Kamis, Juli 24, 2008

Meluncur di Atas Papan Selancar

Suatu sore di tepi Danau Sunter, Jakarta Utara. Barny Budiwarman bergegas mengenakan mengenakan rompi pelampung berikut papan ski air di kedua kakinya. Beberapa menit kemudian, pengusaha restoran ini menceburkan diri ke air danau yang hijau. Seutas tali yang terhubung ke speedboat ia genggam. Speedboat mulai melaju dengan kecepatan 30 kilometer per jam. “Wussshhh....“ Tubuhnya pun terseret speedboat dengan posisi tengkurap.

Saat speedboat mempercepat lajunya, ia pelan-pelan mengambil posisi jongkok dan akhirnya berdiri dengan kedua kaki yang menjejak di sebilah papan selancar. Ia lalu meliuk-liuk di atas papan luncurnya, menari-nari di belakang speedboat yang melaju dengan kecepatan tinggi.

Puas menari-nari, Barny, sapaan akrabnya, mencoba melompati gelombang yang tercipta di belakang speedboat. ”Hup...” Sayang, ia gagal mendarat. Ia pun terhempas ke air hingga tubuhnya tenggelam ditelan air. Dalam hitungan detik, Barny bangkit kembali di atas papan seluncur dengan atraksi-atraksi yang mendebarkan.

Olahraga wakeboarding sejatinya merupakan perpaduan dari ski air, selancar (surfing), skateboard, dan snow board. Permainan ini masih dianggap baru di Indonesia, mesik lahir dan populer di Amerika Serikat, sekitar 15 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, berbagai kalangan mulai meminati permainan yang sarat tantangan dan bisa memacu adrenalin ini.

Di balik gerakan-gerakannya yang mendebarkan, wakeboarding menawarkan sensasi bagi para penggemarnya. Barny yang juga menggemari jet ski, ski air, dan berkuda ini menceritakan, "Momen yang paling menyenangkan adalah saat pertama kali bisa berdiri di atas papan." Untuk bisa berdiri di atas papan memang membutuhkan kemampuan menjaga keseimbangan. Apabila sudah bisa meluncur sambil berdiri, tinggal mencoba gerakan lain yang lebih sulit.

Barny mengaku sedang belajar melakukan putaran 360 derajat. "Saya masih belajar," kata pria bertato ini, jujur. Dulu, kenangnya, ia mesti belajar sedikit demi sedikit karena kebetulan para instrukturnya yang merupakan atlet ski air lokal, juga baru bisa bermain wakeboard. Namun, sekarang sudah ada beberapa instruktur yang bahkan bertaraf internasional.

Untuk bisa bermain wakeboard, para penggemarnya harus mengeluarkan US$ 1.000-an dari kantong guna membeli papan, sepatu, tali, baju pengaman, dan helm, yang bisa dipesan lewat klub olahraga ini, yaitu Gravity Park. Ini belum termasuk uang untuk sekali berlatih yang Rp 400 ribu per latihan selama satu jam. Biaya ini tampaknya sebanding dengan manfaat maupun sensasi yang didapatkan.

Di kalangan para penggemarnya, wakeboarding dianggap pas untuk melepas stres. "Saya sering sekali ke sini kalau sedang penat," ungkap Natasha, seorang manajer di perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan, yang sebagian waktunya habis untuk memelototi grafik pergerakan mata uang. Siang hari ia kerap meluncur ke Sunter, untuk bermain wakeboard, dan setelah itu kembali lagi ke kantor. Tuntutan pekerjaan membuat Tasha sering pulang pukul 04.00 dini hari. Maklum, ia mesti menyesuaikan waktunya dengan jam buka pasar uang di belahan dunia lain, seperti AS, Hong Kong, dan Jepang.

Barny pun demikian. Saat stres mendera, ia biasanya langsung pergi ke Sunter dan meliuk-liuk di atas air. Setelah pikirannya kembali segar, baru ia kembali ke kantor. Bahkan, dulu, sebelum kesibukan kerjanya seperti sekarang, Barny biasa berlatih dua kali sehari, yakni pagi, sebelum ke kantor, sekitar pukul 08.00-09.00, dan selepas siang, pukul 14.00-15.00. "Enak sekali berlatih pagi hari karena airnya masih sangat tenang," katanya, mengenang.

Selain mendatangkan kebahagiaan, di sisi lain, wakeboarding juga kerap menyisakan rasa sakit di sekujur badan. Namanya juga olahraga ekstrim, resikonya pun tergolong ekstrim. Anda harus mempelajari teknik secara benar untuk mengurangi resiko. Bila tidak, tak jarang para pemain wakeboard harus menderita patah tulang, terkilir, hingga gegar otak. Tasha mengaku kakinya sempat terkilir dan memar-memar di permukaan kulitnya. "Saat terbanting di air, rasanya kepala seperti menghantam papan. Sakit juga. Itu sebabnya saya sering membawa Panadol di dalam tas," katanya.

Tasha masih beruntung. Koleganya, Barny bahkan sampai gegar otak akibat terhempas di danau sepanjang 1,2 kilometer itu. "Saya mengalaminya tahun 2002," ungkap Barny, sambil terkekeh. Tom, seorang atlet ski air yang kini menggilai wakeboard, yang juga kolega Barny, patah salah satu tulang rusuknya. Namun, pria berumur 35 tahun ini tak kapok. Beberapa pekan kemudian ia sudah kembali meliuk-liuk di atas wakeboard. Permainan ini memang menantang nyali. "Kalau ragu-ragu biasanya malah cedera," tandas Barny.

Begitulah. Air ibarat terapi yang mujarab untuk segala kelelahan yang dirasakan para pekerja profesional maupun eksekutif dan pemilik perusahaan. Bagi mereka, tak ada tantangan sekaligus pelepas stres yang lebih baik selain air, meski untuk itu mereka harus merogoh kocek dan terancam terhempas yang mengakibatkan terkilir, patah tulang, bahkan gegar otak. "Itulah uniknya olahraga air," ungkap Tasha, ringan. Risiko terhempas malah menjadi daya tarik tersendiri. "Ada risikonya malah jadi seru. Kalau tidak mau berisiko, berarti harus bermain dengan benar," ungkap Barny berfilosofi.

Menurut teori, bermain wakeboard memang jauh lebih mudah bila dibandingkan dengan ski air. Meskipun demikian, tetap diperlukan latihan khusus dan keahlian yang tinggi untuk berkreasi dan mencoba gerakan-gerakan akrobatik yang agak esktrim. Selain menjaga keseimbangan di atas papan dengan ukuran normal 23 x 20 cm, gerakan loncat, berputar, atau bersalto akan membutuhkan waktu lebih dari satu bulan untuk menguasainya.

Adrenalin yang terpacu, permainan penuh atraksi dan acrobat di atas air, serta gerakan-gerakan ekstrim lainnya membuat permainan ini begitu mengasyikkan untuk dicoba dan dipelajari. Silakan mampir di Danau Sunter dan rasakan hempasan papan selancar yang mengasyikkan. Dapatkan pengalaman baru yang penuh sensasi.

Tidak ada komentar: