Kamis, Juli 17, 2008

Anita Lie, Dokter Spesialis Pendidikan

Mengabdikan usia dan tenaganya demi pendidikan. Kesibukannya adalah memberikan pelatihan guna meningkatkan kompetensi para guru. Pengabdiannya pada pendidikan dibuktikannya dengan menyabet sejumlah penghargaan.

Dunia pendidikan di Indonesia kerapkali menguraikan problematika yang tak berkesudahaan. Maklum saja, sektor ini begitu menentukan laju dan masa depan kehidupan sebuah bangsa. Sayangnya, yang menjadi persoalan mendasar dari kondisi pendidikan di Indonesia adalah tidak adanya komitmen semua komponen bangsa untuk menempatkan pendidikan sebagai lokomotif perubahan bangsa.

Persoalan pendidikan juga tak pernah lepas dari sorotan Anita Lie. Pengamat pendidikan ini bahkan tanpa tedeng aling-aling mengatakan, "Sejak Orde Baru dulu, pendidikan hanya dijadikan instrumen untuk agenda politik negara. Sekarang lebih parah lagi, yakni pendidikan dijadikan sebagai mesin uang."


Ia lantas memberi contoh, Kepala Dinas Pendidikan yang ditunjuk bukan berdasarkan kompetensi, melainkan orang yang dekat bupati. Ujungnya adalah sebagai mesin uang atau harus memberikan setoran. "Demikian juga di atasnya, hingga menteri pendidikan yang ditunjuk berdasarkan pertimbangan politis. Padahal, seharusnya kepala dinas pendidikan itu merupakan jabatan karier, bukan politis," tuturnya.

Karena itu, untuk betul-betul mewujudkan anggaran 20 persen bagi kemajuan pendidikan, menurutnya, perlu "pembersihan" dari pengelola pendidikan itu sendiri, khususnya dari praktek-praktek politik praktis. Anita Lie mengaku khawatir, jika anggaran negara untuk pendidikan sebesar 20 persen betul-betul diwujudkan hanya akan terjadi pemborosan.

"Sekarang ini yang mestinya digarap dulu adalah desain atau `blue print`, sehingga penggunaan anggaran yang 20 persen itu jelas dan bukan hanya pemborosan," katanya. Namun, yang lebih lagi adalah, “Komitmen untuk menjadikan pendidikan sebagai lokomotif perubahan. Itu yang paling mendasar," ucapnya, menegaskan.

Dia mengakui, dalam dimensi kultural, kesadaran publik sangatlah berperan bagi tumbuhnya pendidikan. “Tetapi yang harus kita kritisi adalah partisipasi masyarakat menghadapi hegemoni negara dan kekuatan pasar, karena terjadi perubahan sosial politik pada partisipasi masyarakat itu sendiri yang semula bagus menjadi vakum,” katanya.

Persoalan Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu kebijakan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) juga tak luput dari sasaran kritik dari salah satu tokoh pendidikan ini. “Masih banyak sekali kerancuan-kerancuan dalam kebijakan UN tersebut, termasuk juga dalam pelaksanaannya,” tutur ibu satu anak ini.

Terlahir untuk Mendidik

Anita Lie adalah seorang Doktor Pendidikan yang juga tengah menjabat Sekretaris Jenderal Dewan Pendidikan Jawa Timur. Dari tangannya yang gemulai, telah lahir sejumlah buku cerita anak-anak, buku-buku dan artikel-artikel pendidikan. Kredibelitas Anita sebagai pakar pendidikan serta narasumber pada berbagai pelatihan guru.

Ia mendapatkan gelar Master of Arts dalam bidang Sastra Inggris dan Doktor Pendidikan dalam bidang kurikulum dan pengajaran dari Baylor University. Sebelumnya, ia dikenal sebagai dosem di program Sastra Inggris Universitas Kristen Petra, Surabaya, Jawa Timur, dari 1987 sampai 2001. Karier akademiknya sebagai Dekan Fakultas Sastra dipangku mulai dari 1999 sampai 2002.

Enam tahun sebelumnya, ia sempat menjadi dosen terbang di sejumlah negara di Asia, seperti di Singapura, Jepang, Korea, Taiwan, Filipina, Brunei Darussalam, Thailand, dan Malaysia. Dia pernah menjadi dosen tamu di beberapa universitas ternama, di antaranya Yonsei University di Korea, Kwansei Gakuin dan Momoyama Gakuin di Japan, Fu Jen University dan Soo Chow University di Taiwan, Chinese University dan Lingnan University di Hong Kong, Assumption University dan Chulalongkorn University di Thailand, Ateneo de Manila University dan De La Salle University di Filipina, dan University of Brunei Darussalam di Brunei, dan Universiti Putra Malaysia dan Univiersiti Kebangsaan Malaysia.

Ia seperti dilahirkan untuk mengabdi di dunia pendidikan. Pengabdiannya pada pendidikan dibuktikannya dengan sejumlah penghargaan, di antaranya penghargaan The Rotary International Ambassador of Good Will, PEO, dan ACUCA Fellowship. Pada 2000 dia memperoleh penghargaan SEAMEO Jasper Fellowship untuk kategori penelitian terbaik dari pemerintah Kanada, untuk penelitiannya dalam bidang kurikulum bahasa Inggris di Indonesia.

Sejak meletakkan jabatan akademiknya di Universitas Kristen Petra, bukan berarti komitmennya pada dunia pendidikan luntur begitu saja. Saat ini, wanita yang pernah mengajar Curriculum Design and Implementation di SEAMEO RELC, Singapura, ini berkarya sebagai anggota Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), Direktur EduBusiness Consulting, Heritage Language School, dan dosen luar biasa Universitas Katolik Widya Mandala. Dia juga masih aktif berkarya di pelbagai lembaga pendidikan, seperti anggota Dewan Pakar Propinsi Jawa Timur dan Sekretaris Jenderal Dewan Pendidikan Propinsi Jawa Timur untuk periode 2003-2008.

Menyiapkan Pendidik Terlatih

Hingga sekarang pun, kesibukan Anita tak lepas dari dunia pendidikan. Bahkan, ia ibarat dokter bedah yang dengan sigapnya membedah dan menelaah pelbagai kekurangan di sektor strategis ini, termasuk peningkatan kualitas tenaga pendidiknya.

Tempo hari, ia menjadi salah satu tim fasilitator sekaligus pembicara dalam Program Pelatihan Guru di daerah Riau, Sumatera Utara, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Bersama Yayasan Tanoto, yang didirikan oleh pengusaha Sukanto Tanoto, ia melatih sekitar 40 tenaga pendidik sekolah dasar dan menengah terpilih hingga sepekan penuh.

Macam-macam materinya. “Kami ajarkan metodologi pembelajaran itu bagaimana, pengelolaan kelas, mengajar matematika/ sains dengan menarik itu bagaimana, mengajar bahasa dan IPS dengan menarik bagaimana,” kata Anita, dengan penuh antusias. Agar lebih efektif, program pelatihan tersebut juga mengikutsertakan sejumlah alat peraga yang kreatif inovatif.

Apa sih yang akan Anda rubah? Saat ditanya demikian, Anita dengan sigapnya menjawab, “Pendidikan. Sebab, kalau dilihat dari segi kompetensinya, secara umum guru-guru kita masih parah. Guru-guru muda itu banyak yang cerdas, tapi mereka banyak yang masih menggunakan ejaan lama.” Kali ini wajahnya menyiratkan keseriusan sekaligus keprihatinan mendalam. Sebuah ironi di tengah modernitas yang mengguncang Indonesia.

Sebagai “dokter” pendidikan yang bergerak di wilayah informal, Anita terpanggil untuk melakukan sebuah langkah yang disebutnya proses penguatan dan pemberdayaan. Di satu sisi, ia sadar akan keterbatasan kekuatan yang dimilikinya sebagai pekerja sosial. Tidak ada yang namanya power untuk melahirkan sebuah kebijakan. “Tapi, di sisi lain, saya percaya, tidak semuanya harus dilakukan dari sisi pemerintah,” tuturnya.

Tanpa kenal lelah, ia mengunjungi satu kota ke kota lainnya di pelosok negeri untuk menyelenggarakan pelatihan ini. Melalui kegiatan sejenis, Anita berharap agar peserta nantinya dapat memiliki pemahaman konsep-konsep, paradigma, dan best practise untuk selanjutnya mengembangkan kompetensi dan profesionalisme mereka serta menjadi agen perubahan dan membawa multiplier effect bagi guru-guru yang lain.

Tak hanya memberikan pelatihan bagi, Anita secara rutin mengunjungi sekolah-sekolah dimana para guru itu bertugas. “Saya bisa melihat bagaimana mereka mengimplementasikan apa yang sudah mereka dapatkan,” kata Anita, dengan senyum berkembang.

Anak didik juga tak lepas dari perhatiannya. Setiap kali bertandang, ia biasanya menyapa anak-anak sekolah, menanyakan kelas berapa, berikut sejumlah pertanyaan untuk mengetes kemampuan intelegensia sang anak. “Waktu tanya anak ini kelas berapa, saya kan tahu kurikulum SD ini, Misalnya kelas empat ini sudah pecahan dan segala macam ya. Kalau kelas dua kelas tiga pembagian perkalian, saya tes. Saya tanya itu untuk mengetahui standar kompetensi di daerah,” ucapnya, panjang lebar. Di luar ataupun di dalam kelas, Anita begitu mudahnya akrab dengan mereka.

Tanpa sungkan, ia bahkan acapkali masuk ke kelas saat pelajaran berlangsung. Kali ini, yang menjadi sasaran pengintaiannya adalah guru. “Saya duduk di belakang. Saya observasi guru ini bagaimana mengajarnya, interaksi dengan anak bagaimana,” tuturnya, lagi.

Melalui peran kecilnya ini, Anita tak serta merta menargetkan hal yang muluk-muluk. Apalagi, sampai menyelesaikan satu demi satu persoalan di bidang pendidikan. Dengan penuh optimisme, ia berucap, “Saya tidak mennargetken semua masalah ini akan sudah ada solusinya dan beres. Tapi peran Tanoto, guru-guru, dan peran kami sebagai fasilitator ini pasti ada sebagian dari permasalahan ini yang bisa diselesaikan.”

Kendati sebuah peran kecil, Anita tentu saja telah banyak berkorban untuk hal ini. Ia mengaku begitu disibukkan dengan kegiatan ini, apalagi sampai dengan serangkaian roadshow ke pelbagai daerah. “Kegiatan seperti ini seperti tidak ada hentinya. Tapi, saya tetap menikmatinya,” kata perempuan berusia 42 tahun ini.

Bagaimana dengan waktu bersama keluarga? Wajah Anita tak beriak sedikitpun. Beberapa detik kemudian, bibirnya membentuk sebaris senyum. “Untuk acara keluarga, kami campin. Kebetulan kami bertiga suka kegiatan outdoor. Dulu, ia begitu gemar mendaki gunung. Belakangan, kesenangannnya ini mesti takluk oleh usianya yang terus bertambah. “Sekarang, masih aktif berenang seminggu tiga kali,” katanya, tetap dengan wajah penuh semangat.

Ketika waktu bersantai bersama keluarga telah lewat, ia kembali sibuk dengan rutinitasnya yang padat. Dalam angannya, terbayang sebuah masyarakat yang tengah menuju kehidupan yang lebih bersih dan sehat. Sebuah proses pendidikan anak bangsa yang tidak tercemari.

Tidak ada komentar: