Kamis, Juli 17, 2008

Irwandi Yusuf: Menuju Aceh Green

Damai dan hijau. Dua kata yang menjadi gambaran tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) masa depan. Pasca penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, 15 Agustus 2005, Aceh meretas jalan-jalan penuh damai. Tonggak sejarah baru Aceh yang sejuk dan penuh damai ini dilanjutkan oleh Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar selaku Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi NAD yang terpilih pada pemilihan langsung, Desember 2006 lalu.

Kemajuan Aceh pascakonflik dan pascatsunami di bawah kepemimpinan Irwandi, panggilan akrab pria kelahiran Bireun, 2 Agustus 1960, ini tidak hanya dielu-elukan rakyat Aceh, melainkan juga bagi bangsa ini dan warga dunia secara keseluruhan. Tak terelakkan lagi, perdamaian di Aceh tercipta juga berkat keterlibatannya. Selanjutnya, adalah komitmen semua pihak pula yang menolong Aceh ketika bencana tsunami, yang paling tragis dalam sejarah peradaban, meluluhlantakkan Aceh.

Setelah damai melingkupi Serambi Mekkah, Irwandi merintis sebuah desain besar demi terwujudnya aceh yang sejahtera dan hijau. Hal ini tertuang dalam Aceh Green Design, yang sempat ia presentasikan di depan peserta Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Bali, Desember 2007 lalu. Untuk itu, ia telah mengalokasikan dana ratusan miliar rupiah untuk menghijaukan kembali sekitar juta hektar hutan yang rusak, melalui program Aceh Green mulai tahun ini. Selain itu, ia berkomitmen untuk mempertahankan tiga juta hektar hutan, di antaranya melalui penghentian semua kegiatan penebangan (moratorium).

Tentu, program ini beriringan dengan tekadnya untuk membangkitkan kembali ekonomi yang berbasis kerakyatan. "Tahun 2007 saya gunakan sebagai tahun persiapan untuk kebangkitan ekonomi rakyat yang nanti dimulai tahun 2008," katanya. Ia pun menerapkan kebijakan pemberian tanah kepada rakyat Aceh, demi kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi warga yang dipimpinnya.

Ditemui di rumah pribadinya yang asri di kawasan Lamtineung, Banda Aceh, Irwandi juga menjelaskan tentang alternative development program. “Saya kira langkah ini akan berhasil,” katanya kepada S.S Budi Rahardjo dan Qusyaini Hasan dari HealthNews. Saat wawancara, ia ditemani oleh Direktur Narkotika Polda NAD, Kol (Pol). Drs. Ali Sujardi, MM dan beberapa staf pribadi Irwandi. Berikut petikan lengkapnya:

****

Selama ini Aceh selalu diidentikkan dengan ganja. Anda risau?

Aceh memang dikenal sebagai daerah ganja. Tapi, ini bukan salah peta atau rakyat Aceh. Ganja tumbuh sendiri. Ada pula orang yang beli. Dulu, saya sudah tahu ganja sejak kecil. Kadang saya dengar orang tua masak pakai serbuk atau biji ganja. Tidak ada yang melarang-larang waktu itu. Kemudian karena ada pasar, orang menggunakan ganja untuk rokok, sehingga harganya pun naik. Dengna lancarnya transportasi, ganja bergerak keluar. Daerah yang terkenal dengan ganja yang saya tahu itu Aceh Tenggara, Pulau aceh. Aceh Besar, Bireun.

Karena budidaya atau memang tidak ada pekerjaana lain?

Masyarakat tentu saja kalau itu dilarang, akan mengkultivasinya. Orang menanam ganja, karena tidak ada pekerjaan lain. Mereka tahu itu melanggar hukum. Tapi mereka tidak memiliki pekerjaan lain. Sama dengan sekarang, banyak orang melakukan pembalakan liar karena tidak ada pekerjaan lain. Celakanya, orang yang biasa memegang uang besar ini, begitu diberi pekerjaan lain tidak mau. Tidak imbang. Mereka tidak tertarik.

Lalu, alternative development menjadi wacana

Ada satu cara, katakanlah introduksi tanaman pengganti ganja. Saya kira ini akan berhasil. Dengan adanya penegakan hukum, mau tidak mau mereka akan berpikir lain. Namun, jangan suruh mereka menanam dengan hal yang tidak bergengsi, seperti singkong. Selain tidak imbang secara penghasilan, juga tidak ada pride di situ. Mereka butuh pertanian atau tanaman alternatif yang selain menghasilkan, juga ada gengsinya.

Apa kira-kira tanaman pengganti ganja tersebut?

Saya ajukan ke Kepala Pelaksana Harian BNN (Badan Narkotika Nasional-Red), coba orang-orang ini kita berdayakan, beri modal untuk menanam buah-buah yang tidak terlalu lama menghasilkan, lumayan harganya, dan buahnya eksotik. Buah naga, misalnya. Buah ini bagus. Bisa diekspor ke Malaysia, India, singapura, ke Thailand juga. Kita cari nanti.

Kami dengar, Aceh juga terkenal dengan kopi.

Kopi bisa saja digunakan untuk alternative development. Tapi harus dilihat kondisinya dulu. Mungkin di Aceh Tengah dan Bener Meriah lebih cocok kopi karena tanahnya mendukung. Tapi di daerah lain, belum tentu. Mungkin dengan tebu atau tanaman lain yang harganya dijamin oleh pemerintah. Intinya, tanaman ini harus memiliki nilai ekonomi tinggi.

Apa betul, Starbuck berencana melakukan pengepakan di sini?

Ada juga rencana Starbuck ini. Mereka yang beli 50% kopi Aceh. Mereka akan meningkatkan pembelian dan pengolahan. Mereka juga akan melihat pengepakan lain. Banyak juga konsorsium yang bersedia, tapi kendalanya di infrastruktur. Misalnya, listrik. Mesin-mesin tak akan bergerak tanpa aliran listrik memadai.

Lalu, apa pendekatan yang Anda lakukan terhadap masyarakat tentang alternative development ini?

Mesti holistik. Apalagi kalau kita lihat ketika ngomong di Bali, Aceh Green Vision, saya sampaikan apa yang harus dilakukan, bagaimana keterlibatan masyarakat, serta pola pembagiannya. Pemerintah Thailand telah membantu, tapi pendekatannya holistik. Saya salut juga dengan Mae Fah Luang Foundation. Mereka serius membantu Aceh, sehingga saya juga ikut senang. Tidak ada mereka bilang, ‘Hei para penanam ganja, berhentilah menanam.’ Mereka masuk ke daerah, mencari masalah yang dihadapi masyarakat, oh, banyak malaria. Berantas malaria sambil mendekati masyarakat. Dia ajukan usulan dan berikan lapangan pekerjaan. Tentu saja infrasturktur masuk dalam hal itu.

Apakah Anda turut menyiapkan konsep/ program atau menunggu Doi Tung atau Mae Fah Luang tumbuh di beberapa daerah?

Andaikata kami punya sumber daya atau dana tak terbatas, kami akan buat sendiri. Tapi, kita minta bantuan pemerintah pusat. Lainnya kita kerjakan. Mungkin kalau Aceh sudah mengoperasikan hal itu, bisa menjadi contoh yang baik.

****

Dokter hewan lulusan Universitas Syiah Kuala ini dapat dikatakan sebagai kepala daerah yang begitu agresif dan bersemangat dalam mengurusi hutan. Bahkan, ia termasuk salah satu bintang di arena Konferensi pbb untuk Perubahan Iklim, di Bali, beberapa waktu lalu. Sebelumnya, ia mendeklarasikan Moratorium Logging Hutan sebagai upaya menjaga kelestarian hutan di provinsi paling barat di wilayah Tanah Air ini.

Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat Aceh. Latar belakang pendeklarasian ini juga menyertakan penyusunan kembali Strategi Pengelolaan Hutan Aceh melalui redesian (penataan ulang), reforestasi (penanaman kembali hutan), dan reduksi deforestasi (menekan laju kerusakan hutan).

Bencana alam banjir, tanah longsor, dan lainnya yang terjadi di beberapa kabupaten/kota di Aceh selama ini, merupakan pertanda bahwa pengelolaan hutan di Aceh harus ditata kembali.

”Mereka yang menjaga hutan berhak memanennya. Dunia juga wajib membayar jasa hutan Aceh yang menyerap emisi karbon. Hutan Aceh ini, kan seperti kakus. Siapa yang memakai jasanya, ya harus bayar,” kata alumni College Veterinary Medicine, Oregon State University, Amerika, ini berapi-api. Saat ini, proposal perdagangan karbon hutan Aceh diaudit tim panel dari PBB, dan siap untuk ditawarkan ke pasar internasional. Dalam beberapa tahun mendatang, ketika terbukti ada penurunan emisi karbon berkat hutan Aceh, pemerintah Aceh bakal memanen dana yang tak sedikit.

****

Soal pembalakan liar, ada program prioritas yang Anda terapkan?

Kalau bisa simultan. Tapi, tahun 2008, saya sudah alokasikan dana Rp 800 miliar untuk land reform. Saya sudah ngomong dengan presiden, kalau kita belum ada Undang-undang Land Reform, kita bisa gunakan cara lain. Misalnya, masyarakat yang belum punya tanah, kita beri tanah. Kita juga beri modal untuk berkebun. Nah, modal itu bisa juga berasal dari pemerintah, dan kita mengharapkan partisipasi dari swasta.

Bukan berarti masuk Aceh lalu mempekerjakan rakyat aceh supaya mereka dapat pekerjaan, tidak. Mereka mesti bikin pasma, pasma aturan aceh adalah 50%, aturan aceh adalah 50%. Jadi, sama banyak dengan yang dimiliki masyarakat. Lebih banyak dari yang sudah-sudah kelibatannya. Jadi, dengan demikian, tidak ada orang yang mau capek-capek menebang dan memanggul kayu. Tidak ada lagi. Saya juga tahu, masyarakat sipil banyak. Mereka cuma dapat Rp 50 ribu sehari, sampai lecet-lecet.

Anda termasuk salah satu gubernur yang menjadi peserta Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di bali. Apa dampak psikologisnya?

Kami hanya hadir. Yang diusung pemerintah itu red. Saya dukung red. Tapi, menurut saya, ini tidak menyelesaikan masalah. Cuma menghindari penebangan hutan. Menanam hutan enggak disitu. Selanjutnya, adakah program agar masyarakat tidak menebang hutan? Kami beri solusi yang lebih gres, lengkap dengan clean development-nya. Ini sudah sampai ke tangan PBB. Sekarang di kalangan atas gagasan ini sudah mulai dikembangkan.

Apakah banjir yang terjadi karena illegal loging atau infrastrukturnya?

Pertama, karena kondisi tanah Aceh yang terjal. Kedua, disebab bukan oleh illegal logging, tapi oleh legal logging yang dilakukan oleh perusahaan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan-Red) di masa lalu. Mereka tebang semua hutan. Illegal logging yang dilakukan masyarakat tidak seberapa banyak. Kenapa baru sekarang banjirnya? Pohon itu selain menahan hujan dengan daunnya agar tidak jatuh langsung ke bumi, juga daun itu yang membusuk jadi humus. Kalau di hutan, humus ini semeter dalamnya. Kalau pohon ditebang, humusnya tidak langsung pergi. Kalau hujan, masih bisa menyerap air. Tapi, karena tidak ada pohon lagi, tahun ke tahun, apalagi kalau terjadi kebakaran, humus hilang. Begitu hujan, dengan kemiringan yang curam, langsung menerjang sungai. Sungai enggak muat, terjadilah banjir.

Ini pekerjaan manusia puluhan tahun lalu. Sekarang mulai terasakan dampaknya. Ditambah lagi dengan illegal logging. Kalau kita melihat dengan jujur, kehilangan hutan itu bukan pada saat illegal logging. Saat itu, tahun 2000, puncak kehilangan hutan aceh 200 ribu hektar per tahun. Termasuk industri pulp, nebang tapi tidak nanam. Yang parah adalah HPH.

Karena itu, Anda kumandangkan moratorium?

Saya sudah cinta mencintai hutan sejak lama. Maka, sekarang saya umumkan moratorium logging. Orang lain melihat hutan dengan uang. Dalam strategi Aceh Green, ada daerah-daerah yang harus kita kembalikan. Kami punya satu juta hektar lahan rusak. Ini juga bisa dikatakan blessing in disguised. Pada saat kita perlu jalan keluar untuk menyelesaikan ekonomi rakyat, ada yang bersedia. Tapi dia enggak mau, cara ini digunakan untuk kegiatan ekonomi yang tidak ramah lingkungan. Tapi, ini ramah lingkungan.

Apa esensi dari moratorium ini?

Tidak ada lagi penebangan hutan. Rakyat Aceh bisa makmur tanpa tebang hutan. Bahkan, kami rencanakan hutan akan kembali, terutama hutan yang dekat dengan tempat kita tinggal. Kita tambah hutan di pinggirannya, juga daerah aliran sungai. Pembalak tidak peduli daerah aliran sungai atau bukan. Ini memang tidak mudah. Butuh komitmen jangka panjang.

Sejauh ini bagaimana pelaksanaan di lapangan?

1000 polisi hutan diangkat untuk membantu penegakan moratorium, 1000 lagi akan diangkat tahun 2008 ini. Memang masih ada saja penebangan liar di lapangan. Kami sudah membicarakan hal ini dengan aparat penegak hukum agar hukum ditegakkan di sana.

Soal rencana bagi-bagi tanah bagaimana?

Banyak rakyat aceh yang belum punya tanah. Kami akan berdayakan masyarakat ekonomi kampung. Mereka banyak jadi pegawai negeri, petani sawah, dan sebagainya. Kepada kampung-kampung kami berikan tanah dari puluhan hingga ratusan hektar. , bukan kepada individu, tapi kepada kampung atau muhrim. Tanah ini tanah rusak, bukan tahan hutan, untuk dikultivasi. Ditanami lagi. Kalau ada hti yang berminat, tolong biayai masyarakat untuk menanami tanah ini.

Anda yakin kebijakan ini tidak terlalu memanjakan masyarakat?

Tidak. Saya kira mereka sudah cukup lama dipinggirkan di masa lalu, jadi buruh, tukang cuci, tukan panjat kelapa orang. Cukuplah. Sekarang jadi toke-lah. Jadi, dalam Aceh Green Design saya, dikenal model pelibatan masyarakat dengan istilah public private partnership (PPP). Jadi, diatur dengan sebuah aturan. 50% untuk masyarakat. Perusahaan inti yang bina. Hasil panen juga bisa dijual ke perusahaan inti. Kemudian, kami minta 15% dari keuntungan bersih untuk dikembalikan ke pemerintah Aceh dalam rangka pemeliharaan hutan.

Targetnya untuk meningkatkan pendapatan per kapita?

Harapan kami, setiap orang akan mendapat penghasilan sekitar Rp 1 juta setiap bulan. Setiap orang, bukan satu keluarga. 2008 sudah mulai bergerak. Dana sudah disiapkan. Untuk tahun pertama, kami rencana membuka lahan 200 ribu hektar. Tapi, untuk penghutanan kembali, tak bisa mengambil dana APBD Aceh. Mestilah ada orang lain yang ngerti, misalnya pemerintah pusat melalui Menteri Kehutanan. Juga untuk tanaman rakyat, dari Medan sudah ada yang tergerak untuk membantu.

****

Bapak lima anak ini sebelumnya dikenal sebagai salah satu tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada tahun 2000, misalnya, ia menjadi Staf Khusus Psy War Komando Pusat dan menjadi anggota Tim Monitoring GAM. Suami Darwati A. Gani ini juga sempat menjadi Koordinator Juru Runding, Staf Ahli Urusan Khusus Kontrak Intelijen Komando Pusat TNA, bahkan menjadi Wakil Senior GAM untuk Aceh Monitoring Mission.

Keterlibatannya dengan gerakan separatis ini sempat pula mengantarkannya sebagai pesakitan di hotel prodeo. “Kami kaget juga waktu ditangkap,” kata sang istri, Darwati. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, ini pun ditahan selama 19 bulan. Kekagetan yang sama ia rasakan ketika secara tak terduga menjadi ibu pejabat. “Dulu ibu rumah tangga biasa, tiba-tiba jadi ibu pejabat dengan segala kesibukan, tugas yang begitu banyak,” katanya sambil tersenyum.

Sebagai kepala keluarga, Darwati menilai Irwandi sebagai pribadi yang terbuka dan memiliki perhatian yang tinggi terhadap keluarga. Ia pun suka menceritakan segala hal yang dialaminya kepada keluarga. “Mungkin tidak semua, ya. Ia tidak biasa menceritakan hal yang bisa membuat keluarga khawatir,” kata Darwati. Obrolan kami pun terus berlangsung sambil sarapan pagi bersama.

****

Anda tampaknya senang incognito ke daerah-daerah. Kapan waktu untuk keluarga?

Ya, waktu di rumah. Ha-ha-ha. Tidak tentu, kalau tidak keluar daerah, ya di rumah. Di rumah pun tidak banyak waktu juga.

Waktu istirahatnya bagaimana?

Saya lebih sering tidur dini hari jam 2.00, bahkan sampai pagi sekitar jam 4.00. Kadang salat subuh kesiangan. Biarkan saja alamiah. Tidak usah dilawan. Tapi, tetap diusahakan istirahat cukup. Jika tidak, biarkan saja. Tapi, dengan aktivitas yang banyak, justru saya jarang sakit.

Apa rahasia tetap fit?

Tidak ada. Dulu memang suka karate waktu muda. Sekarang sudah enggak lagi. Makan saya sedikit. Agar tidak senewen, kalau mau marah, ya marah saja. Ha-ha-ha.

Makanan kesukaannya apa?

Tidak ada. Kalau bisa hidup ini tanpa makan, saya lebih suka.

Apakah ada perubahan pola hidup dari sebelum jadi pejabat sampai sekarang?

Saya jadi malas makan. Tapi, perut tetap gede. Saya paling benci kalau diundang untuk dinner. Belum tentu saya suka. Saya tidak biasa makan cepat, lalu tinggalkan itu meja. Selain itu, menurut saya, kalau mau berunding atau apa, jangan diganggu dengan acara makan.

Apa musik yang paling digemari?

Waktu muda, saya suka slow rock, musik jaman dulu, 70-80-an. Sekarang, kadang suka klasik. Cuma, kadang boring juga. Balik lagi ke slow rock.

Masih suka menikmati musik di mobil?

Di mobil saya paling sering dengarkan musik. Sambil nyetir, itu juga bagian dari refreshing.


Tidak ada komentar: