaskan, pengerjaannya pun mesti cepat dan tepat. “Tak ada lagi istilah ‘partai tunda’,” katanya kepada S.S. Budi Rahardjo dan Qusyaini Hasan dari HealthNews, di kantornya di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta.
Pria kelahiran Barabai, Kalimantan Selatan, 12 April 1941, ini pun menyiapkan program yang menekankan pada tindakan nyata. Ia ingin mengubah paradigma lama pegawai negeri yang malas, bergaji kecil, mempersulit administrasi, mencari kesempatan untuk melakukan korupsi, doyan sogok, menjadi pegawai profesional. Berikut kutikan wawancaranya:
****
Apa garis besar program kerja Anda?
Ada tiga tugas utama yang harus saya tuntaskan. Pertama, mempercepat pemberantasan KKN dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kedua meningkatkan kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan melakukan reformasi birokrasi. Ketiga, menyelesaikan masalah kepegawaian, seperti tenaga honorer.
Stigma PNS sebagai jajaran birokrasi yang sarat kegiatan KKN begitu melekat. Apa resep Anda mengatasi hal ini?
Pelayanan publik di suatu negara memang menjadi indikator dari level korupsi di negara tersebut. Harus ada action yang jelas untuk memberantas KKN. Bentuk penindakan saja tidak cukup, tapi harus secara sistematis. Berwacana, ado jago pidato soal korupsi, menghujat, dan menyalahkan saja tidak cukup.
Lalu, apa action Anda?
Konsep ini saya terapkan sejak awal saya menjabat. Pertama, harus ada kehendak yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Kedua, penertiban single identification number (SIN) atau social security number yang disebut Nomor Induk Kependudukan (NIK). Ini suatu keharusan, untuk mengetahui identifikasi seseorang dengan jelas. Selama ini, ada orang yang memiliki lebih dari satu Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Celah ini memudahkan orang berbuat kriminal, seperti kejahatan perbankan an kartu kredit, menyembunyikan uang hasil kejahatan di berbagai bank dengan KTP bermacam-macam. Ini yang mempermudah terjadinya korupsi. Selanjutnya, e-government, pembenahan peraturan perundang-undangan yang tumpang-tindih dan duplikasi-kontradiksi. Lalu yang kelima adalah pembenahan kembali criminal justice system.
Penyebaran tenaga birokrasi juga masih bermasalah.
Saya lihat di satu daerah/ kabupaten padat, rapi jali, bagus, sekolahan gak bayar, rumah sakit gratis, masya Allah, cakep banget nih daerah. Namanya, Jembrana, bali. Pegawainya berjumlah 4600 orang. Tetangganya, kondisinya hampir sama, tapi rada-rada ribet dikit-lah, pegawainya 15 ribu orang. Mestinya 6000 pegawai sudah cukup. Jadi ada 7000 penganggur terhormat di situ dan memakan uang negara.
Ada lagi daerah/ kabupaten lain yang pegawainya 18 ribu. Itu lebih aje gile lagi. Satu kecamatan berapa pegawainya. Ada juga satu departemen yang pegawainya sampai 15 ribu. Itu duduknya bagaimana, gedungnya sebesar apa luasnya. Ini tak ketemu dalam akal sehat saya. Untuk itu, saya katakan, KPK, tengok itu. Itu lebih bermanfaat daripada mengurusi yang lain-lain.
Kenapa bisa begitu?
Karena pegawai negeri dijadikan barang jualan. Rupanya, entah dari mana dia dapat jatah, tentu dari pusat, siapa yang memberi, wallahu a’lam bisshawab. Allah Maha Tahu, yang bersangkutan juga tahu. Kalau satu pegawai laku Rp30 juta, 2000 pegawai berapa harganya? Masya Allah. Mudah-mudahan kita jangan diberikan barang haram.
Yang tak kalah pentingnya, saya dihadapkan pada kondisi obyektif bahwa PNS kita 3,7 juta orang itu 65% adalah pegawai administrasi. Artinya, ini sangat amat berlebihan, sehingga tidak efektif dan efisien. Di satu sisi, kita kekurangan tenaga ahli profesional.
Kenapa mereka tak bisa masuk?
Mereka terjegal oleh sistem ujian atau seleksi yang salah. Tapi, saya tak menyalahkan siapa-siapa. Yang salah menurut saya penjajah. Karena orang Indonesia tak pernah merasa salah. Karena itu, dalam bahasa Indonesia, kata salah itu terbatas sekali. Kalau dalam bahasan Inggris ada wrong, mistake, fault, incorrect, dan guilt. Kita sering mengartikan salah dengan guilt. Tidak apa-apa. Yang pasti, saya tak boleh menyalahkan siapapun.
Lantas, apa tindakan Anda mengatasi kelebihan kouta dan penyebaran pegawai yang tidak merata ini ?
Untuk itu, kedepan saya akan mengambil tiga langkah. Pertama, saya akan melakukan perampingan secara alamiah. Rekrutmen terbatas sekali, hanya sekitar 20-30 ribu pegawai yang betul-betul hebat. Tapi, pensiunnya 100-150 ribu orang tiap tahun. Tidak akan ada yang marah, tidak ada yang ngamuk. Kedua, saya gunakan disalokasi, tetap di daerah yang sama supaya tidak menimbulkan permasalahan. Ketiga, melakukan assessment center, pelatihan dan pendidikan. Ini yang akan saya lakukan.
Anda juga mengusulkan agar uang pensiun bagi PNS, anggota legislatif, maupun pejabat negara dihapuskan. Ada apa?
Ini baru wacana dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara agar alokasi anggaran negara tidak dibebani oleh anggaran pensiunan. Bayangkan, anak cucu kita nanti harus menanggung anggaran pensiunan PNS sebesar Rp6,1 triliun per bulan jika sistem pensiunan tidak dilakukan perbaikan saat ini. Guna memperkecil biaya yang harus ditanggung pemerintah tersebut, maka para menteri maupun anggota legislatif hanya menerima uang pesangon setelah mengakhiri masa jabatan.
Sedangkan untuk para pegawai negeri cukup dibayar diawal, saat mau pensiun. Sebab, kalau kita rinci, setiap PNS yang diangkat, negara harus menanggung beban untuk membayar pensiun mereka selama 50-70 tahun. Lagi pula, yang menerima juga tidak happy. Kalau uang pensiun ini diberikan di awal masa pensiun, uang tersebut bisa mereka gunakan untuk investasi, modal usaha, atau didepositokan.
****
Setelah meraih gelar Sarjana Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan prestasi memuaskan, ia masuk di kepolisian. Ditempatkan di divisi hubungan internasional, ia mendapat kesempatan sekolah di International Police Academiy, termasuk Barety American Ranger, Amerika Serikat. Di sana ia belajar mengemudikan helikopter, belajar terjun dari helikopter. Lantas Taufiq sekolah lagi di Paris. Dan selanjutnya ke Australia untuk mengikuti pendidikan Airport Security.
Sepanjang meniti karier, ia sempat bertugas di Nusa Tenggara dan Kalimantan, di divisi intelijen. Sempat juga ia ditempatkan di sektor Pembinaan Masyarakat, di Polda Jawa Tengah dan Mabes Polri. Selama duduk di jabatan tersebut, Taufiq mencetuskan beberapa hal, seperti, Polisi Sahabat Anak, Polisi Masuk Desa dan Polisi Pariwisata. Pokoknya banyak hal yang ia lakukan. Pada puncak karirnya, ia menjabat Sekretaris Deputi Operasi Polri.
Setelah pensiun, mantan Kepala Divisi Proyek Khusus BPPT di masa Menristek BJ. Habibie ini dipinang banyak kalangan untuk manggung di pentas politik. Dari semua tawaran yang ada, ia menjatuhkan pilihan pada Partai Demokrat yang digagas Jenderal (Pur) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Maka Taufiq duduk sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, dan tercatat dalam sejarah sebagai sosok yang mengantarkan SBY ke Istana. Keajaiban yang sangat ia syukuri ketika SBY mengangkatnya jadi Menpan.
****
Sebenarnya, apa yang Anda tangkap soal harapan masyarakat terhadap birokrasi?
Sangat sederhana. Dalam mengurus surat-surat, ada tiga hal, syaratnya apa, ongkosnya berapa, dan kapan selesainya. Memang simpel. Tapi, ini saja tidak bisa dipenuhi. Sebab, selama ini mereka masih terpaku paa semboyan: kalau bisa dipersulit, mengapa mesti dipermudah?
Lalu, apa langkah awal Anda dalam melakukan reformasi birokrasi?
Saya mencoba mencari satu formula untuk menemukan permasalahan bangsa ini. Selama ini menggunakan pola-pola yang konvensional, inspeksi mendadak (sidak), segala macam. Saya lihat kok tak ada manfaatnya. Karena itu saya mencoba menemukan kondisi obyektif bangsa dan akar persoalan birokrasi kita. Tanpa mengetahui itu, kita hanya bisa menyalahkan saja.
Kondisi obyektif ini saya umpamanya dengan membeli kain dua meter untuk membuat jas. Penjahit manapun hebatnya, entah tamatan manapun, tak akan bisa. Satu hal, ada makanan beragam yang dimasak selama tiga menit matang, seperti telor setengah matang. Tapi kalau bikin rendang bisa tiga hari. Chinese food bisa sekitar 15 menit. Kalau makanan yang namanya birokrasi, matangnya berapa lama, itu ada.
Negara mana yang menjadi rujukan Anda?
Lalu saya bertanya pada Australia yang giat melakukan reformasi birokrasi. Berapa lama kalian melakukan reformasi birokrasi ini? Jawabannya mengejutkan saya. Mereka jawab, “Kami sudah melakukan reformasi birokrasi selama 30 tahun”. Sedang kita baru dua tahun. Itu pun kita sudah kepengen lihat hasilnya. Saya dihadapkan pada rakyat yang sudah tidak sabar. Rakyat maunya besok.
Secara obyektif, ini tidak mungkin. Tapi, tentu saya tidak akan mengatakan bahwa kita juga harus melakukannya selama 30 tahun. Karena meniru itu biasanya lebih cepat. Saya berpikir, kalau Australia membutuhkan waktu 30 tahun, saya yakin Indonesia bisa dicapai dalam kurun 10 tahun berhasil dengan baik.
Apa langkah konkret Anda untuk memperbaiki kinerja birokrasi?
Melalui reformasi, tentunya. Kita mesti mengubah pola pandang penguasa menjadi pelayan atau abdi masyarakat. PNS harus menjadi pelayan profesional. Sebagai pelayan, tugas utamanya adalah menyenangkan masyarakat.
Kita juga mesti melaksanakan manajemen yang berbasis kinerja, yang diwujudkan dalam bentuk kontrak kinerja. Dari bawahan kepada atasan secara berjenjang. Dari irjen kepada menteri, menteri kepada presiden. Di situ tertulis program yang disertai pengawasan.
Adakah kaitannya dengan peningkatan etos kerja?
Saya sedang gencar mengembangkan budaya kerja (corporate culture). Format budaya kerja yang tepat. Mereka mesti sadar misinya sebagai pegawai negeri, aparatur negara, dan tulang punggung negara yang bertugas menjadi pelayan masyarakat. Mereka harus memiliki kesamaan persepsi soal ini.
Sistemnya juga kita benahi, sehingga mereka bisa meningkatkan etos kerjanya. Kesempatan untuk melakukan kejahatan harus dipersempit dengan system, pada manusianya, lembaganya, ketatalaksanaannya, dan pengawasannya. Pengawasan yang saya kembangkan menjadi bagian dari manajemen.
Anda menjanjikan kenaikan gaji PNS sejak awal. Demi kesejahteraan?
Sejak awal saya memang menjanjikan kenaikan gaji. Ketika saya menerima jabatan ini, gaji pegawai negeri itu 668 ribu. Pembayar pajak ketika itu hanya 2,8 juta orang dari 220 juta orang. Mau naikin pakai apa kalau begitu. Sekarang, alhamdulillah, pembayar pajak kita lebih dari 4 juta orang.
Dengan pembayar pajak 4 juta orang ini, saya bisa menaikkan gaji PNS pada 2006, sebanyak Rp1,60 juta. Januari 2007, kita harapkan sudah mencapai Rp1,6 juta. Itu gaji terendah. Insya Allah apabila pembayar pajak ini mencapai 30 juta, saya tak bisa membayangkan betapa makmurnya bangsa ini. Apakah ini lamunan atau khayalan, bagaimana saya bisa mewujudkan hal ini tentunya.
Anda pun mulai mengangkat Pegawai Negeri Honorer
Saya melihat banyak pegawai yang sudah bekerja bertahun-tahun yang belum diangkat menjadi pegawai negeri. Selama ini nasib mereka tidak jelas, seperti terlupakan. Padahal mereka sudah mengabdi dua puluh tahun lebih. Berarti sudah melewati delapan Menpan dan beberapa presiden. Alhamdulillah, sesuai arahan presiden, kita akan atasi masalah-masalah pegawai honorer yang jumlahnya lebih dari 600 ribu untuk diangkat secara bertahap, dari 2005 sampai 2008, dan 2009. Realisasinya disesuaikan denagn kemampuan keuangan negara.
Pengangkatan pegawai honorer ini saya fokuskan pada mereka yang bergerak di dunia pendidikan (guru), wiyata, guru Bantu, dan guru honorer. Pokoknya, semua guru saya perhatikan. Karena mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Selain guru, tenaga paramedis, perawat dokter, dan penyuluh kesehatan, baik yang ada di Puskesmas maupun di pelosok-pelosok desa.
Apa betul Anda memprioritaskan tenaga penyuluh pertanian?
Berikutnya yang saya dorong adalah penyuluh pertanian. Indonesia ini sebetulnya negara agraris. Kalau kita kembali ke pertanian, ya Allah, kita akan hidup sehat wal afiat. Contoh, Sragen, Jawa Tengah. Sekarang, dengan sapi dua ekor, orang sudah bisa hidup. Taruh sapi di samping rumah, Anda bisa hidup dengan sangat berbahagia. Sapinya tiap hari ngasih duit Rp500 ribu. Itu baru kita ngomong kencingnya, belum susunya. Kencing sapi laku 1 liter Rp10 ribu, sementara sapi kencingnya sehari pasti 25 liter. Sebulan berarti dapat 15 juta. Pendapatan penduduk di sana sudah mendekati gaji menteri, ha-ha-ha.
Tapi, mengapa Anda tak mengangkat pegawai untuk jabatan tertentu?
Memang, untuk jabatan tertentu, pekerjaan tertentu, seperti keamanan, kebersihan, pengemudi, tukang kebun, saya tak menerima pegawai negeri untuk golongan itu. Kasihan. Dhalim kalau saya terima mereka. Coba bayangkan, sama-sama tamat SMA, antum jadi satpam, ane jadi tukang ketik. Nantinya, 30 tahun kemudian, saya yang tukang ketik ini mungkin sudah jadi kepala bagian. Antum tetap hormat di pintu gerbang. Tapi, mereka kita rekrut sebagai pegawai lepas.
****
Anak badung, tapi berotak cemerlang. Begitu gambaran masa muda suami Sri Widiati ini. Selama enam tahun menempuh pendidikan dasar, orang tuanya sering dibuat pusing tujuh keliling. Sebab, pada setiap kenaikan kelas, gurunya selalu memberi catatan: “Anakmu pintar, naik kelas. Tapi tolong pindahkan dari sini, karena ia bandel.”
Bukannya risih, ia malah bangga atas kebandelannya.
Kebengalannya terus berlanjut ketika menginjak bangku SMA, mulai jadi aktivis. Saat melanjutkan pendidikan di kota gudeg itu, Taufiq mulai banyak belajar, bergaul dengan sesama remaja dari berbagai daerah. Ia bergaul dengan remaja dari mana saja, Irian, Ambon, dan dari suku-suku lain. Ia pun sempat tercatat sebagai Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Bidang Seni dan Budaya.
Bekas Pengurus Sanggar Antasari, Yogyakarta, ini memiliki bakat di bidang seni dan budaya. dunia teater, pertunjukan seni, atau menulis sajak atau puisi bukanlah hal yang asing baginya. Waktu mahasiswa, ia pernah menyutradarai pertunjukan teater berjudul “Iblis”, karangan Muhammad Diponegoro. Amaroso Katamsi, Chairul Umam, dan Arifin C. Noer tahu akan kemampuan aktingnya. “Jiwa seni 5%, 95% kemauan. Pernyataan, ‘saya tidak berbakat’ yang biasa diucapkan orang-orang, itu justru menghambat,” katanya, mantap.
****
Ada perubahan pola hidup Anda setelah jadi menteri?
Perubahan jelas banyak. Yang berubah pola tidur saya, kurang sekali, setelah jadi menteri. Waktu polisi biasa begadang. Sekarang, lebih sering melayani masayrakat. Tamu saya terakhir bisa sekitar jam 02.00 dini hari. Siapa saja saya terima. Orang datang, ketemu, menyampaikan keluh kesah, persoalan, atau salam saja. Bisa dari LSM, perorangan, dan sebagainya. Ada yang minta sumbangan, sampai minta ongkos buat pulang kampung.
Soal pola makan, bagaimana?
Saya mengutamakan makan pagi dan makan malam. Saya makan pagi setelah selesai mandi, sekitar jam 07.00. Siang saya makan ala kadarnya, seperti biscuit dua-tiga potong. Saya terbiasa disediakan dua gelas jus di siang hari. Siang bahkan saya jarang makan. Saya makan nasi di siang hari kalau hari jumat. Karena kebetulan di sini setiap habis salat jumat kita makan bersama. Jadi, saya ikut makan siang, walaupun sedikit.
Apa kiat Anda agar bisa hidup sehat?
Untuk sehat, dua syaratnya. Pertama, makanlah barang yang sehat. Itu prinsip saya, sekarang 66 tahun usia saya. Tapi, saya tidak mau sombong, silakan pegang saya. Dua, dalam agama yang saya anut mengatakan halalan tayyiban, makanlah barang yang halal dan thayyib. Ini sebetulnya ajaran kesehatan. Makanlah jangan sampai kenyang. Berhentilah sebelum terlalu kenyang. Minumlah sepertiga air, sepertiga benda yang agak keras, sepertiga lagi udara untuk bernafas. Andaikata itu kita lakukan secara konsisten, kita akan menjadi orang yang sangat sehat.
Apa olahraga Anda sekarang?
Dari kecil sampai sekarang saya main badminton. Seminggu dua-tiga kali. Lapangannya ada di belakang rumah. Saya bikin lapangan khusus, ukurannya standar internasional. Atapnya dari pohon hidup, harganya murah, ringan, adem lagi. lawan mainnya adalah pembantu saya, supir, dan keponakan. Jadi, mereka tak bakalan menang, ha-ha-ha. Tapi, main sungguh-sungguh.
Narkotika begitu mengancam kita. Apa komentar Anda?
Begini, narkotika adalah barang yangl uar biasa fantastisnya. Tidak ada satu perdagangan pun di dunia ini yang lebih menguntungkan daripada narkoba. Contoh, satu kilo heroin saja untungnya bisa beratus miliar rupiah. Karena itu, uang keamanan mereka sangat tinggi. Bagi mereka, menyogok miliaran itu sangat kecil. Orang tak bakal kapok dengan keuntungan sebesar ini.
Lalu, apa solusi Anda?
Di sini yang penting adalah ketahanan dari suatu bangsa itu sendiri. Selain itu, law enforcement harus kuat. Sekolah harus ketat. Orang tua harus berperan lebih dominan. Jangan salah, orang yang terkena narkoba itu tak selalu dari keluarga atas. Bisa juga keluarga di bawah. Yang saya lihat adalah berubahnya peranan para pendidik kita. Sekolah-sekolah kita sekarang sedikit sekali mengadakan acara yang menyibukkan para pelajar. Tampak tak ada lagi pekerjaan rumah bagi para siswa, seperti jaman dulu yang seabrek-abrek dan bikin ribet. Banyak aktivitas, tak ada istilah mampir di mall. Kalau sekarang, pelajar kita memiliki banyak waktu luang.
Naluri sebagai pendidik Anda cukup kuat, ya?
Pendidikan, alhamdulillah, nomor satu. Saya belajar agama dan membaca Alqur’an secara otodidak. Saya juga belajar bahasa Inggris sendiri.
Bila tak lagi menjadi menteri, apa yang terlintas dalam pikiran Anda?
Satu hal yang ingin saya sampaikan, jangan pernah merasa memiliki. Itu kuncinya. Kalau orang merasa memiliki, dia takut kehilangan, was-was, khawatir. Saya tidak pernah merasa memiliki apapun. Karenanya, saya tidak akan kehilangan apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar