Kamis, Juli 17, 2008

Irwan Hidayat: "Paling Enak Jadi Presiden”

Kembali ke alam, untuk sehat, dan bahagia. Kalimat pendek ini mengalir dari Irwan Hidayat ketika disinggung soal filosofi perusahaan jamu yang dipimpinnya, Sido Muncul. Sebagai bos di perusahaan jamu raksasa, ia mengangankan nahkodanya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Tidak lagi menjadi angan semata, keberadaan Sido Muncul pun begitu terasa dalam denyut nadi kehidupan masyarakat.

Tidak hanya menghadirkan produk-produk berkelas yang aman dan berkhasiat, tetapi juga membaur dengan masyarakat melalui program Mudik Lebaran Gratis para penjual jamu, serta penganugerahan penghargaan bagi insan-insan berdedikasi tinggi di bidang kemanusiaan. Di antara semua itu, perusahaan yang didirikan oleh Ny. Rakhmat Sulistio pada tahun 1951 ini senantiasa menjaga kualitas produk, melahirkan berbagai inovasi, dan mengakomodasikan kebutuhan kesehatan masyarakat.

Sebagai generasi ketiga, Irwan, panggilan akrabnya, mampu menjadikan Sido Muncul sebagai pemain besar dalam industri jamu nasional. KINI, perusahaan yang punya lebih dari 150 produk ini tumbuh rata-rata 30-40 persen tiap tahun. Seiring dengan itu, berbagai penghargaan juga telah diraih, seperti Kehati Award, Perusahaan Teladan, Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA), dan Merek Dagang Unggulan Indonesia.

Semua prestasi di atas tak dapat lepas dari ide-ide segar pria kelahiran Yogyakarta, 23 April 1947 ini yang ingin produk Indonesia benar-benar menjadi tuan rumah di negeri sendiri. "Di Indonesia, apa saja kita miliki, kecuali satu: kepercayaan masyarakat terhadap produknya sendiri," katanya kepada Qusyaini Hasan, Irwan Duse, dan SS. Budi Rahardjo dari HealthNews ketika ditemui di ruang kerjanya di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Berikut petikannya:

****

Siapa yang memberikan nama Sido Muncul pada perusahaan ini?

Nenek saya yang memberi nama ini. Sido Muncul ini artinya impian yang terwujud. Kalau diterjemahkan menjadi muncul. Kalau arti yang tersirat menjadi terwujud. Sebuah harapan yang terkabul, begitulah kira-kira maknanya.


Apakah nama ini juga dimaksudkan sebagai doa?

Dulu saya berpikir nama ini kok aneh ya, enggak bagus. Tapi sekarang saya memahami betul bahwa nenek saya waktu memberi nama itu sebenarnya dituntun sama Tuhan, karena bukan hanya impian perusahaan saja terwujud, tapi siapa saja yang terlibat didalamnya, impiannya juga harus terwujud. Dan setiap orang yang berhasil, apa saja, lulus sekolah, dapat pacar, dapat istri, bisa naik pangkat, atau apapun itu, sebenarnya selalu menyebutnya Sido Muncul. Jadi merek yang ada di hati setiap orang agar impiannya dapat terwujud.


Bagi Anda secara pribadi, impian ini juga sudah terwujud?

Ya, kalau buat saya, apa yang telah terjadi melebihi dari apa yang pernah saya bayangkan. Ya, pokoknya lebih dari semua yang pernah kami bayangkan dulu. Bukan cuma di pekerjaan saja, ya kalau Cuma Sido Muncul, saya bahkan tidak pernah membayangkan akan seperti ini. Sungguh saya enggak bayangin. Kalau saya flash back, dulu saya bayangannya, 80% itu sudah hebat. Dan memang saya tak membayangkan kalau akhirnya kami dapat meraih sampai 100%.

Anda setuju bisnis Anda adalah bisnis kepercayaan?

Loh iya, bisnis saya bisnis kepercayaan. Sekarang misalnya saya melakukan uji klinis. Seluruh produk Sido Muncul saya lakukan uji klinis. Kalau Anda mendengar, akan bilang, ''Oo Sido Muncul melakukan uji klinis ya, mestinya bisa dipercaya.'' Nah, kalau saya melakukan hal-hal yang bodoh, tentunya membuat konsumen berpikir. Iya toh? ''Hati-hati direkturnya minumnya obat cina.” Kami partisipasi, pada saat negara kita lagi butuh. Obat dari Ling Chi marak di sini, dan saya tak ikut mendatangkannya, melainkan dengan cara menanamnya sendiri.

Apa yang mendorong Anda mengutamakan kepercayaan?
Saya berangkat dari sebuah industri jamu. Sebutannya saja tradisional. Tentunya itu lekat dengan tidak higiene, dibuatnya sembarangan. 10 tahun yang lalu saya mencanangkan perlunya meningkatkan kepercayaan. Satu itu saja. Jadi, saat itu saya merasa tidak boleh menjual, karena posisi saya jelek, tidak dipercaya. Jadi yang saya lakukan adalah menciptakan kepercayaan.

Apa benar Anda menggunakan bahan baku dalam negeri dan tidak memakai obat cina dalam produk-produk Anda?

Semua bahan bahu bisa terpenuhi dari dalam negeri. Sebagian besar bahannya kita budidayakan di kalangan petani. Ini malah embuat orang itu bekerja menanam, mengumpulkan. Jadi, kalau dulu dibilang merusak hutan, ngambil dari hutan, itu tidak benar, karena saya lebih senang membudidayakan. Sebab, kalau kerja sendiri ya mana bisa, ya mending pake petani.

Orang Cina justru yang banyak beli dari sini bahannya. Ya, cuma biasa toh, misalnya, pepaya (bangkok) ditanamnya di Ciputat. Jahenya ditanamnya disini, terus dibilang jahe dari Cina. Nah, itu kan cuma karena masalah enggak percaya dengan dirinya sendiri saja. Bangsa yang yang rendah diri ya seperti itu.

Tapi, dari segi bisnis kan lebih mudah mendatangkan obat cina?
Betul, tapi juga lebih bernilai kalau saya memperjuangkan tradisi saya. Saya tidak bilang mendatangkan obat cina itu jelek. Pokoknya apa pun yang bisa mendatangkan kebaikan bagi masyarakat kita, tentunya itu hal yang harus kita terima. Dan saya menganggap, saya tidak ingin misalnya dibatasi. Saya ingin sekali berkompetisi. Saya cuma merasa sebagai orang Indonesia.

Anda mengatakan bahwa kegiatan ini bukan lagi sekadar bisnis. Mengapa?

Bagi saya, kalau kita melakukan segala sesuatu, tentunya yang nomor satu adalah komitmen. Latar belakang keluarga saya memang biasa-biasa saja. Saya tidak punya latar belakang pendidikan formal yang spektakuler. Cuma SMA, itu juga lulusnya dengan susah-payah karena waktu itu Gestapu. Hanya saja, pada akhirnya saya menyadari satu hal, kalau seseorang itu bekerja, ya harus dengan komitmen. Kemudian dia juga harus mengerjakan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh.


Bagi Anda, apa kendala dalam berbisnis jamu?

Kendalanya, kepercayaan masyarakat terhadap industri jamu. Market size-nya juga kecil sekali, cuma Rp 3 triliun, obat kan nilainya hingga Rp 30 triliun. Pemainnnya makin banyak, dipikirnya enak sekali, padahal enggak. Kendala yang kedua, di negara kita itu untuk bahan-bahan alam, farmasi kan ada pabrik farmasi, ada pasien, ada dokter, ada ahli farmasi. Di kosmetik juga begitu, ada ahli kosmetik, ada ahli farmasi, ada beautician, ada dokter kulit, ada konsumen atau pasien. Tapi, kalau di pabrik jamu kan tidak. Ahli jamunya kan tidak ada sekolah formalnya. Pengobatnya juga tidak ada, berarti dari pabrik jamu lansung ke konsumen. Nah, kalau pemerintah mau, sebenarnya mereka harus memotong kompas. Yang dilakukan adalah menciptakan ahli naturopat. Di Indonesia ini belum ada, di Filipina dan Malaysia sudah ada.

Itukah sebabnya Anda menggunakan figur artis hingga akademisi dalam mempromosikan produk?

Ya itu kan cuma strategi beriklan saja. Tapi, menurut saya bintang iklannya seperti Pak Rhenald Kasali bertujuan untuk mengedukasi pasar, misalnya Tolak Angin. Kami mengedukasi pasar bahwa masuk angin itu ada dan obatnya adalah Tolak Angin. Kan masyarakat selalu bertanya-tanya, masuk angin itu apa, penyakit apa, padahal masuk angin itu ada.

Apakah Anda yang langsung bernegosiasi dengan model-model iklan itu?

Pak Rhenald, kan bukan bintang iklan. Yang bukan bintang iklan yang enggak mau dibayar. Buat saya yang paling penting adalah kejujuran. Kalau dia enggak minum Tolak Angin, saya enggak mau. Jadi, semua yang pernah jadi bintang iklan kami pasti minum Tolak Angin, dan memang peminum tolak angin. Pak Renald sejak SMA, Mas Setiawan Djody juga minum, Pak Bronto apalagi, beliau malah keranjingan sama jamu, orang yang tergila-gila dengan obat dari alam.

Untuk menjadikan sebuah produk sebagai tulang punggung (backbone), apa pertimbangan Anda?

Di tempat kami, misalnya yang laku A tapi market share-nya kecil, maka itu kami anggap sebagai backbone. Ya kalau market leader kan beda, harus di survive di pasar. Cuma kalau yang menjadi lokomotif produk, ada Tolak Angin dan Kuku Bima. Dua produk ini terus kami kembangkan, mulai dari Tolak Angin Anak, Tolak Angin Flu, Tolak Angin Permen, dan sebentar Tolak Angin untuk diare. Demikian juga dengan Kuku Bima, dari jamu kita inovasi menjadi minuman energi beragam rasa.

****

Bermula dari sebuah pabrik jamu sederhana pada 1951, Ny.
Rakhmat Sulistio memproduksi jamu-jamuan yang begitu diterima masyarakat luas. Karena semakin bersarnya usaha keluarga ini, maka modernisasi pabrik juga merupakan suatu hal yang mendesak. Selanjutnya, pada 1984, PT. Sido Muncul memulai modernisasi pabriknya, dengan merelokasi pabrik sederhananya ke pabrik yang representatrif dengan mesin-mesin modern.

Pada November 2000, perusahaan jamu yang berlogo ibu dan anak yang tak lain adalah Ny. Rakhmat Sulistio bersama cucunya, Irwan Hidawat yang berusia 4 tahun, ini kembali meresmikan pabrik baru di Ungaran yang lebih luas dan modern. Peresmian dilakukan oleh Menteri Kesehatan waktu itu. Pada saat itu pun Sido Muncul telah dikukuhkan sebagai perusahaan jamu berstandar farmasi dengan penghargaan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

Hingga kini, sesuai visinya, Sido Muncul senantiasa memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Irwan Hidayat dengan bendera Sido Munculnya kerap hadir di lokasi bencana banjir, gempa bumi, dan berbagai musibah yang menimpa saudara sebangsa. “Saya bantu-bantu karena juga untuk promosi. Saya bukan filantroper,” kata bapak tiga anak ini berterus terang.

****

Apa komentar Anda tentang UU CSR?

Saya setuju, kalau saya berpikir sebagai orang yang hidup di sekitar tempat di mana bahan tambangnya di eksploitasi, Berbagai daerah seperti Aceh, Irian, di mana hasil tambangnya diambil, kan pajaknya masuk ke pusat. Lalu, mereka dapat apa? Masyarakat sekitarnya kan enggak dapat! Jadi kalau sebagai anggota masyarakat yang langsung di sana, saya setuju! Kalau selama ini saya setuju sama anggota DPR yang memberlakukan itu, cuma undang-undang maupun peraturan itu perlu diamandemen setiap lima tahun.

Mengapa?

Kalau Indonesia suatu saat maju, misalnya, ukurannya gini aja, Monas udah enggak dipagerin lagi. CSR enggak usah diberlakukan. Sebab, itu otomatis. Di negara maju, otomatis orang akan melakukan CSR, karena apa? Di sana kan peraturannya jelas, kalau di sini kan ndak. Jadi saya berpikir sebagai masyarakat, dimana kekayaan alamnya itu dikeruk.

Kalau Anda sebagai pengusaha, bagaimana?

Lho, kalau saya sebagai pengusaha, saya bilang ini salah, tapi saya bisa memahami CSR itu. Sebab, CSR kalau sudah diundangkan, bukanlah dinamakan CSR, tapi corporate sosial obligation, menjadi obligasi. Jadi, bukan tanggung jawab lagi, tapi obligation.

Anda ingin mengatakan, tidak setiap UU bisa diberlakukan di Indonesia?

Betul. UU yang berlaku di negara-negara maju belum tentu cocok diterapkan di negara-negara seperti Indonesia. Di negara maju, tamannya dibuka semua lho. Jalanan hanya pakai pembatas berupa titik-titik garis. Itu saja orang sudah nurut dan patuh. Tapi, kalau di sini kan tidak.

Menurut Anda, apakah para pengusaha Indonesia sudah menerapkan CSR di perusahaannya?

Semua pengusaha sudah melakukan CSR, dengan caranya masing-masing. Apakah harus dalam bentuk uang, apakah harus menyumbang? Belum tentu! Misalnya dia bekerja sebaik mungkin, memberikan upah yang baik terhadap karyawannya, berpartisipasi baik terhadap lingkungan sekitarnya, entah itu dalam skalanya kecil, menurut saya perusahaan sudah melakukan CSR. Zaman seperti ini tidak ada perusahaan tidak melakukan csr. Cuma ada yang mampu mempublikasikan, ada yang tidak.

Apa keuntungan perusahaan dengan program CSR ini buat Anda?

CSR itu dapat membuat perusahaan menjadi karismatik. Klau kita melakukannya dengan jujur dan keikhlasan hati, otomastis itu akan membuat produk itu menjadi baik, bermutu, berpikir tentang lingkungan yang baik, segala hal, dan enggak mesti berupa uang. Justru di Indonesia itu, tidak perlu dalam bentuk uang, kalau nanti peraturannya udah bagus seperti di negara maju, ya CSR-nya bentuknya uang.

Kalau sekarang kan kita masih bisa melakukan banyak hal, peraturannya A, kita A++, angka keamanannya 7, kita membuat angka keamanannya jadi 10. Saya membuat produk yang menguntungkan masyarakat, itu juga dapat disebut CSR. Itu merupakan CSR yang bisa kita berikan kepada masyarakat. Dan tidak harus dalam bentuk uang. Nah, kalau negara kita sudah maju, baru CSR-nya bisa dalam bentuk uang.

Lalu, apa bentuk konkret CSR Sido Muncul?

Misalnya ya, saya membuat produk seperti jamu tolak angin. Saya dapat obat herbal yg terstandar, dapat status macam-macam, itu mestinya juga bentuk CSR. Memiliki tanggung jawab terhadap konsumen, juga termasuk CSR. Jamu ini kan dikonsumsi banyak orang. Kalau konsumen ada apa-apa, bagaimana? Artinya, kita serius menyayangi konsumen, dan kami ikhlas melakukannya.

Ya, sekarang kami melakukan semacam uji toksisitas. Badan POM cukup memberikan referensi. Kalau ok, dapat ijin. Untuk apa? Itu kan tanggung jawab sosial. Makanya kalau menurut saya CSR itu harus diartikan dalam bentuk yang seluas-luasnya. Nah, kenapa kok CSR itu tidak bisa diundang-undangkan? Karena CSR itu bukan soal duit, tapi soal tanggung jawab Anda terhadap konsumen atau komitmen Anda untuk tidak merugikan konsumen.

Termasuk kegiatan Mudik Bersama?

Lha iya. Mudik bersama juga merupakan bagian dari CSR. Kegiatan ini diawali pada tahun 1991, biar jamunya laku. Tapi, jamu tak laku juga. Sampai-sampai saya mau hentikan ketika sudah sampai tahun keempat. Saat itu ada wartawan yang mengatakan, ''Pak Irwan, wartawan juga selalu ada di tempat-tempat kumuh lho.'' Ya sudah, akhirnya saya jadikan sebagai salah satu kegiatan humas. Eh, sekarang jamunya malah laku.

****

Waktu kecil Irwan tergolong suka rewel. Tangisannya baru berhenti apabila ditimang oleh sang nenek. Sewaktu keluarga Sulistyo dipindah dari Yogyakara ke Semarang pada saat clash kedua tahu 1949, Irwan kecil ikut hijrah juga ke kota tersebut. Dua tahun setelah itu, perusahaan jamu keluarga Sido Muncul berdiri.

Ketika dirintis, waktu itu memang banyak perusahaan jamu yang memasang foto pendirinya sebagai logo perusahaan. Sebutlah misalnya Nyonya Item dan Nyonya Kembar di Ambarawam, kemudian muncul Nyonya Meneer di Semarang. Bedanya, seperti sang nahkoda, Sido Muncul lahir dan berkembang dengan segala peruntungan yang dimilikinya.

Momen itu terjadi sekitar 49 tahun silam. Seolah menyerupai garis Tuhan yang linier, setelah dikelola oleh generasi kedua, penggemar tennis ini pun didaulat memegang kendali kepemimpinan Sido Muncul. Banyak gebrakan dan inovasi baru yang dilakukannya yang berdampak positif pada citra perusahaan.

****

Sebagai pengusaha, apakah Anda setuju pribahasa ’Time is Money’?

Tidak. Bagi saya waktu adalah segalanya. Tidak hanya soal uang. Waktu itu sesuatu yang tidak bisa dibeli dan diukur, karena tidak bisa berhenti. Makanya, kasih sayang terbaik adalah memberikan waktu.

Artinya, masih ada waktu santai buat keluarga ya?

O, ya masih. Saya sama anak-anak tidurnya bareng satu kamar, dari lahir sampai SMA. Setelah pada sekolah ke luar negeri, udah enggak sekamar lagi. Karena kebiasaan, ya. Waktu itu memang berharga. Karena itu, kalau punya anak, terus anaknya jauh, ya rasanya seperti enggak punya anak. Saudara yang jauh jadi teman, teman yang dekat jadi saudara.

Sampai sekarang, Anda menjadi figur utama Sido Muncul. Anda masih ngantor tiap hari?

Oh iya dong, sampai sore juga. Kalau jalan-jalan paling ke pedagang, grosir, atau pasar untuk survei. Soal gagasan, siapa saja yang punya ide baik, kami terima. Di perusahaan ini, juru bicaranya saya. Jadi, orang ngertinya cuma saya. Padahal, kan tidak juga.

Sebagai pimpinan tertinggi di Sido Muncul, siapa yang berperan memotivasi atau mengevaluasi Anda?

Seperti yang tadi saya bilang, saya kan hanya juru bicara, masih ada adik saya empat orang, serta tim karyawan saya yang banyak. Mereka juga kadang memberi masukan atau saran.

Apakah Anda termasuk tipe yang menjalani kehidupan mengalir begitu saja?

Ya, saya percaya sama keberuntungan. Bayangkan saja, saya bisa seperti ini enggak pernah bermimpi. Kuku Bima energi bisa sukses dan bagus, ya saya juga gak pernah bermimpi. Penjualannya bisa bagus sulit untuk dicari di buku-buku pemasaran, ketemunya di lagu Ari Lasso, Misteri Ilahi, ha-ha-ha.

Ada rencana masuk ke dunia politik praktis?

Enggak, karena saya terlalu emosional untuk masuk ke dunia politik. Bukan enggak mau, tapi saya enggak mampu. Jadi pejabat itu susah, udah jaman susah gini, jadi pejabat. Jadinya malah tambah susah. Lho jadi pejabat itu enggak gampang lho. Karena itu, saya tidak pernah mau mengeritik pejabat, karena jadi pejabat itu enggak gampang. Yang enak sih kalau jadi presiden.

Adakah obsesi yang belum kesampaian hingga sekarang?

Enggak ada. Saya dulu waktu kecil, cita-citanya ingin jadi arsitek. Tapi jalan yang saya tempuh ternyata berbeda. Makanya saya percaya sama penyelenggaraan Tuhan. Dan keberhasilan itu seperti lagunya Ari Lasso, ”apa yang terjadi dalam hidupku adalah sebuah misteri ilahi.”

Di perusahaan ini, yang nomor satu buat saya itu adalah usaha. Saya menghargai upaya, bukan keberhasilannya. Pokoknya upaya yang bagi saya berharga, karena kalau upayanya orang itu berusaha mati-matian, sukses enggak sukses, buat saya enggak jadi soal. Enggak berupaya, tapi sukses, ya diketawain orang.

Anda percaya fengshui?

Saya percaya bahwa itu ada. Cuma saya pasrah sama Tuhan saja. Rumah saya juga sempit belakang, semuanya sempit belakang. Dua kali saya pinsah rumah, semuanya sempit belakang.

Kapan Anda merasa harus berhenti dan menyerahkan tugas pada generasi selanjutnya?

Menurut saya, orang itu tidak boleh berhenti bekerja, karena kalau dia berhenti, maka dia akan kehilangan arti. Makanya ibu saya umurnya 82 tahun, sampai hari ini dia masih bekerja di Sido Muncul, dan dia masih kerja, kami juga dengan sungguh-sungguh hati membutuhkan dia, bukan cuma untuk pajangan saja. Kami merasa sangat membutuhkan ibu saya untuk bekerja untuk membantu kami.

Kalau begitu, kapan waktu Anda untuk menikmati hidup?

Menikmati hidup kan enggak harus berhenti bekerja. Ada orang yang menikmati hidupnya dengan mengumpulkan uang, ada orang yang menikmati hidupnya sembari bekerja. Ada pula yang menikmati hidupnya dengan buang-buang uang.


Tidak ada komentar: